9. Antara wanita dan pria dewasa.

2078 Words
"Ravin, menciumku?" "Katanya nanti asin?" Naura yang saat itu masih terkejut dengan bibir Ravin yang menempel di bibirnya. Pikiran Naura saat itu melayang tak karuan, sesuatu yang seharusnya terkesan romantis itu justru malah membuat Naura kebingungan. Janankan untuk memikirkan tindakan romantis yang bisa ia lakukan dengan Ravin saat ini. Faktanya Naura malah membeku dengan pikirannya yang seakan mencemooh apa yang sempat Ravin katakan padanya beberapa saat yang lalu. "Apa arti dari ciuman ini?" Naura bertanya-tanya akan arti ciuman yang membingungkan itu. Ciuman yang hanya membuatnya mematung dengan mata yang terus berkedip dengan cepat. Bibir keduanya menempel dengan lembut tanpa pergerakan. Tidak ada gerakan apapun dari Ravin begitu pula dengan Naura. Mereka hanya menempelkan bibir mereka masing-masing dengan sejuta kata yang hanya terbersit di dalam hati saja, tanpa bisa terungkap dengan kebisuan yang menjelma diantara keduanya. "Tuhan, apa yang aku lakukan?" Sementara itu, Ravin yang juga baru menyadari apa yang telah ia lakukan kini ikut terdiam mematung. Sungguh sebuah hal yang ia sendiri tidak sadari perbuatannya. Ia hanya langsung bertindak tanpa berpikir panjang. Panik setelah salah bicara, Ravin yang kala itu kalang kabut akhirnya tidak punya pilihan lain selain melarikan diri dengan mencium bibir Naura yang sebenarnya masih mencecar Ravin dengan segala pikiran semu yang ia punya. Rasa senang saat seakan Ravin melakukan banyak usaha hanya untuk menghabiskan waktu untuk mengajarkan Naura membuat sebuah bolu gulung. “Kenapa aku malah membungkam Naura seperti ini?” Niat hati ingin melarikan diri, Ravin justru semakin tidak bisa melarikan diri lagi dari Naura. Ravin bahkan bingung dengan apa yang dia lakukan. Mencium Naura tanpa aba-aba, melekatkan bibirnya tepat di bibir wanita yang saat ini sudah pasti jauh lebih bingung jika dibandingkan dirinya, dan satu hal yang paling mengejutkan lainnya adalah, Ravin ternyata saat ini sedang memejamkan kedua matanya, seolah menikmati bibir lembut yang melekat itu. "Ini belum cukup untukku. Aku ingin melumat bibirnya!" Sungguh pemikiran pendek yang tidak bisa Ravin hindari. Ia tidak peduli jika nanti ia akan ditampar oleh Naura, atau mungkin Naura akan menghindarinya dan lari darinya kelak. Tapi, setidaknya Ravin hanya ingin melakukan apa yang hatinya kehendaki. Diamnya Naura seolah menjadi peesetujuan yang membuat Ravin bertindak jauh lebih berani dari sebelumnya. Tanpa ragu lagi, kini Ravin meraih pinggang ramping wanita itu, mendekapnya agar semakin dekat dengan tubuhnya yang saat itu masih bersandar di pintu kulkas. Sekaan meminta Naura untk percaya padanya dan menyandarkan tubuhnya pada tumpuannya dalam dekapan Ravin. Tidak pula diduga oleh Ravin, Naura pun menuruti segala keinginan Ravin. Ia ikut menyenderkan tubuhnya, membuat tubuh mereka kini benar-benar tidak lagi ada jarak. “Bolehkah, bolehkan aku menginginkan lebih?” Begitu menyadari Naura yang menuruti kehendaknya, Ravin membuka mulutnya, menjulurkan lidahnya dan mulai melahap bibir mungil milik Nauar tersebut. “Naura, buka mulutmu sedikit!” Bibir itu terbuka dengan perlahan dan Ravin yang saat itu sudah tidak ragu akan tindakannya langsung menyisipkan lidahnya pada mulut Naura yang mulai terbuka. Jantung keduanya berpacu tanpa henti, lalu di saat Ravin mulai menocoba lebih mendorong lidahnya pada Naura, di saat itu pula hal yang semakin tak terduga tiba-tiba saja terjadi. “Apa yang kalian lakukan????” “Tidaaaak…” Teriakan tiada henti itu sudah bisa diduga sumbernya. Nara yang sebelumnya berniat untuk mengambil air minum di kulkas kini hanya mengomel tiada henti saat melihat kelakuan Ravin dan juga Naura. Pemandangan it terlalu jelas di mata Nara, ia melihat Ravin yang secara agresif mulai melahap Naura sedangkan Naura yang terlihat kebingungan itu bak sebuah robot yang hanya mengikuti perintah tanpa tahu apa yang benar-benar sedang dia lakukan. “Oh tidaaaak!!! Naura pasti sangat terkejut dengan perbuatan Ravin.” Sudah bisa Nara tebak, siapa dalang dari seluruh kekacauan ini. Bagi Nara yang merupakan kembaran dari Ravin sudah tidak heran dengan segala sikap iseng yang Ravin kerap lakukan. Menyuarakan segala keterkejutannya, Nara semakin mencecar Ravin yang melakukan hal tidak senonoh itu pada gadis polos yang ceria seperti Naura. “Dasar kamu ini!” “Ini siang bolong dan apa maksud dari seluruh kekacauan ini?” Omelan Nara semakin tidak terkendali, sedangkan saat itu Ravin yang sama terkejutnya dengan Nara, tidak bisa berdalih apapun. Setengahnya memang benar jika ia lah yang salah saat ini. Ravin yang tidak terlalu terbawa perasaan dan melarikan diri dengan cara yang salah. Tapi, Ravin juga merasa jika dia tidak sepenuhnya salah. Pasalnya Naura juga diam saja, menandakan bahwa Naura juga setuju dengan apa yang saat ini sedang mereka lakukan. “Apa sih, Nara?” “Kenapa kamu hanya memarahi aku saja.” “Aku tidak sepenuhnya salah, kok!” Jelas, jika Ravin mencoba membela dirinya. Sebagai sedikit pernyataan bahwa ia memang bersalah namun tidak benar-benar bersalah dan Ravin berharap jika Nara bisa bersikap adil dan dewasa saat ini. “Lagian, tidak ada yang salah melakukannya antara wanita dan pria dewasa, kan!” Setelah melontarkan isi kepalanya yang hanya sebatas hasrat dunia itu saja, Ravin pun menatap ke arah Nara yang saat ini justru tak terdengar lagi suaranya. Ternyata, Nara sedang melipat kedua tangannya di depan, seraya menatap sinis ke arah Ravin yang membatu di depan kulkas tersebut. “Ka-kamu harusnya mengerti dan jangan mengganggu!” Perkataan itu terdengar perlahan memudar, seiring kata yang keluar nada bicara Ravin juga semakin rendah dan nyaris terdengar samar. Sementara itu, Nara malah semakin terlihat murka. Ia menatap lekat ke arah Ravin sampai Ravin sendiri merasa salah tingkah. “Bu-bukannya kamu yang setuju jika Naura menjadi kakak iparmu?” Suara Ravin semakin terdengar terbata-bata, nyaris tidak bisa bicara dengan benar. Nara sama sekali tidak percaya akan perkataan Ravin, sebelumnya ia sendiri tahu seperti apa kerasnya usaha Naura untuk mendekati Ravin dan semua itu sia-sia. Lalu, sekarang Nara mendengar dari mulut Ravin sendiri tentang pengakuan hubungan yang tidak masuk akal itu. “Aku setuju jika kamu bisa membuat Naura bahagia. Tapi, apa yang kamu lakukan?” “Apa yang kamu lakukan pada Naura, jangan permainkan dirinya, jangan suka memanfaatkan perasaan orang yang mencintaimu.” Seketika mendengar pernyataan itu, Ravin pun ikut terdiam dan mulai tertunduk cukup dalam. Ia kembali merenungkan apakah dirinya menyetujui hubungan mereka hanya karena keegoisannya atau ia memang benar-benar mau menerima perasaan tulus Naura. Sedangkan saat ini, Ravin sendiri menyadari bahwa Nara adalah salah satu wanita yang cinta tulusnya di sia-silakan oleh pria yang ia cintai. Perasaan cinta yang membuatnya harus berkorban sangat banyak. Melebihi dari apa yang bisa dibayangkan. Nara yang terluka tidak hanya di hatinya, tubuhnya, bahkan saat ini Nara rusak dengan mentalnya yang sulit untuk di sembuhkan. Seakan menyadari letak kesalahannya, Ravin bahkan sampai tidak bisa meminta maaf dengan benar. Bibirnya kelu dan lidahnya terasa kaku, pikirannya melayang dengan hembusan napasnya yang terasa mencekik. Ravin menyesali tindakannya yang tidak pikir panjang itu. “Maafkan aku!” Sayangnya, Nara yang sudah emosi itu menarik kasar baju Ravin yang sudah berantakan itu. Nara hendak menghukumnya, mungkin dengan beberapa kali hentakan sudah cukup untuk membuat Ravin jera dan tidak berbuat sesuka hatinya pada Naura. “Kamu lebih mirip, pria …” Jangankan mendengar perkataan Ravin yang selanjutnya, begitu Nara menyentuh kemeja Ravin, sebuah sensasi unik pun bisa ia rasakan. Sebuah cairan kental dan sedikit terasa hangat bisa Nara rasakan dari kemeja tersebut. Sebuah cairan yang bertekstur kental, sedikit lengket dan berwarna bening. Cairan yang membuat Nara langsung membayangkan satu hal tentang cairan kental tersebut. “Raviiiiiiin!!!” Teriakan itu memekakkan telinga, begitu lantang kan keras bahkan membuat Ravin sendiri tersentak mendengar teriakan dari Nara tersebut. Secara otomatis, Ravin menutup telinganya sambil bergidik dan menatap penuh kebingungan ke arah Nara, sampai saat Nara yang penuh dengan kemurkaan itu akhirnya membuka kembali suaranya. Mengatakan hal yang bahkan tidak terduga oleh Ravin. “Apa yang kamu lakukan di dapur?” “Oh, tidaaaak!!!” Nara menggelengkan kepalanya, ia menatap Ravin semakin lekat dengan kedua tangannya yang terkena cairan kental itu ia kibaskan berkali-kali. “Ah, tidak. Seharusnya malah tidak boleh melakukannya. Kamu menodai Naura yang polos?” “Ya Tuhan! Ba-bagaimana ini?” Tubuh Nara gemetar dan pandangannya terlihat tidak fokus. Sedangkan Ravin saat ini masih bingung dengan Reaksi berlebihan dari Nara. Perasaan, Ravin hanya mencium bibir Naura, tapi Nara bertindak seolah Ravin sudah sangat bersalah pada Naura. Memng benar, jika Ravin mengakui dia mencium Naura tanpa izin, ia mengaku bahwa saat ini perasaannya saja tidak jelas untuk Naura, dan itu semua memang adalah sebuah kesalahan, tapi rasanya ia tidak sampai di cerca oleh Nara seolah telah melakukan dosa yang besar. “Tenang lah, Nara ini hal biasa!” Melihat Nara yang gemetar, tentu saja Ravin sangat cemas dengan kondisi adiknya tersebut. Ravin jadi takut kalau serangan panik adiknya malah kembali kambuh dan sudah pasti, bila itu terjadi, akan membutuhkan waktu untuk menenangkan Nara. Akan tetapi, semakin Ravin mencoba menenangkan Nara, amukan Nara malah semakin menjadi-jadi. “Kamu masih bisa meminta aku untuk tenang, setelah kamu menodai seorang gadis polos?” Pukulan pertama melayang dari Nara, sedikit ringan mendarat pada bahu bagian belakang Ravin yang saat itu berusaha melindungi dirinya. Akan tetapi, saat Ravin yang mencemaskan kondisi Nara yang bisa saja terkena serangan panik itu mencoba untuk memeluk Nara. Tiba-tiba saja tamparan keras melayang pada pipi Ravin. Hentakan keras yan mengenai kulitku terasa kebas dan membuat pipiku sedikit terasa panas dan perih. Menandakan kuatnya tenaga dari Nara yang menampar pipiku itu. Tindakan yang serius dan tidak pernah Ravin rasakan semasa hidupnya. Kali ini, Ravin mulai sadar jika Nara tampaknya benar-benar saat ini marah besar. “Aku salah apa?” Walau amarah Nara terlihat jelas, Ravin masih saja bingung dengan segala tindakan dari Nara tersebut. Hingga akhirnya, Nara kembali mengoceh dengan segala isi hatinya yang penuh kekecewaan. “Ravin, apa kamu tidak bisa menjaga ular sakti itu dengan baik?” “Bisa-bisanya kamu keluar di dapur seperti ini sampai mengotori kemeja kesayangan yang sangat kamu jaga itu?” “Tidak cukup kah kamu mempermainkan hati Naura yang tulus dan sekarang kamu malah melakukannya pada Naura mungkin sedang mengharapkan kasih sayangmu!” Nara menangis sambil mengatakannya, ia langsung berbalik arah pada Naura dan memeluk wanita itu dengan penuh kasih, kehangatan, serta air mata kepedihan. “Maafkan kakakku, maafkan Ravin, dia telah salah padamu. Aku tidak menyangka dia tega melakukan itu padamu!” “Maafkan dia, Naura!” Isakan tangis itu semakin menjadi-jadi, sedangkan kala itu Naura yang mulai paham akar dari kesalahpahaman Nara membuat keduanya terdiam dan bingung harus bereaksi seperti apa. Pasalnya itu adalah kesalahan Naura yang mengelap seluruh ingusnya yang sedang meler itu pada kemeja Ravin. Membuat cairan kental yang ada di kemeja Ravin menjadi sumber salah paham pada Nara. “Tidaaak!! Kamu salah paham!” “Bukan seperti itu.” “Hei, Nara dengarkan penjelasanku dulu?” “Ini bukan hal yang seperti itu. Aku masih suci. Sumpah!” “Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu. Percayalah padaku!!!” Ravin tentu berusaha sangat keras untuk meluruskan segala salah paham yang Nara alami. Ia berjuang menjelaskan satu per satu dengan kalimat yang bertubi-tubi. Membuat Nara malah semakin memicingkan matanya seolah tidak percaya dengan apa yang Ravin katakan. “Berhenti beralasan, cepat minta maaf pada Naura!” Merasa tidak ada kemajuan, Ravin tentu menatap ke arah Naura dan mulai mencecar Naura untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya. “Naura, jangan diam saja. Kamu bantu dong!” “Kamu lupa ini semua juga bukan hanya salahku!” Ravin menatap lekat ke arah Naura yang saat ini malah memalingkan wajahnya. Seakan dia tidak tahu apapun dan tidak ikut campur dalam hal tersebut. “Heiiii.. berhenti menyalahkan Naura!” Dibandingkan dengan meladeni seluruh ocehan Ravin, Nara malah lebih marah ketika Ravin bertindak seakan Ravin saat ini memaksa Naura untuk membantunya. “Kamu pikir aku akan percaya begitu saja!” “Jangan mengancam wanita yang tulus mencintai kamu Ravin. Tentu saja dia akan menurut semua permintaanmu!” Sebagai seorang wanita yang juga merasakan perasaan yang sama seperti Naura. Nara sangat paham akan hal tersebut, sebuah perasaan p********n yang berdalih atas nama cinta. Sejujurnya, Naura mau saja mengaku jika Nara saat ini salah paham. Tapi, ia juga merasa sangat gengsi jika harus mengaku bahwa ia menangis dan membuang semua ingusnya pada pakaian kesayangan Ravin tersebut. Ia juga tidak berani mengatakan bahwa sebelumnya justru ada kejadian yang lebih mengejutkan dari pada saat ini. “Jika saja, Nara juga tahu tragedi ular mendaki gunung itu. Bisa-bisa riwayat kami berdua memang benar-benar tamat.” Menyadari segala setelah berpikir cukup panjang tersebut, Naura pun akhirnya memutuskan untuk tetap tutup mulut dan mengabaikan Ravin yang saat ini habis-habisan di cecar oleh Nara. “Sabar ya, Ravin. Sebagai wanita yang mencintai kamu. Aku akan mendoakanmu saja!” benak Naura yang saat itu terus saja menghindari pandangan matanya dengan Ravin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD