2

1162 Words
Sejumlah motor ninja dengan warna senada, terparkir rapi di depan sebuah warung kopi kecil yang terletak di pinggir jalan. Warkop GASTRA namanya. Kenapa? Karena, warung kopi itu adalah milik anak GASTRA. Didirikan di atas tanah salah satu anggotanya Darren, dan uang pembangunan warkop itu mereka dapat dari hasil ngamen.   Jika ngamen di sini yang kalian bayangkan adalah para anak-anak GASTRA menyanyi dan kemudian mendapatkan uang, kalian salah besar. Nyatanya, mereka mencegat Adik Kelas di SMA Bakti, lalu meminta uang secara paksa. Meskipun lebih banyak siswi yang memberikan uang mereka secara suka rela, jelas karena yang memintanya Mikhael Pradipta.   Untuk mengurus warkop ini, mereka menyuruh mantan satpam di sekolah mereka yang dulu dipecat karena selalu membiarkan anak GASTRA keluar masuk dengan bebas. Ya, sebagai ucapan maaf dan terima kasih gitu.    Dulu, mereka memanggil Pria paruh baya dengan perut buncit itu, Bapak. Ya, itu karena mereka menghormati Pak Joko yang selalu mau membantu mereka. Namun, sekarang, panggilan itu sudah berganti. Pak Joko sendiri yang meminta dirinya dipanggil Babeh, karena ia menganggap semua anak Gastra adalah anaknya.   "Kalian nggak pada sekolah, nih?" Babeh baru saja keluar dari warungnya seraya membawa dua mangkok mie instan.   "Sekolah mah, gampang, Beh," celetuk Brian seraya mengibaskan tangannya, "lagian, udah jam segini mana bisa masuk. Beda ceritanya kalo satpam SMA Bakti masih Babeh, lima menit sebelum bel pulang juga kita masih boleh masuk."   Celetukkan Brian membuat mereka semua terkekeh, termasuk Babeh, "Kalian ini, udah pada kelas akhir. Kalo kaga lulus, kan bahaya. Emang mau?"   "Beuh, santai, Beh. Kalau ketemunya sama Bu Fero yang sexy itu mah, gue rela masuk BK tiap hari," celetuk Nathan seraya membayangkan tubuh Bu Fero, guru BK mereka yang bodynya subhanallah.   "Si Nathan emang doyannya sama emak-emak, najis," Sagara bergidik ngeri.   "Halah, lo juga kalo dikasih Bini kayak Bu Fero kaga nolak, kan?" tuduh Nathan, "sok sok an banget jijik."   "Udah, udah. Nih tadi siapa yang pesen mie? Keburu direbut yang lain kalo nggak buru-buru diakuin," celetuk Babeh yang entah mengapa langsung menyindir Mika dan Darren yang ada di sebelahnya.   "Si Babeh, kalo ngomong kenapa bisa pas mulu, sih?" gumam Mika.   "Makanya, si Luna buruan diakuin," sahut Darren.   "Gue tuh masih belum siap, Dar."   "Siap apaan? Lo cuman harus ngakuin Luna, nggak perlu ngelamar dia, susah amat," cibir Darrer seraya menyesap s**u beruang di genggamannya.   "Itu masalahnya, ah," Mika mengacak rambutnya frustasi.   Darren menaikkan sebelah alisya, "Apa?"    "Gue masih bimbang, Dar. Lo tau, kan? Gue kemaren itu salah langkah, harusnya gue masih PDKT, gegara itu cowok nempel mulu sama Luna, ya gue gercep!"   "Terus, lo bimbang selama dua bulan, gitu?" sahut Darren tak habis pikir.   "Di satu sisi, gue tuh sayang. Di sisi lain, gue takut kalo fans gue itu hilang."   "Segitu pentingnya fans, buat lo?"    "Iya, lah. Lo lihat aja semenjak lo ngumumin kalo lo jadian sama Rachel, fans lo berkurang, kan? Udah nggak ada lagi, tuh, bekal segala macem di atas meja lo."   "Gue emang pacarin dia karena itu," sahut Darren acuh.   "Jadi, lo pacarin Rachel cuman biar fans lo ngejauh?" tanya Mika.   Darren meneguk s**u beruangnya sampai habis, menatap lurus ke depan, kemudian menganggukkan kepalanya.   ***   Rachel terus menggigit bibir bawahnya, gadis itu merasakan bimbang yang luar biasa. Bagaimana tidak? Saat ini, tatapan horror dari siswi SMA Bakti berlabuh padanya. Hal ini tentu saja terjadi karena tadi pagi, Rachel datang berboncengan dengan Aldi. Siapapun tahu, bahwa Rachel adalah kekasih Darren.   "Na, kita balik ke kelas aja, yuk," bisik Rachel pada Luna.   Luna mengernyitkan dahi seraya menoleh ke arah Rachel, "kok balik? Katanya laper."   "Lo nggak lihat, tatapan Kakak kelas itu?" bisik Rachel lagi, membuat Luna menaikkan sebelah alisnya, sebelum ia menatap ke sekeliling.    "Kok mereka ngeliatin kita ya, Syel?"    "Itu yang bikin gue pengen balik ke kelas, Na. Ayo, kita balik aja," ajak Rachel yang sudah menggamit tangan Luna.   Luna mengangguk, dan mengikuti langkah sahabatnya itu. Namun, mereka malah behadapan dengan tiga orang Kakak kelas perempuan, yang Rachel tau bernama Lisa dan teman-temannya. Tentu saja Rachel kenal, Lisa adalah orang pertama yang menghampiri Rachel saat berita ia dan Darren berpacaran tersebar luas.   "Mau ke mana, Cantik?" tanya Lisa senyum manisnya, siapapun tahu bahwa itu adalah senyum kemenangan Lisa.   "Ke kelas, Kak," jawab Rachel seraya menunduk. Sungguh, tubuh gadis itu bergetar hebat sekarang, bahkan ia sampai mencengkram tangan Luna.   "Kalo ngomong itu, orangnya di tatap. Lo kira kami ada di lantai?" celetuk Jennie-sahabat Lisa-dengan nada sarkas.   "Santai, Jen. Jangan main kasar," ucap Lisa dengan suara lembutnya.   "Yang model begini, dilembutin bakalan minta jantung," kini Rosa, salah satu sahabat Lisa juga ikut menimpali.   "Ma-maaf, Kak. Saya mau ke kelas dulu," pamit Rachel seraya menarik tangan Luna.   Belum sampai selangkah, tarikan Lisa di seragamnya membuat langkah Rachel terhenti. Tubuhnya semakin bergetar, saat wajah Lisa yang tadinya biasa saja, kini mulai menampakkam tanduknya. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan d**a, seraya menatap remeh ke arah Rachel.   "Gue belum nyuruh lo pergi," ucap Lisa yang entah mengapa terdengar bagai lantunan musik kematian di telinga Rachel.   "Eh, lo. Pergi," Jennie menatap Luna dengan mata tajamnya.   "Te-temen, sa-saya, Kak," sahut Luna dengan terbata-bata. Gugup, takut, dan kesal, semuanya jadi satu. Siapa yang tidak kenal dengan trio di hadapannya ini? Penindas nomor satu di Sma Bakti Mulia, apalagi semenjak kabar Darren dan Rachel berpacaran, Rachel selalu menjadi sasaran empuk dari para penggemar Darren.   Padahal, Rachel tidak salah apa-apa. Toh, yang mengejar Rachel adalah Darren. Bukan Rachel yang mengejar Darren, apalagi mereka berdua sama-sama tidak terikat pada siapapun. Lalu, apa salahnya mereka bersatu?   "Lo pergi dari sini, sekarang. Atau, lo bakalan tau akibatnya," ucap Jennie dengan nada memperingati.   "Ta-tapi "   "Na, lo pergi dari sini. Sekarang," potong Rachel cepat sebelum Luna memprotes lebih jauh yang malah akan berdampak buruk pada gadis itu nantinya.   "Tapi, Syel, gue "   "Pergi." kali ini Lisa yang bersuara, yang membuat Luna terpaksa menuruti keinginan mereka.   "Udah gue bilang sama lo beratus-ratus kali, kan?" ucap Lisa mengalihkan perhatian Rachel yang tadinya tertuju pada Luna.   "Maaf, yang kakak maksud apa, ya?" tanya Rachel yang tidak paham topik yang dibicarakan Lisa.   "Ini tentang lo, yang harus tinggalin Darren," jelas Lisa yang membuat Rachel menghela nafasnya berat.   "Apa hak kakak untuk nyuruh aku ninggalin Darren? Apa alasan Kakak? Kenapa Kakak gencar banget buat nyuruh aku ninggalin dia?"   "Alasan?" Lisa tertawa sinis, "lo nggak pantes buat dia. Lo itu nggak cantik, lo miskin, berbanding terbalik dengan Darren yang ganteng dan kaya. Cuman gue yang cocok buat ada di posisi lo."   "Nyatanya, aku yang jelek dan miskin ini kan yang berhasil dapetin dia yang ganteng dan kaya?" balas Rachel yang berhasil membuat Lisa bungkam.   "Lo!" geram Lisa seraya menunjuk wajah Rachel.   "Maaf, Kak. Nggak semua orang bisa kakak tindas sesuka hati, mungkin mereka akan diam, tapi aku enggak."   Setelahnya, Rachel melengos pergi. Jennie dan Rosa berusaha menahan gadis itu, namun Lisa menghentikannya. Lisa hampir saja meledak, kalau saja ia tidak ingat, bahwa ia sudah memiliki kartu AS untuk membalas kekalahannya hari ini.   "Nggak perlu repot-repot buat ngejar dia," ucap Lisa yang mendapatkan tatapan heran dari kedua sahabatnya, "gue udah punya kartu AS."  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD