Meja kayu panjang dengan kursi yang mengelilinginya berada pada tengah ruangan. Pada ujung ruangan terdapat beberapa meja kerja yang dilengkapi dengan Personal Computer. Ruangan itu didominasi dengan warna putih dan cream. Terlihat nyaman digunakan untuk bekerja dengan adanya tanaman hijau yang diletakkan pada beberapa sisi ruangan. Selain itu, terdapat sofa bundar empuk yang dapat digunakan untuk rehat sejenak dari penatnya dead line pekerjaan atau boleh digunakan untuk mengerjakan pekerjaan yang tenggat waktunya masih panjang. Bagi para karyawan yang ingin mengerjakan job dengan sistem lesehan, mereka bisa memanfaatkan karpet halus yang telah disediakan oleh biro arsitek itu. Namun, jangan sekali-kali berniat untuk rebahan jika tidak ingin menerima hadiah berupa Surat Peringatan atau SP.
Di luar ruangan juga disediakan beberapa meja dan kursi. Bekerja di biro arsitek memerlukan konsentrasi dan pikiran yang selalu jernih agar tidak menderita stres bekerpanjangan. Dengan adanya konsep ruang kerja out door diharapkan karyawan bisa menghasilkan desain yang inovatif, kreatif, menarik, dan memukau.
“Mas Tama, desain laboratorium untuk universitas di Surabaya apakah sudah selesai dicek?” tanya Aini saat tiba di hadapan meja kerja Tama.
Tama yang sedang memfokuskan penglihatannya pada layar PC pun segera mengalihkan pandangannya ke arah sang lawan bicara.
“Baru kamu berikan kemarin pagi kan? Jadi jangan minta umpan balik terburu-buru. Maksimal nanti jam empat!” jawab Tama dengan tatapan tajam dan nada dingin sehingga menohok hati Aini.
Tama dikenal sebagai karyawan yang tegas dan disiplin. Menjabat sebagai manager proyek membuatnya harus menjadi seseorang yang mampu membuat para arsitek begerak cepat dan tepat. Maka kedua sikap itu wajar jika melekat pada dirinya.
“Baik, mas. Terima kasih,” jawab Aini dengan nada rendah.
Kemudian ia memutar balikkan badannya untuk kembali ke mejanya. Ia memasang wajah pasrah karena kesalahannya tidak mengatur auto save pada lembar kerja desain yang ia kerjakan. Melanjutkan kembali desain yang hanya tersisa 20% membuatnya mengulur waktu untuk menyerahkan desain final pada Tama. Dan yang ia peroleh tentu saja wajah garang Tama karena dengan beraninya ia meminta balikan secepat itu.
Nasib menjadi seorang arsitek membuat Aini harus tahan banting dan memiliki stok kesabaran yang melimpah. Sebenarnya rekan kerjanya baik semua, tidak ada jurang yang memisahkan dan membedakan. Hanya saja para jajaran di atasnya adalah orang-orang yang selalu memasang mode garang, bahkan ketika di luar jam kerja.
Tama kembali memfokuskan netranya pada layar PC yang menampilkan desain laboratorium untuk sebuah universitas. Aini yang baru saja menghampirinya membuat hatinya sedikit dongkol. Bisa-bisanya ia meminta umpan balik secepat itu, sedangkan ketika menyerahkan desain saja terlambat dari jadwal yang telah disusun.
Berkutat di hadapan layar PC selama berjam-jam membuat mata Tama mulai lelah. Ia menutup matanya sejenak untuk mengembalikan kesegaran pada matanya. Ia juga meregangkan otot-ototnya yang lelah karena harus duduk tegap di hadapan komputer dengan waktu yang lama. Sesuai janjinya, ia telah menyerahkan balikan desain Aini 15 menit sebelum jam yang ia janjikan. Dan saat ini sudah jam pulang, Tama ingin segera tiba di rumah dan makan malam bersama bundanya.
“Nggak pulang, Tam?” tanya Yanuar.
“Iya ini mau pulang. Merehatkan otot-otot sejenak,” jawab Tama sambil memutarkan badannya ke kanan dan ke kiri.
“Makan malam bareng, yuk! Sama anak-anak yang lain,” ajak Yanuar.
“Di mana?”
“Di alun-alun. Sambil refreshing biar otak ndak kemebul* kepanasan mikir proyek ini,” bujuk Yanuar.
Tama tampak berpikir. Baru saja bayangan masakan ibunya muncul dalam benaknya dan Yanuar mengajaknya bergabung untuk makan malam.
Getaran handphone di meja Tama membuatnya segera mengambil dan menjawab panggilan dari bundanya.
Baru saja dipikirkan. Bunda sudah telepon saja. Batin Tama.
“Boleh deh. Anak-anak yang lain sudah siap berangkat?”
Bundanya baru saja mengabarkan jika ada acara di rumah tetangga sehingga tidak bisa memasakkan makan malam, maka ikut bergabung dengan yang lain untuk makan malam bukan pilihan yang buruk.
“Sudah di parkiran. Ini aku mau nyusul. Terus lihat kamu yang masih di sini jadi kuajak sekalian. Jarang-jarang juga kan kamu gabung sama anak-anak. Biar anak-anak gak takut sama kamu,” jelas Yanuar disertai dengen ledekan akan sikap Tama yang selama ini dinilai menakutkan di mata para karyawan.
Tama pun hanya mengangguk menanggapi penjelasan Yanuar. Ya dirinya memang terkenal jarang bergabung bersama rekan-rekan kerja yang lain jika diajak makan atau nongkrong. Alasannya adalah ia tidak ingin membuat bundanya mencemaskan dirinya karena pulang terlambat. Ah, anak yang sayang bundanya sekali Tama.
Setelah memarkirkan motor masing-masing di tepi jalan yang dialih fungsikan sebagai tempat parkir, anak-anak Architecta—nama biro arsitek tempat mereka bekerja—mulai berjalan mengelilingi alun-alun. Melihat berbagai tenda penjaja makanan, mulai dari nasi penyet atau biasa disebut juga nasi lalapan, mi ayam, pangsit, bakso, menu angkringan Jogja, nasi dan mi goreng, berbagai menu nasi warung tegal, dan stand-stand yang menjual makanan ringan serta minuman kekinian.
“Kalian mau makan apa? Makanan berat atau gimana?” tanya Yanuar kepada rombongan.
“Nasi saja, mas,” jawab Aini. “Hari ini kita bekerja cukup berat, butuh asupan untuk memulihkan kembali energi yang hilang,” lanjut Aini.
“Nasi apa nih? Kita pisah atau gimana?” tanya Yanuar lagi.
“Ehm, gimana kalau menunya terserah kalian. Terus kita sewa tikar biar makannya tetep bisa bareng-bareng,” saran Tama.
“Ah bener banget tuh ide Mas Tama. Kalau gitu biar aku saja yang sewa tikarnya. Kalian boleh pesan menu dulu. Aku mau nasi goreng pedas ya jika ada yang pesan nasi goreng,” jawab Susan sambil terkekeh.
“Oke. Biar kupesankan kalau gitu, San. Kamu gak apa sendirian?” tanya Aini memastikan.
“Ya ampun, mbak. Aku sudah segedhe ini juga. Gak masalah sendirian. Asal kalian nggak ninggalkan aku pulang,” jawab Susan sambil terkekeh.
Susan adalah salah satu karyawan Architecta yang sering mengeluarkan candaan, meskipun terkadang candaan yang ia lontarkan garing dan hanya mendapatkan tatapan datar dari yang lain tetapi hal itu berhasil membuat suasana menjadi lebih menyenangkan dan ramai.
Alun-alun kota yang mereka datangi memang dirancang sebagai pasar kuliner dadakan mulai dari sore hari sekitar pukul empat sore hingga pukul 10 malam. Banyak warga yang menghabiskan malam mereka di sini untuk sekedar jalan-jalan, makan malam, atau membeli jajanan. Selain itu, terdapat beberapa permainan anak-anak yang juga ikut memeriahkan suasana alun-alun di malam hari. Sehingga orang tua yang sedang menikmati malam di alun-alun juga bisa memanjakan putra putri mereka dengan permainan yang ada. Terdapat pula delman yang dihias dengan bunga serta lampu yang dapat ditumpangi oleh pengunjung untuk berkeliling di sekitar area kota.
Seperti yang telah Susan katakan, saat ini ia sedang duduk sendirian di karpet yang ia sewa. Tak berapa lama, teman-teman yang lain bergabung dengannya dengan membawa berbagai makanan. Ada tujuh orang yang malam ini ikut ke alun-alun, ada Tama, Yanuar, Aini, Susan, Bagas, Cintiya, dan Andika. Mereka adalah orang yang tergabung dalam proyek pembangunan laboratorium salah satu universitas di Surabaya. Dengan keluar bersama seperti ini, diharapkan mereka semakin kompak dalam bekerja sama.
“Mas Tama nggak ada agenda buat naik gunung lagi?” tanya Andika disela-sela makan.
“Ehm, belum tahu. Biasanya saya summit kalau ada yang ngajakin dan sedang longgar saja. Atau waktu dapat libur dari kantor setelah proyek selesai.”
Tama dan Yanuar memang dua orang yang lebih tua di antara mereka sehingga sering dipanggil dengan embel-embel mas. Selain itu, Tama dan Yanuar juga sudah lebih dulu bekerja di sana dari pada yang lain. Tidak ada sistem senior junior sebenarnya, hanya para karyawan yang baru bergabung dengan Architecta begitu menghormati mereka berdua. Apalagi hasil kerja Tama dan Yanuar selalu mampu memikat para klien.
“Mas Tama dan Andika suka muncak?” tanya Aini dengan wajah antusias.
“Iya. Beberapa kali aku sama Mas Tama pergi bareng,” jawab Andika mewakili Tama.
“Oh ya? Aku pingin ikut dong kalau naik gunung.”
“Fisik kamu kuat nggak, Ai? Nanti yang ada malah merepotkan orang banyak,” celetuk Yanuar dengan wajah meledek membuat orang yang melihat menjadi kesal.
“Ih, kamu itu mas. Ngaca sana,” balas Aini kepada Yanuar karena Yanuar memang memiliki tubuh yang lebih berisi. Sedangkan Tama dan Andika memiliki tubuh yang proporsional.
“Gas, bantuin aku dong,” ucap Yanuar meminta bantuan kepada Bagas yang tubuhnya memang hampir sama dengan Yanuar. Sebelas dua belas.
“Nggak ikut-ikut deh aku, mas. Makan nasi goreng lebih nikmat,” jawab Bagas cuek kemudian kembali menyuapkan nasi goreng mawut miliknya.
Yanuar pun dengan perasaan teganya, memukul bahu Bagas cukup kuat sehingga membuat Bagas tersedak dan terbatuk-batuk. Mendengar jawaban Bagas dan merananya kondisi Bagas, membuat semuanya tertawa terbahak-bahak kecuali Tama yang hanya merespons dengan senyum kecil dan gelengan kepalanya. Kasihan sekali Yanuar tiada orang yang mau membela. Dan lebih kasihan kerongkongan Bagas yang kesakitan akibat ulah Yanuar yang tidak berperipertemanan.
“Lagian badanku kan ideal, mas,” bela Aini sesaat setelah semua tawa reda.
“Badan ideal atau tidaknya itu nggak begitu berpengaruh sebenarnya. Yang paling utama itu fisiknya sudah terlatih atau belum. Meskipun jarang naik gunung atau tidak pernah naik gunung tapi tubuhnya sering dilatih untuk olahraga, besar kemungkinan tubuh akan mampu melewati berbagai jalur pendakian nanti,” jawab Tama menengahi semuanya. “Sedangkan kalau tubuh ideal tapi seringnya rebahan ya jangan salahkan rombongan jika nanti ditinggal.”
“Tuh dengerin apa yang diucapkan Mas Tama. Jadi jangan saling meledek tentang badan deh,” sahut Cintiya yang dari tadi hanya menjadi penyimak.
Mereka kemudian kembali menikmati makanan yang dipesan sambil melontarkan berbagai candaan. Membuat rombongan mereka cukup berisik dan menyebabkan orang-orang mengalihkan pandangan ke arah mereka dengan wajah sinis, judes, dan ada yang biasa-biasa saja.
“Ai, kamu pulang sama siapa?” tanya Susan saat mereka akan pulang. Mereka sudah selesai makan, bahkan saat makanan sudah habis pun mereka masih betah duduk di karpet yang mereka sewa. Jika Tama tidak berinisiatif untuk segera mengajak mereka kembali ke rumah, mungkin sampai malam mereka akan tetap bertahan di sana.
“Naik ojek online saja, deh. Soalnya ayahku nggak bisa jemput,” jawab Aini sambil mengotak-atik handphone-nya.
“Bareng sama Tama saja. Rumah Tama melewati daerah rumahnya Aini kan?” tanya Yanuar kepada Tama.
“Rumah Aini di mana?” tanya Tama akhirnya. Ia sebagai laki-laki tidak mungkin mengabaikan seorang perempuan yang ingin pulang bersama dengannya apalagi saat ini sudah hampir pukul 9 malam.
“Di daerah Senopati, mas.”
“Ya sudah bareng sama saya saja,” ajak Tama.
Membiarkan seorang perempuan pulang dengan ojek online di malam hari sedangkan rumahnya melewati daerah rumah Aini tentu bukan pilihan yang tepat. Meskipun ia cenderung garang jika di kantor, tapi diluar itu Tama tetap manusia sosial yang dengan tangan terbuka akan membantu siapa pun.
Mereka kemudian beranjak dari karpet, melipatnya, dan mengembalikannya. Berjalan ke area parkir kemudian saling mengucapkan hati-hati hingga akhirnya satu per satu kendaraan meninggalkan alun-alun untuk menuju ke rumah masing-masing.