Bab 3. Penyesalan

1310 Words
Bianca melenguh, dia membuka mata. Hal pertama yang Bianca lihat adalah Bastian yang tengah memeluk dirinya dengan erat. Bianca menahan napas, wajah tampan Bastian terlalu dekat bahkan embusan napas pria itu menerpa wajahnya membuat Bianca merasa geli. Bianca tersadar, dia menoleh ke samping dan melihat langit mulai gelap. Wanita itu meringis, entah sudah berapa lama dia berhubungan badan dengan Bastian. Satu hal yang pasti, tubuhnya sekarang remuk redam. Bianca berusaha melepaskan pelukan Bastian, tetapi Bastian justru menggeliat dan memeluk dirinya semakin erat. Sadar tak bisa lepas dengan mudah, Bianca menghela napas panjang. "Ini gimana caranya pulang?" gumam Bianca. Bianca mendesah panjang, dia memilih kembali memejamkan mata. Sementara itu, Bastian membuka satu matanya, dia tersenyum kecil melihat wajah tenang Bianca saat matanya terpejam—jauh berbeda dengan Bianca ketika berada di atas dirinya. Sadar dirinya diperhatikan, Bianca segera membuka mata, tetapi Bastian jauh lebih cepat kembali menutup mata. Wanita itu mengernyit, dia jelas merasa sedang diperhatikan. Bianca melihat ke kanan dan kiri, tetapi dia tak menemukan apa pun—pikiran wanita itu mulai memikirkan segala kemungkinan yang terjadi, termasuk adanya makhluk gaib. "Apa ini kantor dulunya kuburan, ya? Sial, serem banget! Gue mau pulang ...!" rengek Bianca dengan mata berkaca-kaca. Bastian berusaha menahan senyum, pria itu merasa lucu mendengar rengekan Bianca. Wanita itu seakan mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dulu. "Emang kantorku seserem itu?" tanya Bastian dalam hati. Mendengar suara isak tangis, Bastian memutuskan membuka matanya. Baru saja dia ingin berbicara, tetapi Bianca sudah lebih dulu memeluk dirinya. Bastian mengerjap, cukup kaget dengan respons mendadak Bianca. Bastian tersenyum, dia mengecup pucuk kepala Bianca. "Kamu kenapa? Ini masih sore, nggak mungkin ada hantu," ucapnya membuat Bianca mendongak dengan mata berkaca-kaca. "Bapak iseng banget. Pasti tadi Bapak 'kan yang liatin saya?" Bianca sesegukan, sedangkan Bastian tertawa pelan. "Kamu laper?" Bastian mengusap air mata Bianca, dia tersenyum hangat. "Mau saya pesankan makanan?" sambung pria itu. Bianca menggeleng. Dia melepaskan pelukannya, lantas menghapus air matanya. Wanita itu merubah posisi menjadi duduk, selimut yang menutupi tubuhnya melorot membuat Bianca buru-buru menutupi kembali tubuh telanjangnya. Wajah Bianca memerah, merasa malu. Sementara itu, Bastian menelan air liurnya. Hasrat pria itu kembali memuncak hanya karena melihat bagian atas tubuh Bianca yang terbuka. Menelan kembali salivanya, Bastian lantas mengubah posisi menjadi duduk. Dia memeluk Bianca dari belakang, dagu pria itu bertumpu pada bahu telanjang Bianca. Dia menghirup dalam-dalam aroma keringat Bianca yang semakin membuatnya berhasrat. "Pak," lirih Bianca, merasakan embusan napas Bastian. "Hm?" deham Bastian. Bianca melenguh saat Bastian menjilati bahunya, wanita itu memejamkan mata, meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. "Pak, stop. Saya capek, Pak," ungkap Bianca dengan desahan saat Bastian membuat tanda di bahunya. Bastian berhenti, dia diam. Sementara itu, Bianca dibuat kebingungan dengan sikap Bastian yang tiba-tiba saja dingin. "Apa karena gue suruh berhenti?" ucapnya, hanya berani di dalam hati. "Hallo, Bima. Bawa makanan ke ruangan saya," titah Bastian membuat Bianca menoleh. "Makan dulu, baru saya antarkan pulang." Bastian melirik Bianca sekilas. Bianca mengangguk kaku. Dia terdiam, sikap Bastian yang tiba-tiba berubah berhasil mengganggu dirinya. Namun, tiba-tiba saja matanya melotot saat menyadari dia terlalu lama berada di ruangan Bastian. "Pak, saya kelamaan di sini. Nanti saya jawab apa kalau ditanya?!" ucap Bianca, panik. "Jawab aja kamu bimbingan sama saya," sahut Bastian dengan enteng. Bianca menghela napas lega. Dia segera memakai pakaiannya, sedangkan Bastian sudah sedari tadi memakai pakaiannya. Bianca keluar dari kamar yang berada di ruangan Bastian terlebih dahulu, lalu disusul oleh Bastian. Dia duduk di sofa, sedangkan Bastian duduk di kursi kebesarannya. Tak lama, suara pintu diketuk dari luar. Bima datang dengan beberapa makanan yang dia bawa membuat Bianca melototkan mata melihatnya. "Pizza? Spaghetti? Ayam bakar?" batin Bianca terkejut. "Dia mau buat gue gemuk apa gimana?!" *** Udara malam yang seharusnya dingin justru terasa panas membakar d**a. Setiap suara kecil—dari derit pintu hingga gonggongan anjing—memicu emosi. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan ikut menyimpan amarah yang meluap. Malam ini bukan waktu untuk diam; malam ini penuh letupan perasaan. Bastian meringis saat mendapati sang putri tengah menanti kepulangan dirinya seraya meletakkan kedua tangan di pinggang. Tatapan gadis itu tajam, dia bahkan tak segan memelototi sang ayah yang baru saja pulang, tepat di pukul sebelas malam. "Papa Bastian Danuel Terazqi," ucapnya penuh tekanan membuat Bastian merinding. Konon katanya, anak pertama perempuan jauh lebih menyeramkan dari siapa pun yang ada di rumah dan Bastian sudah membuktikannya selama beberapa tahun ini. "Aurel, maaf Papa telat pulang. Papa lembur, Nak," ucap Bastian dengan lembut. "Papa pikir aku buta?! Papa bau cewek! Lihat tuh leher Papa, ada bekas ciuman!" sentak gadis bernama Aurel. Bastian mengusap lehernya. Dia kembali meringis, tak mengerti mengapa bisa memiliki putri segalak ini. Menarik napas panjang, Bastian memasang senyum paling terbaiknya. "Papa juga butuh hiburan, Sayang. Papa ini normal," kata Bastian pada akhirnya. "Tapi enggak sama sembarang cewek, Papa!" kesal Aurel dengan wajah memerah. Di mata Bastian kali ini, anaknya seperti membesar—jauh lebih tinggi dari dirinya, mata Aurel yang melotot sempurna, dan semburan berapi dari mulutnya. Bastian menghela napas, tak mampu melawan. "Sayang, ayolah jangan marah. Papa janji ini yang terakhir," ucapnya. "Janji?" Bastian mengangguk cepat. "Janji, Sayang. Papa juga baru kali ini gituan ...," sahut Bastian ragu-ragu. Aurel mendelik sebal mendengarnya. Dia langsung pergi menuju kamarnya, sedangkan Bastian menghela napas lega. Dia tak lagi butuh istri sepertinya, sang putri sudah segalak seorang istri yang suaminya ketahuan berselingkuh. *** Rumah itu tidak besar, hanya berdiri dengan dinding tembok bercat putih yang mulai sedikit pudar dimakan waktu. Atapnya dari genteng tanah liat, sebagian sudah berlumut hijau, tetapi tetap kokoh melindungi penghuninya dari panas dan hujan. Pagar mungil dari besi bercat hitam membatasi halaman sempit, tempat dua pot bunga bougenville tumbuh riang, menambah warna di depan rumah. Di dalam, ruang tamu sekaligus ruang keluarga menyatu—hanya ada sofa sederhana yang warnanya sudah agak kusam, meja kayu kecil, dan televisi yang menempel di dinding. Lantainya berkeramik polos, dingin saat disentuh telapak kaki. Tidak banyak hiasan, hanya foto keluarga yang tergantung di dinding, menjadi saksi perjalanan waktu. Dapur berada di belakang, mungil, tetapi rapi. Kompor dua tungku, rak piring dari kayu, dan aroma masakan yang selalu membuat rumah itu hangat meski sederhana. Satu kamar tidur berukuran kecil cukup untuk menampung ranjang, lemari pakaian, dan sebuah jendela dengan tirai tipis yang membiarkan cahaya pagi setiap harinya masuk lembut. Rumah kecil itu mungkin tidak megah, tetapi setiap sudutnya terasa hidup. Ada kehangatan dalam kesederhanaan, ada ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain. Di sanalah pulang menemukan makna sejatinya. Bianca Ramons, wanita berusia 23 tahun itu memandang sebuah foto—di mana dalam foto tersebut, seorang gadis remaja dipeluk oleh dua orang pasangan. Mereka orang tuanya yang sudah pergi jauh dan sekarang tinggal Bianca di sini. Menarik napas panjang, Bianca mengusap foto tersebut dengan mata berkaca-kaca. Kenikmatan yang dia rasakan kemarin dan hari ini berhasil membawanya pada penyesalan. Penyesalan yang tak akan pernah bisa Bianca tebus. "Bun, Yah, maaf. Maaf Caca kelewat batas," gumam wanita itu dengan nada lirih. Kesedihan Bianca seakan turut dirasakan semesta. Gemuruh tiba-tiba saja menyelimuti dan mengejutkan semua orang, cuaca berganti dengan cepat tanpa pertanda. Alam seakan paham ada seorang anak yang tengah menyesal dan merindukan orang tuanya. "Bun, Caca harap kalian enggak benci Caca." Dia menghela napas, lalu menahannya sedikit lama. "Ayah, maafin Caca gagal jaga diri," lanjutnya. Bianca merebahkan tubuhnya di sofa. Suara gemuruh semakin keras, mendung di luar terlalu tiba-tiba dan udara dingin menusuk kulit sebagian orang yang masih ada di luar, entah untuk mencari makan atau memang mereka yang masih enggan untuk pulang. Pikiran Bianca melayang pada kejadian di mana dirinya dan Bastian kembali melakukan hubungan badan di rumah kecilnya. Penyesalan itu datang begitu dia melihat foto kedua orang tuanya yang seakan menyaksikan apa yang sang putri lakukan, mereka juga seakan mendengar desahan erotis Bianca yang tengah ditunggangi oleh Bastian. Kepergian Bastian adalah awal mula dari kesedihan itu muncul, awal mula dari rasa bersalah yang akan menghantui Bianca, sepanjang hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD