3. Aku mohon berhentilah!

2334 Words
Tangan Naura menyisip dalam kemeja basah yang Ravin kenakan. Tubuh dingin itu terasa kontras dengan sentuhan hangat dari jari-jemari Naura. "Sini biar aku buka kemejanya!" bisik Naura tepat di telinga Ravin. Bisikan Naura berhembus pada leher Ravin seakan menjadi godaan yang membelai lembut dirinya. Kehangatan yang Ravin rasakan dari tangan Naura juga menambah raksi luar biasa yang Ravin rasakan. Satu per satu kancing baju itu dibuka oleh Naura, semakin kulit tubuh Ravin terlihat, semakin berdebar pula hati Ravin kala itu. Belum lagi, hembusan napas dari Naura yang menerpa tubuh Ravin terus menerus seakan memberikan sengatan kecil yang menjalar nyaris ke seluruh tubuhnya. "Sumpah, aku seperti ini karena aku adalah laki-laki yang normal. Aku bukan tergoda olehnya, tapi semua ini normal." Ravin membantah gejolak di hatinya saat tubuh Naura yang benar-benar sangat dekat dengan tubuhnya. Ketika di hatinya terbersit sebuah keinginan yang kuat untuk mendekap Naura. Sejak mendapatkan restu dan dukungan dari Nara, tindakan Naura benar-benar semakin berani pada Ravin, padahal mereka baru saja dekat dan bisa dibilang Ravin bahkan nyaris tidak tahu banyak hal tentang Naura. Kali ini apa yang Naura lakukan juga adalah sesuatu yang tidak bisa Ravin bayangkan sebelumnya. Sekuat tenaga Ravin menepis pikiran buruknya yang seakan ingin melahap Naura. "Sial, ini semua karena hujan sialan itu!" tepis Ravin sembari memegang kedua tangan Naura yang saat ini justru menyentuh gesper di celana Ravin. Rintik hujan memang masih terus menguyur kota malam itu, tak terkecuali kafe yang Ravin jalankan juga diguyur oleh hujan tersebut, dan semua hujan itu pula lah yang membuat situasi kacau seperti saat ini. Saat itu Ravin sudah mulai bersiap-siap untuk menutup kafenya. Seluruh pegawai di kafe tersebut juga sibuk dengan rutinitas mereka sebelum kafe benar-benar tutup. Begitu pula dengan Ravin, ia juga memiliki kebiasaan tersendiri saat kafe hendak tutup. Sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi Ravin untuk membawa pulang beberapa kue yang untuk Nara. Ia sangat senang saat melihat wajah ceria adiknya nanti ketika memakan kue buatannya yang ia bawakan. Sehingga Ravin pun mulai secara rutin membawa kue-kue tersebut untuk adiknya di rumah. "Hmmm.. Dia pasti memujiku, nanti!" benak Ravin dengan senyuman di wajahnya. Sebuah senyuman bangga pada dirinya sendiri yang telah memberikan seluruh perhatiannya pada sang adik saat membayangkan Nara akan memuji setiap kue yang ia bawa pulang tersebut. Sambil terus menerka reaksi yang akan ia lihat dari Nara lagi, Ravin terus menyiapkan beragam jenis kue untuk dibawa pulang satu per satu ke dalam kotak kue yang memang sudah ia siapkan. Persiapan penutupan kafe oleh para pegawai kafe itu pun hampir selesai, sampai tiba-tiba saja ada seseorang yang kembali mencoba masuk ke kafe tersebut. "Mohon maaf, kami sudah tutup!" tutur Ravin secara otomatis saat mendengar pintu kafenya terbuka saat Ravin yang saat itu malah fokus pada menu kue yang terpajang di kafe tersebut. Wajah Ravin yang semula menyapa dengan riang tersebut berubah menjadi layaknya seekor angsa, lebih tepatnya Ravin sedang cemberut saat ia melihat siapa yang sebenarnya datang ke kafe tersebut. Bibirnya maju ke depan dengan wajah yang berkerut serta tatapan tajam yang memicing dengan runcing tepat menjurus ke satu arah. Sapaan riang tersebut tiba-tiba berubah menjadi kelam, begitu melihat sosok yang muncul dari pintu tersebut adalah Naura. "Selamat malam cintaku! Di luar hujan, aku membawa payung dan menjemput pacarku pulang!" "Aku akan mengantar kamu dengan selamat sampai rumah!" Nada ceria mengisi seluruh kafe yang hanya tinggal beberapa pegawai saja. Naura tersenyum lebar ke arah Ravin yang memperlihatkan dengan jelas ketidak sukaannya. Tapi, tentu saja itu tidak membuat Naura tersinggung sama sekali. Sudah tak terhitung jumlahnya Naura yang terus berada di sekitar Ravin tak peduli seberapa banyak Ravin menolak dirinya, seberapa sering Ravin mendorongnya menjauh atau berapa kali pun ia mendapat beragam ekspresi dari Ravin. Naura tetap saja bagaikan petasan yang meledak kapan pun dan di mana pun. Bagi Ravin Naura itu muncul layaknya sebuah jerawat yang muncul tiba-tiba saat bangun tidur. Tak diinginkan namun masih tetap tidak bisa dihilangkan. Satu-satunya cara hanyalah dengan membiarkan jerawat berada di sana begitu saja. Hingga ia meledak dan kempes dengan sendirinya, tidak boleh di usik jika tidak ingin jerawat itu semakin meradang dan menjadi-jadi. Merusak pemandangan tapi juga begitu menggoda untuk menyentuhnya, memecahkan tonjolan kecil yang menyebalkan itu, begitulah sosok Naura bagi Ravin. "Kamu terharu, kan? Pacarmu menjemputmu!" "Ayo ngaku!!" ungkap Naura dengan penuh percaya diri sambil mengibaskan rambutnya. Masih kesal dan tak habis pikir dengan apa yang Naura lakukan. Ravin pun akhirnya mengomel dengan segala ocehannya yang seperti biasa cukup bernada tinggi dengan sejuta peringatan yang intinya juga masih itu-itu saja. "Berhenti memanggilku dengan panggilan 'pacarku' seperti itu, atau jangan juga bilang kekasihku, atau sayangku, apa lagi cintaku!" Itu adalah peringatan yang entah ke berapa kalinya dari Ravin untuk Naura. Ravin mengatakan hal itu sambil terus menunjuk-nunjuk ke arah Naura, seakan itu adalah sebuah peringatan yang sangat tegas dari Ravin. "Ah satu lagi!" "Aku mohon berhentilah!" "Berhentilah, bertingkah seperti orang wanita yang benar-benar mencintaiku saja!" sambung Ravin dengan kesal sambil berbalik badan dan kembali meneruskan persiapannya untuk pulang dari kafe. Tidak ada orang yang tidak senang jika mendengar ada orang yang menyukai kita. Meski kita tidak membalas untuk menyukainya tentu saja kita masih bisa merasa senang akan hal tersebut, tak tekecuali dengan Ravin. Ia tentu saja merasa cukup senang saat menyadari ada wanita yang mencintai dirinya, ketika ada orang-orang yang mengaku peduli padanya. Tetapi Naura justru seakan terlalu mudah mengatakan ungkapan cintanya yang bertubi-tubi pada Ravin. Hal itu membuat Ravin jadi sedikit meragukan perasaan yang Naura rasakan untuk dirinya. "Hei, tentu saja aku benar-benar jatuh cinta padamu!" "Sejak pertama kali kita bertemu hatiku langsung tahu jika aku ingin menjadikanmu tambatan terakhirku. Aku harus memilikimu, hanya kamu," jawab Naura dengan penuh keyakinan. Ia pun terdengar sedikit tersinggung saat Ravin meragukan perasaan tulusnya itu. Lagi-lagi jawaban lantang dari Naura justru membuat Ravin semakin tidak yakin dengan pengakuan cinta tersebut. Pasalnya, Ravin bukanlah penganut cinta pada pandangan pertama. Baginya, semua tidak ada yang instan. Harus ada yang namanya sebuah proses dan alasan yang jelas. Tapi, Naura malah dengan lantang menjawab dia jatuh cinta sejak pertama kali bertemu. Keraguan itu memang cukup besar, tapi berkat itu pula, rasa penasaran Ravin pada Naura juga ikut meningkat. Ia semakin ingin memastikan perasaan Naura yang sebenarnya pada dirinya entah itu di sadari oleh Ravin atau tidak. Sesungguhnya, Ravin perlahan mulai tertarik pada Naura dan sepertinya Naura telah berhasil menyusup perlahan di hati Ravin. "Pokoknya aku tidak percaya!" Ravin bersikeras hingga ia pun selesai berkemas dengan beragam jenis kue yang akan ia bawa pulang. Seiring dengan selesainya seluruh pekerjaan di kafe. Naura pun bergegas melepas kepergian para pegawai layaknya sang pemilik kafe tersebut dengan pecaya diri, lebih bisa dibilang jika Naura memang sengaja mengusir para pegawai kafe tersebut agar ia bisa berduaan dengan Ravin lebih cepat. "Terima kasih atas kerja kerasnya hari ini. Tolong titip pacarku lagi besok kakak-kakak yang cantik dan tampan! Sampai jumpa!" Penuh keceriaan, Naura melambaikan tangannya pada para pegawai kafe tersebut yang telah usai dengan seluruh pekerjaan mereka. Sosok Naura bahkan sudah tak asing bagi para pegawai kafe, entah bagaimana Naura bisa akrab dengan mereka semua dan terkadang membuat Ravin meragukan statusnya sebagai pemilik kafe. Mereka lebih menurut pada Naura dari pada Ravin sang pemilik kafe yang sebenarnya. Terkadang Ravin semakin merasa terjajah oleh Naura yang muncul layaknya jerawat yang menyembul sesuka hati tanpa bisa dihalangi itu. Masih dengan wajah angsanya itu, Ravin tak menjawab apa pun yang menjadi perkataan Naura padanya, ia mengabaikan Naura layaknya makhluk yang terlihat. Andai kata Naura itu makhluk yang tak terlihat alias makhluk gaib, maka sudah pasti Ravin akan menjadi orang pertama yang melarikan diri. Justru lebih bagus lagi jika Naura tergolong dalam kelompok makhluk yang tak terlihat, dengan begitu mungkin Ravin mampu melarikan diri dengan pasti tanpa ada perasaan asing yang terkadang membuatnya tidak bisa meninggalkan Naura begitu saja. Walau dengan alasan cemas bila Naura malah mengganggu orang lain nantinya. Dalih yang selalu ia pakai untuk menjaga Naura tetap di sampingnya dengan jarak aman yang tidak membuat Naura bisa berhenti tiba-tiba hanya karena merasa gemas saat melihat sebuah bunga mekar yang indah di pinggir jalan. Tingkah Naura memang selalu saja membuat Ravin geleng-geleng kepala. "Bagus, mereka semua sudah pergi. Sekarang tinggal kita berdua di sini!" Naura menampikkan smirk di wajahnya saat ia telah berhasil mengusir para pegawai kafe tersebut. Sudah jelas apa arti dari senyuman licik itu. Naura lagi-lagi hendak menjalani aksi barunya, mendekati Ravin dengan segala strategi yang akan ia lakukan. Ia tersenyum culas sambil melipat lengan bajunya. "Sebelum pulang ajarkan aku bikin bolu gulung terlebih dahulu, dong!" pinta Naura. Ini adalah permintaan Naura yang kesekian kalinya, ia ingin Ravin mengajarkannya untuk membuat beragam camilan manis yang ia sukai dan salah satunya adalah bolu gulung. Tentu saja, Ravin menolak mentah-mentah permintaan tersebut. "Ayolah, memangnya kenapa?" "Kenapa tidak mau mengajarkan aku? Ajarkan yang sederhana saja, ayolah!" rengek Naura. Ravin hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia tegas akan pendapatnya yang tidak ingin mengajarkan Naura membuat kue apapun. "Kalau begitu jelaskan!" "Jelaskan kenapa kamu tidak mengizinkan aku membuat kue?" Naura sudah gerah akan penolakan dari Ravin tersebut, ia mungkin tidak terlalu ambil pusing saat Ravin menolak cintanya. Akan tetapi, jika Ravin juga menolak untuk mengajarkannya membuat kue, maka Naura benar-benar kecewa pada Ravin. Apa lagi, ini adalah kesekian kalinya Ravin menolak untuk mengajarkannya membuat kue yang rasanya tidak ada hubungannya dengan penolakan perasaan dari Ravin. "Kamu sudah menolak cintaku, tapi kenapa pula kamu menolak mengajarkan aku membuat kue?" "Ini tidak adil, kamu benar-benar tidak adil." "Aku kan juga ingin bisa membuat kue yang cantik-cantik itu." Naura terlihat kecewa, kedua bola matanya mulai tampak berkaca-kaca dengan raut penuh kesedihan yang juga terlihat jelas. Sejenak, keheningan pun tercipta dari Naura yang saat itu sedang kecewa. Hal itu sedikit mengusik Ravin, menggoyahkan pertahanannya saat ia harus menyaksikan seorang wanita yang bersedih. Tembok dingin itu nyaris saja rubuh saat air mata yang tampak akan menetes tersebut. Akan tetapi semua sirna saat Naura berkata, "Harusnya kamu membantuku saja membuat kue. Mungkin aku jadi tidak perlu datang setiap hari menghampirimu dengan alasan membeli kue jika aku sudah bisa membuatnya sendiri." Kekesalan itu kini berubah jadi sebuah amarah dari Ravin. Ia menatap lekat Naura sambil mengulang lagi ucapan Naura. Mungkin agar Ravin tidak salah mengartikan dari ucapan Naura tadi. "Memangnya kamu benar-benar akan pergi jika sudah bisa membuat kue sendiri?" Naura pun mengangguk dengan pasti, "Mungkin saja, bisa saja kan aku menghilang setelah mencuri semua resep rahasiamu!" Terlepas dari Naura telah salah bicara atau tidak, tapi ekspresi Ravin benar-benar tidak bisa dianggap biasa. Ravin kali ini memperlihatkan amarahnya yang serius. Sebuah ekspresi yang bahkan baru kali ini Naura lihat, membuat Naura hanya bisa menarik napasnya dengan dalam demi menenangkan hatinya sendiri. "Pokonya tidak boleh, kami baru selesai membereskannya karena sudah tutup. Tapi kamu mau menghancurkan dapur kafe ini lagi?" dalih Ravin pada Naura atas penolakan Ravin tersebut. "Kamu tidak kasihan pada karyawan kafe ini? Mereka sudah susah payah membersihkannya! Kamu malah meminta untuk mengajarkan kamu membuat bolu." Di antara penjelasan kasar Ravin yang berhasil membuat Naura tertunduk sedih. Menjadikan Ravin semakin tidak tega melihat gadis yang biasanya berteriak dengan riang itu kini malah terlihat murung. "Kalau mau, aku ajarkan di rumah saja nanti!" Penawaran gila tiba-tiba muncul dari Ravin yang sudah pasti membuat Ravin langsung menyesali penawarannya itu begitu Naura menyetujuinya dengan cepat. Kesempatan emas yang sangat langka keluar dari mulut Revin. Rasa senang pun seketika menyelimuti Naura. "Ini pertama kalinya ia menawarkan sesuatu padaku!" benak Naura yang merasakan sedikit kemajuan pada hubungan mereka. Ravin memang sering mengomel, ia mengeluh akan segala hal yang Naura lakukan. Tapi, tak pernah sekalipun muncul penolakan yang benar-benar tegas darinya, salah satunya kesempatan yang ia berikan kali ini, padahal tadi Ravin menolaknya, namun tiba-tiba saja Ravin malah setuju untuk mengajarkannya nanti. Akhirnya, Naura pun pulang dengan riang saat Ravin sudah setuju untuk mengajarkannya membuat kue. "Bisa-bisanya kamu bilang cinta padaku tapi kamu malah pergi dengan mudah saat sudah berhasil mendapatkan resepku." Meskipun Ravin cukup bernapas lega saat melihat Naura kembali ceria, walau dalam hati Ravin sedikit tersentak atas pernyataan Naura yang mungkin saja akan meninggalkan dirinya bila kelak ia sudah bisa membuat kue sendiri. Tapi, Ravin belum benar-benar bisa tenang. Justru saat ini Ravin malah menghadapi hal yang jauh lebih berbahaya lagi. Beberapa saat setelah mereka keluar kafe dalam kondisi hujan. Tiba-tiba saja tanpa sengaja tubuh keduanya terkena oleh cipratan dari mobil yang lewat. Membuat baju keduanya kini basah, padahal mereka baru saja keluar dari pelataran kafe tersebut dan belum lagi mengunci pagar kafe tersebut. "Waaah.. basah semua." Ravin saat itu juga terlihat kesal, kini pakaiannya mereka kotor dengan air hujan yang bercampur dengan lumpur tersebut. Rumah Ravin tidak terlalu jauh dari kafe, mereka bisa berjalan kaki untuk bisa sampai, tapi saat Ravin melihat ke arah Naura. Pakaian Naura benar-benar sudah menerawang, memperlihatkan pakaian bagian dalamnya dengan cukup jelas. "Sepertinya ini tidak bisa dibiarkan!" gumam Ravin saat melihat kondisi menyedihkan dari keduanya. Apa lagi, saat Naura yang tiba-tiba saja bersin membuat Ravin saat ini semakin cemas bila mereka tetap berbasah-basahan seperti saat ini. "Kita harus ganti baju saja dulu. Kamu sudah bersin seperti itu, nanti bisa terkena flu." "Aku punya beberapa pakaian cadangan di kafe!" Tanpa ragu, Ravin pun menarik tangan Naura dan membawanya kembali ke dalam kafe yang kini memang hanya tinggal mereka berdua saja. "Ravin, apakah kamu mulai mencemaskan aku?" tanya Naura begitu Ravin menyodorkan baju ganti pada Naura. Ravin nyaris tersedak bahkan di saat ia tidak menyantap apapun di mulutnya. Hanya saja, tenggorokannya benar-benar terasa sangat tidak nyaman dan ia terbatuk kecil begitu mendengarnya. "Apaan sih!" "Cepat ganti pakaianmu sana!" Mengabaikan Naura yang kala itu masih terus berharap mendengar bahwa Ravin mencemaskan dirinya. Namun, Ravin dnegan tegas menunjuk ke arah sebuah ruangan yang tak jauh dari posisinya berdiri. "Ganti saja pakaianmu, nanti masuk angin!" Peringatan terakhir itu Ravin berikan sambil ia langsung berbalik badan dan mulai mencoba untuk membuka kancing bajunya. Akan tetapi, tiba-tiba saja, bak sambaran petir yang datang di tengah hujan deras. Naura langsung menarik tubuh Ravin membuatnya terpojok dengan pakaian Ravin yang bahkan belum sempat ia buka. "Aku lebih ingin mengganti pakaianmu daripada pakaianku sendiri!" Begitulah mulanya sampai Naura tanpa ragu menyisipkan tangannya pada tubuh Ravin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD