bc

Mantan Kekasihku yang Disia-Siakan

book_age18+
9
FOLLOW
1K
READ
revenge
dark
forbidden
love-triangle
contract marriage
HE
forced
opposites attract
second chance
arranged marriage
boss
heir/heiress
drama
tragedy
bxg
campus
city
childhood crush
disappearance
affair
substitute
like
intro-logo
Blurb

Bagi dunia luar, Sarah menjalani hidup bak putri dalam dongeng setelah menikahi pengusaha kaya raya. Bagi Maxime, pria yang masih mencintainya dalam diam selama enam tahun, pertemuan tak terduga hari itu membuktikan sebaliknya: dongeng itu palsu.

Wanita yang berdiri di hadapannya kini hanyalah bayangan dari Sarah yang dulu ia puja. Sarah berubah total. Ia kurus, ketakutan, dan menyembunyikan luka memar di balik riasan mahal. Tatapan matanya kosong, memancarkan keputusasaan yang begitu pekat, seolah ia sedang berjalan menuju tiang gantungan.Tapi yang membuat Maxime terpaku adalah benda yang dibeli wanita itu dengan putus asa: racun.

Ketika Maxime mengetahui bahwa Sarah kini tinggal tepat di unit seberang penthouse barunya, ia tahu ini bukan sekadar kebetulan. Ini adalah kesempatan kedua.

Maxime sadar waktu terus berjalan... Sarah terkurung dalam sangkar emas yang menyiksanya, dan Maxime bertekad untuk menghancurkan sangkar itu—atau mati saat mencobanya. Sebelum wanita yang dicintainya, benar-benar menyerah pada kegelapan!

chap-preview
Free preview
Prolog - Cuplikan Isi Novel
Pintu mahoni raksasa Unit 3402 berbunyi klik berat saat kunci biometrik terbuka. Sarah melangkah masuk, mengharapkan keheningan dingin yang biasa menyambutnya di rumah mewah ini. Namun, yang menyapanya adalah kekacauan. Lampu kristal di foyer menyala redup, melemparkan bayangan panjang pada lantai marmer Italia yang biasanya bersih mengkilap tanpa debu. Kini, lantai itu ternoda oleh jejak-jejak dosa yang ditinggalkan tanpa rasa malu. Sarah tidak menjerit. Ia tidak menangis. Ini adalah pemandangan yang sudah terlalu sering ia lihat, nyaris menjadi rutinitas harian. Sarah mulai berjalan, menelusuri "jalan setapak" yang mengerikan itu. Di dekat meja ruang tamu, sehelai kemeja linen mahal milik suaminya tergeletak begitu saja, kancing-kancingnya terlepas dan menggelinding di lantai, seolah ditarik paksa dengan nafsu yang tak terbendung. Sarah melangkah maju dengan kaki gemetar, dan menemukan kain lain. Sutra hitam yang robek. Itu lingerie—yang tentu saja bukan miliknya—terkoyak parah di bagian d**a, teronggok menyedihkan di atas karpet Persia. Perut Sarah mulai bergejolak hebat, rasa mual naik ke kerongkongannya. Langkahnya semakin berat, namun matanya tak bisa berpaling. Di sepanjang lorong menuju kamar utama, pemandangan itu semakin vulgar. Bungkus-bungkus kondom berwarna perak yang sudah disobek kasar berserakan di lantai, isinya yang sudah terpakai dibiarkan tergeletak begitu saja di samping vas bunga ming yang harganya ratusan juta. Mereka bahkan tidak repot-repot membuangnya. Mereka melakukannya di sini. Di ruang tamu. Di lorong. Seperti binatang liar yang menandai wilayahnya. Jantung Sarah berdegup kencang, menyakitkan, seirama dengan langkah kakinya yang mengikuti jejak pakaian dan sampah itu. Ia tahu di mana ujungnya. Ujung dari jejak menjijikkan itu berhenti tepat di depan pintu ganda kamar utama yang sedikit terbuka. Sarah berdiri mematung di sana. Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar. Dari celah sempit pintu itu, matanya dipaksa menyaksikan puncak dari jejak kehancuran yang baru saja ia lewati. Di sana, di atas ranjang king size yang seprainya baru saja diganti Sarah pagi tadi, dua tubuh sedang bergumul tanpa sehelai benang. Suaminya. Lelaki yang telah menikahinya enam tahun lalu. Dan wanita itu. Wanita dengan rambut merah menyala, yang selama ini selalu tersenyum dengan pandangan mengejek, antagonis terbesar dalam hidup Sarah. "Ahhh! Lebih keras, Sayang!" Desahan lantang wanita itu menembus udara, menghantam gendang telinga Sarah seperti palu godam. Itu bukan suara cinta. Itu adalah suara kemenangan. Suara ejekan bagi Sarah yang berdiri di ambang pintu, dikelilingi sampah kondom dan pakaian robek, seperti hantu yang tidak diinginkan di rumahnya sendiri. Sarah ingin menjerit. Ingin mendobrak pintu, memungut sampah di lorong dan melemparkannya ke wajah mereka. Namun, kakinya dipaku ke lantai. Tenggorokannya tercekat oleh gumpalan rasa mual dan sakit hati yang begitu pekat hingga ia lupa cara bernapas. Pertahanan dirinya jebol. Ia merasa kotor. Ia merasa bodoh. Ia merasa jijik. Bukan jijik pada hal binal yang dilakukan suaminya. Tapi jijik terhadap nasib buruknya. Tiba-tiba, sebuah tangan besar dan hangat mencengkeram lengan atasnya dari belakang. Sentuhan itu begitu mendadak dan tegas, menarik tubuh Sarah mundur menjauh dari celah pintu neraka itu sebelum ia sempat ambruk. Sarah tersentak, napasnya memburu panik. Dunianya yang berputar liar tiba-tiba dipaksa berhenti oleh sepasang lengan asing yang kini mengurungnya, memblokir pemandangan menjijikkan di dalam kamar itu dengan d**a bidang yang kokoh. Sarah menggigil hebat. Ia meronta lemah, matanya yang buram oleh genangan air berusaha mengenali siapa yang berani menyentuhnya. "Lihat aku." Suara itu rendah, berat, dan bergetar oleh amarah yang tertahan. Tangan besar itu beralih menangkup wajah Sarah, memaksanya mendongak. Jemari kasar namun hangat itu menghapus air mata yang baru saja turun di pipinya dengan gerakan yang hampir kasar karena frustrasi. Pandangan Sarah perlahan fokus. Dan saat ia mengenali wajah itu, jantungnya seolah berhenti berdetak sedetik. Rahang tegas yang mengeras. Mata elang yang tajam, kini berkobar dengan api kemarahan yang bisa membakar gedung ini hingga jadi abu. Aroma wood dan musk yang familiar—aroma masa lalu yang pernah menjadi rumah baginya. Maxime. Pria yang ia tinggalkan enam tahun lalu demi dongeng palsu ini. Pria yang kini menjadi tetangga di unit depannya, Unit 3401. Maxime tidak melihat ke arah pintu yang terbuka. Matanya terkunci sepenuhnya pada wajah Sarah yang hancur. Ada badai di mata itu—campuran antara rasa sakit melihat wanita yang dicintainya terluka, dan kebencian mendalam pada b******n di dalam sana yang menyebabkannya. "Apa kau mau terus hidup seperti ini, Sarah?" bisik Maxime. Suaranya menusuk, tajam, tanpa basa-basi. "Menjadi penonton bisu, dan menunggu sampai dia membunuhmu perlahan?" Pertanyaan itu menampar Sarah lebih keras daripada kenyataan di dalam kamar. Sarah terdiam. Bibirnya gemetar, tidak sanggup merangkai kata. Tidak, batinnya menjerit. Aku tidak mau mati... Maxime mencondongkan wajahnya, napas hangatnya menyapu bibir Sarah yang dingin. Tatapannya gelap, berbahaya, namun menawarkan satu-satunya jalan keluar. "Ayo kita balas dendam." Sebelum otak Sarah sempat memproses tawaran gila itu, bibir Maxime sudah menyambar bibirnya. Ciuman itu bukan ciuman manis reuni dua kekasih lama. Itu adalah ciuman perang. Kasar, menuntut, dan penuh rasa lapar yang telah dipendam selama enam tahun. Maxime melumat bibirnya dengan intensitas yang membuat lutut Sarah lemas. Awalnya, Sarah memberontak. Tangan kecilnya memukul d**a Maxime keras-keras, mencoba mendorongnya menjauh. Ini salah. Ini gila. Di depan pintu rumah suaminya—diiringi suara desahan wanita lain dari dalam sana. Namun, Maxime tidak bergeming. Ia menerima pukulan Sarah seolah itu hanya sentuhan bulu, justru semakin memperdalam ciumannya. Tangannya turun, meremas pinggang Sarah, menarik tubuh wanita itu melekat padanya tanpa jarak. Ciuman Maxime turun, menyusuri rahang, lalu menggigit kecil leher jenjang Sarah. "Mhh..." Suara desahan itu lolos dari bibir Sarah tanpa izin. Lemah, namun nyata. Dan seketika itu juga, desahan Sarah beradu dengan desahan lantang dari dalam kamar suaminya. Ironi itu membakar sisa-sisa keraguan di hati Sarah. Jika suaminya bisa menghancurkannya tanpa perasaan, mengapa ia harus peduli pada moralitas? Pukulan di d**a Maxime berhenti. Tangan Sarah perlahan naik, meremas kemeja di bahu pria itu, lalu melingkar di lehernya. Ia menyerah. Bukan pada Maxime, tapi pada iblis di dalam dirinya yang menuntut pembalasan. Tanpa melepaskan tautan bibir mereka, Maxime membungkuk dan dengan mudah mengangkat tubuh Sarah ke dalam gendongannya. Kaki Sarah secara insting melingkar di pinggang Maxime, melewati jejak kondom dan pakaian robek di lantai yang kini tidak lagi ia pedulikan. Lelaki itu berbalik, membawa Sarah menjauh dari pintu neraka Unit 3402, melintasi lorong, dan menendang pintu Unit 3401 yang sudah sedikit terbuka. Mereka masuk ke dalam wilayah kekuasaan Maxime. Pintu ditendang tertutup, mengunci mereka berdua—dan meninggalkan suara desahan laknat itu di luar sana. Di dalam penthouse Maxime yang temaram, hanya diterangi cahaya kota dari jendela raksasa, Maxime menurunkan Sarah perlahan hingga punggung wanita itu menyentuh dinding dingin di dekat pintu masuk. Ia melepaskan ciumannya sejenak, namun kening mereka masih bersatu. Napas mereka memburu, beradu di udara yang tiba-tiba terasa panas dan sesak. Mata Maxime menatap lurus ke manik mata Sarah. Gelap. Intens. Memabukkan. Tangan Maxime bergerak ke kancing kemeja linennya sendiri yang sudah basah oleh keringat. Satu per satu kancing itu terbuka, memperlihatkan d**a bidang yang naik turun menahan hasrat. Ia tidak memutuskan kontak mata sedetik pun. "Kalau sudah memulainya," ujar Maxime, suaranya berat dan serak, terdengar seperti geraman peringatan sekaligus janji suci, "kau tidak akan bisa berhenti di tengah jalan, Sarah. Sekali kau melangkah, tidak ada jalan putar balik." Sarah menatap pria di hadapannya. Pria yang pernah ia hancurkan hatinya, dan kini menawarkan diri menjadi pedang untuk membalaskan sakit hatinya. Sarah merasa hancur, berantakan, dan kotor. Tapi di mata Maxime, ia melihat dirinya diinginkan. Ia melihat dirinya berharga. Dan yang paling penting, ia melihat cara untuk menyakiti suaminya dengan cara yang paling telak! Sarah memejamkan matanya sejenak, mengumpulkan kepingan jiwanya yang tersisa, lalu membukanya kembali dengan sorot mata baru. Bukan lagi mata istri yang teraniaya, melainkan mata seorang wanita yang siap membakar dunia. "Ayo kita lakukan, Max," bisiknya. Suaranya serak, tapi tegas. "Sekarang." Itu bukan sekadar izin. Itu adalah deklarasi perang. Sudut bibir Maxime terangkat membentuk senyum miring yang berbahaya. Tanpa kata, ia kembali mengangkat Sarah, membawa wanita itu melangkah lebar menuju kamar tidur utamanya. Sarah membenamkan wajahnya di ceruk leher Maxime yang beraroma maskulin, tubuhnya kembali gemetar. Namun kali ini bukan karena takut. Ia tahu, setelah penyatuan malam ini, Sarah yang lama akan mati. Dan dari abunya, sesuatu yang lebih gelap dan mematikan akan lahir. Ia akan menyelesaikan balas dendam ini sampai tuntas! ......................................

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
311.0K
bc

Too Late for Regret

read
291.1K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
138.2K
bc

The Lost Pack

read
405.0K
bc

Revenge, served in a black dress

read
148.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook