Calon Istri Untuk Fawwaz

1412 Words
Garut, 2018 Denting sendok yang beradu dengan piring memecah kesunyian di sebuah ruang makan keluarga. Fawwaz Abdullah, memilih diam dan berkonsentrasi dengan hidangan di depannya. Tidak membuka percakapan dengan kedua orang tuanya adalah salah satu cara untuk menghindar dari satu topik yang sering di bahas saat mereka berkumpul. Yakni Pernikahan. Fawwaz lelah ketika ibunya selalu bertanya perihal calon istri. Dia juga bosan mendengar keinginan ibunya untuk menimang cucu darinya. Padahal perempuan itu sudah mempunyai empat orang cucu dari kakak-kakak Fawwaz. Bukan tidak mau menikah, pria itu mempunyai masalah dengan rasa percaya diri. Dia selalu minder untuk memulai sebuah hubungan dengan seorang wanita. Dia takut, dan sedikit trauma. Dalam diam, ingatannya mengembara pada hari kemarin. Saat dia melihat seorang gadis rupawan yang tidak sengaja menjatuhkan deretan tas pajangan di tokonya. Ditengah kepanikan, kecantikan gadis yang dia perkirakan adalah seorang pengajar itu terpancar. Ada getaran asing yang dia rasakan saat melihat rona kemerahan di pipi gadis itu. Ingin rasanya mencubit dengan gemas. Ah, Astagfirullah, bisik batinnya. Dia mengusap wajahnya dengan gusar. Membuat Ambu dan Abahnya saling berpandangan dengan heran. Fawwaz seketika menjadi kikuk saat tahu dia sedang diawasi oleh kedua orang tua serta adik perempuannya. "Hayoo, Aa pasti lagi ngebayangin yang m***m-m***m, ya," ledek Aisha, adik bungsu Fawwaz. "Huss, jaga bicaramu, Sha," hardik Pak Agus pada putrinya. "Maaf, Abah, tapi beneran itu, Bah. Sha dari kemarin liat Aa senyum-senyum sambil ngelamun." Aisha tertawa cekikikan yang kontan dilempari potongan mentimun oleh Fawwaz. "Makanya buruan nikah," timpal Bu Sumarni dengan mimik muka penuh kemenangan. Topik itu lagi, bagaimana pun caranya dia menghindar selalu ada celah hingga akhirnya terjebak dalam situasi yang seolah-olah menghakimi. Dia hanya bisa duduk diam seperti seorang pesakitan yang menanti vonis hakim dibacakan. "Nikah sama domba Garut?" Fawwaz mendengkus kesal. Di susul tawa renyah Aisha dan Bu Sumarni. "A, mau gak kalau Abah carikan istri?" tanya Pak Agus, Fawwaz diam saja, sebaliknya ibu dan adiknya terlihat begitu antusias. "Boleh aja kalau ada yang mau sama aku," tantang Fawwaz. "Siap kalau begitu, nanti Abah kabari ya." Pak Agus tersenyum puas, sementara Bu Sumarni dan Aisha saling bertatapan penuh tanda tanya. Andai saja Fawwaz punya sedikit keberanian untuk mendekati gadis di tokonya kemarin. Sekedar berkenalan mencari peruntungan. Rasa mindernya tidak tumbuh tanpa alasan. Meski Fawwaz memiliki fisik sempurna, ketampanan khas jajaka priangan ada pada dirinya. Ditambah dengan kedudukannya saat ini sebagai salah pengusaha muda yang sukses di kabupaten Garut. Ada hal yang membuat lelaki itu sulit untuk mendekati lawan jenisnya. Bahkan sang ibu pernah berseloroh jangang-jangan putranya menyimpang. Tidak seperti itu, Fawwaz masih berjalan di jalan yang lurus dan akan selamanya begitu. *** Sementara itu di tempat lain Kania tengah gundah, bayang-bayang pengadilan dan jeruji besi menari di kepalanya. Dalam waktu satu minggu Kania harus mengumpulkan uang sebanyak dua puluh lima juta. Angka yang fantastis untuk keluarganya. Sambel goreng kentang yang biasa menjadi kesukaannya kini hanya teronggok di dasar piring. Ingatannya pada wajah Bahrudin ketika menagih utang sudah membuat selera makannya hilang digantikan dengan kecemasan yang berlebihan. "Kania, Ayah sudah cari pinjaman dari saudara-saudara Ayah. Alhamdulillah dapat 3 juta," ujar Pak Ari semringah. Sudut bibir Kania terangkat sedikit, dia tersenyum miris. "Kania mau coba pinjam ke koperasi sekolah ya, Yah. Tetapi jangan berharap banyak, sedapetnya aja." Pak Ari mengangguk senang. Setidaknya ada sejumlah uang yang bisa dia berikan pada Bahrudin. Untuk kali kedua, Kania merasa tidak berguna menjadi anak. Di usianya yang sekarang dia belum bisa bertanggung jawab secara finansial, malah Pak Ari yang semakin sepuh tetap berusaha memenuhi segala kebutuhannya dengan berjualan. *** Aroma bahan kimia menguar di seantero pabrik. Deru mesin dan teriakan para pegawai bersahutan memekakkan telinga. Fawwaz, menutup mulut dan hidungnya dengan masker. Sebagai seorang pimpinan sekaligus pemilik perusahaan melakukan kontrol rutin adalah kegiatan wajib yang dia lakukan menjelang zuhur. Untuk kali ini fokusnya terpecah, bayangan gadis yang telah menyihir hatinya terus saja menari dalam benak. Sayang sekali nyalinya selalu menciut menyisakan satu penyesalan yang mendalam. Selesai mengitari pabrik Fawwaz melanjutkan kerja ke workshop, tempat para pengrajin membuat jaket, tas dan sepatu kulit. Lima puluh orang pengrajinnya sedang mengerjakan pesanan dalam jumlah besar. Tak henti-hentinya dia mengucap syukur atas limpahan rejeki yang Allah berikan padanya. Tidak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya, meski tidak dapat dipungkiri tubuhnya lelah, dari rumah menuju kantor yang berada tepat di bagian atas toko. Kemudian mengontrol pabrik penyamakan kulit, dilanjutkan menuju workshop dan berakhir di kantor hingga malam tiba. Kadang jika sedang musim liburan dia tidak sempat pulang hanya sekedar mengempaskan penat di atas tempat tidur. Banyaknya wisatawan dari luar kota bahkan dari mancanegara membuat tokonya di banjiri pembeli. Tidak jarang beberapa wisatawan seperti selebgram, vlogger, dan narablog meminta untuk melihat langsung pengrajin memproduksi kerajinan kulit khas kota Garut tersebut. Fawwaz sedikit kewalahan. Andai saja ada seseorang yang mendampinginya. Menjadi 'rumah' tempat dia kembali ketika penat memeluknya sempurna. Dia menyadari permintaan Ambu ada benarnya, hatinya tiba-tiba menghangat saat memikirkan pernikahan. Getaran aneh menjalari dadanya ketika membayangkan sesosok anak kecil yang menyambutnya pulang seraya meneriakkan kata "Papa". Kemudian dia mengangkat anak itu ke udara, menghujani wajahnya yang imut dan lugu dengan ciuman. Saat memasuki rumah, ada istri yang mencium punggung tangannya dengan takzim. Menyiapkan air hangat untuk mandi dan menyediakan makanan lezat untuk makan malam. Ketika malam tiba, rasa sepi selama tiga puluh tujuh tahun dalam hidupnya akan sirna. "Ternyata benar apa kata Sha, kamu melamun sambil senyam-senyum," ujar Pak Agus yang ternyata sudah melihat putranya melamun dari tadi. "Astagfirullah, Abah ngagetin aja." Fawwaz salah tingkah. Saking asiknya dia berhayal, sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Pak Agus di ruangan kerjannya. "Bagaimana pabrik, aman?" tanya Pak Agus memulai percakapan. "Terkendali, Bah. Cuma Mang Diman tadi terpeleset karena tidak memakai alas kaki sesuai standart." Fawwaz duduk tepat di depan Pak Agus. Dia mencium gelagat tidak biasa dari Abahnya. "Parah?" "Kakinya terkilir, ada beberapa lecet di lengannya. Sudah di antar supir ke tukang urut," kata Fawwaz. "Tidak ke dokter?" "Beliau menolak, katanya takut disuntik." Sontak Pak Agus tertawa. Sementara Fawwaz hanya sedikit tersenyum. "A, masih ingat Pak Ari?" tanya Pak Agus pada putranya yang sedang asik menyesap secangkir kopi. "Pak Ari rekan bisnis Abah?" Ingatannya melayang pada Pak Ari pengusaha konveksi rekan bisnis Pak Agus. "Lain eta!" seru Pak Agus. "Memang ada berapa Ari, aku pusing ah terlalu banyak kolega Abah. Pak Ade, Pak Johan, Pak Asep, sekarang Pak Ari. Gosip apa lagi? Gulung tikar atau selingkuh?" "Belegug siah." Pak Agus menjitak kepala anaknya gemas. "Euh si Abah mah, tiap kesini kan suka bawa gosip hangat, kayak tante-tante!" Kali ini jitakannya lebih keras, Fawwas mengusap-usap keningnya yang di cium oleh cincin bertahtakan batu Garut kepunyaan Abah. "Pak Ari yang dulu sewa rumah kita," tutur Pak Agus. "Rumah lebak?" Pak Agus menjawab dengan anggukan, jari-jari tangannya yang gemuk sibuk membuka pembungkus dodol Garut. "Pak Ari yang pelaut, koki?"  tanya dia lagi. "Hmm." "Kenapa emang?" Fawwaz mulai penasaran. "Katanya gosip hangat-hangat," ledek Pak Agus di susul tawanya yang membahana. Perutnya yang membuncit berguncang-guncang, pria itu terlihat sangat puas. "Ish, si Abah mah!" dengkus Fawwaz kesal. "Kupingkeun, kamari Abah ketemu Pak Ari dan Anaknya di mesjid agung. Anaknya geulis pisan, ramah, sopan terlihat sekali kalau dia itu penyayang." "Abah naksir?" tanya Fawwaz iseng. "Banget," jawabnya mantap. "Gak takut di gantung Ambu?" "Abah udah cerita sama Ambu, dia sama Aisha malah seneng." "Abah mau nikah lagi?" Fawwaz bertanya dengan nada yang sedikit tinggi, kemudian jitakan kembali mendarat tepat di keningnya. Dia mengaduh, sementara Pak Agus kembali menikmati legitnya dodol. "Kan tempo hari Abah janji mau cari calon menantu sendiri. Habis kamu tidak peka, Abah lihat tiap hari Ambu sindir-sindir perihal istri, kamu diam saja." Mata Fawwaz membulat dia tidak mengira Pak Agus serius dengan ucapannya mau mencarikan istri untuk Fawwaz. Kemudian Fawwaz mulai mengingat putri Pak Ari yang di maksud oleh Abahnya. Terakhir kali bertemu, saat keluarga pak Ari pamit pindah rumah. Hanya ada satu anak dan kalau tidak salah ingat anak itu masih berseragam sekolah dasar sementara dia sudah duduk di bangku kuliah. "Abah, anaknya Pak Ari kan masih kecil," tutur Fawwaz polos. "Itu kan dulu, A. Nih coba lihat." Pak Agus mengeluarkan gawainya, kemudian memperlihatkan sebuah foto. Fawwaz melihat foto itu lekat-lekat. Abahnya nampak berwibawa dengan baju koko berwarna putih tulang, di sebelahnya seorang pria tua tersenyum kaku, dan gadis itu, putri Pak Ari yang abahnya maksud berdiri dengan anggun mengamit tangan ayahnya. Sejenak, dunianya serasa berhenti. Rasa sesak tiba-tiba saja menyerangnya. Dia melihat gadis itu, gadis dengan pipinya yang merona saat menjatuhkan sederet tas pajangan di toko. Pak Agus tersenyum penuh arti, sepertinya rencana menjodohkan Fawwaz dengan putri Pak Ari akan berhasil.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD