10. Haruskah aku menyerah?

1158 Words
“Sepertinya aku terlalu terburu-buru!” “Seharusnya kita tidak usah pacaran. Maafkan aku. Aku tidak bisa melanjutkannya!” Perkataan itu tegas Ravin ungkap pada Naura, seakan tidak pernah terjadi apapun di antara keduanya. Bahkan setelah mengatakannya pada Naura, Ravin langsung berbalik badan dan meninggalkan Naura begitu saja. Hari masih terang kala itu, tapi entah bagaimana bagi Naura justru terasa begitu kelam. Matahari bahkan belum redup dan udara masih cukup terasa panas. Sedangkan bagi Naura ia justru merasakan dingin yang menyesakkan. Hatinya terasa kosong dan hampa, bak tenggelam dalam lautan penuh dengan es yang membuat tubuhnya merinding, mematikan seluruh sistem sarafnya, membekukan aliran darahnya dan membuat paru-parunya seakan berhenti memompa. Naura sesak hanya karena mendengar kalimat tegas dari pria yang ia cintai itu. “Ah, aku telah salah melangkah!” Hanya itu yang terpikirkan oleh Naura saat ia menyadari apa yang mungkin menjadi kesalahan terbesarnya. “Seharusnya aku menjelaskan semuanya pada Nara tadi!” “Dia sangat mencintai adiknya, tentu saja aku yang salah telah mengabaikan fakta tersebut.” Napas berat dan panjang pun, Naura hela dengan segenap penyesalannya. Ia sadar jika bagi Ravin yang terpenting saat ini hanyalah adiknya saja, Naura tidak tahu apa yang membuat Ravin begitu terobsesi dengan Nara. Ia bahkan sebelumnya tidak tahu jika Ravin memiliki Nara di hatinya. Saat mereka baru bertemu, ia hanya mengejar Ravin tanpa pikir panjang. Tanpa berpikir jika mungkin saja Ravin sudah memiliki kekasih atau mungkin saja seorang istri. “Bahkan jika semua hal yang aku lakukan selama ini mendapatkan pembenaran, pada intinya aku hanya wanita egois yang tidak memikirkan perasaan siapa pun.” “Hanya perasaanku saja, hanya keinginanku saja, hanya mimpiku dan hanya sebuah anganku yang seharusnya tidak aku paksakan.” Sempat Naura putus asa saat melihat Ravin yang selalu menyiapkan beragam kue yang terkadang memang di buat khusus oleh Ravin untuk Nara. Rasa iri akan wanita beruntung yang mendapatkan perhatian penuh dari pria dingin bak bongkahan es tersebut. Akan tetapi, begitu Naura mengetahui jika Nara adalah adik kembarannya. Maka, bak mendapatkan sebuah kesempatan emas, Naura cukup girang dengan fakta tersebut. Walau sebenarnya, ia pun saat ini sadar jika apa yang ia lakukan seakan menjadi wanita paling egois yang ada di muka bumi ini. Wanita yang mengejar cinta dari seorang pria yang berulang kali menolaknya, membuang perasaannya, menepis rasa tulus yang ia berikan dan pria yang telah mengabaikan apa pun yang saat ini ia perjuangkan. “Tapi, itu semua bukan salah Ravin. Ravin wajar melakukan itu semua, karena aku lah yang terus mengitari dirinya, bak rembulan yang mengitari Bumi. Sampai aku lupa, bahwa Bumi lah yang saat ini mengitari sang mentari yang ukurannya jelas lebih besar dari pada hanya sebongkah rembulan yang dingin.” Penyesalan itu entah bagaimana bisa ia maklumi, rasa sakit yang ia rasakan seakan membuat Naura semakin menyadari rasa cinta yang ia miliki untuk Ravin. “Ah, bagaimana ini?” “Ternyata aku benar-benar mencintai dia!” Hati yang terasa menyesakkan itu kini lebur begitu saja, menguap bak bongkahan es yang disiram air panas. Naura menyesali perbuatannya, ia menyadari kesalahannya dan lebih parahnya lagi. Naura malah semakin mengakui perasaan kuat yang ia miliki untuk Naura bukanlah sebatas perasaan dangkal yang ia lakukan hanya untuk bersenang-senang. Apa yang Naura rasakan adalah sebuah perasaan yang sangat tulus, cinta yang baru ia rasakan dan langsung kandas pula dalam sekejap. Semua berakhir begitu saja, bahkan sebelum mereka memulai dengan benar hubungan mereka. Bak sebuah bendera yang hendak di kibarkan namun terlanjut diterpa angin dan terbang, bahkan sebelum bendera itu berkibar. Sialnya perkataan Ravin itu tidak bisa Naura bantah dan ia harus menerima sekali lagi penolakan dari Ravin. “Kenapa aku malah tidak mengerti dirinya?” “Ah, kenapa aku meremehkan perasaan ini?” Penyesalan tiada henti Naura rasakan, berulang kali ia mengucapkan hal yang sama, mempertanyakan tindakan yang sempat ia anggap sepele, dan kini Naura hanya bisa menatap punggung Ravin yang meninggalkannya tepat di depan pintu rumah Ravin tanpa menoleh sedikit pun pada Naura dan menutup pintu itu dengan sangat rapat. Naura sadar jika Nara jauh lebih penting dari dirinya. Bagi Ravin yang begitu terobsesi pada adiknya tersebut, kini benar-benar menyasali perbuatannya. Seharusnya Nuara membantu Ravin saat ia terpojok dan tidak berdaya kala Nara terus mececarnya dengan segala hinaan yang kasar. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan Naura harus mendapatkan hukumannya yang pantas untuk hal tersebut. Perihnya lagi, saat ini saja Naura masih bisa mendengar pertengkaran hebat antara Nara dan Ravin dari balik pintu yang sudah tertutup sangat rapat tersebut. “Apakah semua akan berakhir seperti ini?” Naura seakan hanya berjalan di tempat, ia terasing dalam perlombaan yang mungkin tidak pernah di selenggarakan. Malah, bisa dibilang jika penolakan yang kali ini ia rasakan adalah sebuah penolakan yang paling menyakitkan yang pernah Naura dapatkan dari Ravin. Tak peduli jika sebelumnya Ravin sudah menolaknya puluhan kali. “Haruskah aku menyerah?” Menyuarakan isi pikirannya yang penuh kepedihan, Naura pun akhirnya berbalik badan dan hendak untuk kembali pulang. Ia menyadari kesalahannya dan berencana untuk merenungkan kembali keinginannya. Sejenak, Naura memang ingin menyerah pada Ravin, namun nyatanya rasa yang ia miliki untuk Ravin melebihi dari apa yang sempat ia bayangkan. Naura seakan tidak mungkin menyerah begitu saja. “Tapi, jika aku mencoba untuk memulai kembali. Aku tidak tahu harus memulai dari mana!” Saat Naura tenggelam dalam segala kepedihan yang ada di dalam hatinya tersebut, di saat yang sama pula sebuah suara klakson mobil terdengar begitu keras dan kencang. Membuat Naura yang selama ini berjalan tanpa melihat ke sekitar menyadari jika ia telah sembarangan menyeberang jalan dan membuat dia kini berhadapan dengan sebuah mobil SUV yang sedang melaju kencang dan mungkin saja akan segera menabrak dirinya dalam hitungan detik. “Naura!!!” Tiba-tiba saja, suara itu menggelegar dalam gendang telinga Naura, suara yang tidak asing memanggil namanya, berusaha untuk menyadarkan Naura dari sepersekian detik pikirannya yang mencoba untuk melihat situasi. Kala itu Naura masih bingung dan mematung, namun sang pemilik dari suara itu ternyata bisa bergerak jauh lebih cepat dari apa yang Nuara bayangkan. Sebuah tangan yang terasa hangat menyentuh pergelangan tangan Naura menariknya dengan sangat keras dan membuat keduanya tersungkur di tepi jalan berbatu dengan suara klakson yang masih terdengar nyaring dan memekakkan telinga. “Apa kalian baik-baik saja?” Pemilik dari mobil SUV itu pun menanyakan kondisi dua orang yang kini terkapar di bebatuan tepi jalan. Berharap jika keduanya tidak mengalami sebuah masalah yang serius dan tentu saja, ia berusaha untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi saat itu. Sementara itu, Naura yang masih kebingungan tentang apa yang terjadi menatap lekat pada sosok yang telah menyelamatkan dirinya. Sosok yang benar-benar tidak asing dan semakin membuat hati Naura terasa sesak. “Nara!” Naura menyebutkan nama Nara sang penyelamat hidupnya saat ini, seorang wanita tulus yang sebelumnya membela mati-matikan perasaan Naura di saat Ravin di tuduh telah mempermainkan hati Naura. “Ah, apa yang telah aku lakukan?” Seketika sesal itu semakin membesar, jauh lebih menyesakkan dari sebelumnya. Apa lagi, saat ini ia melihat Nara sudah tidak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD