"Apa kau tidak tahu? katanya kucing hitam itu pembawa sial."
"Aku tahu. Tapi itu hanya mitos saja. Aku suka kucing berwarna hitam. Mereka selalu terlihat penuh dengan rahasia yang menarik minat."
Dia mengernyit memperhatikan kucing hitam yang sedang di elus-elus manja oleh lawan bicaranya itu. "Tapi mereka menakutkan..."
"Kau belum tahu saja." katanya misterius, membiarkan kucing yang semula berada di pangkuannya loncat berlari ke halaman belakang.
***
Alana kembali mengecek ponselnya dengan harapan Mikail mengirimkan pesan padanya. Pria itu tidak menghubunginya lagi setelah terakhir memberi kabar jika ia tidak bisa menjemputnya kemarin malam. Lalu tiba-tiba ia teringat pada Saka, sebuah kejutan mengetahui pria itu telah menikah. Diam-diam merasa iri pada wanita yang sekarang menjadi pendamping hidup Saka karena dia adalah wanita yang sangat beruntung. Saka adalah pria pengertian dengan perangai lemah lembut yang di idamkan banyak wanita. Alana mendengus kesal lalu menjitak kepalanya sendiri keras. Mencoba mengenyahkan pemikirannya itu dan mengecek kembali ponselnya walaupun Mikail masih belum menghubunginya.
"Ini bukan saatnya untuk menggurutu dan memikirkan hal yang tidak perlu Nona Alana Katrine Margaretha." sapaan yang tidak ramah itu menyadarkan lamunan Alana dan langsung menatap ke arah suara yang selalu terdengar menyebalkan untuk telinganya itu.
"Berhenti menyebut nama panjangku." kata Alana sinis, pada atasannya sendiri Jonathan.
Joe menatap Alana tanpa ekspresi, berani sekali wanita ini membentaknya. "Apa?"
"Tuan Jonathan Abigail yang terhormat, aku merasa tidak nyaman atas panggilanmu yang menyebut nama panjangku. Jadi kumohon dengan penuh hormat cukup memanggilku Alana saja. Apa kau mengerti?" kata Alana penuh penekanan, suaranya terdengar berdesis dan dengan terang-terangan menatap Joe penuh kebencian.
Joe berdehem. Siapa dirinya berhak mengaturnya?. "Tapi aku suka memanggilmu dengan sebutan itu. Jadi yaa... aku tidak bisa berbuat banyak. Dan aku mohon maaf, sepertinya permohonanmu itu tidak bisa ku kabulkan."
Alana menggeram keras dalam hati, lalu ia melihat kesekelilingnya, karyawan lain tengah menatap perdebatan mereka dengan penuh minat membuat Alana mau tak mau mengalah.
Ia menatap Joe dengan senyum yang dipaksakan. "Baiklah, terserah kau saja Tuan Jonathan yang terhormat, kebahagiaanmu yang utama." kata Alana dengan nada yang rendah.
Joe kembali memasang ekspresi seriusnya. "Kau dibayar disini untuk bekerja dengan baik, bukan untuk menantang atasanmu dan berprilaku sesuka hatimu." desis Joe berbisik menatap tajam Alana seperti mengibarkan bendera perang. Tapi Alana tak mau kalah, ia balik menatap Joe tak kalah tajamnya tanpa rasa takut sama sekali.
Sejujurnya Alana juga tidak tahu kenapa Joe memperlakukannya seperti ini, sejak awal dia lulus interview dan terpilih menjadi karyawan tetap, Joe dengan gamblangnya menatap Alana tidak suka, setiap kesalahan kecil yang ia buat selalu menjadi bahan referensi untuk mempermalukannya. Dan Alana tidak sudi untuk repot-repot bersikap ramah pada pria yang jelas-jelas tidak menyukainya tanpa alasan ini. Membuat Joe marah adalah kebahagian tersendiri untuk Alana.
"Aye, aye mister. I will." kata Alana membungkuk hormat lalu mengambil tasnya dan berlalu pergi meninggalkan Joe yang sedang menatapnya sengit. Alana tentu punya alasan, dia tidak sepenuhnya bersantai, Alana sedang menunggu Andy, partner kameramennya untuk meliput berita yang sudah di tugaskan sesuai wilayahnya. Tapi tentu saja Joe tidak mau mendengar. Dia akan membalas perkataan Alana sampai ia mati kutu. Seperti yang sering ia lakukan...
***
Alana memberenggut, Andy hanya bisa mengantarnya sampai halte setelah meliput beritanya tadi. Pria itu sedang sibuk mengurus persalinan istrinya sedangkan jatah cutinya sudah habis terpakai sehingga dia harus kerepotan membagi waktunya.
Alana kembali menatap layar ponselnya, tapi nihil. Mikail sama sekali tidak menghubunginya membuat ia meremas-remas mantel yang sekarang ia pakai. Memikirkan apakah Mikail akan terus bersikap seperti ini kepadanya? Menjengkelkan bukan? Padahal pria itu selalu menasihatinya agar ia tidak bersikap kekanak-kanakan.
Alana sudah tak ingin memikirkannya lagi. Ia mengambil kunci rumahnya yang selalu ia simpan di dalam pot tanaman di depan pintu rumahnya, tapi ia mengernyit saat tak menemukan kunci itu. Ia mencari ke pot-pot lain walaupun ia sangat yakin ia hanya menyimpan kuncinya di satu tempat. Dan benar saja hasinya nihil, kuncinya tidak ditemukan. Apa ia lupa mengunci pintu nya tadi? Dengan penuh harap, Alana membuka knop pintu rumahnya perlahan. Dan benar saja tidak terkunci! Alana merutuki kecerobohannya sendiri. Akibat kecerobohannya ini pencuri bisa masuk kapan saja dengan mudah.
Saat Alana baru menutup pintunya, tiba-tiba saklar lampu depannya menyala dengan sendirinya membuat ia terperanjat kaget.
"Happy bhirtday sayang..." suara serak yang diam-diam Alana rindukan itu terdengar menggema di rumahnya.
Mikail disana dengan kemeja kerjanya yang sudah dilinting, rambutnya terlihat berantakan namun tidak menurunkan kadar ketampanannya. Alana masih diam mematung menatap Mikail. Terkejut? Kaget? Senang? Sedih? Atau marah? Alana tidak tahu perasaannya sekarang. Tapi air matanya jatuh juga. Dan Alana merutuki kebodohannya yang entah kenapa membuat ia merasa sangat sensitif sekali.
Melihat itu Mikail langsung menyimpan kue tartnya lalu menuju Alana yang masih berada di ambang pintu. Dan sebagai naluri lelaki Mikail memeluk tubuh Alana.
"Jahat... Kau jahat." isak Alana.
Mikail tersenyum tipis, lalu mengelus rambut panjang Alana. "Maaf ya, aku memang sengaja."
"Tapi... Aku tidak suka" racau Alana yang masih berada di pelukan Mikail.
"Ini harimu, jangan sedih lagi ya. Tapi kejutanku berhasil kan?"
"Dasar menyebalkan!" kata Alana bersungut-sungut, tapi Mikail menanggapinya dengan kekehan khasnya.
"Hanya sehari Alana, tadinya aku berniat melakukan ini dari satu minggu yang lalu." kata Mikail tanpa wajah berdosa sedikitpun.
Alana memberenggut lalu mencubit punggung lengan Mikail keras membuat pria itu mengaduh melepaskan pelukannya.
Alana berlari ke tempat kue tart yang tadi Mikail bawa. "Jadi apa hadiah untukku?"
Mikail tersenyum, lalu berjalan kembali mendekati Alana sambil merentangkan kedua tangannya. "Aku."
Jantung Alana tiba-tiba berdetak kencang, seketika ia dilanda perasaan gugup yang sangat. Tapi Mikail tetap berwajah tenang. Seakan tidak menyadari efek apa yang ia lakukan pada Alana.
"Apa sih," dengus Alana mencoba bersikap biasa saja.
Mikail terkekeh lalu ikut duduk bergabung bersama Alana.
"You broke my heart." kata Mikail dengan wajah pura-pura sedih.
"Aku hadiahmu, dan kau tidak terkesan?" tanya Mikail masih dengan wajah pura-pura sedihnya.
Alana menggeleng. "No, kenapa aku harus terkesan?"
Mikail menarik pipi Alana agar menatap padanya. "Yakin tidak terkesan?"
Alana menggeleng keras, "tidak, tidak, tidak."
Dengan sengaja Mikail mendekatkan wajahnya ke wajah Alana membuat gadis itu melotot gugup "tapi wajahmu memerah..." bisik Mikail.
Alana mencibir, "kau pintar sekali menggodaku, ingat ya aku masih marah padamu."
Mikail mengecup ujung hidung Alana lembut, lalu mengecup kedua pipinya cepat, dan yang terakhir Mikail mengecup bibir Alana, sedikit lama dibagian itu, membiarkan bibir mereka berdua basah oleh kecupan Mikail.
"Masih tetap marah?"
Wajah Alana kian memerah sudah tak tahu lagi bentuknya seperti apa. Yatuhan, dia seperti remaja yang sedang kasmaran saja.
"Aku mau hadiahku..." rengek Alana.
Mikail tersenyum simpul, lalu mengeluarkan kotak kecil dengan kertas kado berwarna hitam namun bercorak bintang-bingtang.
Mikail menjepit hidung Alana manja. "Cerewet sekali."
Dengan mata yang berkilat-kilat Alana mengambil kotak itu lalu membukanya perlahan, seketika Alana terkejut dengan apa yang Mikail beri untuknya.
"Mikail... Ini..."
"Yah. Kau suka?"
Alana mengangguk, tak dapat berkata-kata lagi. "Tapi ini sangat indah..."
Cincin berbentuk bintang yang penuh dengan berlian disekelilingnya membuat cincin itu tampak seperti bintang sungguhan.
"Sebenarnya... Aku, aku tidak tahu bagaimana mengucapkan. Tapi cincin itu tadinya---" Mikail menelan ludahnya sendiri tampak gugup.
"Tadinya akan kuberikan saat melamarmu, jadi menikah denganku ya?" kata Mikail cepat lalu ia menutup kedua telinganya. Menunggu reaksi Alana yang masih mencerna kata-kata Mikail.
"Kau harus katakan ya!" kata Mikail membuat Alana tertawa keras.
"Kau ini!" kata Alana lalu memeluk tubuh Mikail.
"Ya, aku mau menikah denganmu..." kata Alana lirih walaupun ia sendiri tidak tahu apa ini adalah keputusan yang tepat karena entah kenapa ia masih merasa ragu, tapi... bersama Mikail, Alana pikir ia tidak perlu mengkhawatirkan apapun apalagi merasa ragu.
Mikail menghembuskan nafas lega. "Yes!"
Mereka bertatapan untuk beberapa saat sampai bibir itu saling menaut. Menyalurkan perasaan cinta mereka masing-masing.
***
Tbc