Glow in The Dark

1175 Words
Mereka sama sekali tidak risih dengan diamnya mereka satu sama lain, masing-masing sibuk dengan pemikirannya sendiri. Menatap ke atas langit malam yang kebetulan sedang menampakan keindahannya. Sambil berbaring di halaman belakang tempat mereka bermain. Langit yang penuh dengan taburan bintang. "Kau tahu apa istimewanya bintang-bintang diatas sana?" Pupil matanya membesar, tiba-tiba tertarik dengan pembicaraan yang akan dibahasnya. "Tidak memangnya apa?" "Mereka hanya akan terlihat saat langit sudah gelap." "Hmm hanya itu?"                                                                "Kau pernah dengar kan, kegelapan selalu berdampingan dengan cahaya?" "Ya, kau akan katakan bahwa cahaya itu bintangnya kan?" Dia tersenyum misterius. "Benar, tapi bukan itu intinya." "Lalu?" "Bagaimana mereka bertahan dalam kegelapan." *** Alana tidak menemukan Mikail disebelahnya setelah semalam, acara lamaran yang singkat namun berkesan itu mereka memilih untuk tidur bersama karena mereka cukup kelelahan setelah melewati hari mereka yang benar-benar penuh dengan kesibukan. Alana meregangkan tubuhnya, lalu berjalan kearah cermin menatap pantulan bayangannya sendiri. Lalu pandangannya beralih pada jarinya, jari manisnya yang kini tidak kosong lagi. Alana tersenyum kecil. Oh tuhan! Dia masih tidak menyangka. Mikail semalam melamarnya, memintanya untuk mau dinikahinya. Apa semalam hanya mimpi? Alana keluar dari kamarnya, berharap Mikail masih berada disini. Tapi rumahnya kosong, hanya ada dirinya seorang diri disana. Setelah menemukan sebuah note kecil yang Mikail tempel di lemari pendinginnya. Maaf tidak memberitahumu secara langsung, tapi aku sangat terburu-buru, pekerjaanku masih menumpuk dan aku tidak tega membangunkanmu. Akan kuhubungi saat urusanku sudah selesai ya! Jangan lupa mengunci pintu rumahmu! ❤ Mikail yang mencintai si nona tukang marah. Xoxo Alana terkekeh sendiri membaca note yang Mikail tulis. Dasar. Mikail selalu tahu bagaimana cara mengubah moodnya. Tiba-tiba ponselnya berdering, Alana buru-buru mengambil ponselnya yang masih berada di dalam tasnya. Tanpa melihat siapa yang menelpon Alana segera mengangkatnya. "Halo?" "Dengan Nona Alana?" "Ya dengan saya sendiri." "Oh, ya motor anda sudah bisa diambil di bengkel kami hari ini jam satu siang." "Eh, iya?" Motor? Seketika Alana langsung teringat dengan motornya yang kemarin mogok dan juga pertemuannya dengan Saka. Ia langsung terkekeh pelan karena bisa-bisanya ia melupakan hal itu. “oh iya, saya akan segera ke tempat anda secepatnya.” *** Alana menyalami seorang pria gondrong dengan wajah yang berlumuran dengan oli, namun penampilan kotor pria itu sama sekali tidak menutupi ketampanannya. Malah kalau Alana lihat, pria ini satu-satunya yang paling mencolok, warna matanya yang berwarna biru, sebiru samudera yang Alana yakini bukan berasal dari kontak lensa itu membuat pria ini terlihat menarik. Hanya saja... Pria itu jelas bukan tipe Alana, dan yang sudah pasti, umur pria itu jauh di bawahnya karena pria itu terlihat seperti seorang anak-anak yang baru lulus SMU. "Oh kau pasti nona Alana. Motor vespamu sudah bisa diambil." katanya ramah. Alana mengangguk sambil tersenyum. "Jadi, berapa biaya perbaikan motorku ?" Pria itu menggeleng, "kau tidak perlu membayarnya. Kemarin saat Saka menelponku, tidak lama kemudian dia sudah mentransfer biaya perbaikan motormu, kali ini kau hanya tinggal mengambilnya saja." dia menjelaskan dengan santai, tidak peduli dengan respon Alana yang tergagap akan hal itu. "Eh?" Pria itu kembali tersenyum ramah, lalu tanpa terduga mengulurkan tangannya ke arah Alana. "Aku Kevin. Pemilik bengkel ini." Pemilik bengkel? Perkiraannya benar-benar meleset, tadi Alana pikir pria ini hanya bocah ingusan yang kebetulan tampan menjadi pegawai biasa di bengkel ini, tapi kenyataannya ia salah besar. Karena belum sepenuhnya sadar, dengan konyolnya Alana terkesiap lalu menerima uluran tangan Kevin. "A-lana." katanya gugup. "Kau pasti teman dekat Saka. Dia selalu bersikap tertutup setelah pernikahan misteriusnya." kata Kevin lalu membawa Alana yang Alana yakini tempat kerjanya. Tapi ia hanya menurut, tiba-tiba merasa tertarik dengan apa yang akan dibicarakannya. "Kau? Memangnya apa hubunganmu dengan Saka?" Alana bertanya langsung, pria ini kelihatannya mengetahui banyak tentang Saka. Kevin terkekeh, lalu sedetik kemudian ekspresinya serius. Mata birunya seperti samudera yang ingin menenggelamkan siapapun yang mendekat.  "Teman? Kerabat? Entahlah, aku tidak tahu hubungan apa yang tiba-tiba membuat kami dekat. Dia adalah detektif aneh yang terus mengejarku untuk menguak kasus kematian ayahku. Awalnya aku membencinya, aku pikir pria seperti dia sama saja. Mencari tahu itu semua hanya untuk kepentingan pekerjaannya dan untuk media. Tapi dia tidak seperti itu, dia datang untuk membantu." jelas Kevin. Ekspresinya masih tidak terbaca, dan Alana langsung menerima penjelasan itu. Saka memang tulus dalam melakukan apapun, dan dia juga pasti seorang yang sangat mencintai pekerjaannya . Tapi kenapa dia mengatakan ini kepadanya? "Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku membicarakan ini padamu." kata Kevin seakan dapat membaca pikiran Alana. "Hmm?" "Aku hanya tidak menyangka bahwa ia dapat bersosialisa dengan lawan jenis juga." Kevin berkata misterius. "Memangnya kenapa?" tanya Alana tertarik. "Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Aku tahu dia sangat bahagia, aku bisa melihat dari pancaran matanya, caranya berbicara. Tapi saat Saka membawa Sabrina menemuiku, kebahagiaan itu terasa kosong." Sabrina? Nama itu, terasa familiar untuknya "Eh, kosong? Apa... Maksudmu?" Alana bertanya pelan, walaupun nalurinya mengatakan untuk segera mengakhiri pembicaraan ini. "Kebahagiaan itu hanya palsu, kau tahu setiap orang ahli dalam berpura-pura. Ya kan?" Alana menggeleng tidak mengerti dengan arah pembicaraan Kevin. "Maaf Kevin, tapi aku tidak mengerti, lagipula aku bukan siapa-siapa Saka, kami hanya baru sebatas kenalan dan kebetulan dia datang untuk membantu kemarin." "Yah, dia juga datang untuk membantuku saat itu." Alana mengernyit, semakin tidak mengerti. "Oh ya aku harus segera mengambil motorku." kata Alana ingin cepat-cepat mengakhiri pembicaraan ini. "Maaf, membuatmu tidak nyaman dengan perkataanku. Aku memang selalu seperti ini, kuharap kau mengerti." kata Kevin tenang, memberikan Alana senyum ramahnya. "Tidak apa, aku mengerti." kata Alana dengan senyum kaku. Kevin mengantarkan Alana untuk membawa kembali motornya. Pria itu tidak banyak bicara lagi, sampai Alana pergi dengan pikirannya yang berkecamuk menerawang jauh. *** Alana terkesiap, saat melihat pria itu. Ia bahkan menghentikan langkahnya saking kagetnya. Saka disana, sedang bercengkrama dengan Joe, mereka terlihat akrab. Dan Alana tidak tahu apa yang harus di lakukannya saat melewati jalan mereka. Sampai mata yang memancarkan keteduhan itu menatapnya, dan bibirnya mengukir senyum membuat Alana sedikit salah tingkah. "Alana." panggil Saka. Alana tersenyum kaku. Sebenarnya ia hanya malas karena Joe juga berada disana. Joe mengernyit. "Kau mengenalnya?" "Aku pernah bertemu dengannya saat dia sedang bekerja di lapangan." jelas Saka singkat. Joe berdehem, "oh..." katanya seakan tidak peduli. Alana menghampiri kedua pria itu, dan dengan sopan memberi senyum ramahnya untuk Joe. "Selamat siang Pak. Halo Saka, sedang apa kau disini?" tanya Alana berbasa-basi. Benar-benar tidak menyenangkan bertemu saat situasi formal seperti ini. "Aku sedang ada urusan bersama bosmu." jelas Saka. Alana mengangguk, lalu tatapannya beralih pada Joe yang sedang menatapnya dengan pandangan sinis sampai akhirnya ponsel Joe berbunyi, ia memohon maaf untuk permisi sebentar menjawab teleponnya di tempat lain meninggalkan Alana dan Saka yang masih berdiri canggung. "Apa kau sudah mengambil motormu?" tanya Saka membuat Alana tanpa sadar teringat. "ya, aku baru saja membawanya tadi. Terimakasih ya, nanti kirimkan nomor rekeningmu. Akan kuganti uang perbaikan motorku.” "Tenang saja Alana, tidak perlu mengkhawatirkan itu. Sebagai gantinya bagaimana dengan mengtraktir kopi nanti malam?" Saka menawarkan dengan senyum lembutnya seperti biasa. "Baiklah, jam delapan di cafe kemarin kita bertemu ya." Alana tersadar saat Joe kembali, dan saat menatap tatapan sinisnya, membuat Alana ingin cepat-cepat pergi dan segera pamit meninggalkan dua pria dengan ekspresi wajah yang berbeda saat menatapnya. tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD