bc

Okay, Boss!

book_age16+
5.1K
FOLLOW
25.4K
READ
billionaire
possessive
age gap
arrogant
CEO
comedy
sweet
office/work place
enimies to lovers
assistant
like
intro-logo
Blurb

Kehidupan Nindy yang lurus berubah menjadi kasus saat bertemu dengan Raka. Pertemuan awal yang tidak bagus membuat harapannya akan kehidupan yang mulus berubah menjadi pupus. Terpojok dengan kondisi finansial yang kusut, membuat Nindy terpaksa berkerja untuk Raka secara terus-menerus.

Apakah Nindy bisa meluluhkan Raka yang jenius atau justru dia yang akan berganti status?

"Kamu besok ikut saya."

"Oke, Pak."

"Dandan yang cantik."

"Oke, Pak."

"Karena saya mau lamar kamu."

"Oke— Hah? Gimana, Pak?!"

***

Viallynn

chap-preview
Free preview
Kerasnya Hidup
Hari senin adalah hari yang dibenci oleh hampir semua orang. Mengawali minggu yang padat dan jauh dari kata akhir pekan memanglah menyebalkan. Banyak orang sudah bersiap untuk memenuhi jalan raya tapi tidak dengan gadis yang masih asik bergelung di bawah selimut. Gendis Anindya Maharani, gadis berparas manis yang tengah berjuang di kerasnya ibu kota. Ia masih tertidur lelap, mengabaikan suara kendaraan yang menembus dinding kamarnya. "Sayur!" Suara tukang sayur yang terdengar setiap pagi seolah menjadi alarm rutin bagi Nindy. Perlahan dia muali membuka mata dan melihat langit-langit kamar. Matanya yang belum bisa terbuka sempurna membuatnya mendengkus. Perlahan dia bangkit dan meraih cermin dari atas meja. Seperti dugaannya, matanya sembab dan bengkak seperti dikeroyok warga. Menangis setiap malam sudah menjadi kegiatan Nindy selama dua bulan terakhir. Dia tahu Tuhan sangat membenci orang yang suka mengeluh, tapi Nindy benar-benar sudah putus asa dengan kerasnya ibu kota. Nindy pikir setelah lulus kuliah, dia akan segera mendapatkan pekerjaan, tapi kenyataan memang begitu pahit. Sudah hampir empat bulan dia mencari pekerjaan, melakukan wawancara, dan sebagainya tapi hingga saat ini belum ada panggilan kerja untuknya. Apa dia sebodoh itu? Getaran pada ponselnya membuat Nindy tersadar. Dia mengusap wajahnya kasar dan segera mengambil ponselnya. Ada pesan singkat dari ayahnya yang berada di kampung halaman. "Udah bangun, Nduk? Sebelum berangkat kerja jangan lupa sarapan ya." Nindy kembali menghempaskan tubuhnya di kasur dan mengerang kesal. Matanya kembali memanas membaca pesan yang ayahnya kirim setiap pagi. Nindy terpaksa berbohong selama ini. Dia memang berkata jika sudah mendapatkan pekerjaan agar tidak dipaksa pulang dan dinikahkan dengan anak kepala desa. Konyol bukan? Jika orang tuanya tahu kenyataan yang sebenarnya, bisa dipastikan Nindy akan diseret pulang. Dia tidak mau hal itu terjadi, setidaknya dia harus memanfaatkan gelar sarjananya untuk mencari uang. "Iya, Pak." Akhirnya Nindy berhasil membalas pesan ayahnya. Perlahan dia bangkit dari kasur dan membuka jendela kamar. Cahaya matahari langsung menerpa wajahnya. Dia harus bersiap untuk kembali mencari pekerjaan. *** Nindy menyentuh perutnya yang mulai lapar. Dia memilih untuk menutup laptop yang ia gunakan dan bergegas keluar kamar. Kamar Arinda adalah tujuannya, gadis batak yang merupakan teman satu kostnya. "Arinda?" panggil Nindy sambil mengetuk pintu, "Udah masak belum?" tanyanya. "Bukannya tanya udah bangun apa belum malah tanya udah masak apa belum, dasar tetangga nggak tau diri!" balas Arinda dari dalam. Jika sudah berteriak, berarti Arinda mempersilahkannya untuk masuk. Nindy terkekeh dan membuka pintu kamar dengan pelan. Di pelukannya sudah ada piring kosong yang akan ia gunakan untuk menampung makanan. Wangi makanan langsung tercium di hidung Nindy. Dia bersyukur mempunyai tetangga yang hobi memasak sehingga dia bisa membantu untuk menghabiskannya. "Minta sarapan ya?" tanya Nindy dengan cengiran polosnya. "Kau ya! Nanti kalau udah kerja harus bayar!" balas Arinda. Meskipun terlihat galak, tapi gadis itu sangatlah baik. Terbukti dengan Arinda yang mendorong masakannya mendekat meski dengan mencibir, "Ini cuma telur dadar ala korea, tapi rasa dijamin enak." "Gimana? Udah ada panggilan belum?" tanya Nindy mulai memakan makanannya. Arinda adalah teman yang senasib. Dia juga tengah mencari pekerjaan setelah dipecat satu tahun yang lalu. Bedanya Arinda masih memiliki penghasilan dari hobi memasaknya. Berbeda dengan Nindy yang harus bertahan dengan pekerjaan serabutannya. "Belum nih." Nindy menghela napas lelah. Hidup di kota besar benar-benar kejam. Dia sampai putus asa karena belum mendapatkan pekerjaan tetap hingga saat ini. Apa yang harus ia lakukan sekarang? *** Siang hari, Nindy sudah berada di taman untuk membagiakan brosur. Ya, dia melakukan pekerjaan apapun agar bisa makan. Meskipun tidak setiap hari, setidaknya ada rupiah yang masuk ke dalam dompetnya. "Silakan, Kak." Nindy tersenyum manis di bawah teriknya matahari. Dia memberikan kertas yang ia bawa pada setiap orang yang lewat. Tenang, bukan brosur sedot WC yang ia bagikan, melainkan brosur pengobatan alternatif untuk impoten. "Silakan, Buk." Nindy kembali menawari setiap orang yang melewatinya. Dengan bermodalkan senyum manis berlesung pipit, membuat banyak orang dengan senang hati menerima brosur pemberiannya. "Aku udah ada di taman, Kek." Seorang pria berhenti tepat di hadapan Nindy, tampak sibuk dengan ponselnya. "Brosurnya, Pak." Nindy memberikan brosurnya. "Aku udah keliling tiga kali tapi belum ketemu juga," ucap pria itu mengabaikan Nindy. "Pak?" panggil Nindy dengan hanya menggerakkan mulutnya.. Pria itu menatap Nindy tajam, "Nggak, terima kasih." "Ambil aja, Pak. Siapa tau butuh." Nindy berusaha memberikan brosurnya karena dia ingin cepat selesai hari ini. Jujur saja, panasnya matahari membuatnya ingin pingsan. "Saya bilang enggak. Kamu nggak liat saya sibuk?!" Ucapan menohok itu membuat Nindy terkejut. Dia tahu pria di hadapannya itu terlihat sibuk tapi apa susahnya tinggal menerima brosur yang ia beri dan pergi. Tidak ingin membuat keributan, akhirnya Nindy memilih mundur dengan bibir yang maju. "Galak banget," cibir Nindy saat pria itu berlalu pergi. Tanpa disangka pria itu berhenti dan berbalik, "Kamu bilang apa?" Siaga satu! "Hah? Kenapa Pak?" Nindy terkejut sambil mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha untuk terlihat biasa saja. Padahal di dalam hatinya dia sangat takut karena pria itu mendengar ucapannya. "Kamu ngatain saya apa tadi?" Nindy terkekeh dengan wajah yang masam, "Ngatain apa sih, Pak? Orang saya nggak bilang apa-apa." Mata pria itu mulai terlihat marah. Dia tahu dan mendengar jelas apa yang Nindy ucapkan tadi. "Ampun, Pak. Saya cuma bercanda." "Lain kali jaga bicara kamu." "Iya, Pak. Maaf." Nindy memilih untuk menunduk dan membiarkan pria itu pergi. Setelah sudah aman, Nindy mengelus dadanya yang bergemuruh, "Gila, galak banget. PMS kali ya?" Tidak ingin berlarut-larut dengan kekesalannya, Nindy memilih untuk kembali bekerja. Entah kenapa hari ini pekerjaannya terasa lebih lama. Bahkan kakinya sudah terasa kebas meminta untuk diistirahatkan. Beruntung tepat jam lima sore pekerjaannya sudah selesai. Saat ini Nindy berada di salah satu bangku taman dengan sebotol minuman dingin. Setelah beberapa menit beristirahat, dia akan