D U A

2160 Words
Menjejakkan kaki pada rumah yang lebih dari dua tahun ini tak ku kunjungi, selalu sang empunya yang datang ke Karanganyar untuk menengok kami. Maklum, kami tak bisa pergi jauh-jauh sebelumnya karena Ara terlalu kecil dan Kanya terlalu sibuk, maksudnya aku juga sibuk. Kanya masih sibuk dengan isi perutnya yang bergejolak di halaman samping rumah. Ia tumpahkan semua mual yang dia tahan, kasian sekali, Baby dalam perutnya berontak menjalani perjalanan panjang. Padahal biasanya juga tak masalah. Aku menyapa Cinta yang kini sudah beranjak dewasa, telah memasuki usia SMA. Waktu sungguh cepat berlalu, baru akan terasa ketika kita sudah hampir sampai diakhirnya, ketika menjalani waktu, tidak satupun manusia sadar waktunya terlewat cepat. Kanya ditemani Uti Rahmi, bukan aku tidak peduli dengan istriku, tapi aku juga harus menjaga Ara yang telah terbangun sembari mengenalkannya untuk kesekian kalinya pada Cinta. Biar dia tak lupa sebab jarang bertemu. "Istrimu beneran hamil lagi, Da? Bukan karena mabuk perjalanan?" Kakung Ganang bertanya padaku. "Iya, Kung. Hamil jalan empat bulan, Kakung tahu sendirilah selama ini dia selalu baik-baik saja dalam perjalanan ke Semarang," jelasku mengalihkan Ara pada Om Shandi, Om yang sudah tidak sabar ingin merebahkan badannya. "Alhamdulillah, nambah cucu lagi," menatap dua perempuan yang kini berjalan mendekat. "Istirahatlah dulu, nanti baru kalian boleh menengok Cesa. Kalian sudah lama tidak menemuinya kan? Terlebih Ara, dia pasti ingin mengenal Om-nya yang sudah beda dunia," Uti Rahmi menuntun Kanya. Kanya tersenyum dan terus melangkah, sementara itu Kakung Ganang mempersilahkan Om Mukti, Tante Dea dan Om Shandi masuk lebih dulu. "Sudah enakan, Bun?" Tanyaku menggandeng tangannya. Kanya menjawab dengan anggukan. "Kalau Bunda masih enggak enak badan, mending istirahat saja di sini, biar kita yang datang menemui Om Satria," merangkul lengan istriku. Menggeleng, "Bunda cuma butuh istirahat sebentar, dandan habis itu bisa berangkat." Bibirku mengikuti senyum bibir Kanya, dia memang bukan orang lemah seperti pada umumnya. Dia ialah istri dan Ibu yang tangguh bagi kami. Sekalipun saat masa ngidamnya, sekalipun waktunya habis untuk melayani masyarakat, dia tak pernah lupa jika keluarga ialah yang utama. Peluh pun tidak diperhatikannya yang penting ialah suami, Ara dan calon anak kedua kami. Langkah kaki Kanya melambat ketika memasuki sebuah ruangan yang telah lama tidak dia kunjungi. Tak banyak berubah, kecuali tatanan foto yang bertambah, iya, bertambah foto pernikahan kami di tengah-tengah dinding kamar. Tulisan "Love is Friendship on Fire" masih terpampang pula di sana. Ia pasti ingat akan kekasihnya yang tengah menunggu hari kebangkitan. Aku memeluk Kanya dari belakang, "Bunda butuh waktu berdua dengan Cesa?" Bisikku di bahunya. Kanya terdiam tidak menjawab apapun, kecuali gelengan ringan dan air mata yang menetes. Aku tahu dia sangat merindukan Cesa, terlebih beberapa malam ini, sering kali kudengar dia menyebut nama Cesa di tengah tidur panjangnya. Dia mungkin tak sadar, tapi aku mendengar itu terlalu jelas. Terkadang menyakitkan sebab yang dipanggilnya tiap malam ialah orang lain, tapi aku bisa apa? Cemburu pun hanya sebatas cemburu, yakin saja Kanya hanya merindukan sahabatnya. Menggenggam tanganku yang melingkar di pinggangnya, "bertahun-tahun Bunda berusaha melupakan tapi tidak bisa, selalu merindukan dan merindukan. Maaf telah menduakan Ayah selama ini, tapi Bunda masih berusaha untuk membuat Ayah hanya satu-satunya," ungkapnya membuat jantungku bergetar. "Bukankah Ayah memang sudah satu-satunya? Bunda hanya merindukan sahabat Bunda kan? Tak apa, hanya Ayah kok yang Bunda cintai," mengusap air matanya. "Istirahatlah, Ayah tunggu di luar," mulai beranjak namun Kanya menghentikanku. "Tetaplah di sini," pintanya membalikkan tubuhnya menghadap ke arahku, jarak kami hanya 10 centimeter, dekat sekali. Aku hanya tersenyum lalu duduk di sampingnya. Melihatnya terus menyisir, setiap sudut kenangan pilunya ada di sini, entah sudah berapa tahun nestapa itu terjadi. Dilihatnya pula sebuah seragam Paskibra yang masih putih bersih, lengkap dengan atributnya di d**a dan pundak. "Yah, masa itu Bunda berjuang keras untuk jadi seorang Paskibra bersama dengan Cesa dan tidak ada kata menyerah dalam kamus kami. Bunda pasukan 8 pembawa baki loh dan Cesa pasukan 17 karena dia tinggi," jelas Kanya mengingat masa lalu. "Kami mengalami suka dan duka yang sulit sekali dijelaskan oleh siapapun." Kugenggam tangan Kanya, mengusapnya lembut memberi kekuatan. "Kalau Bunda tidak menjadi Paskibra hari itu, Bunda tidak akan menjadi PPI, maka waktu karnaval HUT Kabupaten Karanganyar, Bunda tidak akan bertemu dengan Ayah di Alun-alun kota," menerawag lebih jauh. "Kadang memang sulit dan butuh waktu yang lama untuk mengerti apa takdir Tuhan, juga untuk saling menghubungkan rencana Tuhan. Tapi itulah cara Tuhan mempertemukan kita dan membuat kita semakin dekat," menatapku tersenyum. Aku pun tersenyum, Tuhan selalu punya cara dalam mempertemukan dan memisahkan dan itu selalu indah. "Ah, sudah jamnya, Bunda dandan dulu," beranjak mendekati cermin kecil di sisi tempat tidur. Menyiapkan alat-alat make up-nya berikut dengan rok kebaya dan high heels 10 centimeter. Aku hanya menemaninya, duduk memperhatikan setiap gerakannya ketika berdandan, ujung-ujungnya semacam anak kecil sedang dibacakan cerita dongeng, lambat laun mengantuk dan ingin tertidur. "Yah, yah," Ara dengan suara tak lancarnya memanggilku, berlari ke arah dimana Ayah dan Bundanya tengah sibuk. Padahal tadi dia yang sibuk bermain dengan Om dan Tantenya. "Eh, iya, Sayang," meraih Ara membawanya ke dalam pangkuanku. "Untung kamu datang, Nak. Jadi Ayah tidak ngantuk lagi nungguin Bunda-mu dandan," menoel pipi gembulnya. "Sudah hampir selesai kok," Kanya menyahut sembari merapikan lipstik di bibirnya. "Kakak hari ini ikut Ayah dulu ya? Bunda kan harus jaga Adik di perut Bunda ini," mengusap perutnya yang belum begitu nampak sebab pakaiannya yang cukup longgar. Ara yang belum terlalu paham hanya mengangguk. Dasar penipu ulung, tidak paham tapi bisa mengangguk. Setelah mempersiapkan diri, inilah saatnya bagi kami bertemu dengan Satria. Laki-laki yang pernah kuhantam dengan kepalan tanganku kala itu, kini akan mempersunting anak orang, mempersunting seorang KOWAD berpangkat Lettu. Entah bagaimana mereka saling mengenal, hanya saja dari yang aku dengar sebab sebuah pengamanan saat acara malam tahun baru di Simpang Lima, Semarang. Namanya juga jodoh, jalan apapun bisa dilalui. Begitu turun dari mobil, Ara langsung menarik tanganku, berlari entah kemana tujuannya. Dia benar-benar tidak tahu apa itu rasa takut, malu, atau mungkin yang lainnya. Biasa juga anak kecil ketika baru lancar-lancarnya bisa jalan dan lari itu tidak pernah mau berhenti. "Hati-hati, Kak. Jangan lari, Ayah capek," mencoba mengerem langkah kaki Ara namun percuma. Ara baru berhenti ketika tubuhnya menabrak seseorang yang sudah mengenakan seragam ucaparanya. Seragam cokelat lengkap dengan topinya. "Hallo, ponakan Om Satria. Sudah Om bilang datang ketika Om mengucap ijab qabul, kenapa terlambat, Sayang?" Menggendong Ara dengan gemasnya. "Ini bawa ibu-ibu hamil sama balita, tidak mungkin berangkat subuh, Om," kutunjuk Tante Dea dan Kanya bergantian, memberi alibi yang pas. "Lagi pula melihat ijab qabul Om itu biasa. Semua ijab qabul dimanapun itu sama, meski dengan bahasa Arab artinya tetap sama." "Haish," desah Om Satria sembari mencubit-cubit pipi Ara. "Eh tadi bilang Ibu-ibu hamil? Satu doang yang hamil kenapa kata Ibu-ibu itu terkesan lebih dari satu." Kanya tersenyum, mengusap perutnya yang belum menampakkan sesuatu yang jelas. "Bakalan punya ponakan baru lagi kamu, Om. Makanya giliran to, Om yang masih ponakan buat kita," celetukku bercanda lagi. "Maksudmu Kanya hamil lagi? Aduh, kalian ini terlalu rajin. Aku saja baru menikah kalian sudah mau nambah," godanya sudah obrolan orang dewasa, tak pantas sebenarnya untuk Om Shandi dan terlebih untuk Ara. "Mas Satria sih, move on dari Bunda-nya lama!" Celetuk Om Shandi padahal baru kubatin tak pantas telinganya eh malah ikut nimbrung begitu saja. Sontak semua tertawa kecil. Menambah riuh pertemuan yang telah lama tidak terjadi. "Haish, jangan ingatkan aku sama masalalu memalukan itu, Shan!" Keluh Satria sesaat sebelum dia didatangi beberapa orang. Agaknya dia diminta bersiap melaksanan pedang pora. "Aku persiapan dulu, Kanya dan Sada jangan baper ya? Aku yang pedang pora hari ini," candanya melangkah pergi setelah menurunkan Ara dan berpamitan dengannya. "Om, Yah, Om," kata Ara dengan kalimat yang belum jelas. "Iya, Sayang. Om lagi sibuk," menggendong Ara dan membawa rombongan kami mengambil tempat duduk kosong. Atau memang sudah disediakan khusus untuk kami, sebab seseorang langsung mengarahkan kami untuk duduk di kursi terdepan. Berjajar dengan pejabat tinggi Polda Jawa Tengah. Prosesi pedang pora dimulai, tak banyak bedanya dengan pedang pora yang pernah aku lalui. Karpet merah, pedang itu sendiri, formasi, hampir sama lah. Di tengah-tengah prosesi, Kanya mengganggam tanganku erat sembari tersenyum dan tak mengalihkan pandangannya pada kedua mempelai. Sementara aku lebih memilih menatap Kanya dan berjalan di masalalu. Masa dimana Kanya menggandeng tanganku pertama kali sebagai pasangan suami istri. Masa itu benar-benar yang paling bahagia dalam hidupku, momen terindah. "Terimakasih sudah memberikan kenangan indah itu untuk Bunda, Yah," katanya tidak menatapku. Masih fokus pada Satria dan istrinya yang tengah saling menatap dan memasangkan cincin. Aku tersenyum, sampai detik ini bahkan dia yang selalu memberikan kenangan indah setiap harinya. Aku hanya memberikan sebagian yang kubisa, tapi dia memberikan semuanya. Semakin kugenggam erat tangannya di pangkuanku. "Kembali kasih, Bunda," bisikku manja di telinga kanannya. "Om, Bun, Om," manarik-narik lengan kebaya Kanya sembari menunjuk Satria di bawah pedang pora. "Iya, itu Om Satria, Sayang," menunjuk gemas pada Ara. Sekali lagi aku tersenyum, memiliki dua perempuan luar biasa, cahaya terang dalam hidupku. Baik Kanya maupun Ara, mereka tidak bisa tergantikan oleh cahaya apapun sebab tanpa mereka, Purnama tak bersinar. "Ayah ingat pertama kali menjejakkan kaki di karpet merah, menggandeng tangan Bunda melewati satu persatu pedang pora. Bergetar campur bahagia," bisikku pada Kanya yang tengah sibuk berbicara dengan Ara. Oleh sebab itu Kanya hanya melirikku dan tersenyum. Satu jam acara terlewat, hingga sampai di penghujung acara. Dimana seorang Lettu Rania naik ke atas podium bersama sang Suami, Iptu Ksatria. Entahlah ini prosesi macam apa, seingatku tidak ada dalam prosesi perbikahanku. "Saya mempelai wanita, Lettu Rania Putri mohon izin menyampaikan sesuatu bersama dengan suami saya. Inilah kisah yang kami jalani selama ini, sedikit berbagi," ungkapnya tersenyum manis bak Dewi semalam. "Saya Iptu Ksatria Sangga Mara, izinkan pula saya menyampaikan kisah kami bersama istri tercinta," giliran Satria yang mengungkapkan. Mereka berdua lantas saling menatap, sementara semua tamu undangan termasuk aku dan Kanya telah menunggu sebuah kalimat. Kami tidak ada yang paham acara kali ini, tinggal pulang saja ternyata masih ada prosesi. "Bertemu sebab sama-sama patah hati, mungkin itu tema yang Tuhan pilihkan untuk kisah percintaan kami," Lettu Rania bersuara sembari menatap mesra suaminya. Jadi ingat saat Kanya menatap mataku dalam, ketika dia ingin menyanyikan sebuah lagu untukku di acara pernikahan kami. Tatapan Lettu Rania sekarang dan tatapan Kanya waktu itu sama persis, mesra dan dalam. "Kami sama-sama patah hati ketika bertemu pertama kali dalam acara pengamanan tahun baru di Simpang Lima, Semarang. Mengawali kisah dari seorang teman juga pelampiasan, menangis bersama sebab hati yang patah tengah berbenah," Satria begitu manis dan puitis menceritakan alurnya. "Menjalani kisah dengan berbagi gundah, melepas keluh kesah tentang hati yang tidak pernah berhenti resah. Maka saya ucapkan terimakasih kepada Kapten Rengga atas rasa sakitnya untuk istri saya, Lettu Rania." Kanya langsung menatapku, "ternyata Om Satria masih sama gilanya dengan 2 tahun yang lalu, Yah. Sebut merk coba, kenapa tidak diinisialkan?" Aku justru mengkhawatirkan hal lain, Satria boleh tanpa malu menyebut nama itu. Tapi Kanya tidak menyadari apakah dia siap malu untuk itu. "Terimakasih telah meninggalkan Rania dan memilih orang lain yang lebih tepat. Bahwasannya Allah menunjukkan bahwa saya ialah orang yang tepat bagi Rania melalui rasa sakit itu. Sungguh terimakasih telah memilih orang lain," kalimatnya begitu manis.  Rania tersenyum, "benar, jika kami bertemu dalam keadaan patah, bak ranting dahan kering yang belum diinjak saja sudah patah.  Kami terus berbagi sampai akhirnya kami menemukan penawar luka. Jika tulang yang patah masih bisa menyatu lagi, mengapa hati tidak bisa diperbaiki? Nyatanya kami bisa saling mengasihi setelah terabaikan oleh kasih pujaan hati. Maka..." Jantungku langsung berdegup kencang jika menurut runtutan kalimat Satria, jika kalimat Rania akan sama intinya dengan Satria, maka Kanya siap menanggung malu ketika namanya disebut. "... terimakasih untuk Kanya Bhakti Mayanetra karena telah memilih seorang prajurit tentara sebagai pendamping. Jika kamu tidak memilih seorang tentara, Satria tidak akan menjadi milikku, sudah pasti dia menjadi milikmu. Tuhan memang perencana yang baik, sekali lagi terimakasih tidak memilih Satria sebab dia bukan yang terbaik untukmu, dia yang terbaik untukku." Kanya lantas terdiam setelah namanya disebut, dia yang tadinya tersenyum dengan pipi merah langsung meredup. Mungkin dia malu ketika namanya disebut sebagai seseorang yang membuat hati Satria patah, nyatanya memang begitu. Kenyataan asam yang harus diterima. "Terlepas dari itu, kami telah sama-sama mengenang masa lalu itu dengan rasa syukur. Memang Tuhan selalu menyediakan bahagia bergantian dengan kesedihan," Satria bersuara. "Untuk dua nama yang telah kami sebutkan, terimakasih atas segala kenangannya, kini kita telah sama-sama menempuh hidup yang bahagia." Semenit kemudian mereka menundukkan punggung memberi hormat kepada tamu undangan. Bergandeng tangan lalu Satria mencium kening istrinya. "Terimakasih telah memilih Ayah, laki-laki yang jauh dari sempurna tapi kamu sempurnakan," bisikku pada Kanya. Semua yang terjadi di masa itu telah menjadi kenangan yang lucu, ia telah membentuk masa depan dan bukan lagi waktunya menyesali apa yang telah terjadi. Benar bahwa kami telah memiliki hidup kami masing-masing. Acara terus berlanjut hingga penutup, kami tak langsung pulang ke Semarang, setidaknya masih ada satu hari lagi waktu libur yang kami punya. Atau lebih tepatnya, waktu cutiku dengan Om Mukti juga Tante Dea, Kanya sih memang 2 hari ini libur. Kami kembali ke rumah Uti Rahmi juga Kakung Ganang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD