Fawwaz tidak berkedip menatap gawai Abahnya. Dia meraba dadanya yang riuh bergemuruh. Gadis yang beberapa hari ini selalu melintas dalam angan-angannya ternyata begitu dekat.
"Gimana, A?" tanya pak Agus.
"Cantik, Bah."
"Mau nikah sama dia?"
"Dianya mau enggak sama aku?" Fawwaz balik tanya, kembali rasa tidak percaya diri menyerangnya.
"Kita coba saja lamar dia." Pak Agus meraih gawai dalam genggaman putranya. Dia tidak peduli saat Fawwaz terlihat begitu kecewa karena tatapannya pada foto harus terputus.
Dengan santai Pak agus mencari nomor kontak Bu Sumarni, lalu menempelkan benda pipih berwarna hitam itu tepat di telinga kanannya.
"Halo, Ambu, Aa sepertinya mau sama Kania, coba Ambu ke Pasar Baru beli emas," perintah Pak Agus dalam sambungan telepon.
"Besok kita ke rumahnya buat lamaran. Nunggu apa lagi Mbu, nunggu umur si Aa nambah lagi? Pokoknya besok." Pria itu menutup sambungan telepon kemudian tersenyum simpul pada putranya.
Fawwaz mengurut kening kemudian memejamkan mata berusaha mencerna kejadian di depannya. Memangnya kenapa dengan umurnya? Dia tersinggung sekaligus senang bukan kepalang mendengar apa yang Abahnya katakan di telepon. Tersinggung karena bawa-bawa umur. Memangnya salah pria seumuran dia belum menikah?
"Bah, harus besok ya melamarnya?"
"Keburu di ambil orang, kamu mau jadi bujang lapuk?" tanya Pak Agus sarkas.
"Aku belum ada duit, Bah."
"Siapa yang minta duit? Ini urusan Abah. Kamu bawa badan aja. Lagian, ngakunya pengusaha, tapi gak ada duit," ejek Pak Agus.
Kemudian pria tua itu berlalu sambil bersenandung, meninggalkan putra ke tiganya seorang diri.
****
Kania meninggalkan koperasi sekolah dengan gontai. Usahanya mencari pinjaman membuahkan hasil, tetapi tidak banyak. Tidak mampu menutup keseluruhan utang ayahnya kepada Bahrudin.
Dia mengambil barang-barangnya di dalam kelas yang sudah ditinggalkan para siswa sejak setengah jam yang lalu. Bagaimana kalau Bahrudin tidak mau menerima uang seadanya? Haruskah Pak Ari mendekam di balik jeruji besi atau justru dia yang menggantikan ayahnya.
Ada sedikit nyeri membayangkan hal itu, setitik air mata lolos melewati pipinya. Andai saja Kania sudah menikah, mungkin suaminya mau membantu kesusahannya dengan Pak Ari saat ini.
Ah, kata menikah menyeret Kania untuk mengingat masa lalu. Dia yang selalu Kania nantikan sejak kelas tiga sekolah menengah atas.
"Berjanjilah Kania, tunggu aku kembali, setelah lulus SMA nanti aku akan kembali." Kania memejamkan mata, mengingat janji yang pernah dia ucap untuk seorang pria, cinta pertamanya.
"Aku menepati janji, Kak. Sebaliknya, Kak Demian dimana. Kakak lupa atau tersesat?" gumam Kania seorang diri.
"Siapa yang tersesat?" Seseorang mengagetkan Kania, dia terperangah sampai-sampai buku yang sedang dipegangnya jatuh berserakan.
"Astagfirullah, Tia. Kamu ngagetin." Kania mencebik kemudian jongkok memunguti buku-buku yang berjatuhan.
"Lagian, melamun sampai ngomong sendiri," ejek Tia.
Kania hanya membalas ejekan Tia dengan senyum masam, dia sedang tidak berselera untuk berkelakar. Tetapi untungnya Tia mengerti. Gadis itu kemudian memeluk sahabatnya erat. Tumpahlah tangis dan duka yang selama ini Kania pendam seorang diri.
"Mau cerita?" Tia bertanya hati-hati, disusul dengan anggukan dari Kania.
Kedua guru muda itu kemudian duduk berhadapan. Dengan sabar, Tia membiarkan Kania hingga sahabatnya itu bersedia untuk cerita.
"Aku lagi pusing," ungkap Kania disela isakannya. "Besok, Kang Bahrudin nagih utang ke rumah, seminggu lalu dia ngancam mau bawa kasus ini ke pengadilan."
"Kang Bahrudin itu siapa, renten?" tanya Tia Penasaran.
"Bukan, dia lebih kejam dari renten. Putrana Almarhum Haji Amat." Kania sudah lebih tenang, dia menghapus air mata dengan ujung kerudungnya.
"Maaf Kania, memang kamu punya utang?" selidik Tia.
"Banyak, Ti. Aku sama ayah pinjam ke Haji Amat. Bekas biaya pengobatan Ibu," terang Kania, dia kembali terisak tatkala menyebut nama ibu. Dia tidak mau menyalahkan sakitnya ibu sebagai penyebab menumpuknya utang.
"Berapa?" tanya Tia takut-takut.
"Sisa dua lima, kami sempat mencicil, trus Haji Amat wafat. Atas nama ahli waris Kang Bahrudin datang dengan arogan nagih sama Ayah."
"Dua lima ...." Tia bertanya dengan suara pelan.
"Juta," potong Kania membuat Tia tercengang.
"Uangnya belum ada, ya?" tanya Tia polos.
"Ayah dapat pinjaman dari sodara tiga jutaan, tadi aku pinjam ke koperasi dapat delapan ratus ribu, lumayah lah, Ti. Setidaknya kami punya itikad baik untuk membayar, tapi ya belum bisa semuanya."
"Kania, maaf ya, aku tidak bisa membantu kamu," ucap Tia sedih.
"Tidak apa-apa, Tia. Kamu sudah bantu aku, mendengarkan keluhanku bagian dari membantu lho," kata Kania, lantas dia berdiri diikuti oleh Tia dan meninggalkan sekolah yang sudah sepi.
***
Tepat pukul dua dini hari seorang pria gelisah di atas petiduran. Kemudian dia meraih sebuah kotak merah berisi cincin untuk melamar. Selepas magrib saat dirinya baru pulang dari mesjid, Bu Sumarni menyerahkan kotak itu.
Zaman sekarang apa ada yang mau menerima lamaran tiba-tiba, tanpa kenalan, tanpa pacaran. Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Takut kecewa menyerang perasaannya, pasalnya dia sudah menaruh hati sesaat setelah gadis itu menjatuhkan tas di toko nya.
Hingga kemudian Fawwaz sadar, dia belum meminta petunjuk kepada Sang Pemberi Kehidupan. Lantas dia raih sebuah sarung dan melenggang menuju musola yang terletak persis di depan kamar tidurnya.
Fawwaz menumpahkan segala kegundahan, ketakutan dan kebimbangannya di atas hamparan sajadah. Kemudian dia meraih mushaf yang tersimpan rapi di sebuah rak. Dia mulai membaca ayat demi ayat dengan suaranya yang merdu. Membuat ambunya yang hendak menunaikan salat tahajud menitikkan air mata haru.
Bersamaan dengan itu, Pak Ari juga tengah mengadu. Memohon kekuatan kepada Tuhannya untuk menghadapi Bahrudin esok hari.
"Gusti Nu Maha Suci, Paparinan abdi kakiatan, paparinan jalan kaluar," pintanya disela isak dan tangis.
Pagi harinya, ketika Pak Ari sibuk memasak untuk jualan terdengar suara gedoran di pintu depan. Pria itu sudah tahu siapa yang bertamu, maka dia persiapkan mentalnya sembari mengucapkan doa Nabi Musa, agar dilancarkan urusan dan ucapannya.
"Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul 'uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii." Pak Ari membuka pintu dengan tenang. Nampak Bahrudin beserta dua orang pria berbadan kekar terlihat sangar.
"Bagaimana, Pak?" tanya Bahrudin tanpa basa basi.
"Silakan masuk dulu, Kang." Pak Ari mempersilakan Bahrudin dan dua orang yang mengikutinya masuk.
"Maaf Kang, saya sudah usahakan, ini baru ada tiga juta delapan ratus." Pria tua itu terlihat tenang, dia sudah pasrah apa pun yang akan terjadi.
Dia sudah mempersiapkan telinganya kalau-kalau Bahrudin akan marah. Terlebih hantinya, dia sudah ikhlas sekali pun perkataan Bahrudin itu menyakitkan.
"Tiga juta delapan ratus, seperempatnya juga tidak," sindir bahrudin sinis.
"Maaf, Kang," ucap Pak Ari.
"Dengan maaf saja tidak cukup, Pak. Memangnya maaf bisa bikin utang kamu lunas?"
"Saya janji, Kang. Secepatnya akan bayar, tapi maaf, hanya bisa mencicil," janji Pak Ari yang dibalas dengan senyum sinis Bahrudin.
"Herman, Ujang, angkut barang-barang yang ada di rumah ini keluar," perintah Bahrudin, kedua Pria itu merangsek masuk lebih dalam. Pak ari menghiba, memohon belas kasihan kepada Bahrudin.
Kemudian dia menghalangi Herman yang hendak masuk dan mengambil barang-barang di kamar Kania.
"Jangan, Kang, saya mohon kasihani saya." Bahrudin diam saja, dia menyulut rokok dan membuang asap yang telah dia isap dengan santai.
"Hentikan, saya akan membayar semua utang Pak Ari!" ucap seorang pria dengan lantang. Herman dan Ujang berhenti mengacak-ngacak rumah Pak Ari, sementara Bahrudin menatap dengan kesal ke arah sumber suara.
"Gusti Allah, inikah malaikat yang Engkau kirim untuk menolong hamba?" gumam Pak Ari lirih.