pulang. Tubuhnya benar-benar lelah dan dia juga lapar. Nindy mulai membuka bungkus roti yang ia bawa sebagai bekal. Gerakan tangannya terhenti saat melihat wanita tua di sampingnya tengah menatapnya lekat. Nindy melihat ke sekitarnya dengan bingung. Apa wanita tua itu sedang menatapnya? "Nenek mau?" tanya Nindy hati-hati. "Nggak usah, Nak." Nindy masih ragu dan kembali berbicara, "Nenek laper ya? Ini buat Nenek aja." "Tapi kamu juga keliatan laper, Nak." Ternyata benar jika wanita tua itu sedang menahan lapar. Nindy tersenyum dan menggeleng, "Buat Nenek aja, saya nggak papa." "Makasih ya, Nak." Nindy lagi-lagi tersenyum melihat nenek di sampingnya yang terlihat senang. Nindy merasa tertampar melihat itu. Seharusnya dia tidak mudah putus asa karena masih banyak orang yang tak seberuntung dirinya di dunia ini. "Nenek di sini sama siapa?" tanya Nindy. "Nenek tadi jalan-jalan. Ini lagi nunggu cucu jemput." Dahi Nindy berkerut mendengar itu. Bagaimana bisa seorang cucu membiarkan neneknya berkeliaran dalam keadaan lapar seperti ini? "Kapan cucunya dateng, Nek?" "Nggak tau, Nenek udah nunggu dari tadi tapi belum muncul," balasnya sambil memakan roti pemberian Nindy. "Ya udah, saya temenin ya, Nek?" Nenek itu mengangguk senang, "Panggil aja Nenek Farah." "Oke, Nenek Farah." Nindy tersenyum manis. Dia tidak tega melihat wanita tua itu karena mengingatkannya dengan orang tuanya di desa. Sudah lama Nindy tidak bertemu dengan keluarga besarnya. Saat masih asik mengbrol, Nindy dikejutkan dengan sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di depannya. Nenek Farah berdiri dan tersenyum lebar. "Itu, Nak. Suami Nenek udah dateng." Menyadari apa yang ia lihat saat ini, Nindy terkejut dan membuka mulutnya lebar. Dia berdiri untuk memastikan jika apa yang terjadi saat ini bukanlah semata khayalan dari Nenek Farah. Tak lama seorang pria tua, yang Nindy yakini seusia Nenek Farah turun dari mobil dan menghampiri mereka, "Kenapa nggak bilang kalau mau pergi, Nek? Raka khawatir loh." "Tadi mau jalan-jalan, tapi lupa jalan pulang," jawab Nenek Farah lugu. Nindy masih terdiam dengan bodoh. Dia tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Dia masih ingat saat Nenek Farah menatap rotinya dengan tatapan mendamba. Namun sekarang wanita itu dijemput oleh suaminya dengan menggunakan mobil mewah. Sangat jauh dari kata tidak mampu. "Oh iya, ini Nak Nindy. Dia yang temenin Nenek tadi." "Makasih ya udah temenin istri saya. Kalau enggak, mungkin Nenek udah jalan-jalan ke mana lagi tadi. Nenek memang ada masalah sama ingatannya, makanya suka lupa izin, lupa jalan pulang, lupa bawa HP, lupa bawa dompet juga." "Iya, Kek. Nggak papa kok." Nindy tersenyum manis. "Sekali lagi makasih ya, Nak Nindy." Pria tua itu membuka dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah, "Ini buat beli es teh." "Kebanyakan kalau buat beli es teh, Kek," jawab Nindy polos. "Nggak papa, ambil aja. Kalau begitu kami pulang dulu ya," pamitnya. Nindy hanya bisa mengangguk tanpa menjawab. Dia menatap uang di tangannya dengan bingung. Dia masih belum percaya dengan apa yang ia alami saat ini. "Asik, dinner pake nasi padang." Nindy tersadar dan mulai tersenyum senang. Sekarang dia benar-benar menyesal karena suka mengeluh. Tuhan pasti memiliki banyak jalan untuk hambanya. Seperti yang ia alami saat ini. Siapa yang sangka jika berawal dari sebuah roti bisa berubah menjadi lembaran uang yang menyenangkan hati? *** TBC

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.7K
bc

My Secret Little Wife

read
96.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook