Khitbah

1308 Words
Hari ini adalah hari minggu. Setelah sarapan, Alya berdiam diri di kamarnya. Sejak semalam ia sudah tidak bisa tidur karena memikirkan hari ini. Alya saat ini berdiri di balkon kamarnya. Tempat favorit jika ia sedang banyak masalah dan butuh pasokan udara segar. Membiarkan udara pagi menerpa kulit putihnya. Lama Alya berdiri di sana, hingga tepat jam 10 pagi, ia melihat ada mobil sedan berwarna putih terparkir di depan rumahnya. Alya melihat kedua orang tuanya tampak tersenyum lebar menyambut kedatangan tamu, yaitu Althaf dan keluarganya. Mereka semua saling berjabat tangan. Althaf juga membawa Melisa, adiknya. Mata Alya berhenti di satu titik, Althaf. Althaf melihat ke atas dan menghentikan pusaran pandangannya pada perempuan yang sedang berdiri di balkon kamarnya di lantai 2, sehingga tanpa sengaja mata mereka beradu pandang. Seakan ada medan magnet yang membuat rotasi waktu berputar lebih lambat. Menyadari bahwa mereka hampir saja melakukan zina mata. Alya langsung menundukkan kembali pandangannya, begitu juga dengan Althaf. Hari ini Althaf tampak tampan, walaupun memang sudah dari sananya ia terlahir tampan. Althaf datang dengan mengenakan pakaian smart casual. Ia menggunakan celana berwarna khaki, kaos kemeja serta semi jas berwarna navy. Sedangkan untuk sepatunya Althaf memilih menggunakan sepatu kulit strap berwarna cokelat. Ayah dan bundanya terlihat begitu senang menyambut kedatangan Althaf dan keluarga hingga meminta mereka semua untuk masuk. Tapi mata Althaf dan Alya kembali untuk beberapa detik, sebelum Althaf benar-benar memasuki rumahnya. Alya menoleh begitu pintu kamarnya terbuka lebar. Farel Masuk dan menghampirinya. "Mas mu sudah datang." Alya menghela napas panjang. "Dia bukan Mas ku, Rel." "InsyaAllah sebentar lagi dia jadi Mas mu." Alya memalingkan wajahnya ke kanan. Malu sekali Alya rasanya, mendengar Farel mengatakan hal seperti itu. "Semuanya udah nunggu kamu di bawah." Farel memindai Alya dari atas hingga bawah. Kakaknya mengenakan gamis berwarna peach dengan kombinasi brukat di bagian lengan dan dadanya yang tertutup dengan kerudung panjang berwarna senada. "Cantik," ucap Farel. Alya tersenyum tipis mendengar pujian dari adiknya. Farel memang selalu bicara jujur, apa adanya. "Makasih." Farel tak keberatan untuk balas tersenyum tipis. "Ayo turun," dengan ragu, Alya turun mengikuti langkah Farel. Di lantai satu, semua orang sudah menunggu kedatangan Alya. Baik orang tua Alya dan orang tua Althaf, tampak mengobrol dengan santai, seperti sudah mengenal lama. Keduanya tidak sungkan membicarakan banyak hal. Mungkin karena Rama dan Gunawan sama-sama seorang pengusaha, sehingga sudah sering menghadapi orang baru. Namun berbeda dengan Althaf, sejak masuk ke dalam rumah Alya, ia jadi lebih pendiam dari biasanya. Hanya mendengarkan pembicaraan orang tuanya dengan orang tua Alya. Hingga akhirnya semuanya terdiam, begitu melihat Alya sedang menuruni tangga dengan Farel di depannya. Untuk sesaat Althaf fokus memandang Alya. Alya tampak cantik mengenakan gamis dengan warna yang cocok untuknya. Kerudungnya yang panjang, ikut bergerak saat Alya berjalan. Alya berjalan dengan kepala menunduk. "MasyaAllah, Pak. Cantik," Alya semakin menundukkan kepalanya, malu, saat mendengar kalimat pujian yang Alya yakini berasal dari ibunda Althaf. Alya duduk di tengah, di antara Kartika dan Farel di sofa berukuran panjang. Ruang tamu di rumah Alya, memiliki 4 sofa, 2 sofa single serta 2 sofa berukuran panjang. Sofa single di duduki oleh ayahnya Alya, sedangan satu sofa single lain diduduki oleh Althaf, dan sofa ukuran panjang lainnya diduduki oleh kedua orang tua Althaf dan Melisa. "Lebih cantik dari yang di foto ya, Pak." Herlina kembali memuji wajahnya Alya. Sedangkan Alya mendadak jadi lebih gugup 2x lipat karena kalimat pujian itu. Alya hanya bisa tersenyum dengan kepala semakin tertunduk dalam. Althaf yang melihat wajah memerah Alya hanya bisa ikut tersenyum tipis. Althaf akui memang, Alya terlihat cantik. Alya yang pernah ia lihat adalah perempuan yang senang tampil dengan mode casual. Menggunakan topi dan sneakers. Namun karena Alya kerudung serta rok yang selalu menutupi tubuhnya itu malah menjadikan Alya lebih manis dan imut jika dilihat. "Tentu cantik seperti ibunya," pungkas Rama, gantian ia yang memuji sang istri. Kartika jadi menepuk punggung tangan suaminya, karena malu. Orang tua dari 2 keluarga itu pun malah tertawa bersama, berbeda dengan Alya dan Althaf yang   masih sama-sama diam. Sementara Farel dan Melisa juga sama-sama terdiam, bingung harus bereaksi seperti apa dengan orang dewasa yang ada di sekitar mereka. "Pak Rama, bagaimana kalau kita mulai sekarang?" suara berat Gunawan membuat suasana di rumah tersebut kembali hening. Rama mengangguk mantap. "Tentu Pak, silahkan." "Baik, begini Pak Rama, Bu Kartika, serta nak Alya. Kedatangan keluarga kami kemari memiliki itikad baik dan tujuan untuk membicarakan kembali persoalan lanjutan proses ta'aruf kedua anak kita.” "Ya Pak, bagaimana?" tanya Rama dengan menatap Gunawan dan mengakhiri tatapannya kepada Althaf. Althaf berdeham. Ia membasahi bibirnya yang seketika kering karena gugup. "Jika diperkenankan, saya bermaksud untuk mengkhitbah Alya hari ini, Om. Saya ingin melamar Alya hari ini untuk menjadi istri saya." Alya langsung mengangkat kepalanya, dan menoleh menatap Althaf. Lelaki itu tersenyum samar kepadanya. Alya meremas gamisnya kuat. Ucapan Althaf berusan, sukses membuat jantungnya berpacu lebih cepat. 1 kalimat Althaf mampu membuat tubuhnya berdesir merinding. "Kalau saya dan istri terserah bagaimana Alya. Karena nanti yang akan menjalankan rumah tangga adalah dirinya sendiri.” Alya mengalihkan tatapannya kepada ayahnya dan kembali menundukkan kepalanya. Kartika mengusap punggung tangan Alya begitu suaminya bertanya pada anak perempuannya. "Gimana, sayang?" pertanyaan Kartika, malah semakin menyudutkan Alya untuk segera menjawab. Semua orang yang berada di ruangan tersebut pun menatap ke arahnya, dan menanti jawaban dari bibirnya. Lidahnya kelu, memikirkan jawaban yang akan ia berikan untuk Althaf dan semua orang yang ada di sana. Ya Allah, kepada Sang Pemilik hati. Semoga pilihan ini adalah yang terbaik dan yang Engkau ridhoi. Alya memberanikan diri dengan mengangkat kepalanya, menatap satu persatu keluarga Althaf di hadapannya. Semuanya tampak memberikan senyum tulus padanya. Terlebih Ibunda Althaf, ia memberikan senyum penuh arti seperti Kartika, Bundanya. Ku terima semua ini dengan menyebut nama-Mu Ya Allah. Ku lakukan semua ini semata-mata untuk melengkapi imanku dan menyempurnakan seprauh agamaku pada Mu, Ya Allah. “InsyaAllah, Alya bersedia." Satu kalimat berhasil keluar dari bibir Alya dengan suara pelan. Alya sudah mendapatkan jawabannya dari solat istikharahnya. Ia tidak memiliki alasan untuk menolak lelaki baik seperti Althaf. Kriteria imam dan suami yang ia cari, sudah ia temukan dalam diri Althaf. InsyaAllah, ketika kedua orang tuanya telah meridhoi keputusannya untuk menikah dengan Althaf, maka Allah juga akan meridhoi keputusannya. Kedua orang tua Alya juga sudah mengenal Althaf, saat mereka mengundang Althaf ke rumahnya. Mereka menanyakan semua hal yang berkaitan dengan pribadi Althaf dan bagaimana cara ia akan memimpin sebuah keluarganya. Baik Rama dan Kartika juga sudah yakin bahwa memilih Althaf sebagai calon suami untuk anaknya sudah tepat. Tentu, orang tua akan selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. "Alhamdulillah," Semua orang mengucap syukur dengan kompak, termasuk Althaf. Kartika memegang tangan kiri Alya, dan mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Ia tersenyum dengan mata yang mulai memerah. Ia tidak menyangka bahwa putri satu-satunya akan menikah sebentar lagi. Itu tandanya anaknya akan meninggalkan dirinya sebentar lagi, untuk tinggal bersama suami setelah menikah nanti. "Bunda nggak boleh nangis,” kata Alya dengan pelan, sambil ikut tersenyum. "Nak Alya, apa ada yang mau kamu minta dari anak saya sebagai mas kawin nanti?" tanya Gunawan pada Alya. Suara Gunawan mengalihkan tatapan Alya. Alya berpikir sejenak, "Tidak ada, Om. Semuanya saya serahkan saja oleh Mas Althaf dan keluarga." ucapnya seraya tersenyum tipis. Rama menatap Alya, ia tersenyum karena sikap Alya yang ia anggap sudah dewasa. Bagi seorang perempuan yang memberikan kemudahan bagi calon suaminya adalah hal yang terbaik. "Kalau dari Pak Rama dan Bu Kartika bagaimana?" tanya Gunawan pada kedua orang tua Alya. Rama menatap sang istri dengan alis terangkat sebelah, sambil tersenyum. "Aku juga nggak ada, Yah." Kartika menjawab pertanyaan yang ia ketahui dari sorot mata suaminya. "Baik. Kita serahkan semuanya ke pihak lelaki." "InsyaAllah, saya akan berikan yang terbaik untuk calon istri saya, Alya." Alya kembali mengangkat kepalanya dan menoleh pada Althaf. Ucapan sederhana Althaf barusan, sedikit membuatnya sedikit salah tingkah. Saat Althaf menyebut namanya sebagai calon istrinya, walaupun memang itulah kenyataanya. Alya mengangkat sedikit ujung bibirnya, dalam samar ia tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD