Part 1
Begitu ia menutup pintu mobil, kebisingan dunia lenyap.
Miranti menatap diagnosis kanker hati di pangkuannya, mata cokelatnya berbingkai merah. Kertas di tangannya bergetar, remuk di bawah genggamannya.
Dokter telah memberitahunya bahwa ia telah melewatkan kesempatan terbaik untuk operasi— Jadi paling lama tinggal enam bulan lagi kankernya akan semakin memburuk.
Hari ini adalah acara pertemuan tahunan orang tua-anak sekolah. Tiba-tiba, Evan suaminya menyuruhnya untuk datang.
Tujuh tahun telah berlalu sejak Evan, pria multi talenta yang Jenius IT dan Pendiri Perusahaan Telekomunikasi bergengsi di negeri ini yang tak tersentuh, tiba-tiba menjadi suaminya. Selama bertahun-tahun itu, Evan tak pernah sekalipun mengajaknya ke acara publik.
Dulu, undangan itu pasti akan membuatnya sangat gembira.
Bahkan asisten rumah tangga mereka Bik Minah pun berseri-seri ketika mendengar kabar itu.
"Bu, sepertinya Pak Evan akhirnya ingin membawa ibu untuk tampil secara terbuka!"
Tak seorang pun tahu bahwa sejak Miranti mengetahui rahasia penyakitnya, ia diam-diam membereskan urusan ini tanpa sepengetahuan orang lain, bersiap untuk kemungkinan terburuk. Ia sama sekali tidak berencana untuk pergi ke acara sekolah.
Namun, ia tak sanggup membayangkan kekecewaan putranya yang baru berusia enam tahun dan masih kelas satu SD tahun ini.
Ia bisa saja menyingkirkan Evan dari hatinya, tetapi ia tak bisa melakukan hal yang sama kepada Humam—anak laki-laki kecil yang telah dikandungnya selama sembilan bulan.
Setibanya di sekolah, Miranti mengambil buku catatan dari tasnya dan menulis sebaris rapi kalimat sebelum menyerahkannya kepada petugas keamanan.
[Halo, saya ibu Humam Al Bani dari Kelas 1-A. Saya di sini untuk acara pertemuan orang tua murid. bisakah Anda mengizinkan saya masuk?]
Ia telah memilih pakaiannya dengan cermat: blus lembut yang kusut, rambut yang disisir longgar, dan—untuk pertama kalinya setelah sekian lama—anting mutiara pemberian Evan.
Kecantikan Miranti memang tampak sederhana sejak awal; dengan sedikit usaha, ia tampak hangat dan anggun. Dia tahu bagaimana anak-anak. Mereka selalu ingin ibu mereka tampil terbaik untuk acara sekolah.
Petugas keamanan itu mengangkat sebelah alis.
"Tidak bisa bicara?Bisu?"
Miranti hanya tersenyum dan mengangguk.
Ia tidak terlahir bisu. Bertahun-tahun yang lalu, setelah trauma yang menghancurkan, ia kehilangan suaranya. Sekarang, ia sudah terbiasa dengan pertanyaan itu.
Penjaga itu mengeluarkan lembar tanda tangan, memindainya sebelum mengamati Miranti sekali lagi.
Wanita cantik, pikirnya. Sayang sekali ia bisu.
Nada suaranya menajam.
"Orang tua Humam sudah di dalam."
Miranti mengerutkan kening dan cepat-cepat menulis,
[Humam adalah anakku. Mana mungkin aku bohong?].
Penjaga itu, dengan jengkel, menyodorkan lembar tanda tangan ke arahnya dan menunjuk nama Humam dengan jarinya.
"Lihat baik-baik!"
Jantung Miranti berdebar kencang saat ia membaca nama-nama di kolom tanda tangan orang tua. Ia sudah terbiasa dengan cibiran dan lirikan sinis yang menyertai kebisuannya.
Tapi hari ini, dadanya terasa sesak tak terkira. Bukan karena kecurigaan penjaga itu yang menyengat. Melainkan nama yang tertulis tangan Evan yang tak salah lagi—Silvia Hamid.
Dia bahkan tak berusaha menyembunyikannya lagi.
Ia belum pernah bertemu Silvia, tetapi suatu kali, saat merapikan ruang kerja Evan, ia menemukan secarik kertas terselip di bawah meja. Nama Silvia telah
ditulis berulang-ulang memenuhi seluruh kertas itu.
Intuisi seorang wanita telah memberitahunya semua yang perlu ia ketahui. Jadi nama Perempuan itu adalah Silvia.
Hari ini, semuanya akhirnya terjawab. Hari ini, keputusan Miranti untuk bercerai menjadi mutlak. Selama berbulan-bulan, selain merawat Humam, ia mencurahkan sisa tenaganya untuk satu hal ini.
Ia telah mengunjungi beberapa firma hukum. Namun begitu para pengacara mendengar nama Evan, kesopanan mereka berubah dingin. Mereka langsung mengantarnya keluar.
Rasanya hampir tak penting lagi. Dalam enam bulan kondisinya mungkin akan semakin memburuk. Pernikahannya dengan Evan akan berakhir dengan sendirinya.
Setidaknya dia tidak perlu repot dengan pengacara.
Kembali di rumah, rasa sakit di perutnya kambuh.
Dokter telah memperingatkannya agar melakukan pengobatan atau kemoterapi, namun ia masih belum bertindak sekarang. Miranti sering menderita nyeri perut sejak ibunya meninggal bertahun-tahun lalu.
Miranti meraih ponselnya, bermaksud untuk mencari tahu lebih banyak tentang penyakitnya, tetapi mendapati ponselnya mati.
Setelah terisi daya dan menyala, dia melihat obrolan grup orang tua dipenuhi notifikasi.
Dia membukanya. Di sana ada Humam, kedua pergelangan kakinya diikat dengan pita merah cerah, masing-masing diikatkan ke Evan dan Silvia.
Humam menyeringai lebar dengan bahagia.
Bahkan Evan, yang biasanya begitu pendiam, memiliki senyum tipis di bibirnya. Mata gelapnya, yang selalu dingin dan jauh, telah melunak.
Dia berdiri tegak dan anggun, setiap fitur diukir dengan presisi yang mencolok. Bahkan gerakan tangannya yang santai berbicara tentang hak istimewa yang mudah bagi Silvia.
Miranti pernah melihatnya memimpin ruang rapat, memukau dan memikat. Ia jatuh cinta padanya pada pandangan pertama, hanya untuk menderita selama tujuh tahun. Memang cinta butuh banyak pengorbanan dan dia sekarang kelelahan.
Evan tidak pernah bersikap hangat dan lembut. Mungkin karena dia bisu dan orang bisu lebih sensitif terhadap perasaan orang lain. Namun melihat foto- foto di tangannya yang penuh kehangatan sebuah keluarga, Tapi seberapa besar kehangatan itu pernah benar-benar untuknya selama tujuh tahun ini?
Dan kemudian ada Silvia—gaun sederhana namun elegen, kulit putih mulus , setiap incinya merupakan gambaran keanggunan kelas atas yang lembut.
Dalam video itu, saat pergelangan kaki mereka terlilit dan mereka jatuh ke tanah, ketenangan Evan yang sempurna retak. Ia memeluk pinggang Silvia erat-erat,
matanya terbelalak khawatir.
Ada juga lebih banyak foto—momen-momen yang direnggut dari hari itu, mustahil untuk dilupakan, perlahan membentuk nyeri di perut Miranti. Belum lagi komentar dibawah sana yang begitu menyesakkan d**a…