April, 2015
Kanker paru-paru stadium 3b yang diderita Ibu Juwariyah telah merenggut kebahagiaan keluarga Kania. Senyum Kania berbalut luka, berusaha tegar mendampingi ibu adalah satu perjuangan yang teramat sangat berat. Berkali-kali dia harus sembunyikan tangisan agar kedua orangtuanya tidak melihat dia bersedih.
Mulai dari bedah thoraks, kemoterapi hingga radioterapi. Ibu Juwariyah yang semula bisa berjalan kini hanya bisa terbaring lemah di atas tempat tidur. Kursi roda berfungsi sebagai pengganti kaki tatkala dia hendak bepergian. Sekalipun hanya untuk melihat lalu lalang perawat dan pasien di lorong rumah sakit yang sudah lebih dari empat bulan dia tempati.
Semangatnya tidak sebesar semangat suami dan putrinya. Dia seperti sudah lelah dan menyerah. Kesehatannya tidak mengalami kemajuan yang signifikan, malah sel kanker yang seharusnya mati dengan kemoterapi dan radiasi kini semakin menyebar ke organ lain.
Jangan tanya berapa uang yang Pak Ari keluarkan untuk biaya pengobatan, meski memakai BPJS, ada beberapa pengobatan yang memakai jalur umum karena antrian yang begitu panjang sedangkan sakitnya tidak mengenal waktu. Jika tidak segera ditangani maka akan berakibat fatal.
Tabungan sudah terkuras, simpanan barang berharga sudah habis dijual. Sementara hidup mereka harus berlanjut, biaya makan dan keperluan sehari-hari selama di rumah sakit tidak sedikit jumlahnya.
"Ayah, maafkan ibu sudah menyusahkan," ucap Ibu Juwariyah lemah.
"Ibu bicara apa, ini sudah kewajiban Ayah."
"Ibu mau pulang, ibu capek, Yah." Suara Ibu Juwariyah bergetar, air mata tumpah membasahi pipinya yang kurus. Pak Ari berusaha memberi kekuatan meski sebenarnya perasaan pria itu hancur melihat belahan jiwanya lemah tak berdaya.
Sementara itu, lagi-lagi Kania hanya bisa menangis dalam diam. Berusaha menyembunyikan kesedihan supaya ibunya tetap semangat dan mau melanjutkan pengobatan.
"Kania," sapa Ibu Juwariyah. Kania terperanjat, dia bergegas menghapus jejak air mata di pipinya yang kemerahan.
"Kah," jawab Kania.
"Dieu geulis," perintah ibunya, Kania yang duduk di atas tikar sontak berdiri.
"Kenapa Bu? Ibu lapar?" tanya Kania lembut, jemarinya menyentuh dan menggenggam lengan keriput sang ibu.
"Ibu mau pulang, Nak. Tolong bujuk ayahmu supaya dia mau mengabulkan keinginan Ibu." Ibu Juwariyah melirik suaminya sekilas. Sementara pak Ari, dia hanya bisa diam sembari merasakan sakit hati.
"Nanti kita tanya dulu sama dokter, ya, Bu," janji Kania pada ibunya. Kemudian dia memperbaiki letak selimut dan melihat botol infus.
***
"Masih ada beberapa sesi Radioterapi yang harus Ibu Juwariyah lalui, selama fisik beliau kuat dengan efek samping yang ditimbulkan, tidak masalah jika memutuskan untuk pulang," kata dokter yang menangani Ibu Juwariyah saat Kania mengutarakan keinginan sang ibu untuk pulang.
"Alhamdulillah." Kania berbinar, tidak dapat dipungkiri dia juga merasa lelah. Senin sampai Rabu harus tetap mengajar selebihnya Kania menempuh perjalanan jauh untuk menemani ibunya di rumah sakit. Beruntung kepala sekolah memberikan keringanan kepada Kania. Dia tidak lagi menjadi guru kelas, melainkan menjadi guru bahasa Inggris untuk kelas empat hingga kelas enam.
"Tapi, jika efek sampingnya diare dan muntah-muntah seperti terapi sebelumnya, Ibu Juwariyah harus kembali dirawat agar tidak dehidrasi."
"Baik, Dokter, Terimakasih." Kemudian Kania pamit untuk menyelesaikan administrasi dan mempersiapkan segala sesuatu untuk pulang ke rumah.
Untuk pertama kalinya dia melihat binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah sendu Ibunya.
***
"Bu, bangun," sapa Kania lembut, ibunya nampak begitu terlelap.
"Hmmm."
"Bu, Kania bersihkan badan Ibu, ya." Kania mengusap-usap lengan ibunya yang kurus dan keriput.
"Tiris," rengek Ibu Juwariyah.
"Nanti Kania balur pakai minyak kayu putih. Sebentar lagi mobil yang hendak jemput kita tiba." Ibu Juwariyah menggeleng lemah.
"Ibu capek, Nak. Ibu gak mau ke rumah sakit lagi." Hati Kania hancur lebur mendengar penuturan ibunya. Sudah beberapa kali Kania dan ayahnya membujuk Ibu Juwariyah untuk melanjutkan pengobatan. Namun gagal, dia selalu menolak enggan.
Pak Ari hanya bisa pasrah, segala cara sudah dia upayakan untuk membujuk sang istri, tetapi Ibu Juwariyah tetap menolak untuk dibawa ke rumah sakit.
"Ibu mau makan bacang, Pak," Pinta Ibu Juwariyah pada Pak Ari, Pria yang sedang termenung di depan pintu kamar itu mengangguk dan segera keluar mencari penjual bacang.
"Bu, Kania bersihkan badannya, ya," pinta Kania lagi.
"Tidak, Nak." Perempuan itu memalingkan wajah, menguji kesabaran Kania.
***
Sejak saat itu, Kania dan Pak Ari akhirnya menyerah, mereka lebih memilih menuruti segala keinginan Ibu Juwariyah. Merawat dan mengasihinya dengan sekuat tenaga.
Semakin hari keadaannya semakin lemah, kanker telah menggerogoti tubuhnya hingga menyisakan tulang berbalut kulit. Kulit Ibu Juwariyah menghitam, rambutnya habis, sisa kecantikan mojang Garut itu habis digerus oleh penyakit.
Kesadarannya mulai menurun, terkadang dia tidak mengenali Kania dan Pak Ari. Membuat Kania bermuram durja dan merasa nelangsa.
Kania duduk di tepi tempat tidur, dia menggenggam tangan ibunya yang rapuh. Tidak ada reaksi sedikit pun, hanya dengkuran yang semakin lama semakin terdengar keras. Dengan sentuhannya, Kania dapat merasakan denyut nadi sang ibu. Satu-satunya harapan dan keyakinan bahwa perempuan yang kini sedang berjuang antara hidup dan mati itu masih ada di sampingnya.
"Bu, kapan Ibu bangun? Memangnya Ibu tidak mau melihat Kania jadi PNS?" Gadis itu bermonolog, bulir bening lolos dari sudut matanya.
"Katanya Ibu mau melihat Kania menikah. Pestanya tidak usah mewah-mewah, yang penting Ayah yang urus bagian kateringnya, biar mantap. Begitu kan, Bu?" Gadis itu tidak sepenuhnya kuat. Dia sedang berada di titik terlemah dalam hidupnya.
Tangannya sesekali mengelap cairan yang keluar dari mulut sang ibu, membersihkan kotoran mata dan keringat di pelipis. Dia mendengar kasak-kusuk, katanya jika sudah mengeluarkan cairan tersebut waktunya di dunia tidak akan lama lagi. Sedih tentu saja. Pak ari dan beberapa sanak saudara bertilawah, merapalkan ayat-ayat suci.
"Bu, katanya mau lihat Kania punya banyak anak. Katanya mau pergi haji sama Ayah."
Ibu Juwariyah tetap bergeming. Napasnya tidak teratur, kadang-kadang cepat kadang-kadang melambat. Kania tidak dapat membendung tangisnya, dia terisak pelan tepat di samping tubuh ibunya yang lemah. Ia duduk di atas sebuah kursi plastik kemudian disandarkan kepalanya yang tertutup jilbab berwarna hijau pucuk daun tepat di bahu sang ibu.
Firasatnya juga mengatakan, ibunya tidak akan bertahan lebih lama lagi. Ibunya telah lama menyerah tinggal menunggu waktu hingga Yang Maha Kuasa benar-benar memanggilnya kembali. Namun, dalam hatinya Kania berteriak tetap menginginkan sang ibu bertahan dan tetap berjuang hingga kesembuhan dia raih dengan paripurna.
"Nak, jangan bebani ibumu dengan tangisan," ucap Pak Ari seraya menepuk pelan bahu Kania. Dia merengkuh sosok yang rapuh kedalam pelukannya. Membiarkan gadis kesayangannya itu menghabiskan tangis. Kemudian lelaki paruh baya itu mendekati istrinya, mengecup kening serta punggung tangannya bergantian.
"Jika dengan pergi membuat semua kesakitan Ibu hilang, Ayah ikhlas. Pergilah dengan tenang, Bu. Maafkan Ayah jika selama hidup bersama, hanya kesedihan yang bisa Ayah beri buat Ibu." Melihat ayahnya bicara seperti itu tangisan Kania semakin tidak terkendali. Dia memeluk kaki ibunya, dengan rintihan yang semakin terdengar memilukan.
Sementara itu Pak Ari terus memerus membisikan Dua kalimat syahadat tepat di telinga ibu Juwariyah. Hingga denyut nadi yang semula seirama mulai melemah kemudian hilang. Ibu Juwariyah menghembuskan napasnya yang terakhir dengan tenang. Wajahnya damai seperti sedang tidur terlelap.