Helaan nafas yang saling memburu juga suara ranjang yang berdecit berpadu saat pasangan itu saling menyatu. Suara itu semakin terdengar jelas dan berakhir dengan suara teriakan pertanda saat mereka mendapat pelepasan satu sama lain. Sebelum tubuhnya ambruk, cepat Saka berguling ke sebelah Sabrina, merengkuh tubuh istrinya yang lengket akan peluh bukti percintaan mereka. Nafas mereka masih memburu, mereka saling menatap untuk beberapa saat lalu Saka mengecup puncak kepala Sabrina lembut.
"Aku mencintaimu." bisik Saka, lalu memejamkan matanya. Menikmati malamnya, dimana ia merasa berkuasa penuh akan Sabrina sebagai miliknya.
Sudut bibir Sabrina berkedut, perlahan tapi pasti menyingkirkan lengan Saka yang melingkar di perutnya lalu beranjak bangun sebisa mungkin tanpa meninggalkan suara. Memungut jubah tidurnya, ia memakainya cepat sambil menatap wajah Saka tanpa ekspresi yang sudah tertidur lelap dengan cepat. Ia mengambil jam pasir milik Saka lalu membalikannya. Sabrina menyukai suara pasir yang tumpah dengan tenang itu.
"Sebentar lagi, kan?" gumam Sabrina pelan.
***
"Nanti malam aku jemput."
"Tidak perlu." kata Alana sinis.
Mikail mendesah pelan . "Alana, please... Jangan kenak-kanakan. Ini hanya masalah sepele."
Alana memutar bola matanya. "Sepele untukmu, tapi tidak untukku!"
"Kau harus mendengarkanku!"
"Aku terlambat Mikail! Lagipula tidak ada lagi yang perlu ku dengar!" desis Alana lalu berbalik untuk membuka pintu mobilnya namun tanpa terduga Mikail menahan lengan Alana dan tangannya menarik tenguk Alana kasar dan dengan cepat Mikail melumat bibir Alana secara paksa. Alana memberontak, tapi tubuh kekar Mikail berhasil membuatnya tak berdaya, menggigit melumat mengecap hingga Alana tak bisa menahan untuk mengerang sehingga Mikail dengan mudah memasukan lidahnya.
Inilah kelemahan Alana yang kian diperalat Mikail. Ia tidak bisa menolak sentuhannya. Bahkan sekarang Alana sudah berhenti berontak berganti dengan memegang erat kerah kemeja Mikail. Ciuman Mikail berpindah ke leher Alana, meninggalkan jejak basah yang semakin membuat Alana terbang.
"Mi-mikail..." desah Alana.
Saat tangan Mikail berada di dua gundukan itu, tubuh Alana meremang. Pria itu meremasnya cukup keras.
"Mikail jangan... Ahh!" mohon Alana.
Tapi Mikail tak bergeming, ia malah semakin menyudutkan Alana di dinding pintu, menikmati tubuhnya yang sudah terbiasa akan sentuhannya. Ia menarik Alana dengan mudah hingga kini berada di pangkuannya. Seakan sengaja Mikail mempermainkan Alana yang kini wajahnya sudah memerah menahan gairah. Mikail menyampirkan rambut panjang Alana ke pinggir, lalu bibirnya menyapu telinga kiri Alana memberinya gigitan-gigitan kecil yang membuat Alana semakin terangsang.
"Sekarang kau mau dengarkan aku, hm?" bisik Mikail serak.
"Mikail." desah Alana.
Mikail mengakhiri aktifitasnya berganti dengan menatap Alana insten. Membenarkan helai-helai rambutnya yang berantakan akibat aktifitas panasnya tadi.
"Kau harus mulai belajar untuk berhenti mengasumsikan hal yang tidak benar-benar kau tahu faktanya." kata Mikail penuh penekanan.
Alana menggigit bibirnya lalu mengangguk pelan.
"Ini semua hanya salah paham, ok? Kau harus percaya padaku. Jangan marah lagi, aku akan tetap menjemputmu nanti." Mikail mengecup sudut bibir Alana kilat.
Dan secepat itu Alana memaafkan Mikail. Mereka terlibat pertengkaran kecil sejak semalam karena pria itu tertangkap basah sedang menghubungi seorang wanita asing dengan kata-kata yang begitu mesra. Mulanya Mikail mengatakan jika wanita itu hanya seorang teman lama. Namun tentu saja hal itu membuat Alana berspekulasi jika kemungkinan besar Mikail memiliki wanita simpanan yang telah lama berhubungan dengannya hingga Alana memilih untuk mendiamkan pria itu sampai tadi, sampai pertahanannya runtuh kembali karena luluh dengan sikap aroganisme yang tak pernah bisa Alana hindari.
***
Alana membenarkan tatanan rambut dan juga penampilannya yang berantakan akibat pertengkaran singkat yang berakhir dengan keintiman yang Mikail lakukan padanya. Ia memberenggut menatap bayangannya sendiri di cermin karena menyadari jika ia telah kalah kembali karena terlalu cepat memaafkan Mikail yang seharusnya di beri pelajaran.
Alana membasuh lengannya, tapi seketika ia mengernyit. Menarik lengan bajunya satu per satu. Ia membelalakan matanya dengan panik, mengambil tasnya lalu mengeluarkan semua isinya untuk mencari sesuatu.
Gelangnya yang berharga. Alana menggeram sambil memaki dirinya sendiri, lalu ia bersender ke dinding mencoba menenangkan dirinya sendiri dan mencoba berpikir positif, bahwa ia lupa memakai gelangnya saat tadi pagi. Yah... Tidak mungkin hilang kan?
***
"Sudah di putuskan, trending topic berita kita minggu ini tentang pertunjukan cello semalam." suara Joe terdengar berat.
Alana masih sibuk memainkan penanya, hingga teguran dari Joe yang berdehem sambil menatapnya tajam tak ia hiraukan.
"Nona Alana." panggil Joe karena Alana masih tetap mengabaikannya. Bahkan kini seisi ruangan tengah menatap Alana geli.
"Alana Katrine Margaretha." teriak Joe berhasil membuat Alana tersadar, menatap rekan-rekannya heran.
"Ya, pak?" tanya Alana tanpa wajah berdosa sedikitpun.
Joe memutar kedua bola matanya. "Apa kau mendengar pembicaraan kita Alana?"
Alana menggigit bibirnya, sejujurnya dia tidak terlalu menyimak tadi. Tapi mengingat bosnya itu sampai memanggil nama panjangnya tadi, berarti banyak sekali yang ia lewatkan. "Tentang berita yang akan kita muat minggu ini kan?"
"Apa hasilnya?" desis Joe, ingin membuat wanita ceroboh itu jera.
Alana menggeleng tidak tahu. Sejujurnya banyak sekali yang sedang ia pikirkan, terlebih ia belum tenang karena gelangnya belum ditemukan. Lalu, tentang Mikail yang selalu mendominasi hidupnya. Alana benar-benar tidak bisa berpikir jernih hari ini.
Joe menggertak, Alana selalu saja seperti ini. Ceroboh dan urakan. Jika saja dia bukan jurnalis yang berpotensi, Joe sudah menendang Alana dari tempatnya. Sayangnya, tiap kelebihan selalu saja berdampingan dengam kekurangan.
"Sudah kubilang untuk bersikap profesional Alana. Jika kau terus seperti ini, aku tidak yakin kau akan bertahan." kata Joe membuat Alana terdiam tidak terlalu peduli karena sudah makanan sehari-hari mendapatkan teguran dari atasannya dengan kata yang begitu pedas.
"Sekali lagi, Ray kau bertugas mengumpulkan foto-foto yang terbaik semalam, Lea kau bertugas mewawancarai narasumber hari ini, dan kau Alana kau yang membuat artikelnya. Aku ingin hasil kerja kalian sudah tersedia malam ini. Mengerti?"
Mulut Alana menganga, bingung. Ia tidak tahu apa-apa lebih tepatnya ia tidak menyimak apa-apa tadi. Dan sekarang, si Joe itu dengan seenaknya langsung melimpahi tugas dalam jangka waktu setengah hari?
"Memangnya apa trending topic untuk minggu ini?" teriak Alana sedikit ketus.
Semua orang mendesis. "Tentang pertunjukan cello semalam. Bukannya kau datang?" Lea menjawab.
"Aku tidak setuju!" Alana langsung berkata tanpa pikir panjang membuat Joe mengernyit, sebagian orang mendesah dan berdecak karena waktu mereka akan semakin tersita.
"Alasannya?" Joe menatap Alana dengan tatapan menantang.
"Bukannya lebih bagus pameran lukisan Harry Nuari kemarin yang kita jadikan berita utama? Masalahnya aku sudah melihat keduanya, dan lukisan Harry lebih bermakna menurutku."
"Ini bukan tentang, bermakna atau tidaknya Alana. Tapi ini tentang daya tarik, dan Sabrina jelas lebih menarik dalam segala hal. Apa kau mengerti?" Joe mendesis, tapi diam-diam memikirkan pendapat yang Alana beri.
"Tapi jika kita memilih Harry, aku sudah mendapat banyak revisi untuk artikelku, tentang lukisan-lukisannya dan biografi hidupnya. Jelas jauh lebih menarik Harry, maksudku keduanya juga berkecinambungan dengan seni. Jadi--"
"Sudah. Aku tetap pada keputusanku, dan kau Alana lebih baik kau harus lebih tahu diri karena jika kau ingin di dengar kau harus menjadi pendengar yang lebih baik terlebih dahulu." kata Joe menatap sengit Alana membuat Alana tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Ok, meeting hari ini cukup sampai disini. Kalian mulailah bekerja." Joe berlalu dari ruangan, meninggalkan staff serta bawahannya yang juga satu persatu mulai kembali ke ruang kerjanya.
"Sudahlah Alana, lakukan saja perintah bos akan ku kirim hasil wawancaraku secepatnya. Jangan terlalu dipikirkan ya!" kata Lea memberi semangat pada Alana yang ekspresinya saat ini terlihat begitu kesal.
Alana tersenyum tipis menanggapinya, sebenarnya... Bukan hanya tentang pendapatnya tadi Alana tidak menyetujui Sabrina yang menjadi bintang utama topik beritanya. Ada satu hal yang mengganjal pikiran Alana tentang wanita itu, dan Alana tidak tahu pasti itu apa...
tbc