Saka sudah berada disana, persis berada di tempat duduk mereka berbincang lusa kemarin. Cafe ini memang selalu penuh pengunjung, tapi para pengunjung itu kebanyakan menghabiskan waktunya untuk membaca, duduk diam berjam-jam di depan laptop, dan juga berbincang santai dengan suara yang pelan hingga cafe ini benar-benar nyaman untuk ditinggali berjam-jam sekalipun.
"Saka, sudah lama menunggu ya?" sapa Alana.
Saka tersenyum lebar mengetahui Alana datang. "Tidak, aku juga baru sampai." jawabnya lembut.
"Hmm begitu, mau langsung pesan?" tawar Alana.
Saka terkekeh. "Yah boleh."
Alana memanggil waiters cafe tersebut . "hm, aku pesan iced white coffee hazelnut dengan ice cream chocolate ya. Dan kau Saka?"
"Aku pesan black coffee tanpa gula."
Waiters itu mengangguk lalu pergi untuk membuat pesanan mereka.
"Jadi ice cream?" tanya Saka sambilterkekeh.
Alana mengangkat kedua bahunya. "Sedang ingin saja. Hawanya terasa panas malam ini."
"hmm... Jadi bagaimana harimu?" tanya Saka mencoba memulai pembicaraan.
"Oh," Alana sedikit terkejut dengan pertanyaan Saka. Namun sedetik kemudian, Alana mencoba memilah maksud dari pertanyaan Saka. "aku di lamar!" Alana memperlihatkan cincin pemberian Mikail dengan wajah penuh bangga.
“wow benarkah? Selamat Alana! Senang mendengarnya. Jadi pria rumit itu pada akhirnya tetap memenangkan hatimu ya?” Goda Saka dengan senyum usilnya.
Alana menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal itu karena malu. “ah! Berhenti mengolok-ngolokku! Dan bagaimana dengan harimu?" kali ini Alana yang bertanya lebih tepatnya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Aku baik-baik saja, istriku sedang dalam perjalanan liburan, aku hanya sedang kerepotan untuk memasak sarapanku." Saka terkekeh menganggap hal itu adalah lelucon baginya.
"Apa kalian sudah memiliki anak?"
Saka menggeleng. "Kami masih betah berdua saja untuk saat ini."
Pipi Alana memerah, sialan setelah memahami maksud yang Saka bicarakan--itu tentang keintiman suami istri.
Alana berdehem sambil mencoba berekspresi biasa aja. "Oh ya, tadi siang aku bertemu dengan Kevin, pemilik bengkel tempat motorku diperbaiki itu. Kalian sudah sangat dekat ya?" dan akhirnya Alana mendapat bahan untuk mengalihkan pembicaraan.
"Ah pria itu, ya kami memang sudah mengenal lama. Dia menderita disleksia, jadi jangan terlalu hiraukan jika dia sempat membuatmu bingung."
"Disleksia?"
"Ya. Penyakit kesulitan berbicara, dan mengeja bacaan."
Alana menggeleng tidak setuju. "Tidak, tapi dia lancar berbicara saat bersamaku."
Saka mengangguk "dia sudah menjalani beberapa terapi dan juga penyembuhan dengan psikiaternya. Tapi sebagai gantinya, dia jadi sering berbicara melantur. Berbicara langsung apa yang dipikirkannya."
Alana mengernyit. Benarkah apa yang dikatakan Kevin tadi hanya melantur saja? "Aku pikir bukan melantur, tapi dia menjadi lebih peka."
Pelayan itu datang membawa pesanan mereka membuat pembicaraan mereka terhenti. Setelah mengucapkan terimakasih, mereka kembali saling memandang.
"Aku tidak tahu pasti apa dia melantur atau seperti yang kau bilang bahwa dia lebih peka, aku pikir dia jadi sedikit menakutkan akhir-akhir ini." Saka berbicara sambil mengaduk kopinya, memandang kepulan asap yang berasal dari kopi tersebut tapi tak meminumnya.
Kali ini Alana setuju, walaupun baru pertama kalinya bertemu Kevin. Pria itu memang sedikit menakutkan.
"Sudah berapa lama kalian mengenal?"
"Sudah lama, bahkan sebelum aku menikah. Ayahnya meninggal secara misterius, kau tahu apa alasannya? Jatuh dari tangga, dengan luka jerat di lehernya dan juga luka lebam bekas pukulan di sekitar tubuhnya. Apa itu masuk akal?" wajah lembut dan tenang Saka benar-benar berubah menjadi serius, wajah yang tidak pernah Alana lihat sebelumnya.
Alana menjawab dengan gelengan sambil menyuapkan hidangan ice creamnya.
"Tapi semuanya benar-benar bersih, tidak ada sidik jari, tidak ada hal apapun yang menjadi bukti pembunuhan, bahkan jasadnya memang ditemukan di bawah tangga pagi itu. Sampai aku bertemu dengan Kevin untuk memintainya keterangan, dia pria bertubuh kurus, memiliki warna mata terang yang penuh ketakutan, ah dan juga gugup." Saka menceritakan dengan caranya sendiri, Alana bahkan merasa ia tidak berkedip saat ini.
"Aku pikir warna matanya terlalu gelap, kau tahu sebiru samudera. Semakin dalam semakin gelap." Alana memberikan opininya, ya mungkin warna matanya memang terlihat mencolok. Karena tiba-tiba saja Alana bergidik mengingat tatapan Kevin yang seperti akan menenggelamkannya tadi.
Saka tersenyum tipis. "Yah, mungkin. Aku tidak pernah memperhatikannya sedalam itu."
"Jadi, bagaimana dengan kasusnya?"
"Dia di jadikan tersangka untuk sementara, banyak bukti yang mengarahkan bahwa dia memang membenci ayahnya hingga melakukan rencana pembunuhan. Saat itu hanya tinggal dirinya, pembantunya dan ayahnya di rumah itu. Tapi menariknya Kevin sangat jenius. Dan aku tahu dia bukan pembunuh." Semua yang Saka katakan menarik perhatian Alana, tidak ada sedikitpun yang ia lewatkan.
"Sebenarnya kasus ini sangat sederhana, Kevin yang memiliki kekurangan, berperilaku aneh dan tertutup itu terlihat sangat mencurigakan. Dan yang menguatkan ia sebagai tersangka adalah buku harian miliknya yang banyak menuliskan curahan hatinya tentang kebencian, amarah, dan juga pemberontakan terhadap ayahnya yang selalu bersikap kasar padanya karena malu memiliki anak yang memiliki kekurangan mental sepertinya."
"Bagaimana dengan ibunya? Apa mereka hanya tinggal bertiga?"
"Sshh, aku tidak tahu pasti. Setiap aku menanyakannya Kevin seperti menutupinya, yang aku tahu orangtua Kevin bercerai sejak Kevin masih kecil." Saka mengangkat kedua bahunya seakan tak yakin dengan apa yang ia ucapkan sendiri.
"Apa hanya buku diary nya itu bisa menjadi bukti bahwa Kevin benar-benar membunuh ayahnya sendiri?" Alana sudah benar-benar larut dalam diskusinya bersama Saka malam ini.
Saka berdehem pelan, siap untuk menceritakan kelanjutannya. "Kau harus membacanya, di buku diary itu Kevin menuliskan keinginan besarnya untuk membunuh ayahnya, em tidak-tidak bahkan hampir disetiap lembar buku itu hanya berisi tentang kebencian Kevin pada ayahnya juga cara-cara cemerlang untuk membunuh ayahnya. Kevin akan melakukan apapun untuk menyingkirkan ayahnya."
Alana menggigit sendok eskrimnya sambil berpikir. "Hm, kau bilang mereka tinggal bertiga dengan seorang pelayannya. Apa dia tidak termasuk tersangka?"
Sudut bibir Saka berkedut. "Tepat, tapi sayangnya pelayan itu hanyalah seorang wanita tua yang telah mengabdi menjadi pelayan rumah itu sebelum Kevin lahir sekalipun."
Alana menggeram tidak sabar. "Oh ayolah, memangnya alasan usia menjadi penghalang untuk membunuh? Jadi siapa pembunuhnya disini?" Alana bahkan tidak sadar bahwa volume suaranya membuat hampir seluruh pelanggan di cafe itu menatapnya aneh.
Saka tersenyum malu sambil mengisyaratkan pada Alana untuk menstabilkan volume suaranya menutup mulutnya dengan telunjuknya agar tidak terlalu bising.
"Tidak ada pembunuh."
Alana mengernyit. "Jadi dia benar-benar mati karena jatuh dari tangga?"
"Dan tidak ada yang jatuh." Saka kembali menyeruput kopinya. Ekspresi Alana benar-benar membuatnya terhibur.
"Oh aku bisa gila," Alana memberenggut sambil menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal itu. "oke oke. Tidak ada yang membunuh, tidak ada yang jatuh dari tangga, hanya ada yang meninggal dengan luka jeratan dan luka lebam di sekujur tubuhnya. Dia meninggal secara ghaib, begitu?"
Saka terkekeh pelan. "Bukan Alana, bukan. Dia tidak meninggal secara ghaib, jeratan di lehernya, dan juga luka lebam di sekujur tubuhnya itu adalah perbuatannya sendiri."
"Maksudmu?"
"Luka-luka lebam di tubuhnya itu adalah bekas pukulan para rentenir karena ia tidak dapat membayar hutangnya, dan luka jeratan di lehernya itu adalah percobaan bunuh dirinya yang gagal. Lalu dalam kondisinya yang lemah ia loncat dari lantai dua rumahnya hingga jatuh tepat di bawah tangga sehingga ia terlihat seperti seorang yang terbunuh karena jatuh."
Dia datang untuk membantu.
Perkataan Kevin terngiang di benak Alana, apa karena hal itu Kevin mengucapkan perkataan itu padanya?
"Begitu, tapi... Tetap saja, aku pikir masih ada sesuatu yang menjanggal.’’ Alana bergidik memikirkannya, memangnya apa lagi alasannya?
"Kau tahu Alana? Saat satu misteri terpecahkan, seribu misteri lainnya masih menjadi rahasia." suara Saka lebih terdengar seperti gumaman, wajahnya berubah tanpa ekspresi yang tak terbaca, jauh dari gapaian Alana.
"Kau, kau juga seperti rahasia untukku." Alana berbisik, tiba-tiba saja tidak sadar mengucapkan hal itu.
"Apa?"
Alana tersadar, ia menggeleng keras secara reflek. "Tidak. Bukan apa-apa, ja-jadi setelah itu kalian menjadi dekat, begitu?"
Saka berdehem pelan. "Tidak bisa dibilang dekat, Kevin bukan orang yang mudah ditebak. Kami hanya teman biasa dan saling menghubungi sesekali atau seperti saat kemarin aku membutuhkan bantuannya sebagai montir."
Alana mengangguk mengerti. Perasaannya lega, karena kelihatannya Saka tidak mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya sebelumnya. Tapi benarkah mereka hanya teman biasa? Padahal Kevin menceritakan Saka seperti seorang yang sudah saling mengenal satu sama lain sejak lama.
"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu Alana?" Saka kembali mengganti topik.
"Sejauh ini baik-baik saja, walaupun kau tahu, aku sedikit terganggu dengan atasanku yang sangat menyebalkan, pemarah, dan juga argh dia benar-benar membuatku jengkel."
Saka mengernyit. "Apa itu Jonathan?"
Alana mengangguk. "Ah! Aku lupa kalau kalian saling mengenal, ck." Alana lalu memperhatikan Saka dengan ekspresi meniliknya. "Hm, tapi aku percaya padamu Saka, kau bukan pria bermulut ember." Kata Alana sambil tertawa.
"Hei, hei jadi kau meragukanku bahwa aku akan membocorkan rahasiamu begitu?" Saka memasang wajah pura-pura terluka.
"Tidak, bukan begitu. Akhir-akhir ini banyak sekali pria yang suka bergosip."
Saka tertawa, keras. Sebenarnya lebih terkejut dengan apa yang dipikirkan Alana itu. Pria yang suka bergosip?
"Alana, apa aku terlihat seperti seorang pria yang suka membuang-buang waktunya untuk bergosip?"
Alana mengusap wajahnya kasar. "Bukan Saka, bukan maksudku. Aku hanya-Ah sudahlah lupakan."
Saka terkekeh. "Jadi Jonathan membuatmu jengkel heh?"
Alana mengangguk sambil memberenggut, suasana hatinya berubah muram saat membahas pria sinting itu. "Aku tidak tahu kenapa dia bersikap seperti itu padaku, dari awal aku lulus interview dia selalu menatapku dengan tatapan benci. Apa mungkin aku berbuat kesalahan yang tidak aku sadari?"
Saka mengangguk akhirnya mengetahui siapa wanita yang Jonathan ceritakan tempo hari.
"Kau harus tahu Alana, benci dan cinta itu berbeda tipis, bisa saja Jonathan menyukaimu dengan memberi sinyal seperti itu."
Alana melotot, ia bahkan sampai tersedak mendengarnya. Cinta dia bilang? Kali ini Alana yang terbahak keras.
"Yang benar saja Saka, aku dengar dia itu gay dan mana mungkin dia menyukai wanita sepertiku."
"Gay?"
Alana mengangguk. "Aku pikir itu benar, selama ini ia tidak pernah terdengar menjalin hubungan dengan wanita manapun, bahkan dalam acara-acara penting dia selalu datang sendiri."
"Hei, kau menuduhku sebagai pria yang suka bergosip , tapi kau ternyata wanita yang suka mendengarkan gosip."
"Aku tidak! Lagipula ini bukan gosip, seluruh karyawan juga tahu!" Alana cepat-cepat menyanggah.
"Hmm... Benarkah?" Saka menyipitkan matanya, menggoda Alana yang kina wajahnya tengah merah padam.
"Oh ayolah, jangan tatap aku seperti itu."
Saka tertawa, hari ini mereka semakin merasa akrab. Bahkan Alana melupakan bahwa pria dihadapannya ini sudah memiliki istri. Mereka kembali membicarakan topik-topik lain yang penuh dengan tawa, sekalipun cerita itu terdengar hambar bagi beberapa orang dengan selera humor yang rendah.
“apa kau bahagia Saka?” tanya Alana tiba-tiba.
“Maksudmu?”
“maksudku hmm, apa ya aku menyebutnya...” Alana menggigit bibirnya tanpa memandang ke arah Saka yang saat ini terlihat begitu penasaran dengan apa yang akan Alana bicarakan.
“apa yang paling kau takutkan di dunia ini Saka?”
Saka terkekeh tanpa alasan, tidak langsung menjawab apa yang Alana tanyakan padanya. “Aku takut pada waktu.” Jawab Saka dengan senyum misterius,
“Kenapa?”
Saka mengubah posisi duduknya, kini menatap Alana dengan serius masih dengan senyuman misteriusnya. “Sekarang aku tanya, apa yang paling kau takutkan di dunia ini?”
Alana menaikkan sebelah alisnya, alih-alih tidak mendapat jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan sebelumnya, pria itu malah berbalik bertanya padanya. “aku takut sendirian.” Jawab Alana pada akhirnya.
“Kenapa?”
Alana mengernyitkan keningnya, lalu ia tertawa dan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
“Kebanyakan ketakutan yang kita rasakan selama ini tidak pernah beralasan. Benar kan? Ketakutan hanya sebuah sugesti semu di balik ke realistisan yang membosankan, rasa dari buah pikiran kita sendiri. Tapi apa selalu yang kita lewati adalah darimana semua gagasan itu berasal? Apa kau mengerti maksudku Alana?“
“apa yang kau lakukan untuk mengatasi rasa takutmu itu?”
Saka berdecak. “sejujurnya aku sudah tidak merasa takut lagi sejak lama. Tapi entah kenapa hal itu tidak membuatku merasa senang.”
“Kenapa?”
Sudut bibirnya berkedut, sengaja menggantung jawabannya untuk membuat rasa ingin tahu Alana semakin besar.
“beberapa orang sepertiku membutuhkan rasa takut sebagai tanda bahwa mereka masih waras.”
Iris mata mereka saling memandang dalam satu simetri yang sama untuk beberapa saat. Seperti sebuah dejavu. Alana memang tidak pernah mengalami kejadian seperti ini bersama Saka sebelumnya, sebuah perasaan yang tiba-tiba saja mengingatkannya pada suatu momen dimana ia merasakan hal yang sama di hari itu, sudah lama sekali...
tbc