Baru sehari semalam menjadi istri dari seorang Rishan Diantoro sudah membuat Sella berdecak sebal. Bagaimana tidak saat bangun tidur dia tidak hanya mengurus dirinya saja.
Sekarang ini dengan seenaknya atasannya yang belum genap satu minggu menyandang status sebagai suaminya tiba-tiba saja memerintah dirinya sebagaimana seorang suami. Boleh saja kalau kasusnya bukan seperti yang dialami oleh Sella, masalahnya ini semua tak semudah yang dibayangkan.
Sella harus rela bangun pagi demi memberi makan untuk perut orang yang tidur satu ranjang dengannya. Kalau dulu Sella tidak pernah mengurus antara kecocokan perutnya, tapi sekarang dia dituntut untuk terjun langsung ke dapur.
Bagaimana tidak kesal coba? Baru dua hari jadi suami sudah membuatnya darah tinggi bagaimana kalau satu tahun, ah ya! Sella melupakan satu hal. Seharusnya kalau dari cerita-cerita roman yang dia baca selalu ada perjanjian kontrak dalam kasus yang dialaminya saat ini, tapi ... kenapa dia tidak dimintai tanda tangan?
Sibuk dengan pikiran ngawurnya sampai tidak menyadari tangan kekar seseorang yang mengulurkan sebuah dasi berwarna biru ke hadapannya.
Melihat keterdiaman istrinya membuat Rishan mengecup keningnya yang nampak berkerut. Mendapati serangan mendadak dari suaminya membuat Sella mengerjap bak tertiup angin topan, lalu tatapannya mengarah ke dasi yang disodorkan oleh suaminya.
Sella menaikan alisnya pertanda bingung dengan sikap Rishan terhadapnya, apalagi tadi keningnya dikecup dengan tidak hormat.
“Berasa murahan banget gue,” batin Sella menenangkan degup jantungnya yang memompa lebih cepat dari biasanya.
Tidak usah munafik! Nyatanya Sella merasa ada sesuatu yang beda saat mereka saling bersentuhan.
“Apa seberat itu membantu saya memakai dasi?”
Sella mengerjap. Menatap Rishan dengan tatapan polos. Rishan menatap istrinya dengan senyum yang tertahan. Hanya melihat tingkah natural yang ditunjukkan oleh Sella sukses membuatnya terpesona.
Sella wanita apa adanya, tidak pernah neko-neko dan yang penting tidak gila harta. Berbeda dengan wanita yang meninggalkannya dulu.
“Tangan Bapak masih berfungsi dengan baik, ‘kan?” tanya Sella sinis.
Hening. Tidak ada balasan dari Rishan, tapi tindakannya mewakilkan suasana di dapur.
‘Cup’
Sella melotot tidak percaya dengan tindakan suaminya yang menurutnya diluar batas.
“Salah panggil lima kecupan,” kata pria di depannya dengan santai.
“What?!” pekik wanita itu tidak terima.
***
Setelah kepergian Rishan Sella langsung melarikan diri ke dalam kamar mandi. Bukan untuk mandi, melainkan membasuh sisa-sisa daging kenyal yang masih terasa menempel pada bibirnya. Sella masih bisa merasakan bagaimana daging kenyal itu menempel sempurna bak perangko. Hanya menempel, tidak lebih! Tapi ... kenapa rasanya sangat terasa?!
Sella uring-uringan tidak jelas. Dalam benaknya dia sudah merencanakan berbagai macam pelanggaran-pelanggaran yang akan dia terapkan.
Harus segera terlaksana hari ini juga!
Rishan bertingkah semena-mena terhadapnya. Bukan tidak mau, tapi tubuhnya tidak bisa menolak setiap sentuhan yang diberikan atasannya yang merangkap sebagai suaminya.
“Berasa jadi wanita malam yang minta pertanggungjawaban!” dengus Sella menatap cermin besar di depannya.
Sudah hampir satu jam berada di dalam kamar mandi. Hanya memandang dirinya lewat cermin. Memastikan bahwa wajahnya pantas bersanding dengan seorang Rishan Diantoro.
“Nggak terlalu buruk, sih kalau jadi istrinya CEO.” Sella berputar-putar di depan cermin.
“Tapi kenapa gue merasa nggak percaya diri, ya?”
“Tahu, deh! Nggak urusan sama omongan orang.”
Sella keluar dari kamar mandi langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Baru dua hari statusnya dari karyawan berubah menjadi istri bos dan tidak ada yang tahu. Pernikahan memang dilakukan secara tertutup karena permintaannya dan Rishan dengan alasan hemat, padahal kekayaan milik Rishan Diantoro tidak akan berkurang hanya untuk menggelar pesta pernikahan yang mewah.
Hanya dihadiri oleh kerabat dekat dan beberapa wartawan yang ditugaskan untuk meliput berita itu, bahkan keluarga Sella saja tidak ada yang datang.
Mengingatnya membuat Sella kembali meneteskan air matanya.
Bagaimana perasaanmu saat di hari bahagia tidak ada satu pun keluarga yang datang menghadiri. Bahkan sosok ayah saja tidak hadir, bukan tidak mau hadir, melainkan Sella sendiri yang tidak mengabari. Pernikahan diwakilkan kepada wali yang sudah dibereskan oleh Rishan. Semua menjadi mudah bila dikerjakan dengan uang, bukan?
Alasannya masih sama. Sella tidak mau ada keributan, lagi pula pernikahan ini hanya pengganti saja, tidak lebih. Akan ada saatnya nanti Sella keluar dari ikatan suci pernikahan ini.
Sudahlah!
Masalah seperti ini tidak perlu dipikirkan lagi, saat ini fokus saja dengan kehidupan baru. Eits ... maksud Sella fokus saja dengan karirnya bukan dengan suaminya. Dia baru saja terjun ke lapangan kerja, tetapi kini terjebak dengan pernikahan pengganti yang sialnya juga dinikmati olehnya.
Oke, Sella bangkit dari acara berbaring. Memilih mengganti bajunya dengan pakaian yang sopan, lalu membawa sisa makanan, sarapan dirinya dan sang suami.
Menekan bel apartemen di depannya yang langsung dibuka oleh si tuan rumah. Sambutan pertama yang didapatkan Sella adalah pelukan hangat.
Dia Agnes, teman sekaligus rekan kerjanya di kantor milik suaminya, bahkan Agnes pula lah yang mengenalkan perusahaan itu kepada dirinya yang berakhir dilamar oleh atasannya.
Agnes mempersilahkan Sella masuk, menggiring Sella duduk di sofa depan televisi.
Begitu mereka duduk berdampingan tatapan Agnes memicing terhadapnya, lalu senyum jahil menghiasi wajah ayunya.
Sella mendengus. Mencoba mengalihkan tatapannya ke depan televisi mengacaukan keberadaan si tuan rumah.
“Berlagak kayak nggak kenal aja lo!” sindir Agnes dengan sikap Sella yang seolah tidak ingin bercerita.
“Nggak perlu juga kali gue cerita apa yang mau lo tahu karena pada dasarnya gue masih tersegel rapi,” balas Sella mencibir.
Agnes tertawa sumbang mendengar nada bicara temannya yang kelewat santai. Bisa dipastikan hubungan apa yang sedang dibangun oleh sahabatnya itu.
“Nggak nyesel ‘kan dapat yang glowing?” Agnes manaikturunkan alisnya menggoda.
“Apaan, sih!” Sella tersipu malu.
“Yang ada itu bos yang beruntung dapat wanita kayak gue yang super mandiri,” bantah Sella tidak terima.
Agnes memilih diam. “Gue iya aja, deh,” balasnya.
Keduanya sama-sama diam sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Agnes yang sibuk dengan laptop dan beberapa berkas, sedangkan Sella yamg sibuk dengan makanan yang tadi dibawanya. Padahal niatnya mau berbagi, tapi ujung-ujungnya dia sendiri yang menghabiskan.
“Mau ikut gue ke mall, nggak?” tanya Agnes.
Beranjak menuju kamarnya guna berganti pakaian. Sella mengekor memasuki kamar Agnes.
“Gue nggak perlu ganti baju, ‘kan?”
Mendengar lontaran pertanyaan dari Sella membuat fokus Agnes menatap pakaian Sella. Tidak terlalu buruk kalau untuk dipakai pergi ke mall saja.
Dress biru selutut dipadukan dengan sandal rumahan berbentuk kelinci sangat pas di kaki kecil temannya. Tidak ada kesan terlalu bocah yang ada malah terlihat mengemaskan. Rambutnya pun tergerai indah.
“Oke, not bad,” komentar Agnes setelahnya.
***
Berjalan bersisian dengan Sella seperti berjalan dengan anak, soalnya Sella lebih pendek dari Agnes. Yang sukses memancing orang-orang menatap keduanya adalah langkah Sella yang terlihat santai sembari mengemut permen lollipop. Jangan lupakan juga temannya ini sangat suka dengan lollipop. Status tidak menjadi seseorang meninggalkan kesukaannya, ‘kan?
Gemes, deh!
“Gue berasa ngasuh anak kalau jalan sama lo, Sell,” omel Agnes, tetapi tidak dihiraukan oleh Sella.
Mereka yang menatapnya mengira masih anak SMA padahal aslinya sudah menikah. Istri sang CEO pula.