4. Aku belum siap.

1306 Words
"Jangan dibuka, nanti ularnya bisa lepas dia sangat berbisa dan bisa mematukmu nantinya!" ucapan itu keluar begitu saja saat Ravin menahan tangan Naura yang hendak membuka gesper celananya. Air menetes dari pakaian keduanya yang basah, mengotori lantai kafe itu dengan tetesan lumpur yang sebelumnya terciprat ke tubuh keduanya. Keheningan yang tercipta membuat suasana saat ini semakin tegang, tak terkecuali perut Ravin yang juga sudah ikut kencang, menahan napas dalam selama yang ia bisa. Setiap kali gerakan gemulai dari Naura pada tubuhnya. "A-apa yang kamu lakukan?" Gugup dan nyaris tak berani bertanya, takut jika apa yang ia pikirkan itu malah sama dengan apa yang saat ini sedang ia inginkan. "Aku belum siap, kita baru bertemu Naura!" "Sungguh, ularnya sangat liar dan tidak akan terkendali jika ia keluar dari sarangnya!" teriak Ravin dengan segenap hatinya sambil menutup kedua matanya, ia tidak sanggup jika harus melihat langsung Naura yang membuka gesper celananya, saat Ravin masih bisa merasakan tangan Naura berada pada pinggangnya itu. Keheningan memang tercipta untuk beberapa saat setelah teriakan ajaib dari Ravin yang menggema hingga ke sudut ruangan di kafe tersebut. Hanya saja, di saat Ravin mengira bahwa Naura benar-benar menghentikan aksinya, di saat yang sama suara tawa pecah dari Naura. "Kamu memikirkan apa sih?" Tawa kecil pun sempat terdengar dari Naura. "Apa kamu berpikir untuk kita melakukan hal itu di sini?" tanya Naura yang malah membuat wajah Ravin langsung memerah dan malu. "Ravin, kamu membayangkan kita melakukannya?" Sudah pasti saat ini Ravin tidak bisa menjawab apapun. Ia hanya tertunduk malu dengan segala pikiran kotornya. "Ah, sial!" umpat Ravin lagi saat ia menyadari kesalahannya setelah mengatakan hal yang sedikit kotor itu. Sesuatu yang malah membuat Naura menyadari isi pikirannya. "Ha-ha-ha!" Tawa kini benar-benar terdengar lepas dari Naura saat ia mendengar umpatan dari Ravin tersebut. Hal yang membuat Ravin rasanya lebih ingin menguburkan dirinya ke dalam lubang. Aka tetapi, berkat pemikiran kotor Ravin tersebut pula kini Naura menyadari harapannya yang cukup besar untuk bisa memiliki Ravin. Pandangan mata Naura kini tertuju pada Ravin yang sudah tertunduk, tubuh yang tak lagi mengenakan pakaian, otot yang berjajar keras di tubuh atletik Ravin, serta tetesan air yang melintasi barisan otot tersebut membuat Naura memiliki sebuah ide cemerlang yang layak untuk dicoba. "Yah, tidak apa jika kamu memikirkan hal itu. Aku juga tidak keberatan." "Bahkan jika ular itu benar-benar liar, maka aku yakin jika aku bisa menjinakkannya dengan baik!" Naura mengatakan hal tersebut sambil mendekatkan tubuhnya, menempelkan tubuh Naura dengan berani pada pria yang kini sudah setengah tak berbusana itu, membuat genggaman Ravin yang semula ada pada kedua tangan Naura kini terlepas begitu saja. "Aku tadinya benar-benar hanya ingin menggodamu dengan mencoba mengganti pakaianmu, siapa sangka reaksimu malah seperti ini." "Sungguh, aku tidak keberatan bila ular liar itu mematukku. Aku malah dengan senang hati menjadi pawang ular tersebut." Kali ini tindakan yang jauh lebih berani Naura lakukan, ia meletakkan telapak tangannya pada kancing resleting celana Ravin dan mulai menurunkannya. Suara resleting itu seakan menyetrum Ravin, membuat gema yang mungkin malah menembus ke hatinya. Napas Ravin seakan terhenti dengan debaran jantung yang sudah memenuhi gendang telinganya. Sementara itu, Naura malah berpaling menuju ke ruangan yang sebelumnya Ravin tunjuk pada Naura. Meninggalkan Ravin yang saat itu masih mematung dengan celana yang mendadak melorot dan terlepas ke lantai. "Sial, gadis itu benar-benar mempermainkan aku!" pekik Ravin yang seakan sudah kalah total memandang punggung Naura yang sama sekali tak lagi menoleh ke arahnya. "Tuh kan, ularnya sudah bangun. Eh, malah ditinggal!" Ravin cukup gila dengan hal tersebut, saat ia harus bertahan dengan ular yang mungkin sudah mulai mendesis marah, mencari mangsa yang siap ia lahap. "Apanya yang hanya ingin sekadar menggoda?" "Mau sejauh mana dia akan menggodaku jika seperti ini?" Pelan, pandangan mata Ravin pun mulai tertuju pada ular yang seakan ingin keluar dari sarangnya itu. Menyembulkan kepalanya dengan ketegangan yang sudah membuat ular liar itu berdiri tegak. Ravin benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah wanita yang satu itu. Semua yang Naura kerjakan tidak pernah ada yang beres. Selalu saja membuat Ravin menghela napasnya. Tetapi, terlepas dari tingkah konyol Naura. Apa yang Ravin lakukan saat ini justru yang paling terasa menyedihkan. "Bagaimana bisa kamu malah bangkit saat melihat pawangmu!" ungkap Ravin lagi pada ular liar yang kini sudah mulai ngamuk. "Hah! Sekarang bagaimana cara agar aku menenangkan kamu?" Gelengan kepala pun Ravin lakukan karena ular tersebut benar-benar sulit untuk di kendalikan dan satu-satunya cara yang terpikir oleh Ravin adalah "kamar mandi." "Ah, tampaknya tidak ada cara lain selain harus ke kamar mandi. Mungkin dia harus mengeluarkan bisa agar tenang kembali!" "Kamu mau ngapain di kamar mandi? Membuang bisa ularnya bagaimana?" "Kamu akan melakukan pekerjaan tangan seperti itu pada ular itu?" Siapa sangka ucapan tersebut malah didengar oleh Naura, padahal Ravin yakin jika saat ini mungkin Naura juga tidak akan mendengarkan dirinya dengan baik. Akan tetapi, Ravin yang sejak awal sudah kesal itu tentu saja langsung menanggapi Naura dengan sembarangan. "Iya, dia tidak bisa tenang dan ini salahmu!" "Memangnya kamu mau tanggung jawab dengan ular peliharaanku yang liar ini?" "Aku yakin kamu tidak akan bisa menanganinya!" Kekesalan Ravin itu siapa sangka malah memicu Naura untuk bertindak lebih berani. "Kata siapa aku tidak bisa?" sahut Naura dengan lantang dari balik pintu ruangan tersebut. "Aku yakin kamu tidak bisa, nanti yang ada bukannya menyentuh dengan lebur dan penuh kasih sayang, kamu malah mencekiknya!" Tampaknya Ravin mencemooh Naura, tapi Naura yang memang sudah sangat kesal saat ia dianggap tidak mampu memuaskan seorang pria itu akhirnya kembali mengatakan hal yang jauh lebih berani. "Aku bisa kok melakukannya, sungguh!" "Ha-ha-ha, aku tidak percaya. Mungkin menyentuhnya pun kamu tidak pernah!" Cemooh itu malah membuat Naura terpicu dan langsung menjawab sembarangan demi harga dirinya yang tinggi. "Kata siapa aku tidak pernah?" Bola mata Ravin mendadak membulat saat ia mendengar apa yang Naura katakan tersebut dan ia langsung membuka pintu ruang istirahat itu tanpa ragu-ragu. "Ular siapa yang sudah kamu sentuh?" Ravin bertindak tanpa pikir panjang, sedangkan saat itu dia saja belum mengenakan celananya dengan benar, hanya celana bagian dalam yang bahkan tidak bisa menampung tegangnya ular besarnya yang liar itu. Menyembulkan kepalanya yang nyaris menyentuh pusar. "U-ulaaaar!!! Naura jelas berteriak, sebuah teriakan yang tak bisa Naura elak saat pintu di buka dan hal pertama yang Naura lihat justru ular Ravin yang menyembul. Sadar dengan apa yang terjadi, Ravin pun langsung tertunduk malu sambil menutupi ularnya dengan kedua telapak tangannya. "Ups, maaf. Ularnya nyari pawang!" Akan tetapi, begitu menyadari reaksi kacau dari Naura, Ravin pun mencoba kembali mengganggu Naura. "Jangan bilang kamu takut dengan ularnya?" "Duh, apa juga katanya mau jadi pawang ular milikku?" "Omong doang, ah! Tidak seru!" "Kalau tidak berani, bilang saja!" ledek Ravin kemudian. Wajah Naura benar-benar merah saat ia mendengar Ravin mengatakan hal itu dengan segala ledekannya. Tapi, Naura yang memang sejatinya sangat tangguh itu pun kini menemukan sebuah cara baru untuk memiliki Ravin. "Baiklah, biar aku yang menjadi pawang ularnya." Naura mendadak mendekati Ravin lalu mencorongkan tubuhnya ke arah Ravin dan mulai berbisik pada telinga Ravin, "Jika aku tidak bisa memiliki hatimu, maka aku tidak keberatan bila harus memiliki tubuhmu." Seketika itu juga, pertahanan Ravin runtuh. Tangan yang tadinya menutup pada kelapa ular yang menyembul itu kini terkulai lemas saat ia mendengar suara setengah mendesah dari bisikan yang Naura katakan di telinganya. "Sial, aku kalah telak!" Ravin bahkan sampai membayangkan ular yang memang sangat menyukai gua sempit di tengah hutan belantara itu akan segera menjelajah mencari gua tersebut dengan liar. Plaaak ... Ravin menampar pipinya dengan kedua tangannya dan mencoba untuk menyadarkan dirinya kembali atas hasrat yang tiba-tiba datang padanya. "Sadarlah Ravin, apa yang sedang kamu bayangkan pada tubuh Naura?" Tubuh Ravin mendadak bergidik, apa lagi saat ini ternyata Naura juga belum selesai berpakaian, kancing kemejanya baru saja terbuka semua dan rok yang Naura kenakan juga sudah terlepas. "Jika seperti ini terus, kejadian yang diinginkan mungkin saja bisa terjadi!" pikir Ravin yang bahkan saat ini kesulitan untuk menghela napasnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD