Aku pikir aku punya kekasih.
Yang akan berlanjut menjadi suami.
Ternyata posisimu hanya beralih.
Dari orang yang aku paling kasihi.
Menjadi orang yang paling aku benci.
Masih dengan emosi Adam kembali berjalan ke arah depan, dimana para tamu masih menunggu.
Ia tak heran tamunya bingung. Ia pun sebagai tuan rumah tak mengerti jalan pikiran putrinya, Fiola.
"Maaf sebelumnya atas suasana yang tidak meng-enakkan." Adam menatap tak enak hati, terutama pada calon besannya.
Lalu ucapannya terhenti ketika melihat Dewa datang dari luar bersama Fiona yang terlihat berwajah sembab.
Fiola, kamu benar-benar keterlaluan! Tidakkah kamu tahu saudarimu bahkan masih berduka.
"Hmmmm Dewa, Fiona. Duduklah. Ayah mau bicara sebentar. Sini Nak," panggil Adam pelan.
Fiona duduk tanpa banyak bicara, begitupun Dewa. Mereka duduk berdampingan.
"Sekali lagi maaf. Maaf atas ketidaknyamanan hari ini. Saya sudah bicara secara pribadi pada putri saya Fiola Mutiara. Dan barusan Fiola sudah jujur mau mundur dari acara ini, karena ia naik jabatan di kantornya. Maaf nak Dewa." Adam menghela napas panjang.
Sementara Ibunda Dewa mengernyit heran, begitupun Ayahnya Dewa.
Jadi Fiola lebih mementingkan jabatannya daripada putra mereka? Terlalu sekali.
Lalu mata Adam berubah sendu melirik ke arah putrinya Fiona.
"Fiona sayang. Tolong kami nak. Jangan buat kami kehilangan muka hari ini. Tolong terima lamaran Dewa hari ini. Ayah dan Ibu merestui kamu menggantikan posisi Fiola."
Fiona mengangkat wajahnya yang bersimbah air mata.
Bukan karena terkejut atas permintaan sang ayah. Tapi karena dosa yang teramat besar, yang telah ia sembunyikan selama ini.
"Tapi ayah," isaknya.
"Tolong Ayah, Fiona. Ayah tahu kamu masih berduka atas kematian Dafa. Cobalah mengerti posisi kami sekarang, Nak."
Adam mengerti bagaimana perasaan seorang lelaki yang telah mempersiapkan hampir sembilan puluh persen persiapan pernikahannya, jika ternyata calon istrinya lebih mementingkan karirnya.
"Pak Adam sudahlah, jangan dipaksa. Jika memang Fiona tak mau." Ucapan Erna ibu dari Dewa membuat Dewa tersentak.
"Bu, Fiona pasti bersedia. Bukan begitu Fiona?" Tatapan Dewa seolah mengharapkan Fiona menjawab iya.
Semua yang hadir seolah merasa iba pada Dewa dan Fiona. Mereka terlihat seperti korban dari keegoisan Fiola.
Fiona menatap Dewa sesaat. Tatapan memohon ia dapatkan di sana. Lalu Fiona menatap kedua orang tua Dewa dengan ragu.
Lalu saat melihat wajah Ayahnya yang terlihat putus asa, Fiona akhirnya mengangguk.
Helaan napas lega terdengar dari yang hadir di sana. Dewa bahkan menyunggingkan senyum, bahkan tanpa ragu meraih telapak tangan Fiona yang dirasakan terlalu dingin saat ini.
"Terima kasih," ucap Dewa.
"Terima kasih Fiona. Terima kasih karena sudah menyelamatkan muka kami nak." Adam bahkan menghapus kedua matanya.
"Ayah berharap kalian berdua bisa saling lebih mengenal. Ayah yakin kalian berdua bisa bahagia dengan restu dari Ayah dan juga Ibu."
Jika semua orang menghela napas lega, tidak demikian dengan Eva.
Demi Tuhan, dia seorang ibu. Naluri keibuannya menyuarakan protes atas apa yang terjadi.
Seolah putrinya yang satu sumber masalah. Ia mengenal putrinya, tak mungkin Fiola berbuat seperti ini jika tidak ada alasan.
Dia tidak terima jika salah satu putrinya di pandang sebelah mata, sekalipun telah berbuat salah.
Seumur hidup Eva membesarkan kedua putrinya dengan tangan halusnya. Tak pernah ia melihat kedua putrinya berubah aneh, kecuali sejak tadi pagi.
Ya, saat pagi Eva sudah menaruh curiga. Tatapan Fiola dan Fiona seolah menyiratkan ada sesuatu yang terjadi. Entah apa, Eva masih meraba.
"Jika memang semua sudah tak ada masalah, kita bisa langsung membicarakan tanggal pernikahan secepatnya." Adam tampaknya sudah tak mau menunggu lama.
Ia takut Fiona berubah pikiran, mengingat putrinya itu baru kehilangan kekasihnya enam bulan lalu.
**
Fiola sudah berganti pakaian. Dan sudah menyiapkan semuanya.
Ia tinggal menanti jemputan sesuai jadwal.
Tampaknya acara di depan sudah selesai. Air matanya pun sudah kering.
Semoga, semoga ini air mata terakhirnya untuk lelaki b******k itu.
Yang b******k bukan hanya Dewa. Semua tidak akan terjadi jika Fiona tidak menyambutnya.
Ucapan Ami masih terngiang di telinganya.
**
Sebuah mobil berhenti di depan rumah Pak Adam.
Seorang wanita turun dari mobil dan melangkah ke dalam rumah, tempat yang dulu sering ia datangi kala bermain bersama si kembar.
Syukurlah, tampaknya lamaran ondel-ondel sudah selesai. Pikirnya.
Ia mencoba meramahkan wajahnya, karena aslinya ia ingin sekali mengamuk di rumah ini. Sayang, acara mengamuknya tidak mendapat izin dari pemilik rumah. Andai di izinkan, ia dapat memastikan jangan kata lamaran, mungkin lelaki bernama Dewa itu bisa habis dibantai oleh Pak Adam.
"Selamat siang," sapanya.
"Ami? Kok baru datang? Sini masuk Nak."
Eva mengenali gadis yang baru datang adalah Ami, sahabat dari kedua putrinya. Walau makin lama, Ami lebih menjadi sahabat Fiola di banding Fiona.
Ami melihat ke arah dalam rumah. Tampak Pak Adam duduk masih menengadahkan wajahnya ke atap langit. Juga Fiona yang menolehkan wajahnya melihat siapa yang datang. Dan wajahnya tiba-tiba menjadi khawatir.
Rupanya, hanya Ibunya si kembar yang menerima kehadiranya dengan tatapan tulus.
Ami mendaratkan tubuhnya di sofa, setelah sebelumnya memberikan lirikan tajam ke arah Fiona.
Fiona hanya menunduk.
Melihat sikap Fiona, Ami hanya tersenyum mengejek, dan itu tak lepas dari tatapan Eva.
"Acara lamarannya sudah selesai, tapi ...." Eva tak melanjutkan ucapannya, karena tamu yang sengaja telat datang memotong perkataannya.
"Saya mau menjemput Fiola."
Semua yang ada di ruangan sontak menatap Ami, heran. Sementara si pemilik wajah, masih anteng. Seolah ia hanya mengajak Fiola bermain seperti biasa.
"Me-menjemput Fiola?" Eva bertanya heran.
"Iya bu, Ami mau menjemput aku."
Fiola keluar dengan menenteng tas dari dalam kamarnya. Membuat ketiga wajah keluarganya ternganga tak percaya.
"Apa lagi ini Fiola?" Adam mendadak bangkit.
Fiola tersenyum tipis.
"Aku-aku hari ini mau berangkat ke Jakarta. Tadi kan aku sudah bilang sama Ayah dan Ibu," bisiknya.
"Tapi apa harus secepat ini Nak?" Mata Eva kembali berkaca.
Ya Tuhan, ada apa sebenarnya ini?
"Ayah tidak mengerti jalan pikiranmu, Fiola. Setelah kau mengorbankan saudarimu, kau seolah cuci tangan. Tidakkah kau mau meminta maaf, atau bersujud di kaki Fiona atas kesalahan yang telah kau lakukan!"
"Demi Tuhan Fiola! Ayah tidak pernah mendidikmu menjadi seperti ini!"
Gelegar suara Adam kembali terdengar di ruangan itu.
Sementara Ami mati-matian menjaga bibirnya untuk tak saling bermusuhan dan menyebabkan dua garis tipis yang ia satukan memiliki jarak, hingga bisa membuat suara dari dalam tubuhnya keluar. Karena jika itu sampai terjadi, Ami tak akan berhenti bicara hingga semuanya tuntas.
Ia paling tidak suka melihat orang ditindas, apalagi sahabat karibnya. Sialll!! Tahu begini ia tak akan bersumpah pada Fiola kemarin.
"Maafkan aku, Ayah. Ibu. Jika selama menjadi putri kalian, aku belum bisa membuat kalian bahagia."
Fiola menelan salivanya dengan susah payah. Berusaha menahan sesak yang kembali hadir. Ia ingin acaranya hari ini lancar, tanpa ada drama. Cukup, ia yang menanggung semua. Jika ini memang takdirnya, harus terluka demi sebuah kasih sayangnya pada Fiona, ia akan terima.
Selalu terpatri dalam hatinya. Ia menyayangi Fiona. Ia tak akan membencinya, sekalipun kesalahan Fiona sebesar lautan. Biarpun Fiola tak bisa menyelami hati Fiona, bagi Fiola cukuplah menyebut Fiona adalah sebagian hatinya, sebagian tubuhnya. Kesakitan Fiona adalah kesakitannya, Kebahagiaannya tak ada artinya jika Fiona tak bahagia. Jadi jika memang Fiona bahagia dengan merelakan kebahagiaan dirinya, Fiola ikhlas.
"Fiona, terima kasih atas semuanya. Terima kasih sudah mengambil tanggung jawabku."
Mata bening itu tetap saja berkaca, sekalipun Fiola sudah menahan sekuat hati.
Fiona hanya menunduk tanpa berani membalas tatapan dan ucapan dari Fiola.
Hari ini jurang antara keduanya tercipta. Diciptakan oleh sesosok manusia bernama Dewa Mahesa Raharja.
Fiola memandang ke arah ibunya.
Ya Tuhan, aku tak sanggup.
"Aku pamit bu. Aku ... aku minta restu ibu," ucap Fiola dengan mata berlinang.
Eva memeluk putrinya.
"Ibu pasti merestuimu Nak. Dimanapun kamu berada, ibu akan selalu mendoakan supaya kamu bahagia. Jangan lupa kabari ibu di sana nanti ya."
Setelah melerai pelukan ibunya, Fiola menatap Ayahnya yang masih tak sudi menatapnya.
"Ayah, Fiola pamit."
Karena tak mendapat jawaban dari Ayahnya, Fiola melirik Ami sahabatnya.
Melihat anggukan Fiola, Ami mengambil tas yang di tangan Fiola. Dua buah tas yang Fiola siapkan untuk keberangkatannya kali ini.
Baru saja Fiola melangkah hingga pintu, suara Adam mengagetkan dirinya, juga yang lain.
"Selangkah kamu pergi dari rumah ini. Pintu rumah ini tertutup selama-lamanya untukmu."
Fiola menghela napas panjang.
Ya Tuhan, tolong kuatkan aku.
Ami melirik sahabatnya yang kini tengah mengatur napasnya dengan mata terpejam. Membuat pipi halus itu kembali meluncurkan beningnya. Ia meragu langkah apa yang akan Fiola ambil selanjutnya. Hingga apa yang ia dengar tak hanya membuatnya menatap tak percaya, juga ketiga sosok yang terdiam di dalam rumah.
"Maafkan Fiola, Ayah. Fiola pergi."
Lalu tanpa menoleh lagi, Fiola melangkah pergi. Pergi membawa lukanya.
Bukan untuk menyerah kalah akan nasib cintanya. Ia manusia biasa, yang bisa saja bangkit dan melawan. Tapi mungkinkah ia harus berhadapan dengan Fiona, demi seorang lelaki semacam Dewa?
Tidak, Fiola tak akan mau merendahkan dirinya demi seorang Dewa. Jika lelaki itu beranggapan ia dan Fiona memperebutkan dirinya. Fiola akan buktikan jika hanya Fiona yang jatuh takluk akan pesona Dewa.
Bagi Fiola, Dewa tak lebih dari seorang lelaki b******n. Terlalu mahal harganya jika Fiola harus berhadapan dengan Fiona hanya demi lelaki itu.
Sementara di dalam rumah, Eva sudah menangis tersedu melihat kenekadan Fiola. Fiona sendiri bangkit dan masuk ke kamar, menenggelamkan tubuhnya dalam tangisan. Entah rasa apa yang ia miliki sekarang.
Jika ia bahagia karena akhirnya mampu merebut Dewa, lantas mengapa hatinya bersedih.
Adam sendiri langsung masuk ke dalam kamarnya.
Ia tak terima putrinya membantah kata-katanya.
Adam tak pernah berencana melihat putrinya menjauh. Apakah terlalu sulit keinginannya? Ia hanya ingin melihat kebahagiaan kedua putrinya di depan mata. Untuk apa Fiola harus jauh-jauh pergi ke Jakarta, jika disini pun mereka tidak pernah kekurangan.
Adam hanya memiliki dua orang putri, dan ingin menghabiskan waktunya dengan lebih dekat dengan mereka, hingga mereka menikah dan memberi cucu. Segitu mahalkah keinginannya?
Fiola bahkan lebih memilih pergi. Padahal Adam hanya mengancam, agar putrinya itu tak nekad. Tapi lihatlah, Fiola justru melenggang pergi. Adam menghapus kedua sudut matanya. Ia bersedih hari ini.
Apakah sayang namanya jika aku akhirnya kau buang.
Apakah itu setia jika ternyata kau berpaling cinta.