Kamu Miskin

1598 Words
"Sepuluh tahun berpacaran, akhirnya bulan depan kalian berdua akan menikah," goda Silvi, adik dari mas Revan, kekasihku. Wajahnya tampak berbinar ketika duduk di sampingku. Dia membawa dua minuman kaleng dan meletakkannya di didepanku. "Sumpah, ya, Van, aku sudah tak sabar satu rumah denganmu. Bisa melakukan banyak hal denganmu.. Kalau perlu nanti aku gusur mas Revan dari kamar." Selorohnya. Sambil memukul-mukul pelan lenganku. "Ck, kamu ini. Kalau aku tidur sama kamu, mas Revan gimana? Mana mungkin aku nikahnya sama dia, tapi tidur sama kamu," balasku. Turut merasakan bahagia seperti yang Silvi rasakan. Bahagia bisa bersatu dengan mas Revan, yang sepuluh tahun ini menemani hidupku, bahagia pula bisa tinggal serumah dan menjadi kakak ipar untuk Silvi, yang sejak di sekolah dasar sudah menjadi sahabatku. Dikala susah dan senang kami lalui bersama. Bahkan, empat tahun aku merantau ke negara tetangga untuk mencari modal hidup agar bisa hidup lebih layak nantinya. Diusia sembilan belas tahun aku sudah menjadi yatim piatu. Kedua orang tuaku hanya meninggalkan sedikit tanah dan rumah, yang akhirnya kujual untuk membayar sisa hutang ayah. Sisanya aku titipkan kepada mas Revan, dan aku gunakan sebagai tabungan selama bekerja di luar negeri. Satu tahun bekerja, mas Revan mengusulkan agar kami membuka usaha elektronik, agar aku tak perlu berlama-lama di rantau orang. Dia tak tahan menahan rindu, katanya. Alhasil aku setujui karena di tangan mas Revan masih ada sisa penjualan rumah. Dia mengatakan sudah mulai mencicil untuk membuka toko, dan untuk sementara waktu gajiku yang mas Revan gunakan. Mulai dari biaya kebutuhan sehari-hari, menuruti keinginan calon mertuaku yang gemar sekali membeli barang mewah, dan bantu-bantu biaya kuliah Silvi. Emm … untuk biaya kuliah Silvi, hingga detik ini dia tidak tau kalau aku ikut membiayainya. Kenapa dia tidak tau? Karena aku tidak ingin dia merasa sungkan dan enggan melanjutkan kuliah. Sebagai sahabat dan calon kakak ipar, aku sangat menyayangi Mendukung dia sepenuh hati agar bisa menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter. "Biar saja. Mas Revan harus menjadi urutan kedua setelah aku," kekehnya. Masih saja ingin aku selalu ada di dekatnya, karena dari dulu kami selalu bersama. Namun, terpaksa berpisah selama empat tahun. Dan dua minggu yang lalu kontrakku habis. Aku pulang ke tanah air karena mas Revan mengatakan usaha kami sudah berjalan dengan pesat. Kekasihku itu juga mengatakan telah mempersiapkan acara pernikahan kami, yang akan dilangsungkan bulan depan dan aku tidak perlu lagi bekerja. Cukup duduk manis di rumah mengurus segala kebutuhan rumah tangga. Namun, aku tau bagaimana sikap ibunya mas Revan dan Silvi. Banyak menuntut dan mata duitan, sampai-sampai ayahnya mas Revan kewalahan mencari uang untuk memenuhi segala inginnya. Alhasil, aku membujuk mas Revan agar mengizinkan aku bekerja. Tidak perlu jauh-jauh, cukup di kota ini agar bisa pulang pergi tanpa memakan banyak waktu dan ongkos. Alhasil, aku diminta bekerja menjadi office girl di kantor ayahnya mas Revan. Jadi aku dan ayah nantinya bisa pulang dan pergi bersama. Rasanya itu lebih baik daripada seharian penuh menunggu suami pulang, dengan didampingi oleh ibu mertua yang cerewetnya minta ampun. Itu kata Silvi. "Iya, atur saja seperti yang kamu mau, Sil. Seperti yang kamu tau, sayangku ke kamu dan mas Revan itu sama besarnya." Mengacak rambut ikal Silvi, yang dia biarkan tergerai. "Kamu ini memang paling bisa membuatku meleleh." Silvi bersidekap. "Pantas saja mas Revan cinta mati sama kamu, Van." Matanya menyipit menatapku. Aku hanya bisa terkekeh. Tidak menyanggah ataupun membenarkan ucapan Silvi, karena aku sendiri bingung. Kalau sudah beruurusan dengan mas Revan dan Silvi, cinta yang aku miliki memanglah sangat besar. Sampai-sampai aku abai dengan diri sendiri. Semua terjadi bukan tanpa alasan. Saat ibu meninggal dunia dan ayah sakit-sakitan sampai akhirnya menyusul kepergian ibu, hanya mas Revan dan Silvi yang menjadi tempatku mengadu. Meski hanya sekedar bercerita menumpahkan segala sesak di d**a ini. Namun itu semua sudah lebih dari cukup bagiku sebagai semangat agar tetap kuat menjalani hidup, karena di dunia ini tak ada lagi tempatku pulang. "Oh, ya, Sil. Jam istirahatku sudah habis. Aku harus kembali ke kantor." Ucapku, seraya melihat jam yang melingkar di tangan. "Baiklah. Kalau begitu aku juga balik ke kampus. Mau setoran tugas dulu. Salam ya, sama ayah kalau kamu ketemu di kantor. Dan kamu jangan lupa, nanti malam datang ke rumah. Hari ini ibu merayakan ulang tahun mas Revan, sekalian mau bicarakan rencana pernikahan kalian." Pesan Silvi setelah bangkit dari tempatnya duduk. Kembali mengingatkan apa tujuan dia datang menghampiriku ke kantor. "Iya, kamu tenang saja. Kalau bersangkutan dengan mas Revan, aku tidak akan pernah lupa," sahutku. Melambaikan tangan, melepas kepergian Silvi yang mulai menjauh. Dia sesekali menoleh untuk membalas lambaian tanganku padanya. Begitu Silvi hilang dari pandangan, aku kembali ke kantor. Melangkah menuju pantry, mulai bersiap kalau-kalau ada karyawan kantor yang memintaku untuk mengantarkan kopi atau sejenisnya. Usai jam makan siang seperti ini biasanya para karyawan mulai mengantuk dan kopi adalah penawar bagi mereka. "Vania, kamu dicari pak Bimo!" seru salah satu karyawan yang bekerja di lantai dua. Karyawan yang kerap disapa Mayang itu, datang dan menyampaikan pesan pak Bimo, manajer di kantor ini sekaligus ayah dari mas Vano. "Baik, Mbak," sahutku. Bergegas beranjak untuk memenuhi panggilan calon ayah mertuaku. Menuju ruangan yang ada di lantai dua. Dalam hati, aku menerka ada hal penting apa yang membuat ayah menyeru. Karena sejauh ini pekerjaanku hanyalah melayani staf dan para karyawan yang ada di lantai dasar. Begitu kata pihak HRD ketika menjelaskan semua kewajibanku di kantor yang baru seminggu ini aku tempati. "Selamat siang, Pak," sapaku begitu sampai di ambang pintu ayah. "Siang, silakan duduk Vani!" pinta ayah, mempersilahkan aku untuk duduk. Aku mengangguk. Bergegas duduk seperti yang ayah inginkan. Entah kenapa melihat wajah ayah yang menegang, aku tiba-tiba saja merasa ada yang tidak beres sehingga aku diminta untuk datang menemuinya. "Kamu pulang duluan, ya." "Pulang?" gumamku dalam hati. Menatap ayah dengan kedua alis yang kini sedang bertautan. Tampak jelas di mataku ayah mengangguk. "Tapi kamu jangan pulang ke rumah." Aku makin bingung sekarang. Ayah memintaku untuk pulang lebih dulu, tapi tidak ke rumah. Emm, maksudku ke rumah kontrakan yang baru dua minggu ini aku tempati. "Aku tidak mengerti, Yah," cicitku layaknya bisikkan anak tikus. Ayah menghela napas. Melepaskan kacamata uang bertengger di batang hidungnya. "Sekarang kamu izin pulang dan temui Revan di toko. Tanyakan sejauh mana persiapan acara pernikahan kalian. Sekaligus memastikan apakah kalian jadi menikah atau tidak," Aku tersentak. Mendengarkan alasan ayah memintaku untuk pulang terlebih dahulu. Seketika tubuhku menegang dengan buliran keringat yang membasahi tubuh. Aku menatap tak percaya pada laki-laki berbaju batik merah maroon di depanku ini. Memang ayah tampak berat menyampaikan itu semua, tapi tetap saja aku tidak percaya kata-kata itu akan keluar dari mulut ayah. Kenapa? Apakah laki-laki itu tidak memberikan restu kepada ku dan mas Revan? Karena seingatku hanya ibu yang menentang hubunganku dan mas Revan. Selama ini ayah hanya diam saja seakan menyerahkan semuanya kepada mas Revan. Tidak ada kata-kata lain lagi yang keluar dari mulut ayah. Membuatku bangkit dan beranjak pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu. Tidak sopan sama sekali? Biar, aku tidak peduli itu yang jelas aku harus segera meminta izin pulang lebih cepat. Agar aku bisa segera bertemu dengan mas Revan dan mempertanyakan seperti yang ayah katakan. Tubuhku masih lemas dan berkeringat ketika pertanyaan ayah menggema di telinga. Namun aku berusaha keras agar tetap baik-baik saja ketika sampai di toko Agar aku tak mati berdiri ketika mas Revan menjawab pertanyaan menggunakan jawaban tak terduga. *** Empat puluh lima menit lamanya waktu yang aku habiskan agar sampai di toko. Ketika aku datang, mas Revan tampak sedang menghubungi seseorang. Dia terlihat terburu-buru. Tanpa mengakhiri panggilan dia menginstruksikan kepada karyawannya agar menutup toko. "Mas," sapaku dengan senyuman yang mengembang. Menutupi kegundahan hati karena mas Revan masih saja abai, padahal dia sudah melihat aku datang. "Maaf, Vania. Kita bicara besok saja. Dan aku harap nanti malam kamu tidak datang agar ibu tidak marah padaku." "M-aksudmu, Mas?" tanyaku meminta sedikit penjelasan. Datang tak dianggap dan dilarang pula menghadiri acara ulang tahunnya, tentu saja aku butuh penjelasan dari semua itu. "Kita putus. Jadi kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kamu pergi dan gapai bahagiamu, Vania," tuturnya tanpa ada rasa bersalah apalagi rasa iba padaku. "P-utus? Mas-, ini tidak mungkin! Kamu lagi ngerjain aku, kan? Kamu pasti --" Mas Revan menggelengkan kepalanya. "Aku serius. Aku tidak ingin menikah denganmu karena ibu tak mau memberi restu. Ingin aku melawan, tapi nyawa ibu lebih berharga dari apapun." "Mas, ini tidak mungkin," gumamku lirih. Tubuhku yang lemas, semakin tak berdaya saja mendengar kata putus dari mas Revan. "Kamu cari bahagia sendiri. Aku yakin tanpaku kamu pasti tetap bahagia. Tapi, denganmu ibuku tidak bahagia, Van," terangnya. Mengabaikan air mata yang mengalir di pipiku. "Kenapa?" tanyaku dengan napas yang tercekat. "Bukankah ibu sudah memberi restu setelah toko ini dialihkan atas namamu?" "Justru itu. Ibu tak suka aku menikah dengan wanita miskin sepertimu." "Miskin?" Aku menunjuk diri sendiri. "Kamu bilang aku miskin? Apa kamu dan ibumu lupa, darimana datangnya toko ini? Darimana modal--" "Cukup!" Tangan mas Revan terangkat memintaku untuk diam. "Cukup katamu? Enak saja kamu mengatakan cukup setelah kamu dan ibumu menguras habis semua tabungan yang aku miliki?!" "Itu bukan salahku. Kamu yang menyerahkan itu semua. Jadi tolong, pergi dan jangan ganggu hidupku lagi karena nanti malam aku dan Raisa akan bertunangan." Jelasnya sebelum melangkah pergi. Meninggalkan aku sendirian, meratapi betapa bodohnya aku selama ini. "Raisa?* disela tangisan aku menyebut nama Raisa, yang tak lain adalah janda kaya yang ada di samping rumah Revan. "Ini tidak mungkin." Aku masih saja menepis itu semua, meski sudah sering calon ibu mertuaku sering bergurau ingin menjodohkan mas Revan dengan Raisa. "Inikah hasil yang aku dapat, Mas?" lirihku dalam hati. Masih berharap ini semua hanyalah guyonan semata, atau mimpi saja.. Agar aku segera bangun dan mengakhiri ini semua.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD