Sabrina sedang memandang ke arah jam dinding berukuran besar di ruang tamunya. Menikmati suara tiap detiknya. Ia terperanjat saat lengan kokoh meyentuh pundaknya lembut.
"Saka!" pekik Sabrina saking kagetnya.
Saka tersenyum lembut. "Maaf sayang mengagetkanmu. Kau sedang apa disini? Kenapa belum tidur?"
Sabrina mencoba menstabilkan detak jantungnya. Mengelus dadanya pelan, Sabrina balas menatap Saka lembut. "Aku sedang menikmati waktuku." katanya setengah berbisik.
Sesuatu menusuk perasaan Saka, bukan itu yang ia harapkan. Saka pikir Sabrina akan mengatakan bahwa ia disini karena sedang menunggunya pulang, tapi pikiran itu segera di tampis olehnya.
"Waktumu?" Saka menaikan sebelah alisnya bingung, mencoba bersikap biasa saja menutupi rasa kecewanya.
Tapi Sabrina hanya memberi senyuman, tak menjawab pertanyaan Saka. "Apa kau sudah makan malam? Kenapa kau pulang terlambat?"
Saka berdehem, tidak mungkin juga ia mengatakan bahwa ia hampir lupa waktu karena terlibat dengan obrolan yang panjang dengan wanita lain. Alana adalah teman bicara yang baik, Saka benar-benar terlarut dengan banyak perbincangan bersama Alana. Mereka mendiskusikan banyak hal, bahkan mereka sudah tidak merasa canggung lagi walaupun status mereka masih baru dikatakan kenalan saja. Hanya saja mungkin karena pembawaan Alana yang mudah berbaur, wanita itu seperti memiliki magnet tersendiri untuk tidak mudah dilupakan.
Dan yang paling menarik bagi Saka, adalah senyumannya...
"Aku sudah makan. Maaf, tadi aku terjebak macet. Ada kasus baru lagi, dan itu sedikit membuat aku kerepotan..." kata Saka pelan tidak mengatakan keseluruhan karena kenyataannya dia memang terjebak macet saat selesai menangani kasusnya lalu memilih berhenti untuk membeli segelas kopi walaupun pada akhirnya waktunya tersita karena bertemu dengan Alana.
Sabrina mengusap puncak rambut Saka, lalu mengelus rahangnya membuat Saka memejamkan matanya menikmati sentuhan Sabrina.
"Kau pasti lelah." bisik Sabrina.
Saka menggeleng pelan. "Tidak lagi setelah melihatmu." ia menahan tangan Sabrina yang hendak melepaskan sentuhannya.
Matanya menatap tajam ke arah Sabrina. Tapi tak mengucapkan apa-apa. Untuk sesaat, mereka berada dalam posisi itu, saling menatap. Mencari sesuatu yang tidak pernah mereka tahu. Tapi Saka malah terbius, Sabrina memang wanita pendiam yang tidak mudah mengutarakan perasaannya secara gamblang. Tapi sinar mata itu... Saka tidak tahu, mata itu tidak pernah bersinar saat bersamanya. Dan itu membuat rasa kecewa dihatinya semakin meluap-luap.
Saka meletakan telapak tangan Sabrina di dadanya. Mencoba memberitahu Sabrina bahwa jantungnya selalu menggebu-gebu saat bersamanya.
"Sabrina..." lirih Saka.
Saka mengaku kalah, tatapan wanita itu tetap tenang bahkan tak goyah sedikitpun seakan tidak merasakan perasaannya yang gelisah dan akan meledak saat ini juga.
"Aku mencintaimu. Sangat..." bisik Saka lagi, entah untuk keberapa kalinya Saka mengucapkan kata mantra itu. Dia hanya perlu Sabrina-nya yakin akan perasaannya.
Perlahan, Sabrina melepaskan tangannya dari genggaman Saka. Sedikit berjinjit lalu mengecup bibir Saka kilat. "Kau kelelahan, dan kau perlu beristirahat. Oh, atau kau ingin kubuatkan teh hangat? Yah... Tunggu sebentar ya," kata Sabrina dan tanpa menunggu persetujuan dari Saka terlebih dahulu ia segera melangkah menuju dapur meninggalkan Saka yang masih terdiam dengan pikirannya yang berkecamuk.
***
Saka terbangun karena rasa haus yang mendera kerongkongannya. Ia tidak menemukan lagi Sabrina di sampingnya. Melihat jam cuckoo di kamarnya Saka mengernyit. Ini telah lewat dari pukul tujuh pagi. Kenapa ia tidak terbangun dengan dentuman keras yang selalu berbunyi tiap satu jamnya? Bahkan suara itu akan terdengar lebih keras pada pukul enam pagi.
Beranjak berdiri, Saka menghirup aroma lezat dari arah dapurnya. Sabrina-nya yang cantik sedang disana. Memasak dengan serius. Tapi kali ini ada yang berbeda, Sabrina sudah memakai pakaian rapi tidak seperti biasanya ia masih memakai gaun tidurnya yang selalu terlihat kebesaran untuk ukuran tubuhnya yang mungil.
Saka memeluk tubuh Sabrina dari belakang membuat tubuh wanita itu sedikit menegang karena kaget.
Dikecupnya leher Sabrina panas. "Pagi, sayang." sapa Saka serak.
Sabrina melepaskan pelukan Saka lalu berbalik untuk menghadapnya. "Akhir-akhir ini tidurmu nyenyak sekali ya sampai aku tidak enak untuk membangunkanmu."
Saka mengecup bibir Sabrina cepat. "Hmm.."
Sabrina mendorong tubuh Saka untuk menjauh dari tubuhnya. "Saka kau belum mandi, bersihkan dulu dirimu sana..." perintah Sabrina yang tidak diindahkan Saka, pria itu malah kembali menarik tubuh istrinya hingga menempel ditubuhnya lalu tanpa aba-aba langsung menyergap bibir Sabrina rakus.
Saka mencium Sabrina penuh damba, melumatnya sedikit kasar karena ia sedang tidak ingin bermain lembut. Mata Saka dikabuti oleh gairah, menciumi Sabrina sampai habis tidak peduli riasan make up nya yang menjadi berantakan karena ulahnya. Ciuman Saka berpindah ke leher Sabrina, dan saat itu juga Sabrina mendapat kesadarannya menjauhkan tubuhnya dari Saka yang masih diselimuti gairah.
"Saka... Hentikan," kali ini Sabrini berkata dengan keras dan itu berhasil membuat Saka berhenti.
Saka menghela nafasnya kasar. "Please?" rajuknya.
"No, Saka. Jangan sekarang."
Saka memberenggut. "Tidak ada pilihan lain." katanya tajam lalu mendorong tubuh Sabrina ke dinding meja dapur dan dengan lihai mengangkat tubuh Sabrina hingga duduk di atasnya. Diciumnya lagi mulut Sabrina kasar yang terbuka saat ingin protes. Dibuka paha Sabrina sehingga duduk mengangkanginya.
Saka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dia hanya marah, dan Saka sendiri tidak tahu pasti alasannya kenapa ia merasa marah. Tanpa ampun Saka mencumbu tiap jengkal tubuh Sabrina hingga ia yang semulanya memberontak kini taluk juga. Tiga kancing atas kemeja Sabrina sudah terbuka. Saka meremas kedua gundukan itu kasar membuat Sabrina mendesah keras.
Merasa perlakuan Saka yang terbilang kasar dan penuh paksaan, Sabrina tidak bisa menahannya lagi, kali ini mendorong Saka dengan kekuatannya ditengah kabut bergairahnya.
"Kalau ku katakan hentikan, hentikan Saka!" bentak Sabrina marah menatap Saka dengan aura yang tidak pernah ia tunjukan selama ini membuat Saka benar-benar berhenti.
Menyadari Saka yang menatapnya keheranan sekaligus terkejut akan sikapnya yang tidak dapat menahan emosinya seperti biasa apalagi hanya karena Saka sedang b*******h padanya membuat Sabrina cepat-cepat mengubah mimik wajahnya kembali melembut.
"Aku bilang untuk jangan sekarang Saka... Sekarang dengarkan aku, mandi dulu dan aku menyiapkan sarapan untukmu ya?" kata Sabrina lembut.
Saka tidak melihat kepura-puraan disana. Sabrina begitu tenang setelah sekilas Saka melihat betapa emosi Sabrina sebelumnya. Emosi yang tidak pernah Sabrina perlihatkan. Tidak ingin Sabrina kembali mengamuk, Saka menggeram lalu mengangguk mengiyakan perintah Sabrina tadi.
Sabrina sedang menata masakannya saat Saka sudah selesai mandi. Saka menatap Sabrina penuh selidik, takut jika istrinya itu akan marah karena sikapnya tadi. Tapi, saat Sabrina menyadari kehadiran Saka, Sabrina menatap suaminya itu lembut dengan senyum merekahnya. Dan hal itu langsung membuat Saka bernafas lega.
"Kemarilah, aku sudah menyiapkan sarapan favoritmu." kata Sabrina seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Saka tersenyum kaku lalu menarik kursinya untuk bergabung. Dengan terampil, Sabrina mengambilkan makanan yang ia masak untuk Saka, menuangkan air minumnya. Melayaninya seperti biasa. Hingga Saka berangsur-angsur melupakan kemungkinan jika Sabrina akan marah padanya.
"Hmm... Masakanmu selalu menjadi yang terbaik." puji Saka disuapan terakhirnya.
Sabrina tersipu. Dan hal itu membuat Saka ingin mengabadikan potret wajah Sabrina saat sedang tersipu seperti itu. "Aku sengaja tidak membuatkanmu sandwich hari ini, omong-omong kau bekerja pukul berapa?"
"Aku harus sudah ada di lokasi pukul sebelas pagi ini. Dan apa kegiatanmu hari ini? Kau tampak sudah siap."
"Saka, semalam aku tidak sempat memberitahumu karena ternyata kau pulang terlambat. Aku akan mengadakan perjalanan liburan dari PH ku selama tiga hari, ini semua berkat debut pertamaku yang berhasil. Kau mengijinkanju kan?"
Saka mengerjap untuk beberapa saat. Pantas saja, Sabrina sudah terlihat rapi pagi ini. "Hmm tiga hari ya? Yah aku bisa apa, kau menginginkan liburan itu kan?"
Sabrina mendesah pelan. "Aku ingin mengajakmu, tapi peraturan dari PH ku ini tidak mengijinkan pihak luar ikut serta, aku sangat menyesal."
"Tidak apa sayang. Lagi pula kau memang butuh berlibur mengingat aku juga sekarang jarang mengajakmu keluar rumah. Dan jika PH mu mengijinkan pihak luar ikut serta aku juga tidak akan janji bisa ikut bergabung, karena masih banyak kasus yang harus ku selidiki. Kemana kau akan berlibur?"
Senyum Sabrina mengembang. "pantai Ghandari, itu tempat yang sangat indah. Maafkan aku ya, oh dan kemarin aku sudah membeli beberapa bahan makanan yang instan. Jadi kau tidak akan terlalu kerepotan. Jangan pernah melewatkan jam makanmu ya." kata Sabrina perhatian.
Saka mengangguk. "Ah, aku akan sangat merindukanmu, dan aku akan tersiksa selama tiga hari ini. kau harus berjanji untuk selalu mengabariku. Jangan sampai ponselmu sulit dihubungi lagi ya."
Bibir Sabrina mengerucut. "Jangan kekanak-kanakan Saka. Aku berjanji setelah aku pulang kau akan mendapatkannya." Sabrina berkata penuh makna sambil mengedipkan sebelah matanya membuat Saka bersemangat.
"Jika seperti ini, tiga hari akan seperti tiga abad bagiku." kata Saka dengan ekspresi wajah yang sedih dibuat-buat.
Sabrina menggeleng lalu segera beranjak berdiri menarik Saka. "Sudah sudah, lebih baik kau antar aku sekarang. Aku tidak mau terlambat ok?"
***
"Kau tidak membawa banyak barang ya?" tanya Saka saat melihat Sabrina hanya membawa tas jingjing berukuran sedang.
"Tidak, aku hanya membawa beberapa pakaian dan peralatan pribadiku saja."
"Hmm..." Saka menatap istrinya lekat-lekat, dari matanya Saka bisa membaca bahwa Sabrina sangat bersemangat dengan perjalanan liburan ini. Dan mana tega Saka melarangnya? Kebahagiaan Sabrina lah yang utama.
"Bersenang-senang ya, jangan lupa terus kabari aku." kata Saka pelan.
Sabrina mengangguk lalu mengecup lembut pipi Saka. "Jangan kacaukan rumah kita ya." kata Sabrina sambil terkekeh membuat Saka memberenggut mengetahui maksud dari kata Sabrina.
"Maka dari itu, cepat pulang." bisik Saka di telinga Sabrina s*****l.
Sabrina memutar bola matanya lalu keluar dari mobil Saka. Dia melambaikan tangannya saat sudah berada di pintu masuk. Saka membalas lambaian tangan Sabrina sambil tersenyum lembut lalu setelah punggung Sabrina yang kini menghilang, Saka mulai menyalakan mobilnya.
***
Hujan gerimis tiba-tiba turun, Saka melihat ke arah kaca spionnya. Berharap liburan Sabrina tidak akan terganggu karena musim penghujan ini. Sesuatu menarik perhatian Saka, seseorang dengan mimik wajah mengernyit bingung sedang berkutat dengan motor vespanya yang tak bisa ia jalankan. Alana, wanita itu pasti sedang kesulitan. Dan dengan wajah yang sedikit frustasi ia mengadah menatap langit yang t terus menurunkan bulir-bulir air yang menimpa tubuhnya. Tanpa sadar, sudut bibir Saka tertarik dan mulai tersenyum melihat mimik muka Alana seperti itu. Dan tanpa pikir panjang, Saka turun dari mobilnya menghampiri wanita yang terlihat menyedihkan di bawah guyuran air hujan itu.
"Sepertinya kau butuh bantuan ya?" kata Saka membuat Alana langsung menoleh namun saat tahu Saka orangnya, dia hanya mendesah kasar seperti kecewa.
"Alana? Ada apa denganmu?"
"Motorku mogok, yah... Kau bisa lihat sendiri." katanya malas.
"Kau sudah memanggil montir?" tanya Saka.
"Belum, ahh!" Alana tampak cemberut, dan hal itu malah membuat Saka tertawa.
Alana menatap tajam Saka. "Kenapa kau tertawa?" tanyanya ketus.
"Tenang Alana, hujan semakin deras kau mau aku mengantarmu?" kata Saka lembut.
Suara lembut Saka berhasil membuat Alana menatap Saka dengan ekspresi yang tak terbaca. Namun sedetik kemudian, Alana berjongkok lalu menyembunyikan kepalanya. Pundak wanita itu bergetar, dan suara isakan pelan namun terdengar jelas itu membuat Saka panik karena mengetahui Alana menangis tanpa sebab.
Saka ikut berjongkok di sebelah Alana, dengan ragu menyentuh pundaknya yang bergetar. "Alana, ke-kenapa kau menangis?"
Tapi tak ada jawaban, tangis Alana semakin pecah. Membuat Saka kalap mengingat posisinya sekarang berada di pinggir jalan dan sedang turun hujan. Orang yang berlalu lalang menatap mereka aneh sekaligus penasaran, walaupun sebagian dari mereka pada akhirnya memilih untuk tidak peduli tetap saja Saka tidak suka di tatap seperti itu---lebih tepatnya Saka tidak suka menjadi pusat perhatian intinya. Karena mungkin saja orang-orang itu menganggap dialah penyebab Alana menangis.
Dan tanpa pikir panjang, Saka menarik Alana untuk berdiri lalu mengangkat tubuhnya hingga Alana menjerit kecil, Saka tidak peduli. Dia hanya tidak ingin berada di tempat umum dalam keadaan seperti tadi. Saka mendudukan Alana di kursi penumpangnya tak peduli omelan dan protesan Alana yang berisik, ia berputar untuk masuk ke dalam mobilnya lalu mendesah pelan saat ia merasa sudah terhindar dari tatapan-tatapan penasaran orang-orang itu, walaupun karena ulahnya mengangkat tubuh Alana secara tiba-tiba membuat beberapa dari mereka berusaha mendekat mengira Saka adalah seorang penjahat bodoh yang melakukan aksi kejahatannya di siang hari.
"Kenapa kau lakukan ini padaku?!" teriak Alana marah.
"Menjauhkanku dari tatapan aneh yang melihat kita. Kau menangis secara tiba-tiba, dan aku ada bersamamu. Mungkin saja mereka berpikir bahwa aku telah melukaimu atau apapun itu. Oh ya, dan karena di luar hujan." kata Saka tanpa menatap Alana, menyalakan mesin mobilnya perlahan. Tadi dia masih bersabar untuk bersikap lembut pada Alana.
"Hei kita mau kemana?!" Alana kembali mengomel dengan sewot.
"Apa aku terlihat seperti akan menculikmu Alana?" tanya Saka.
Tapi hal itu membuat Alana mendesah keras, memijat pelipisnya yang terasa pening. Lalu menatap kosong ke arah luar jendela mobil Saka yang basah karena air hujan.
"Oke, baiklah bawa aku pergi jauh sejauh mungkin..." bisik Alana bersungguh-sungguh.
Saka mengernyit, wanita ini pasti sedang memiliki masalah atau sedang dalam keadaan mood yang kurang baik.
“Apa pria selalu serumit ini hah? Kenapa sih pria suka sekali terlihat misterius, bermain teka-teki. Apa mereka pikir dengan mereka seperti itu mereka akan terlihat keren? Para wanita akan mendekatinya karena penasaran dengan sikap nya yang seperti itu?” celoteh Alana membuat Saka terdiam tak mengerti.
“eh?”
“aku tahu tidak semua pria seperti itu, tapi kebanyakan ya! Ah tidak, tidak, semua pria di sekelilingku selalu bersikap seperti itu. Mereka selalu bilang jika kami para wanita adalah mahluk terumit yang sukar di mengerti. Tapi apa mereka tidak berkaca hah? Mereka pasti akan menyalahkan kami jika para wanita mengklaim dirinya sebagai mahluk yang paling benar. Tapi sekarang dalam kasusku ini, siapa yang dapat di salahkan hah? Aku benci berurusan dengan seorang pria, sungguh!” kata Alana panjang lebar, dan Saka berperan sebagai pendengar yang baik, menatap Alana dengan penuh minat.
“sudah kau keluarkan semuanya?”
Alana menggeleng dengan wajah memelasnya. “belum, aku---sungguh. Lupakan saja, maaf aku terlalu banyak bicara.”
"katakan saja semuanya jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik.” Kata Saka lembut membuat Alana menjadi merasa malu. Ia telah bersikap berlebihan tadi membuat ia menggosok wajahnya pelan dengan telapak tangannya lalu menghela nafasnya panjang.
Ia terkekeh sebagai jawaban. “yah, ini hari yang menyebalkan bagiku. Sebenarnya sejak kemarin aku sudah merasa sebal. Tapi hari ini puncaknya. Jadi begitulah. Kau mengerti saat wanita dalam periodenya, dia akan seribu kali lebih sensitif. Bahkan jika kau menyentuhnya sedikit saja... Aurrrr!” Alana menggeram membuat Saka sedikit tersentak. “wanita akan menelanmu hidup-hidup.”
Saka mengusap tenguknya dengan prihatin. “aku tahu, wanita memang mengerikan.”
Alana tertawa hambar, perasaannya sedikit lebih baik dibanding sebelumnya setelah mendapat teman bicara.
"Aku sudah menelpon bengkel untuk mengurus motormu, jadi kau tenang saja. Sekarang tinggal katakan kemana kau mau pergi?"
"Aku akan pergi ke redaksi pusat. Ah maaf jadi merepotkanmu ya."
"Tidak apa, sekarang kita teman bukan?" kata Saka.
Pernyataan itu jelas di tanggapi dengan pikiran yang skeptis oleh Alana. Klasik. Ia tidak pernah menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan siapapun. mungkin beberapa orang yang mengenalnya menganggap ia sebagai seorang yang humble dan dapat beradaptasi dengan mudah. Dan sampai saat ini hanya Mikail yang Alana percaya sebagai seorang teman yang merangkap menjadi seorang kekasih untuknya.
Mengabaikan hal itu Alana mulai memperhatikan mobil yang ia tumpangi sekarang. Aromanya terasa feminim untuk ukuran pria maskulin seperti Saka, dan yang lebih menarik adalah hiasan kucing yang sering ia lihat di ruko-ruko besar.
"Kenapa harus kucing itu?" tanya Alana.
Saka terkekeh. "Aneh ya? Aku juga tidak tahu, istriku yang membelinya dan tanpa ijinku menaruhnya disitu."
Alana mengedip-ngedipkan matanya cepat. Istrinya?
"Oh, jadi kau sudah menikah?"
"Ya, aku sudah menikah Alana, usia perkkawinan kami sudah memasuki tahun ke empat."
Alana memanggut-manggut kan kepalanya. “aku baru tahu kau sudah menikah, kupikir kau masih melajang, yah kelihatannya seperti itu.”
Saka terkekeh. “kau tidak pernah bertanya jadi ya aku tidak memberitahumu.”
“ya ya ya. Apapun itu. Aku turun di depan. Terimakasih ya tumpangannya.”
“jangan menangis di pinggir jalan lagi. Oke?” goda Saka saat wanita itu keluar dari dalam mobilnya.
Alana hanya mendelikan matanya sebagai jawaban membuat Saka terkekeh melihat tingkah wanita itu.
tbc