bc

Sandhya

book_age16+
661
FOLLOW
7.7K
READ
family
love after marriage
pregnant
goodgirl
sensitive
drama
sweet
bxg
suger daddy
female lead
like
intro-logo
Blurb

[Series Senja & Purnama]

Setiap gelap itu memiliki masa cahayanya

Maka setiap hidup yang berat itu memiliki masa bahagianya

Sandhya ialah masa dimana warna jingga merupakan bahagia

Kisah ini terhubung dengan Senja dan Purnama, hingga akhirnya tercipta Jingga di langit Indonesia.

Maka nikmatilah kisah ini bersama dengan Senja yang berganti Purnama, esok engkau akan menemui Sandhya di ujung hari.

Bacalah bersama dengan secangkir kopi atau cokelat panas.

Nikmati juga bersama dengan cinta dan kasihmu untuk Indonesia.

chap-preview
Free preview
S A T U
Selamat pagi bumi Pertiwi, selamat pagi pula untuk mentari, bahan utama pembentuk Sandhya di sore hari. Kembali lagi denganku, Purnama, seorang Ayah, Suami dan Prajurit TNI. Jika kemarin ialah cerita dari sudut pandang istriku, mari lanjutkan cerita itu dari sudut pandangku. Ini ialah kisah dua tahun setelah kami berpindah, setelah Mukti menikah, dan setelah Kanya berhijrah. Kami hidup layaknya keluarga pada umunya, tapi dengan bangga kukatakan bahwa kami lebih sering tertawa daripada menangis. Setidaknya selama dua tahun ini, tidak tahu esok hari. Pagi ini, aku dan Kanya tengah bersiap menuju tempat pertama yang akan dikunjungi Ara, putri kami. Adalah Sandhya, jingga dalam hidup kami. Cahaya yang paling indah di sore hari. Semua orang pasti tahu mengenai itu. Lantas kemana tempat yang akan dikunjunginya pertama kali? ialah tempat dimana Senja terlelap untuk selamanya. Meski tak pernah bertemu, Ara harus tahu seseorang yang hingga kini masih menaungi hati Bundanya. Seseorang yang memiliki makna sama sepertinya dalam hidupku maupun hidup Kanya. Pikirku pun setidaknya Cesa harus tahu betapa cantiknya putri kami saat ini. Mumpung ada kesempatan dan Ara sudah bisa diajak perjalanan jauh. Kesempatan sebab akhirnya pria yang mempermalukan dirinya sendiri di pernikahanku, hari ini akan resmi mempersunting anak orang. Alhamdulillah, bisa move on juga dia. "Yah," panggil Kanya dari dalam kamar. "Ponsel Bunda dimana ya? Perasaan tadi Bunda taruh di meja kamar deh." Teriaknya lagi. Aku dan Ara yang tengah menunggu Kanya di depan ruangan hanya saling menatap. Anakku ini pasti tahu apa yang tengah dicari oleh Bundanya, makanya dia langsung menatapku dengan datar. "Enggak usah dicari, jangan kebanyakan muter-muter juga, Bun. Nanti beli lagi lah!" Balasku santai, sebab keberadaan ponselnya tak begitu penting. Yang terpenting adalah dia tak banyak berjalan ke sana ke mari dalam keadaan hamil. Iya, Kanya tengah hamil anak kedua kami. Sudah tiga bulan, tunggu, jalan empat bulan usianya dan satu bulan yang lalu baru saja mengalami pendarahan, itu sebab dia bekerja tak kenal waktu. Dan itu hampir membuat kami kehilangan janinnya, sebab terlalu lemah kala itu.  Maklum PNS Kominfo seringkali sibuk di tahun politik, hoaks atau ujaran kebencian merajalela. "Beli lagi? Kaya Ayah mau beliin aja!" "Iya nanti Ayah belikan. Apa? iPhone 7, Samsung S9+, atau mau Nokia 1200?" Candaku tetap dari tempat dudukku. "Keburu nikahannya Om Satria selesai, Bun. Kebiasaan deh kalau dandan itu lama." Tidak ada jawaban namun Kanya keluar dengan dibalut kebaya tanpa roknya. Dia masih mengenakan celana santung. Terkadang aku suka bingung, style kondangan macam apa seperti itu. "Ya ampun, Kakak bawa ponsel Bunda kok enggak bilang-bilang, Sayang. Ayah juga kenapa diam saja?" "Kan, Bun, Ikan," mengajukan ponselnya pada Kanya. "Iya, Sayang ikannya nanti ya?" Menggendong Ara sambil mengalungkan tas selempang di bahunya. Aku hanya bisa menganga, ini bukan Kanya sekali. Dia selalu tampil modis ketika pergi ke kondangan. Nah ini, berantakan sekali style-nya. Baju kebaya sebagai atasan dan celana santung sebagai bawahan? Belum lagi, sandal jepit? "Bunda berjam-jam di kamar cuma buat dandanan kaya gini?" Tanyaku memandangnya dari ujung kaki hingga kepala. Oke, hijabnya tidak ada masalah. Dia memang sering kali tampil dengan gaya hijab sederhana, bukan yang dililit-lilitkan banyak sekali. "Siapa yang dandan? Bunda cuma persiapan sedikit saja, Yah. Begini loh, kita mau perjalanan tiga jam, itu pun kalau lancar lewat tol dengan kecepatan standar membawa anak kecil. Selama tiga jam itu perjalanan panjang, memakan waktu, nah kalau dandan dari rumah, sampai sana rusaklah. Nanti dandan di rumah Uti Rahmi," jawab Kanya berikut penjelasannya yang tidak lengkap, lalu dia pergi lebih dulu masuk ke dalam mobil. Giliranku mengunci rumah dan memastikan segala sesuatunya. Entah ada apa dengan Kanya akhir-akhir ini, tapi dia seringkali lupa. Rasanya bukan faktor usia, tapi faktor baby yang tengah dikandungnya. Kemarin saja aku harus membobol mobilku sendiri karena Kanya meninggalkan kunci di dalam mobil. Termasuk kunci cadangannya. Belum lagi Kanya meninggalkan kunci rumah di salah satu gerai ponsel ternama di Solo. Dia juga sempat lupa mematikan kompor ketika memanaskan air untuk Ara mandi sore. Sampai airnya hampir habis baru ingat. Semua berlangsung di tiga bulan terakhir. "Duh, Nak. Semoga kamu tidak sepelupa Bundamu nanti ya?" Batinku menggeleng kecil sebelum naik ke dalam mobil. "Om Mukti sama Om Shandi jadi nebeng, Yah?" Tanya Kanya ketika aku mulai melajukan mobilku. "Jadi, biar bisa gantian nyetirnya sama Om Mukti, Bun. Kan enggak mungkin istriku yang lagi hamil ini bergantian menyetir sama Ayah," jawabku berhenti di rumah Uti Shinta. Hanya ada Om Shandi sebab yang lain tengah sibuk dengan bisnis Kakung Bayu. Sibuk keluar kota sembari jalan-jalan. Bagiku sih tak masalah, Uti butuh Qtime dengan Kakung di masa senjanya. "Berangkat," Om Shandi memerintah setelah kaki kanannya melangkah masuk ke dalam mobil. "Hallo ponakan, Om. Sini sama Om saja nanti nonton bola lagi," berusaha meraih Ara dari pangkuan Bundanya. "Jangan kebanyakan dikasih teknologi, Om. Apalagi ponsel, boleh diajari tapi jangan terlalu sering. Kak Ara lebih butuh sosialiasi secara langsung, bukan melalui media," tegurku padahal Om Shandi belum memberikan ponselnya. Aku dan Kanya memang sudah sepakat tidak memberi ponsel, sekalipun bermain harus dengan pengawasan kami. Tadi Ara main ponsel? Tidak, dia hanya melihat pola ponsel yang tidak bisa dibukanya. Baik ponselku maupun ponsel Kanya memiliki sistem lock yang dinyalakan. "Tenang, Yah. Cuma sebentar saja kok, lagi pula Dik Ara, aduh bukan sekarang sudah mau jadi Kakak," menggoda Ara yang ternyata sudah berada di pangkuannya. "Lagian Kak Ara itu Pelor, nempel langsung molor. Lihat saja tak sampai lima menit dia sudah tidur. Memang mirip Ayah kamu, Kak," mencubit gemas Ara yang tengah tertawa. "Om," Ara menunjuk-nunjuk ponsel Om Shandi. "Iya, tenang saja." Tak lama, Om Mukti datang dengan istrinya, Tante Dea yang tengah hamil 7 bulan. Perutnya besar sekali dan katanya memang kembar. Untuk itu kami mulai perjalanan selama kurang lebih 3 jam. Mobilku jelas melaju tidak begitu kencang, membawa dua Ibu hamil dan satu balita tidak boleh mengebut. Benar apa kata Om Shandi tadi, Ara memang balita pelor, nempel langsung molor. Baru juga 3 menit sudah terlelap dalam pangkuan Om kesayangannya, bahkan bola yang dia tonton belum selesai. Lagipula aneh juga Om Shandi itu, keponakannya perempuan tapi disuguhkan video pertandingan bola. Apa dia berharap keponakannya jadi pemain bola perempuan? Aku yang Ayahnya bahkan berharap dia bisa menjadi seseorang yang merubah Indonesia menjadi lebih baik, entah Guru atau penulis. Tapi harapanku terkadang berubah-ubah. Baru satu jam perjalanan, Kanya menutup mulutnya, seperti orang yang hendak muntah. Dia tak pernah begini sebelumnya, selalu baik-baik saja dan bersahabat dengan mobil. Mabuk perjalanan? Selama kami berpacaran hingga menikah, dia tak pernah begitu. "Menepi dulu, Bang," usul Om Mukti yang langsung mencari-cari tissue juga air mineral di jok paling belakang. "Mbak, turun dulu, Mbak," sigapnya Om Mukti turun dari mobil dan merawat istriku. "Em, Tante Dea pindah depan, sementara Om Mukti nyetir dulu saja ya? Biar Mbak di belakang sama saya," usulku menghampiri Kanya yang tengah membuang semua isi perutnya, padahal itu juga nutrisi bagi anak keduaku. Aku memijat tengkuknya sembari menahan Tante Dea yang hendak membantu, dia tengah hamil dan orang hamil itu sulit dikontrol. Jika dia melihat Kanya muntah-muntah, dia juga bisa ikut muntah-muntah. Pikirkan saja betapa repotnya laki-laki yang ada jika kedua perempuan itu muntah-muntah semua.  "Ada minyak angin enggak, Yah?" Disela-sela suara lemahnya, Kanya menggenggam tanganku dan meminta minyak angin. "Ada, kita masuk dulu, nanti Ayah olesin sambil dipijit ya?" Mengangkat bahunya. Kami kembali masuk ke mobil setelah Kanya sedikit lebih baik. Untung Om Satria menikah tidak di pagi hari, tapi di siang hari. Jadi kami tidak akan terlambat. Mengantisipasi hal-hal semacam ini, hal yang tidak terduga sebelumnya. Kumulai memijit tengkuk Kanya, membalurinya dengan minyak angin panas.  Sampai dia terlelap dalam dekapanku, menyandarkan kepalanya di dadaku. Semacam bayi besar. "Itu pengaruh kandungannya juga kali ya, Bang?" Om Mukti bersuara, dia pasti ngantuk jika tak bersuara. "Iya, Om. Kanya mungkin enggak ngidam yang aneh-aneh, maksudnya kaya minta ini itu yang sulit dituruti. Tapi perilakunya jadi aneh, dia jadi pelupa, teledor, mood naik turun sih masih mending juga. Anehlah, kadang dia muntah gitu pas lihat sesuatu yang bahkan tidak begitu menjijikan sebelumnya. Bayangkan saja dia lihat ulat bulu di TV bisa sampai muntah-muntah. Anehlah!" "Masih mending sih, Bang. Nah Dea dulu Abang tahu sendiri." Kupandang Tante Dea yang tengah terlelap juga. Kuingat betul saat Om Mukti terlalu banyak izin untuk menunggui istrinya, seringkali gagal fokus karena istrinya. Setidaknya satu bulan sekali selama 4 bulan, Tante Dea harus menikmati infus rumah sakit. Itu lebih ribet sejujurnya, sebab tentara tak akan mudah izin pada atasan. Untung kala itu Yonif tak banyak kegiatan yang urgent, jadi masih bisa dikontrol. Om Mukti juga bisa izin dengan tak banyak halangan. "Suasana jadi kurang sedap ya, Mas?" Om Shandi bersuara dari kebosanannya. "Kenapa?" Om Mukti menyahut. "Mas Mukti bisa memandangi Mbak Dea, Ayah bisa gitu pelukin Bunda, Nah aku? Hanya bisa memeluk boneka kesayangan bernama Ara sambil memandangi pemandangan di sekitar jendela," keluhnya menatap pemandangan alam di tepian jalan tol. "Mengenaskan sekali!" Om Mukti bercanda dari balik kemudinya. "Makanya nikah, Om. Nikah enak loh, beneran. Apalagi kalau sudah punya anak, iya sih kadang pusing ngurusnya, tapi itulah seni terindah dalam sebuah keluarga," ikut menyahut dengan suara lembut, takut membangunkan Kanya yang masih terlelap tidak sempurna. Sesekali jari-jemarinya bahkan meremas lenganku, mungkin dia menahan mual di dalam perutnya. Om Shandi menatapku, "ini lagi usul yang asal. Ayah mau membiayai keperluanku dan keperluan istriku selama kami berdua masih kuliah tapi sudah menikah? Kalau mau biar besok aku bilang sama Uti sama Kakung." "Ayah ngasih s**u Kak Ara saja suka lupa, ngasih uang buat biaya hidup keluargamu, Om, berat!" Kanya ikut menyahut padahal matanya terpejam. Kubilang apa, orang yang terpejam karena mual itu tidak sungguh-sungguh sedang tertidur, hanya memaksa mata terlelap agar lupa dengan rasa mual yang memutar. "Ya makanya itu, Bunda. Mending senang-senang dulu daripada mikir menikah, ribet orang nikah tuh," sahut Om Shandi tidak mengerti apa-apa tentang menikah. "Lebih ribet lagi orang pacaran, nikah tuh semua halal, Om. Kaya gini, halal nih," menunjuk pelukanku pada Kanya. "Izin, Ndan," Dea mengeluarkan suaranya setelah hanya tawa. "Kenapa semua panggilan di sini terkesan aneh? Dik Shandi memanggil Mas dan Mbaknya dengan sebutan Ayah dan Bunda, bukankah itu terlalu aneh?" Aku tersenyum, Kanya tetap memaksa matanya terlelap dan bibirnya tidak peduli. Dea mungkin belum banyak tahu mengenai pendidikan bagi anak di rumah, itu tak hanya menjadi tanggung jawab kedua orang tua, tapi juga semua yang ada di lingkungan sekitarnya. "Sebelum saya menjelaskan, lebih baik jangan gunakan pangkat dan embel-embel institusi saat dalam acara non formal," tegasku sebelum memulai penjelasan panjang mengenai hal sederhana dalam pendidikan anak di rumah. Mobil melaju pada kecepatan standar, cukup nyaman untuk bercerita panjang lebar dan berbagi ilmu kepengurusan anak. Bukan lagi waktunya membicarakan soal keamanan negara atau yang lainnya. "Begini, Tante Dea. Namanya pendidikan untuk anak itu tidak melulu dari orang tua, anak cenderung mengikuti orang-orang yang ada di sekitarnya. Mungkin nih, wajarnya hanya aku dan Kanya sebagai kedua orang tuanya yang membiasakan panggilan tapi nantinya Kak Ara kan sering main sama Om Shandi, Uti, Kakung, Pakde Raka atau Budhe Anna. Nah kalau misal mereka tetap memanggilku dengan Sada, anakku pada akhirnya kan ikutan manggil itu. Jadi semuanya dikondisikan seolah-olah semua orang menjadi Kak Ara, Uti manggil kami juga Ayah dan Bunda. Singkatnya begitu," jelasku sembari mengusap rambut Ara, kepalanya yang bersandar pada d**a bidang Om kesayangannya. "Oh, sedikit paham, Ndan, eh, Bang. Terimakasih," Dea tersenyum kecil, sesekali mengelus perut besarnya. "Semoga kami bisa merawat kadua baby kami sama seperti Abang dan Mbak Kanya merawat Ara." "Aamiin," Om Mukti berseru paling kencang.  "Yang penting lahir selamat dan sehat wal'afiat, yang tak kalah penting semoga benar cowok semua, nanti satu jadi tentara satu masuk kepolisian. Menciptakan sinergi kekeluargaan yang luar biasa nantinya," candaku membuat Kanya memukul lemah lenganku. "Aamiin," sontak semua berseru. Perjalanan panjang masih kami lakukan, pelan namun pasti menjaga dua ibu hamil juga satu anak kecil. Perjalanan panjang pertama kalinya setelah dua tahun ini tak punya banyak waktu untuk bersama dalam waktu yang lama. Mari bertemu dengan Senja juga menghadiri sebuah pesta.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kujaga Takdirku (Bahasa Indonesia)

read
76.1K
bc

Switch Love

read
112.6K
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.5K
bc

True Love Agas Milly

read
197.9K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
35.3K
bc

Long Road

read
118.3K
bc

The Perfect You (Indonesia)

read
290.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook