Stratford

1053 Words
Setelah satu jam mengemas barangku dengan sangat terburu-buru, aku keluar dari rumah memakai sweater abu-abu mahal milik Mella. Aku masih meradang soal dia. Ibu memakiku untuk membayar ganti rugi uang kasir, tapi aku tetap tidak mau melakukannya. Toh, bukan aku yang mencuri. Kakiku berhenti berlari di halte bus. Usai membagi uang yang tersisa, aku sadar kalau aku tak bisa pergi terlalu jauh karena aku harus mencari flat murah. Ngomong-ngomong soal flat, apa ada yang harganya di bawah lima ratus euro per bulan? Kuharap aku bisa menawar nanti. Tempat mengadu nasib yang hendak kutuju adalah Stratford-upon-Avon, warwickshire. Yap, tempat itu terkenal karena di sanalah Shakespeare lahir. Aku pernah sekali ke sana, saat menghabiskan musim panas terakhir bersama teman sekolah. Dari Bridgnorth, tempatku berada saat ini, bisa mengabiskan tiga jam dengan kereta dan bis. Aku tidak bisa memikirkan lokasi lain karena aku jarang sekali bepergian jauh. Di akhir musim dingin, salju mencair membuat sisi jalan agak licin suhu dan udara masih menggigit. Orang-orang biasanya lebih suka duduk di ruang tengah dengan perapian menyala. Tetapi, aku sedang mengantri untuk membeli tiket bis di Harp Inn menuju Wolverhampton. Apa aku takut untuk hidup sendiri? Entahlah, aku justru lebih suka melakukan apa pun sendiri setelah aku berumur tiga belas. Sudah lama aku jengkel akan kemampuan ‘membaca objek’ yang kumiliki ini. Bayangkan saja, setiap aku bersentuhan kulit dengan teman, aktivitas yang mereka lakukan dua puluh empat jam terakhir melintas begitu saja dalam benakku. Aku tidak mempermasalahkan kegiatan sehari-hari mereka di rumah. Namun, jika kegiatan itu sama dengan apa yang dilakukan Mella dan Sir Joe di toilet, aku jadi sulit untuk mengobrol seperti biasa. Aku mengangkat tas duffle besar berwarna abu-abu berisi perlengkapanku begitu bis menepi di depan halte. Kepalaku menoleh ke belakang sebelum naik. Lihat, Ibu saja tidak mengejarku. Dia tidak memperdulikanku lagi.     Tiga puluh menit berlalu begitu cepat, aku sudah sampai untuk menaiki kereta di Bilston street. Tubuhku bergerak menuruni tangga menuju stasiun bawah tanah bersama kerumunan lain. Usai membeli tiket, aku masuk ke gerbong terdekat. Beruntungnya aku langsung mendapatkan tempat duduk. Tas besar kutaruh di antara kaki, aku memainkan ponselku sambil menunggu. “Permisi,” seseorang duduk di sampingku, sontak aku mendongak dan terdiam. Wah, cantik sekali dia. Dari parasnya, terlihat kalau dia orang asia. Rambutnya hitam legam, disanggul dengan elegan. Dia memakai dress puff shoulder hitam yang ketat serta potongan bagian depan yang rendah. Okay, orang dengan pakaian semewah itu biasanya menaiki mobil. Wanita itu menoleh, menatapku dengan manik tosca cemerlang miliknya. “Hello.” “H-hai …,” responku. Dia tersenyum, lalu mengalihkan pandangan ke depan. Hmm, mungkin dia hanya mencoba untuk ramah. Atau dia risih karena aku memperhatikannya tadi? Aku tertidur selama sepuluh menit, kereta sudah hampir tiba di pemberhentianku di Hawthorns. Aku sampai di Stratford upon-avon dua jam kemudian setelah transit. Tas besar kutenteng, kakiku berjalan di tepi jalur jalan raya utama, menyeretku ke market terdekat. Aku perlu mencari kontrakan. Langit mendung, angit menerpa dengan kencang, hujan mulai turun begitu aku berhasil masuk ke toko terdekat. Kurogoh uang di saku celana, untungnya tersisa uang untuk membeli koran. Kalian mungkin bertanya, kenapa aku tidak mencari di internet? Maaf, aku memakai ponsel 2G peninggalan ayahku. Alasannya? Ponsel android terlalu berisik, walaupun—kuakui—dia serba bisa. Sambil duduk di bawah payung besar milik toko, jemariku menyisir tulisan halus di atas kertas keabu-abuan. Menelisik jumlah flat yang murah dalam sebulan. Hujan menghalangiku untuk menjelajah, jadi aku terpaksa menelpon si pemilik kontrakan tanpa bisa menyaksikan langsung kondisi kamar yang mereka tawarkan. Hujan makin deras, jaket mahal milik Mella tidak bekerja begitu baik, badanku masih bisa merasakan kedinginan. Tiga induk semang menolak memotong harga sewa mereka yang di atas lima ratus euro. Ibu-ibu terakhir membentakku sambil mengatakan kalau dia tak ingin kamarnya digunakan untuk tempat prostitusi. For god sake, aku bukan adik tiri yang nafsuan itu! Suara desahannya pernah kudengar di rumah saat Ibu dan Tuan Abe pergi berbelanja. Saat itu aku bangun untuk mengambil segelas air. Begitu melewati pintu kamarnya, suara tarikan napas Mella yang lantang membuatku terkejut, di susul suara desahan seorang laki-laki dan hentakan kulit dengan kulit. Mereka berdua sedang berhubungan badan di tengah malam! Saat itu Mella bahkan belum lulus SMA. Hujan berhasil menyipratkan noda di sepatu putihku. Apakah ini keputusan yang bagus? Maksudku, aku tinggal sendirian di kota asing. Bagaimana kalau aku tewas di sini? Apa mereka akan datang ke pemakamanku? Arrg, Fania! Kau mulai overthinking lagi. Langit agak cerah ketika jarum pendek menunjuk angka lima. Bagus, sebentar lagi bumi akan diselimuti kain gelap dengan bintang-bintang dan aku belum menemukan satu pun tempat untuk berbaring nyaman jauh dari suhu dingin. Kusandarkan kepala di punggung kursi kayu panjang di taman yang masih lembab. Aku sempat berjalan menuju dua lokasi flat terdekat, dua-duanya memasang enam ratus euro per bulan, dan mereka berdua lansung mengusirku ketika aku menawar sampai di bawah lima ratus. Apa mereka tega membiarkan seorang perempuan tidur di luar? Mungkin tidak. Di London, banyak sekali mereka yang tinggal di jalan. Tua atau muda, perempuan atau anak-anak. Rasanya sejak zaman peperangan berakhir, situasi mereka tetaplah sama. Aku menghembus napas berat, menatap tas besar di pangkuan. Jika aku kembali sekarang, aku harus rela menerima tuduhan Sir Joe, omelan Ibu sekaligus membayar ganti rugi atas pencurian yang tidak kulakukan. Well, aku sudah biasa disalahkan. Tuduhan dan pengucilan adalah keseharianku, buat apa aku menghindar sekarang? Segalanya sudah terjadi. Aku menghela napas. Baiklah, aku akan kembali ke Bridgnorth, ke rumah terkutuk bersama ibu kandung yang mungkin akan memakanku ketika sampai di sana. “Hello.” Aku baru saja hendak melangkah pergi ketika suara itu menegur dari belakang. Kuintip sosok itu dari balik bahu, dia wanita dengan gaun hitam di kereta tadi. Sekarang dia menghampiriku dari jalan berlawanan sambil berlindung di bawah payung bening yang mulai mengering. Manik toscanya lagi-lagi membuatku terkagum. Kepalaku menoleh ke sekitar, aku tidak tau dia menegur siapa. “Aku?” “Ya.” Dia berhenti tepat di hadapanku. “Kurasa kau sedang kesusahan. Aku bisa membantumu kalau kau tidak keberatan.” Aku bungkam. Apa-apaan dia? Orang asing yang datang menawarkan bantuan tentu membuatku seketika memasang tembok kewaspadaan. Wanita anggun itu masih memasang senyum lebar, perlahan aku melangkah mundur. “Tidak, aku baik-baik saja.” “Sungguh? Terus kenapa kau tidak pulang sekarang? Sebentar lagi hujan kembali turun.” Yang benar saja, aku merasakan rintikan air dingin dari atas perlahan jatuh lagi. Aku tergagap. “Aku ada urusan di sekitar sini.” “Oh.” Manik toscanya menyisir taman yang semakin sepi karena orang-orang bergegas menepi dari gerimis. Dia kembali menatapku yang sedikit lebih tinggi. “Sebaiknya kau meneduh dulu. Rumahku di sekitar sini, bagaimana kalau mampir sebentar? Sekedar menghangatkan diri di dekat perapian bersama teh dan kue.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD