Kania Azzahra Meilany, gadis itu berjalan dengan cepat. Keselamatan sang Ayah adalah sebuah prioritas. Pikiran negatif dan bayangan tentang Bahrudin terus menghantui sejak pagi. Bahkan dia tidak dapat berkonsentrasi dengan baik saat mengajar.
Terik matahari saat mencapai titik kulminasi menyengat kulit, meski sosok semampai itu menutup seluruh tubuh kecuali bagian wajah dan telapak tangannya.
Peluh bercucuran melewati kening dan pipinya. Jilbab motif abstrak berwarna dasar ungu muda yang dia kenakan basah di bagian atas kepalanya. Entah rasa takut atau memang karena panas saja yang memaksa keringat keluar lebih banyak dari biasanya.
"Ayah," panggil Kania, rasa kalut membuatnya lupa mengucapkan salam saat memasuki rumah.
"Putri ayah sudah pulang, Assalamualaikum," ucap Pak Ari, dia menghampiri putrinya yang terlihat sedikit berantakan.
"Waalaikumsalam, Ayah tidak apa-apa?" tanya Kania cemas, kemudian dia meraih tangan ayahnya yang kurus dan keriput, lantas dia menempelkan kening dan mencium tangan itu dengan takzim.
"Seperti yang kamu lihat, Nak." Pak Ari tersenyum semringah, seolah beban yang mengimpitnya sirna begitu saja.
Dia percaya, Allah telah mengirimkan sosok malaikat untuk membereskan masalahnya dengan Bahrudin.
"Hentikan, saya akan membayar semua utang Pak Ari," ucap seorang pria dengan lantang. Herman dan Ujang berhenti mengacak-ngacak rumah Pak Ari, sementara Bahrudin menatap dengan kesal ke arah sumber suara.
"Pak Haji," sapa Pak Ari di tengah kepanikan. Pria yang dipanggil pak haji tersebut memandang Pak Ari dengan iba. Saat netra mereka bertemu pria itu seakan berkata semua akan baik-baik saja.
"Berapa semuanya?" tanya pria itu.
"Dua puluh lima juta," jawab Bahrudin ketus.
"Ini kartu nama saya, temui saya nanti malam." Bahrudin meraih kartu nama tersebut, rasa kaget tidak dapat dia sembunyikan tatkala membaca nama Bagus Abdullah. Satu nama yang sangat berpengaruh di kota Garut. Pengusaha yang mempunyai puluhan toko oleh-oleh. Mempunyai hotel, resort, pemandian air panas dan beberapa perumahan elit yang ada di kota yang terkenal dengan domba adu nya.
Bahrudin dan kedua orang pengawalnya meninggalkan kediaman Pak Ari tanpa pamit. Sementara itu Pak Ari bergeming di tempatnya, terlalu sulit mencerna kejadian luar biasa yang menimpanya sepagi ini.
Pak Agus menghampiri Pak Ari yang berlutut dengan badan gemetaran, dia merengkuh pria tua itu kemudian mendudukkannya di atas sofa yang usang.
Suasana ruangan tamu sekaligus ruang keluarga dengan luas empat kali enam meter itu begitu kacau.
"Maaf, Pak, maafkan Bapak harus berkunjung ketika sedang kacau begini," ucap Pak Ari tulus, masih nampak dengan jelas raut wajahnya yang pucat.
Ada Bu Sumarni, istri dari Pak Agus itu mengenakan gamis hitam berbahan fursan yang terlihat begitu mewah dengan taburan swaroski di bagian dadanya. Serasi dengan suaminya yang memakai batik berwarna hitam.
Lalu, Fawwaz yang terlihat sangat menawan dengan kemeja slim fit berwarna biru muda yang dipadukan dengan celana panjang hitam dan sepatu berbahan kulit domba. Sedangkan Aisha nampak begitu santai dengan tunik dan phasmina berwarna senada.
"Masuk, Bu Haji," ajak Pak Ari. Bu Sumarni kemudian masuk diikuti Fawwaz dan Aisha.
"Begini, Pak Ari, maksud kedatangan kami kemari untuk melamar Kania untuk putra kami," kata Pak Agus.
Rentetan kejadian yang begitu mendadak membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Bingung, hanya itu yang dia rasakan saat ini.
"Abah, Bapaknya biar tenang dulu, kalau bisa kasih air putih," usul Aisha yang kemudian diiyakan oleh Pak Agus.
"Tidak apa-apa, sebentar saya ambil minum dulu, ya." Pak Ari kemudian berdiri, namun dia terhunyung menabrak beberapa barang yang menghalangi jalan karena dikumpulkan oleh anak buah Bahrudin tadi.
Kala suasana sudah tenang, Pak Agus kembali mengutarakan maksud dan tujuannya untuk mempersunting Kania. Fawwaz Abdullah, putra ketiganya yang berusia tiga puluh tujuh tahun sedang mencari seorang perempuan untuk dijadikan istri.
Tentu saja Pak Ari merasa sangat tersanjung, merupakan suatu kehormatan saat Pak Agus mengajukan lamaran untuk Kania. Terlebih, Pak Agus siap membayar seluruh utang Pak Ari kepada Bahrudin. Untuk itu, tanpa ragu dia menerima lamaran keluarga Pak Agus.
"Kania anak yang patuh, saya rasa dia juga akan menerima lamaran ini." Kemudian keluarga Pak Agus pamit undur diri dari kediaman Pak Ari. Mereka meninggalkan sebuah amplop yang diperkirakan berisi uang, kotak perhiasan berbentuk hati dan beberapa bingkisan termasuk diantaranya satu paket produk kulit yang terdiri dari tas, dompet, dan sepasang sepatu serta sendal berwarna merah marun.
Lamunan Pak Ari terhenti saat Kania menyentuh bahunya dengan lembut.
"Ayah kenapa diam saja?" tanya Kania.
"Kania, Allah sudah mengabulkan doa kita, Allah mendengar tangismu saat malam." Pak Ari tidak mampu menguasai dirinya, pria tua itu terisak-isak.
Kania merasa kasihan dengan ayahnya, dia berpikir karena mendapat tekanan dari Bahrudin membuat orang tuanya itu jadi ngelantur.
"Ini Nak." Pak Ari menyerahkan sebuah amplop dan kotak perhiasan.
"Apa ini Ayah?" tanya Kania bingung.
"Itu Hak mu. A Fawwaz anak laki-laki Pak Haji Agus melamarmu. Pak Haji juga yang membayar seluruh utang kita kepada Bahrudin."
"Sebentar Ayah, apa maksudnya? Jangan bilang kalau Ayah menjual Kania demi membayar utang," ucap Kania seraya menumpahkan air yang sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Tidak Nak, bukan begitu, Keluarga Haji Agus datang ketika Bahrudin dan anak buahnya mengamuk di sini. Beliau bersedia membayar utang kita dan ...."
"Ayah jahat, Ayah tega sama Kania," potong Kania, dengan perasaan yang sangat hancur gadis itu meninggalkan satu-satunya orang tua yang dia punya setelah sebelumnya Kania mengembalikan amplop dan kotak perhiasan kepada ayahnya.
***
Matahari sudah kembali ke peraduan, terang sudah berganti dengan pekatnya gulita, tetapi Kania belum juga kembali. Pak Ari gelisah, untuk pertama kalinya dia melihat putrinya menangis dengan raut wajah penuh dengan kekecewaan.
Apa yang sudah aku lakukan, maafkan ayah, Kania. Pulanglah, ayah menyesal. Bisik batin Pak Ari.
Sementara itu Kania sedang duduk termenung di sebuah kamar. Dengan sabar Tia mendengarkan sahabatnya menumpahkan segenap serta kekecewaan.
"Kania, maaf tapi ini sudah malam, ayahmu tahu kamu di sini?" tanya Tia. Kania hanya menggelengkan kepala.
"Beliau pasti cemas, maaf aku bukan mengusirmu, tapi sebaiknya kamu pulang." Tia benar, walau bagaimana pun hanya Pak Ari yang Kania punya sekarang. Di sudut terdalam hatinya dia menyesal telah pergi meninggalkan ayahnya dalam keadaan emosi.
Namun, dia juga tidak bisa membenarkan keputusan ayahnya. Sama saja mengorbankan Kania demi melunasi utangnya.
"Aku antar ya?" ajak Tia.
"Terima kasih, Tia. Umi mana, aku mau pamit."
"Ah, Kaniaa, jangan berterimakasih seperti itu, aku akan selalu ada untukmu. O iya, Umi berangkat habis isya tadi, ada pengajian di kampung sebelah."
"Salam aja sama Umi ya, Ti." Tia mengangguk kemudian dia menuntun lengan Kania berjalan bersama menuju pekarangan rumah.
Sebuah motor matic berwarna merah keluaran tahun 2016 berhenti tepat di depan sebuah rumah. Tanaman daun bawang berjejer rapi di ujung teras yang berkeramik putih. Jejeran daun bawang tersebut ditanam dalam sebuah wadah bekas minyak goreng kemasan. Pemilik rumah pintar sekali mendaur ulang barang bekas hingga menjadi barang yang layak guna.
Kania menyerahkan helm kesayangan Tia yang bergambar Doraemon. Hingga kemudian Tia pamit karena hari semakin malam.
Takut-takut Kania mendekati pintu rumah yang tertutup rapat, dia mengetuk pintu tiga kali. Sembari menunggu ayahnya membukakan pintu dia berusaha meredam debaran jantungnya yang terlalu kencang. Kania takut sang Ayah akan marah.
"Assalamualaikum," ucap Kania. Tidak ada jawaban dari dalam. Kania kembali mengetuk pintu. Dia melongok ke arah kaca jendela tirainya tertutup dia tidak dapat melihat apa-apa.
"Ayah, Kania Pulang," ucap gadis itu sedikit lebih kencang.
Tidak ada tanda-tanda ayahnya akan membukakan pintu, Kania duduk nelangsa di atas sebuah kursi bambu depan rumah. Dia sungguh menyesal dengan apa yang dilakukannya siang tadi.
Lima belas menit dia menunggu, hingga kemudian sosok ringkih ayahnya terlihat tergopoh-gopoh mendekati Kania.
"Ayah dari mana?"
"Kania dari mana?"
Mereka berucap bersamaan. Sejurus kemudian Kania memeluk sang ayah, dia sangat menyesali tindakannya pergi tanpa pamit, dan membuat ayahnya khawatir.
Sementara itu, Pak Ari juga mengutarakan penyesalannya mengambil keputusan dengan gegabah, menorehkan kekecewaan di hati putri tercintanya.