Bab 2. Ternyata Atasan

1324 Words
Bianca mengatur napasnya, dia baru saja tiba di rumahnya. Wanita itu mengusap d**a naik turun, kejadian kemarin malam berhasil membuat dirinya ingin membakar diri hidup-hidup. Ingin menangis pun rasanya percuma, kesucian dirinya sudah direnggut oleh orang asing. Bianca duduk di tepi ranjang. Dia menggosok lehernya, banyak tanda kepemilikan di sana. Namun, sekali lagi, dia tak tahu tanda itu milik siapa. Bianca hanya tahu tanda itu dibuat oleh pria asing yang cukup gagah dan tampan, meskipun Bianca yakin dia sudah tak muda lagi. "Semoga nggak ketemu lagi deh atau minimal tuh bapak-bapak lupa siapa gue dan yang terjadi, biar kayak di Drachin," ucap Bianca pada diri sendiri. Merebahkan tubuhnya di ranjang. Bianca memejamkan mata, tubuhnya masih terasa sedikit sakit meskipun dia sudah merendam air hangat. Ingin istirahat seharian di rumah pun rasanya mustahil, mengingat dia karyawan magang baru di sebuah perusahaan besar. Bianca kembali membuka mata, dia menghela napas panjang. Tidurnya kurang dan sekarang pun dia harus pergi bekerja. Bianca bersumpah! Kemarin dan hari ini adalah hari tersial dalam hidupnya. Saat dia meratapi nasib buruknya, ponselnya berdering. Bianca melihat nama si penelepon, dia mendesah panjang sebelum mengangkatnya. "Hallo, Bi. Lu harus ke kantor sekarang! Gue udah bantu lu cari kerja, ya. Jangan malesan-malesan, gue nggak mau tau, ini hari pertama lu, awas kalau telat!" Omelan itu terdengar nyaring membuat Bianca langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. "Gue kayaknya nggak enak badan, Lin,"jawab Bianca dengan suara yang dibuat layaknya orang sakit. "Enggak ada alasan, ya! Buruan ih! Gue bom juga lu!" kesal seseorang di seberang sana. "Alin ...!" rengek Bianca, memohon. "Bianca Ramons, jangan uji kesabaran gue!" Panggilan itu terputus. Bianca, wanita 23 tahun itu berdecak kesal. Dia lantas bangkit dari ranjang dan bersiap pergi ke kantor, meskipun dia enggan. Dia mendapatkan kerjaan ini berkat bantuan Alina—sahabatnya dan Bianca tak bisa mengecewakan Alina, bisa-bisa sahabatnya itu mengomel 24 jam penuh. "Hah! Kerja, kerja, kerja, kaya monyet bukan kaya raya," ceplos wanita itu asal sembari memilih pakaian dengan malas. *** Bianca menatap bangunan megah di depannya, sebuah perusahaan teknologi yang berkembang pesat selama sepuluh tahun terakhir. Menghela napas panjang, Bianca melangkah masuk. Dia membenarkan letak kacamatanya, sebelum akhirnya melangkah dengan percaya diri. Tepat di resepsionis, Bianca menghentikan langkahnya. Dia tersenyum manis menyapa seorang perempuan dengan tahi lalat di pipi kiri. Bianca berdeham, dia menatap sekitar sekilas, lalu kembali menatap resepsionis itu. "Mbak, ruang staff keuangan di mana, ya?" tanya Bianca. "Naik ke lantai tiga, ya. Di sana ruangan khusus staff keuangan," jawab perempuan bernama Olinda dengan senyuman. Bianca mengangguk mengerti. "Terima kasih, ya, Mbak." Wanita itu melangkah menuju lift dan memencet tombol tiga untuk menuju gedung divisinya. Dia menggenggam kuat tali sling bag yang dia gunakan, wanita dengan dress putih dan sepatu flat shoes itu tampak cantik meskipun bernampilan sederhana. Jangan lupakan kacamata minus yang bertengger di hidungnya. Saat dirinya keluar dari lift, seorang manajer sudah lebih dulu menyambut dirinya. Seorang wanita berusia 34 tahun yang tampak anggun dengan blazer yang dia gunakan dan celana panjang berwarna cream. "Bianca, ya?" Bianca mengangguk dengan senyuman sebagai jawaban. "Mari saya antarkan ke meja kamu sekalian saya kenalkan ke teman-teman divisi kamu," ucap Maria. "Terima kasih, Bu." Bianca tersenyum lembut pada atasannya itu. Saat mereka melangkah, pandangan Bianca tak sengaja bertemu dengan seorang pria yang mengobrol dengan salah satu staff. Mulut Bianca setengah terbuka, dia segera menundukkan kepala sambil sesekali melirik ke arah pria itu dengan cemas. "Kok ada dia, sih?! Beneran sial gue." Ucapan itu Bianca ucapkan di dalam hati. "Bianca." Panggilan itu membuat Bianca tersentak, dia segera mendongak dan menatap Maria dengan panik. "Ha, iya, Bu?" jawabnya. "Meja kamu, jangan melamun lagi. Saya udah manggil kamu berkali-kali," ucapnya sinis. "Hehehe ... maaf, Bu. Saya kepikiran macan saya di rumah, lupa saya kasih makan, takut makan korban," sahut Bianca asal. Maria tak mendengarkan itu, dia langsung pergi. Sementara Bianca menghela napas, dia langsung duduk di tempatnya. Beberapa orang sempat mengajaknya kenalan dan Bianca merespons mereka dengan ramah. Menyalakan komputer, pikiran Bianca masih tertuju pada pria yang dia lihat tadi. Pria yang sama dengan kemarin malam, pria yang merenggut kesuciannya kemarin malam. "Dia karyawan di sini juga? Sial banget hidup gue. Apa gue resign aja?" lirih Bianca dengan raut wajah cemas. *** "Bianca Ramons?" "Iya, Pak. Dia pegawai magang baru, ada apa, Pak?" tanya Bima pada Bastian. Bastian tersenyum sinis. Tanpa dicari, wanita itu datang sendiri ke dalam kandangnya. Berdeham pelan, wajah Bastian kembali datar. Dia memandang sekretarisnya itu, lalu menyerahkan dokumen yang baru saja dia terima mengenai daftar karyawan magang baru. "Sesudah jam makan siang selesai, minta Bianca ke ruangan saya!" titah Bastian. "Baik, Pak." Bima mengangguk. "Kalau gitu, saya permisi." Bastian menyandarkan tubuhnya pada kursi, dia tersenyum miring. Wanita yang membuatnya kembali merasakan nikmat dia temukan tanpa usaha, dan akan Bastian pastikan Bianca tidak akan lepas dari dirinya untuk kedua kalinya. "Sialan, hanya dengan memikirkan dia—aku terbawa nafsu." Bastian memandang malang tonjolan di celananya, dia mendesah pelan. "Dia pakai pelet atau apa, sih? Cuman dia yang bisa buat aku terbawa hasrat." Sementara itu, di luar—Bianca tengah menyelesaikan pekerjaannya. Tiba-tiba saja dia terbatuk-batuk dan bersin berulang kali, Bianca menggosok hidungnya yang gatal. "Bi, kamu enggak papa? Lagi sakit?" tanya Ryan, khawatir. Bianca menggeleng pelan. "Ah, enggak kok." "Ini siapa yang gibahin gue deh?" batin Bianca. "Kamu yakin enggak papa, Bi?" celetuk Rahma, perempuan dengan hijab dan wajah imut. Bianca mengangguk tanpa ragu, dia tersenyum seraya menjawab, "All good, guys. Jangan khawatir, kayaknya ada yang kangen deh!" Mereka terkekeh mendengar gurauan Bianca, sedangkan Bianca diam-diam mendengus sebal. *** Bima melangkah menuju cafetaria kantor dan mencari Bianca yang sedang makan bersama teman-teman sedivisinya. Kepala Bima celingak-celinguk, sampai akhirnya dia melihat Bianca dan rombongan yang akan kembali. Bima langsung menghampiri mereka. "Bianca, bisa ikut saya? Kamu dipanggil atasan." "Saya?" Bianca menunjuk dirinya sendiri yang langsung diangguki Bima. "Kenapa ya? Perasaan saya enggak buat kesalahan hari ini." Bianca memandang heran Bima. "Ikut aja dulu, Bianca," sahut Bima gregetan. "Ikut dulu aja, Bi. Siapa tau penting." Rahma menyeletuk yang langsung diangguki teman sedivisinya. Bianca menghela napas lelah, lalu mengangguk lemas. Dia melangkah mengikuti Bima dengan kepala tertunduk, pikirannya melayang ke mana-mana. Hari ini dia tidak datang telat, ah walau hampir! Dia juga tak membuat masalah, tetapi kenapa dirinya dipanggil? Asyik melamun, Bianca tak sadar jika Bima sudah berhenti tepat di depan ruangan Direktur. Bianca yang terus berjalan justru menabrak punggung kokoh Bima, dia mengaduh seraya mengusap keningnya yang memerah. "Pak, itu punggung apa beton, sih?!" omel Bianca. Bima terkekeh merasa lucu dengan sikap Bianca. "Masuk, Bi. Udah ditunggu pak bos, aman kok! Kamu nggak bakal dimakan." Bianca melongo melihat Bima yang langsung pergi begitu saja. Dia berdecak sebal sebelum akhirnya kepalanya mendongak ke atas, membaca tulisan "Ruang Direktur" Bianca menarik napas panjang, lalu mengetuk pintu. Setelah mendapatkan instruksi, dia segera masuk ke dalam. "Permisi, Pak. Kenapa car—" Ucapan Bianca menggantung di udara saat kursi itu berputar menghadap dirinya. "Bapak?!" seru Bianca dengan wajah terkejut dan mata membulat. Bianca meringis. Dia maju mendekat dengan langkah ragu, sedangkan Bastian menantinya dengan gemas. Kesal dengan langkah lamban Bianca, Bastian lantas berdiri dan melangkah lebar mendekati Bianca. Dia menarik Bianca dan mengendong Bianca ala koala yang membuat wanita itu terkejut dan langsung memberontak. "Pak, turunin saya! Ntar ada yang masuk!" teriak Bianca dengan cemas. "Sudah saya kunci. Kamu takut, hm?" Bastian terkekeh memandangi wajah panik Bianca. Wanita itu mendengus, dia memukul pundak Bastian. "Ya menurut Bapak aja deh! Udah ah turunin." Bianca terus memaksa, tetapi Bastian justru semakin erat memeluk pinggang Bianca. "Bianca, shh!" Bastian meringis pelan. "Jangan terlalu banyak gerak, kamu nggak tau punya saya berdiri?!" omel Bastian. "Ha?!" Bianca melototkan matanya sempurna. "Katanya saya enggak bakal dimakan?! Ini pembohongan! Lepas!" jerit Bianca histeris sembari terus memukul punggung Bastian. Bastian berdecak, dia menampar p****t Bianca dengan gemas membuat wanita itu mendesah tanpa sadar. Bianca menatap Bastian, matanya membulat seketika saat bibir Bastian menempel sempurna di atas bibirnya. "Kejadian semalam enggak akan keulang, 'kan?" batin Bianca merasa takut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD