Tik-Tok

1554 Words
Suara jam cuckoo yang bertengger di sudut kamar Saka berbunyi nyaring. Saka mengerang dari tidurnya. Lengannya menggapai disebelahnya tapi yang ia rasakan adalah kekosongan hingga ia berhasil membuka matanya sambil mengernyit karena tidak menemukan Sabrina disana. "Sabrina?" panggil Saka memastikan. Saka mengernyit karena tidak mendengar sahutan dari istrinya itu. Memangnya dia pergi kemana pagi-pagi seperti ini? Memakai celana boxernya, Saka beranjak keluar dari kamar untuk mencari Sabrina. Hening dan sepi. Saka tidak menemukan istrinya berada di rumahnya. Mengambil ponselnya, Saka langsung mencoba menghubungi Sabrina. Tapi nihil, nomor ponsel istrinya itu tidak aktif. Ia menggeram. Namun ia baru tersadar, Saka melihat note kecil yang tergeletak di meja kecil samping ranjangnya. Aku ada wawancara pagi ini. Maaf tidak membangunkanmu, kau tidur nyenyak sekali. Jangan lupa memakan sarapanmu, aku sudah menyiapkannya. S❤ Wajah serius Saka perlahan melunak, berganti dengan ujung bibirnya yang tertarik merekah. "Dia selalu saja membuatku khawatir, kenapa ponselnya harus mati sih." gumam Saka kesal bercampur khawatir sendiri. Saka baru saja mau berlalu ke kamar mandi, tapi langkahnya terhenti saat melihat jam pasirnya yang sedang berjalan. Itu pasti ulah Sabrina. Tanpa rasa curiga atau apapun, Saka hanya terkekeh pelan lalu kembali melangkah menuju kamar mandinya. Meninggalkan suara samar dari butiran pasir yang turun secara perlahan... *** Saka menikmati aroma mobilnya yang penuh dengan bau tubuh Sabrina. Bau vanilla yang berpadu dengan bau mint membuat Saka ingin berlama-lama tinggal di mobilnya. Saka melirik mainan kucing berdiri berwarna emas yang sebelah tangannya bisa bergerak naik turun. Itu juga pemberian Sabrina saat Saka baru saja membeli mobil ini pada usia ke dua tahun pernikahan mereka. Menurut Saka kucing itu sangatlah konyol dan tidak pantas untuk dijadikan hiasan di mobil karena ia biasa melihat mainan kucing itu di ruko-ruko besar milik orang china. Tapi Sabrina tidak peduli, dan dengan santainya, ia mengatakan kalau kucing itu kucing ajaib yang bisa bergerak karena waktu. Awalnya Saka terganggu, karena kucing itu tidak pernah berhenti bergerak seperti selalu mengawasinya. Tapi lambat laun, Saka mulai terbiasa dengan kucing itu. Dan rasanya akan berbeda jika tidak melihat kucing itu bergerak. Sabrina memang bukan wanita yang mudah ditebak. Tapi Saka menghargai hal itu, dia tidak akan memaksa istrinya untuk mengatakan hal yang tidak ingin ia katakan. Saka hanya perlu menunggu, dan juga... Percaya. Akhir-akhir ini pekerjaannya banyak melibatkan dengan beberapa jurnalis. Sebagai detektif, bekerja sama dengan seorang jurnalis bukanlah hal yang buruk. Pekerjaannya yang mengharuskan menguak informasi sekecil apapun dari kasus yang diselidikinya memudahkan pekerjaannya jika ia bekerja sama dengan seorang jurnalis. Dan hari ini, ada pertemuannya dengan teman lamanya Joe, seorang senior jurnalis yang terkenal handal dan memiliki segudang pengalaman dibidangnya. Saka baru keluar dari mobilnya, basemant itu tampak sepi dan lenggang namun sesuatu menarik perhatiannya. Mobil yang tak berada jauh dari tempatnya sekarang terlihat bergerak aneh. Meskipun samar, dari kaca mobilnya yang berwarna hitam Saka dapat melihat bayangan dua orang sejoli yang sedang b******u. Saka memutar kedua bola matanya, mati sudah jika mereka tertangkap basah oleh petugas. Tanpa mempedulikan lagi, Saka bergegas masuk kedalam lift dengan langkah yang santai. *** "Oh, maaf kau menunggu lama." Joe berekspresi bersalah, ia menghela nafasnya kasar lalu duduk dengan sedikit membanting tubuhnya. "It's ok. Hari ini aku tidak terlalu banyak pekerjaan." kata Saka acuh. "Hah..." Joe menghela nafasnya lagi. "Si ceroboh itu, lagi-lagi selalu berbuat seenaknya." Saka menaikan sebelah alisnya. "Siapa?" "Bukan siapa-siapa dia hanya bawahanku, tapi tingkahnya oh Tuhan... Dia selalu membuatku geram." kata Joe tak sadar telah mengepal buku lengannya saking kesalnya. "Memangnya dia ada masalah apa?" "Dia selalu berbuat seenaknya, tak pernah mau mendengarkanku, selalu menyela pendapatku, dia menatapku seperti sekutu yang perlu di basmi. Tapi sialan dia sangat berpotensi. Hanya saja, ah. Kenapa tingkahnya seperti itu." Joe geram sendiri saat mengatakannya. Saka malah tertawa, membuat Joe menatap heran pada sobatnya itu. "Heh, kenapa kau malah tertawa?" "Jonathan Abigail, secara tidak langsung kau telah memperhatikan bawahanmu itu secara spesial. Apa kau tidak menyadarinya?" Saka menebak sambil terkekeh. Joe menaikan sebelah alisnya. "Apa maksudmu?" Dengan santainya, Saka menyeruput kopinya. Sengaja tidak langsung menjawab pertanyaan Joe. Saka berdehem "kau sedang jatuh cinta Jonathan." Wajah Joe berubah memerah, ia tersedak tiba-tiba hingga terbatuk keras. "Yang benar saja, aku jatuh cinta? Pada si ceroboh gila itu? Lagipula setahuku dia sudah memiliki tunangan, jadi aku--" Joe berhenti bicara saat melihat ekspresi wajah Saka. "Sepertinya kau sudah tahu banyak tentangnya." Saka terkekeh menggoda Joe. Joe mengacak rambutnya frustasi. "terserah kau saja, hentikan pembahasan ini. Apa yang kau inginkan datang kemari?" "Dia masih bertunangan. Kau masih memiliki kesempatan." Saka masih tak mau berhenti. "Oh baiklah. Hentikan semua ini, atau aku lebih baik pergi, karena pekerjaanku masih sangat menumpuk." "Yayaya. Aku membutuhkan rekaman hasil wawancaramu dengan Rey si pembunuh dua anak kembar itu." "Hmm, itu ada dalam arsip. Nanti akan ku kirim lewat email secepatnya." "Dan juga rekaman wawancaramu dengan pengusaha yang baru-baru ini dikabarkan meninggal." Joe mengernyit. "Hei, hei, hei. Kasus itu sudah ditutup, apa maksudmu menanyakan rekaman itu?" "Tidak apa, aku hanya ingin tahu. Sajaknya benar-benar menghantuiku." "Sajak apa?" Saka mengeluarkan kertas potocopyan dari sakunya dan memberikannya pada Joe. Joe semakin mengernyit. "Sudahlah, itu bukan urusan kita. Lagipula kau tidak mau kan kita dituntut? Aku lupa siapa namanya, tapi seorang pria telah membayar mahal media untuk tidak membahas lagi masalahnya. Dan sejujurnya aku juga tidak terlalu peduli, minggu ini istrimu menjadi topik utama berita kami. Itu lebih menarik bukan dibanding kasusmu itu?" Saka mengangkat kedua bahunya. "Yah... Entahlah, hanya saja sajak itu mengingatkanku pada sesuatu. Ah yasudahlah, kirim saja secepatnya. Satu jam lagi aku harus pergi ke lokasi pembunuhan tiga bocah kembar itu." Saka beranjak berdiri. "Ah ya dan jangan lupa, kabari aku jika wanita itu telah berstatus lajang." Saka cepat-cepat keluar dari ruangan Joe sebelum pria itu memberikan ultimatum dengan sumpah serapahnya. *** Alana, sepertinya aku akan pulang larut malam. Tidak perlu menungguku. Alana mendengus kesal. Hanya itu? Ia kembali merasa menyesal karena telah memafkan Mikail semudah itu tadi pagi. Pria selalu seperti itu kan? Semakin diberi kesempatan, semakin melunjak. Seharusnya Mikail diberi pelajaran agar ia tersadar bahwa dirinya bisa hidup tanpa bergantung pada siapapun terlebih pada Mikail. Mencoba mengabaikan perasaan kesalnya pada Mikail, Alana kembali terfokus pada pekerjaannya. Ia juga bertekad untuk mengabaikan b******n itu sampai ia tersadar bahwa dia tidak bisa terus berlaku seenaknya. Ia melirik jam tangannya. Satu jam lagi, artikelnya harus ia kirim pada si Jonathan b******k itu. Dan ini deadline! Masalahnya Alana tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk Sabrina si bintang utama. Dan ini semua karena moodnya yang sedang tidak baik. Selain Mikail, ia juga kesal karena selalu saja mendapat getahnya, sebagai jurnalis yang dipercaya untuk menulis artikel, dia sedikit kerepotan karena harus menunggu hasil wawancara dan beberapa foto dari rekannya sehingga ia paling bekerja keras di akhir. Sedangkan si k*****t Joe sudah menghantuinya untuk mengirimkan hasilnya malam ini juga. Keterlaluan memang. Alana menyeruput kopinya yang sudah dingin. Ia sengaja menunggu Mikail di coffee shop langganannya tadi berharap Mikail akan menemaninya terlebih dahulu disaat seperti ini. Tapi si b******n itu dengan mudahnya mengingkari janjinya sendiri. "Serius sekali ya?" suara itu berhasil membuat Alana terperanjat kaget. "Haha, maaf aku mengagetkanmu..." katanya lembut. Tapi Alana belum sepenuhnya tersadar, malah menatap tajam ke arah pemilik suara. "Eh, boleh aku duduk disini? Semua meja penuh, jadi... Alana? Apa kau mendengarkanku?" Alana menggeleng, tersadar sedikit tergagap. "Oh? Ha-lo, ya. Eh ya, tentu. Kau boleh bergabung." Saka tersenyum lembut. Lalu membuka kacamatanya yang tampak pas untuknya. Dan Alana benar-benar memperhatikan tiap detiknya saat Saka melakukan itu. "Aku baru saja ke lokasi pembunuhan dua bocah kembar oleh ayahnya sendiri. Apa kau tidak meliputnya?" Alana menggeleng. "Aku tahu. Tapi itu bukan bagianku, akhirnya aku ditugaskan untuk membuat artikel pertunjukan kemarin malam, sepertinya lebih seru tentang pembunuhan itu ya." Saka berdehem pelan. "Oh begitu, yah... Memang, polisi dan aku pribadi masih sulit mengetahui motif pembunuhan itu. Istrinya juga tiba-tiba menghilang membuat kami kesulitan menemukan narasumber yang tepat." "Kau pasti bersemangat sekali, kasus ini tipemu kan? Semakin sulit, semakin kau tertarik untuk menguaknya." kata Alana sambil mengetik pekerjaannya. Saka tertawa kecil. "Wah, aku jadi malu. Ternyata aku mudah sekali di tebak ya?" Sesaat Alana terpesona, selama ini Alana pikir seorang Detektif akan berwajah dingin, kaku, tampak misterius, dan tak akan banyak tertawa. Tapi Saka sangat berbeda, dia pria yang sangat periang, dan ia memiliki senyum yang sangat lebar, bahkan penampilannya serta perilakunya sangat santai. Tidak sekaku pekerjaannya. Dan satu hal yang mengganggu pikiran Alana. Mikail tidak pernah bersikap sehangat ini padanya... Alana mengerjap, kenapa...kenapa ia jadi membandingkannya dengan Mikail? "Eh Alana?" panggil Saka "Ya?" suara Alana terdengar bergetar. "Apa ini milikmu?" Saka mengeluarkan gelang perak dengan liontin bintang-bintang yang membentuk rantai. Mata Alana membulat. Gelangnya! " oh yatuhan... Ya itu milikku." "Aku menemukannya tadi malam, di tempat kita berbincang." Senyum Alana mengembang. "Terimakasih banyak Saka, aku tidak tahu jika bukan kau yang menemukannya ah! Terimakasih banyak sekali lagi." "Ya, tidak masalah. Gelang itu sangat berharga ya untukmu?" "Sangat. Ini pemberian terakhir dari Ayahku." bisik Alana. Saka tersenyum penuh arti. "Lain kali, jangan ceroboh lagi ya." katanya lembut. Alana mengangguk, masih dengan senyumnya yang merekah. Saka tidak pernah memikirkan arti senyuman sebelumnya. Tapi kali ini, saat melihat senyum Alana yang mengukir indah dengan mata bulatnya yang terlihat berbinar karena bahagia. Saka tahu bahwa senyuman bukanlah hal yang sepele. Dan lesung pipi yang tercetak jelas di wajah Alana saat gadis itu terus tersenyum.-tersenyum karenanya. Saka tersadar, bahwa Sabrina tidak pernah tersenyum seperti itu. Untuknya. tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD