"Orang tua Humam pasangan yang serasi."
"Tidak main-main—ayahnya tampan, ibu yang cantik. Pantas saja Humam sendiri anak yang imut dan ganteng."
"Jujur saja, keluarga bertiga itu sudah cukup membuat siapa pun iri."
Melihat-lihat komentar itu, Miranti tak ingin merasakan apa-apa lagi. Emosi yang dulu menyengat hatinya telah memudar menjadi mati rasa. Yang tersisa hanyalah rasa sakit yang tumpul bagi wanita bodoh sepertinya yang dulu memberikan segalanya tanpa syarat. Matanya perih, air mata menggenang di sudut matanya, mengancam akan tumpah.
Rasa sakit yang menusuk melilit perutnya, dan keringat dingin mengucur di dahinya.
Bik Minah, pengurus rumah tangga, menyadari ada yang tidak beres dan bergegas menghampiri.
"Bu Ranti, Wajahmu pucat. Perlu saya antar ke rumah sakit?"
Miranti menggelengkan kepala dan segera mengetik pesan di ponselnya,
"Aku Ngak apa-apa. Cuma perlu istirahat sebentar."
"Tapi anda sangat pucat?"
Miranti mengangguk dan mencoba tersenyum meyakinkan.
Ia bangkit, menuangkan segelas air hangat untuk dirinya sendiri, dan menyelinap ke kamar tidur. Dari tasnya, ia mengeluarkan obat yang diresepkan dokter untuk
perawatan konservatif dan menelan beberapa pil sesuai petunjuk.
Sambil meletakkan gelasnya, ia melirik foto pernikahan yang tergantung di dinding—foto yang diperbesar dari pendaftaran pernikahan mereka. Sebenarnya itu sama sekali bukan foto pernikahan. Itu hanya sepasang foto di buku nikah yang dia perbesar atas inisiatif sendiri.
Ia ingin mengambil foto pernikahan yang pantas untuk rumah baru mereka, tetapi Evan menolak, dengan alasan ia tidak suka difoto. Jika ia benar-benar menginginkan foto pernikahan, kata Evan, ia tinggal memperbesar foto dibuku nikah dan itu sudah cukup. Jadi setelah tujuh tahun menikah, foto formal yang di tempel itu adalah satu-satunya foto mereka berdua.
Dan hari ini, Evan telah berfoto dengan puluhan orang bersama Silvia.
Miranti menyadari bahwa bukan karena ia membenci kamera. Ia hanya tidak ingin berfoto dengan Miranti. Selama tujuh tahun, Miranti berpegang teguh pada kebohongan yang rapuh dan transparan itu.
Tapi sekarang tidak lagi. Malam ini, ia akan merobek ilusi setipis kertas ini dan memberi tahu Evan bahwa ia ingin bercerai.
Sudah lewat pukul sepuluh ketika suara mesin mobil terdengar dari luar.
Beberapa menit kemudian, Bik Minah memanggil,
"Bu Ranti, Pak Evan dan Mas Humam sudah pulang."
Bulu mata Miranti berkedip-kedip saat ia meninggalkan kamar tidur, mempersiapkan diri untuk percakapan selanjutnya. Mengenai diagnosisnya, ia tak berniat memberi tahu
Evan tentang kankernya. Sekalipun ia melakukannya, Evan mungkin tak akan peduli—dan Miranti tak ingin mengundang rasa kasihan semacam itu.
Evan masuk lebih dulu, mendorong dua koper di belakangnya, langkahnya terukur dan anggun. Setelan jasnya yang pas melekat di tubuhnya yang ramping, kain keperakannya
memantulkan cahaya dengan kilau dingin. Ia sedikit mengangkat dagunya, mata cekungnya mengamati ruangan hingga tertuju pada Miranti.
Miranti tampak cantik malam ini. Blus emas pucatnya menyanjung kulit putih Miranti, dan ia menghela napas.
Raut wajah Evan yang biasanya tegas sedikit punya emosi saat ia menatapnya, tatapannya tajam dan tak terduga. Suaranya tenang, nyaris lembut.
"Kita kedatangan tamu. Bisakah kau menyiapkan kamar tamu?"
Di belakangnya, Silvia melangkah pelan ke samping Evan. Dalam pelukannya, putra mereka yang berharga, Humam, tidur nyenyak, wajah mungilnya bersandar di bahu Silvia.
Evan telah membawa Silvia pulang!
Miranti berdiri mematung di tempat. Bik Minah, merasakan ketegangan, tak berani bergerak. Silvia mengulurkan tangan, menarik pelan lengan baju Evan.
"Evan, kau sudah menikah. Istrimu ada di sini. Rasanya kurang pantas bagiku untuk tinggal di sini. Aku hanya mengantar Humam—aku sudah booking kamar di hotel."
Alis Miranti berkerut. Cara Silvia berbicara—seolah-olah ia pernah tinggal di sini sebelumnya.
Silvia menggeser Humam dalam pelukannya dan menoleh ke Miranti.
"Miranti, bantu aku bawa Humam, ya?"
Miranti mengerjap kaget. Silvia tahu namanya. Dengan canggung, ia mengulurkan tangannya untuk menggendong putranya.
Namun Humam bergerak, mengerjap mengantuk, dan memeluk leher Silvia lebih erat.
"Tante Silvia, kau janji akan membacakan dongeng sebelum tidur untukku malam ini."
"Humam, kau sudah pulang sekarang. Ibumu bisa membacakannya untukmu. Aku harus pergi."
Suara Silvia lembut dan sabar. Namun Humam hanya memeluknya lebih erat.
"Jangan pergi, Tante Silvi. Kumohon. Mama hanya bisa memutar video dongeng di ponselnya untukku. Saat aku berbicara dengannya, rasanya seperti berbicara
sendiri. Tidak menyenangkan. Aku bahkan tidak bisa memberi tahu teman-temanku... dia..."
Kata "bisu" terngiang di bibirnya, tetapi ia menelannya kembali, merasa tidak nyaman memanggil ibunya seperti itu.
Acara sekolah selalu membutuhkan kehadiran orang tua, dan akhir-akhir ini Humam telah mencoba segala cara yang terpikirkan untuk lebih dekat dengan Silvia.
"Senang sekali tante pergi bersama Ayah ke acara pertemuan orang tua di sekolah hari ini. Teman-temanku semua mengira tante-mamaku. Mereka sangat iri."
Ketika ia kecil, ia tidak peduli. Atau belum mengerti. ia bergantung pada Miranti untuk segalanya. Namun seiring bertambahnya usia, ia mulai mengeluh tentang kebisuan Miranti. Baru hari ini Miranti menyadari betapa Humam terganggu karena ia tidak bisa berbicara.
Tentu saja. Ia sedang tumbuh dewasa. Ia ingin menyesuaikan diri.
Miranti menarik kembali lengannya yang terentang, tangannya menggantung canggung di udara sebelum perlahan menurunkannya. Ia memberi isyarat dengan tangan yang mantap, jari-jarinya mengeja pertanyaan yang perlu dijawab oleh Evan.
"Siapa dia?"