PART 3 - INI TERLALU SAKIT

1500 Words
Meraba hatimu seperti meraba dalam kegelapan. Setitik cahaya yang kubutuhkan. Justru kau berikan kobaran api yang menyala. Fiola menutup pintu kamarnya dengan perlahan. Ia segera mendekat ke ranjangnya, dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Tangisnya pecah. Hancur sudah mimpi yang ia bangun bersama lelaki yang teramat ia cintai. Hubungan mereka yang sudah dua tahun terjalin, harus terhempas karena kehadiran Fiona di tengah-tengah mereka enam bulan belakangan ini. Salah! Bukan enam bulan, tapi tiga bulan. Karena Fiola merasakan ada yang berbeda dari kekasihnya tiga bulan belakangan. Fiola bahkan tak menyangka Dewa sanggup mempermalukan dirinya tadi. Tanpa memikirkan perasaannya. Dimana hati lelaki yang dulu mengagungkan cinta kepadanya. Beruntung, Fiola sudah menyiapkan hatinya, untuk menghadapi kenyataan sekejam tadi. Ia sedih bukan karena kehilangan Dewa. Sejak mengetahui kekasihnya berpaling hati, Fiola sudah illfeel. Bahkan sudah jijik mendapat sentuhan dari Dewa, walau sekedar bergenggaman tangan. Yang membuat hatinya makin hancur berkeping. Ketika ia tak menyangka Fiona saudari yang selama ini saling berbagi, bisa menjadi pihak ketiga hubungannya dengan Dewa. Tak adakah wanita lain yang bisa Dewa pilih selain Fiona. Mengingat sesuatu, Fiola bangkit. Menghapus basah dipipinya. Sandiwaranya belum berakhir. Ia bergegas ke cermin, mengingat kembali pesan sahabatnya. Ia menghela napasnya berkali-kali. Mengusir penat dan berat dalam dadanya. Dan benar, ketukan di pintu terdengar kencang. Berulang kali ia menepuk dadanya, mengusir beban berat yang menghimpit dadanya. “Oke Fiola, kamu harus menuntaskan semuanya.” Lalu ia sekali lagi bercermin, memastikan riasannya tak membuat wajahnya aneh. Ia memasang senyum, ketika melihat kedua orang tuanya berdiri. Begitu pintu terbuka, baik Eva dan Adam merengsek masuk ke dalam. “Jelaskan pada Ayah, ada apa ini Fiola?” Sebagai seorang Ayah, Adam merasa di permalukan. Bagaimana bisa mereka tidak memberitahukan lamaran yang beralih ini. Ini bukan transaksi barang dagangan. Ini hati kedua anak gadisnya, permata hatinya. Dan ia tak mau gegabah. Fiola menggaruk pelipisnya. “Hmm tadikan aku sudah katakan jika ....” “Apa tujuanmu sebenarnya Fiola!” Bentakan Adam menyiratkan sang Ayah sudah murka. Eva mengusap lengan suaminya. Ia tahu suaminya sudah menahan emosi sejak tadi. “Fiola, bicara sama ibu nak. Apa Dewa dan Fiona ....” Eva bahkan tak sanggup melanjutkan ucapannya. “Oh engga bu. Gak seperti itu. Ibu kan tahu Fiona saudaraku satu-satunya. Kami saling menyayangi. Mereka gak mungkin berbuat seperti yang ibu sangkakan.” “Ya tapi mengapa harus begini nak? Ada apa?” Mata Eva mulai berkaca. Ia seorang ibu. Sepintar apapun anak gadisnya menyembunyikan apapun, ia pasti akan mengetahuinya. Mati-matian Fiola tidak menatap mata sang Ibu. Karena ia takut ketegaran hatinya luluh dan hancur pertahanan dirinya yang selama ini ia jaga. Ia tahu ibunya tak bisa di bohongi. Fiola terkekeh. Walau ia sendiri heran sanggup berbuat seperti. “A-aku naik jabatan. Jadi kepala bagian marketing di Jakarta. Kasih aku selamat donk.” Fiola tersenyum melirik wajah Ayah dan Ibunya yang kini menganga. Hanya sekilas ia lirik, lalu ia kembali menunduk menekuri ujung kukunya yang tercat indah sekali hari ini. “Yah, jabatan yang selama ini aku inginkan. Ibu kan tahu, aku ingin sekali jadi kepala bagian. Disegani bawahan, dan punya gaji besar.” Eva mengusap matanya yang basah. “Dan gara-gara hal itu kamu membatalkan lamaran Dewa? Dengan mengoper lelaki itu ke saudaramu?” Adam masih tak percaya. “Ih Ayah, apa-apaan sih. Itu jabatan penting banget. Pencapaian terbesar dalam hidup aku. Gimana sih. Kok ngomong gitu.” “La, kalau cuma hal itu, kenapa kamu gak bicarakan sama Dewa. Ibu yakin ia mau menunggu.” Ibu salah, Dewa tak akan sudi menungguku. “Oh gak, jangan. Aku sudah terlanjur tekan kontrak tidak boleh menikah selama dua tahun. Jadi daripada nanti aku gak tahu hubungan aku sama Dewa bagaimana, sebaikanya aku lepas saja dia sekarang.” “Kamu gak punya perasaan!” teriak Adam. Mereka yang tidak memiliki perasaan Ayah, bukan aku. “Kamu pikir hati Dewa barang, yang bisa kamu oper alih kepada orang lain! Kamu pikir Fiona bisa menerima Dewa secara instant! Dimana otak kamu Fiola!” Justru aku memakai otak aku, Ayah. Ayah lupa memiliki putri yang smart. Aku bahkan berpikir aku pintar. Nyatanya aku dibodohi selama ini. “Fiona cuma cocok dengan Dafa. Dan kamu tahu adikmu masih dalam keadaan bersedih karena kehilangan kekasihnya! Bagaimana bisa kamu meminta Dewa menikahi Fiona! Kamu gak waras Fiola!” Aku bisa kehilangan kewarasan aku, jika tak berbuat seperti ini, Ayah. Tampaknya Ayah sudah lupa bagaimana putri Ayah yang sesungguhnya. “Jadi menurut kamu, kami harus menerima lamaran Dewa untuk Fiona?” tanya Eva lagi. Fiola mengangguk. “Mereka pasti bisa saling menerima. Ayah dan Ibu gak usah khawatir.” “Fiona gadis yang baik. Tidak akan susah untuk Dewa jatuh cinta padanya. Dewa juga lelaki yang bertanggung jawab. Ayah dan Ibu akan bangga memiliki menantu seperti Dewa. Aku yakin, Dewa sanggup membuat Fiona bahagia, dan mampu melupakan Dafa.” Sesosok tubuh yang mendengar ucapan di depan pintu menutup mulutnya, supaya isaknya tak terdengar. Beribu kata maaf hanya berani ia ucapkan di dalam dadanya. Dan karena tak kuat lagi, sesosok tubuh yang tak lain Fiona, berlari keluar rumah. Dewa yang melihat Fiona berlari dengan wajah sedih, segera mengejar. Sementara di ruang depan, beberapa kerabat masih saling pandang. Mereka masih bingung dengan situasi yang ada sekarang. Ibu Dewa bahkan berulang kali memijit pelipisnya. Di dalam kamar Fiola pun, tak kalah mencekam. Adam dengan emosi masih naik, akhirnya mengangguk. “Baik! Jika itu yang kamu inginkan! Sekarang juga, Ayah akan terima lamaran Dewa untuk Fiona. Biar mereka segera menikah saja. Dan kamu! Ayah sudah tak perduli lagi sama niatmu. Mau kerja dan punya jabatan, silahkan. Mau tidak menikah juga silahkan. Ayah tidak perduli!” Lalu Adam keluar dengan membanting pintu. Seingat Adam, ia tidak pernah mengajarkan anaknya berbuat seenaknya. Apalagi lebih mementingkan karir dari pada calon suaminya. Jelas-jelas Adam menanti salah satu putrinya berbahagia, setelah kejadian tragis menimpa Dafa dan acara lamaran untuk Fiona yang gagal. Sementar Eva menatap putrinya sesaat. “La,” lirihnya. Fiola tak berani mengangkat wajahnya. Ia memilih tetap menunduk. Hebat kamu Fiola. Kamu korban di sini, tapi lihatlah posisi kamu justru sebagai tersangka. “Doakan Ola ya Bu. Biar Ola juga nanti bahagia seperti Ona.” Kali ini Fiola tak sanggup menahan laju air matanya. Ia memeluk tubuh ibunya. Mereka bertangisan berdua. “Ibu doakan sayang. Dimana pun kamu berada, kamu akan selalu bahagia. Jika memang dengan melepas Dewa kamu bahagia, ibu ikhlas.” “Terima kasih bu.” Eva menghapus pipi Fiola. “Ibu temani Ayah dulu ke depan ya.” Fiola mengangguk. Ketika melihat ibunya pergi, Fiola bangkit. Meraih tas yang sudah ia siapkan di dalam lemari. Tas berisi pakaian dan berkas penting miliknya. ** Dewa meraih lengan Fiona, ketika Fiona hendak berlari keluar gerbang. “Na, tunggu.” Mereka berdiri berhadapan. Fiona menggeleng. “Gak Mas, jangan lakukan ini. Mas Dewa milik Ola, ini salah.” Fiona bahkan berurai air mata. “Na, Fiola sendiri sudah melepasku. Kamu gak lupa kata-katanya tadikan?” Fiona menunduk. “Aku yakin dia masih mencintai Mas Dewa. Tolong Mas, jangan buat aku merasa bersalah.” “Aku gak bisa Na. Ketika hatiku memilihmu, kamu gak bisa memaksa aku harus menikahi Fiola.” “Ya Tuhan Mas Dewa,” lirih Fiona. Andai semua bisa di ulang. Lebih baik Fiona tenggelam dalam kesedihan kehilangan Dafa untuk selama-lamanya. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Fiola yang terlalu sibuk mengejar mimpinya? Dewa yang kekurangan perhatian hingga berpindah hati? Atau dirinya yang telah lancang merebut kekasih saudara kembarnya? Fiona jelas mengingat janji mereka sejak mereka mengenal rasa tertarik pada lawan jenis. Kita pernah berbagi plasenta sejak masih dalam kandungan. Berjanjilah jika kita tidak saling berbagi kekasih nantinya. Saat itu Fiola menatapnya tajam. Itu tidak mungkin terjadi, karena kita memiliki type idaman pria yang berbeda. Fiona menjawab dengan keyakinan seribu persen. Fiola kembali berucap. Aku malu jika kita sampai meributkan satu lelaki, seolah tidak ada lelaki lain di dunia ini. Jika hal itu terjadi, aku akan memilih membenci lelaki itu, karena aku tak mungkin membencimu. Aku menyayangimu seumur hidupku. “Aku tidak pernah berencana untuk pindah ke lain hati. Semua terjadi begitu saja.” Dewa meraih telapak tangan Fiona. “Kita masuk ke dalam Na. Semua menunggu. Kita lanjutkan sesuai rencana kita.” Untuk semua kerabat yang melihat dari jarak jauh, mungkin berasumsi jika Fiona menolak lamaran Dewa. Dan Dewa berusaha meyakinkan, karena ia tak mungkin melanjutkan lamaran kepada Fiola. Fiola jelas lebih memetingkan karirnya. Tapi berbeda asumsi dengan sepasang mata yang sedari tadi mengintip dari balik gorden kamar. Apalagi melihat selanjutnya Fiona mengangguk dan mengikuti Dewa kembali ke arah rumah. Fiola mencengkram kerah bajunya. Dadanya terasa sangat sesak, hingga untuk bernapas pun terasa sulit. Begini rasanya di khianati oleh dua orang yang kita sayangi. Tak pernah sedikitpun Fiola menyangka kekasihnya yang begitu setia mampu mendua. Fiona, semoga kamu berbahagia. Aku tak mungkin membencimu, karena aku menyayangimu. Fiola menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Menekuk lutut dan menenggelamkan kepalanya di sana. Kuatkan aku Ya Tuhan. Ini terlalu sakit. Percuma Cinta kau ucapkan dan Rindu kau agungkan. Jika akhirnya kau mendua. Kasih yang kutanam pun ternyata berbuah luka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD