Althaf saat ini sudah berada di kediaman orang tuanya di Bandung. Ini memang jadwal Althaf untuk mengunjungi orang tuanya sekalian membicarakan mengenai niatnya untuk menikahi seorang perempuan bernama Alya kepada kedua orang tuanya.
Althaf menghirup nafas dan menghembuskannya perlahan. Menghilangkan rasa gugupnya yang tiba-tiba kembali muncul. "Pak, Bu. Althaf mau bicara sesuatu." Ujar Althaf saat makan malam keluarga kecil itu. Adiknya, Melisa tidak ada di rumah, karena adiknya kuliah di Yogya dan tinggal di sana.
"Bicara apa nak?" Tanya Gunawan santai sambil menyuap makan malamnya.
"Althaf ingin menikah."
Gunawan dan Herlina kompak menatap anak mereka. "Kamu serius?" Tanya Gunawan, setelah menelan makanannya.
"Iya Pak, namanya Alya." Althaf tersenyum kepada kedua orang tuanya saat menyebut nama Alya.
Herlina mengusap punggung tangan anaknya. Bibirnya tersenyum dengan lebar. Lega sekali akhirnya mendengar anaknya ingin segera menikah. "Alhamdulillah, Ibu seneng dengernya. Alya itu siapa? kamu sudah bicara dengannya?"
Althaf ganti mengusap lembut tangan Ibunya. "Sudah Bu, Althaf juga sudah dapat alamat rumahnya. Rencananya, Althaf memang ingin minta restu Bapak sama Ibu terkait hal ini."
Althaf menyodorkan CV ta'aruf Alya yang sejak tadi ia letakkan di kursi kosong di sampingnya. Herlina menerima lembaran yang diberikan oleh Althaf. "Itu biodata diri Alya. Bapak dan Ibu silahkan baca itu sebagai bahan pertimbangan.
"Apa tujuan kamu menikahinya, Althaf?" Gunawan meletakkan sendok dan garpunya. Matanya menatap lurus Althaf, menanti jawaban dari mulut anaknya. Gunawan berharap Althaf menikah bukan hanya karena paras atau harta seorang perempuan yang ia sukai. Tetapi menghadirkan dan mempercayakan scenario Allah pada pernikahannya kelak.
"Untuk menjalankan sunnah Rasulullah. Menyempurnakan separuh agama Althaf maupun Alya. Serta agar Althaf dapat mengajak Alya ke syurga bersama." Althaf menjawab pertanyaan Gunawan dengan lancar dan santai. Alasan Althaf menikahi Alya tentunya sudah Althaf pikirkan dengan seksama. Tak mungkin ia menikahi putri orang tanpa tujuan yang jelas.
Menikah bukan hanya kehidupan antara sepasang suami dan istri. Tapi bagaimana pernikahan itu bisa menyatukan 2 keluarga. Tentang bagaimana sepasang suami istri dapat menghasilkan anak-anak yang soleh dan solehah. Membuat keluarga yang Sakinah, Mawaddah, Warohmah.
Gunawan dan Herlina saling tatap. Mata yang saling menatap tanpa berbicara, memikirkan jawaban yang sama untuk keputusan anaknya.
"Bapak setuju InsyaAllah. Bapak ingin berpesan pada kamu untuk jangan pernah menyakiti hati istrimu. Sayangi dan cintai dia. Berikan perlindungan kepada keluargamu dari hal apapun. Bapak percaya kamu dapat memilih calon istri yang baik menurut agama dan kamu bisa menjaganya."
"Kalau Bapak sudah setuju, InsyaAllah restu Ibu juga menyertaimu nak." Senyum syukur Althaf mengembang tatkala kedua orang tuanya setuju dengan niatnya untuk menikah.
"Bapak dan Ibu juga akan baca ini, agar bisa tahu seperti apa calon istrimu itu." Althaf jadi tersenyum canggung saat mendengar Gunawan mengatakan Alya sebagai calon istrinya. Bolehkah Althaf jadi berharap itu sungguh terjadi?
*****
Alya menatap lembaran CV Althaf yang sudah ia print dalam bentuk A4. Sudah hampir seminggu sejak Alya dan Althaf bertukar CV, Alya selalu memohon kepada Sang Tuhan agar hatinya diberikan petunjuk dan ketetapan hati. Agar dirinya tak goyah dan selalu yakin dengan setiap keputusannya.
Alya memang tidak tahu apakah Althaf sungguh laki-laki terbaik yang ia pilih. Namun pilihan tetaplah pilihan, dan Alya harus berani memilih. Jikalah Althaf adalah jodohnya dan calon imam terbaiknya, pastilah Allah akan mempermudah jalannya. Alya hanya perlu ikhtiar dan berdoa.
Selama 20 tahun, tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya untuk menikah muda, terlebih ia masih kuliah saat ini. Hingga akhirnya ada seorang laki-laki yang datang tanpa permisi dan mengajaknya untuk ta'aruf.
Alya memejamkan matanya, dan menghela nafas panjang. Memberikan CV althaf pada orang tuanya, berarti Alya harus siap nikah muda. "Bismillah." Alya keluar dengan menggenggam erat CV milik Althaf. Hari ini akan Alya sampaikan langsung kepada orang tuanya. Alya sudah mempersiapkan dirinya apapun jawaban yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya.
Setiba di depan kamar kedua orang tuanya, Alya diam mematung. Keberanian yang sejak tadi ia siapkan seakan luluh lantah. Tangannya yang memegang CV Althaf berkeringat. Berkali-kali ia menelan kasar salivanya.
"Ngapain?"
Alya langsung menoleh dan menyembunyikan berkas CV Althaf di belakang punggungnya. "Huh?" Jawab Alya bingung.
"Ngapain di depan kamar bunda?" Tatapan datar Farel seakan langsung menghunus tepat di mata Alya. Adiknya memegang komik dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Farel juga menggunakan kaca mata bening miliknya. Hanya kacamata bening, tanpa ada fungsi lain, karena mata Farel masih berfungsi dengan sangat baik.
"Huh?" Alya masih bingung harus menjawab apa. Otaknya langsung ngeblank karena tatapan milik Farel.
Farel membenarkan letak kaca matanya. "Selalu nggak jelas." Imbuh Farel kemudian berbalik, meninggalkan Alya.
"Farel." Farel menoleh tanpa memutar badannya.
"Ayah sama Bunda mana?" Tanya Alya sedikit ragu. Ia berharap adiknya tak mencurigai sikapnya.
"Supermarket." Jawab Farel singkat, dan kembali berjalan menuju kamarnya.
30 menit, Alya menunggu Rama dan Kartika kembali dari supermarket. Ini sudah menunjukkan pukul 19.20, dan Alya tetap berniat melanjutkan apa yang sudah diputuskan sejak awal. Alya menunggu di ruang TV, beruntung Farel sudah tenang di kamarnya, sehingga Alya tidak perlu takut ketahuan lagi.
Suara mobil yang Alya tahu milik Ayahnya. "Assalamu'alaikum." Rama dan Kartika kompak mengucap salam saat memasuki rumah dengan tangan penuh dengan plastik belanjaan. Alya langsung bangkit berdiri dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
"Kamu tumben nonton TV." Ucap Kartika sambil mengusap lembut rambut anaknya. Rama dan Kartika ikut duduk di sofa bersama Alya.
"Bun, Yah. Alya mau bicara sesuatu."
"Bicara apa?" Tanya Rama santai sambil memencet remot TV sesuai yang ia inginkan.
"Yah, Alya sungguh mau bicara serius."
Rama menoleh. Alya sudah memasang wajah seriusnya, agar saat ia menceritakan semuanya, kedua orang tuanya dapat mempercayainya.
"Hm, baik." Rama mematikan tvnya, dan menatap Alya. Kartika juga jadi semakin penasaran dengan apa yang akan dikatakan anaknya.
Alya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan berkali-kali. Sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bahwa ini memang sudah keputusannya untuk membicarakan perihal Althaf kepada orang tuanya.
Alya menyodorkan CV Althaf pada Rama. Rama dan Kartika membukanya, dan cukup terkejut dengan apa yang Alya berikan padanya. "CV ta'aruf? " Tanya Rama dan Kartika dengan kompak.
Alya mengangguk. "Namanya Althaf, dia bilang .. mau ajak Alya ta'aruf, Yah." Ucap Alya dengan suara yang pelan namun dapat didengar jelas oleh Rama maupun Kartika.
Rama terkekeh. "Itu ada, ternyata bener kan dugaan Ayah. Soalnya waktu Ayah tanya, kamu jawabnya gugup banget."
"Ih Ayaahh .. " Rengek Alya pada Rama karena sudah menjahilinya.
"Alya bingung harus jawab apa." Alya menundukkan kepalanya dalam. Hingga ia mengangkat kepalanya saat merasakan puncak kepalanya dibelai halus oleh Kartika.
"Sayang, kamu nggak harus jawab sekarang. Seorang perempuan itu juga berhak memilih kriteria calon suaminya. Bunda sama Ayah bersyukur kalau kamu akhirnya mau nikah muda. Tetapi Bunda sama Ayah berharap kamu memilih calon suami yang sesuai dengan Islam. Laki-laki soleh yang dapat bertanggung jawab atas kamu dan calon anak kamu kelak." Alya mendengarkan dengan seksama nasihat Kartika.
"Kamu sudah baca semua CV ini?" Tanya Rama pada Alya.
"Sudah Yah."
"Berarti boleh Ayah dan Bunda baca dulu CV ini?" Tanya Rama seraya tersenyum pada Alya.
Alya mengangguk setuju. Justru Alya memang ingin mengetahui bagaimana kesan kedua orang tuanya saat membaca CV ta'aruf milik Althaf. "Tapi Bun, Alya baru ketemu sekali sama mas Althaf, itu pun baru 3 minggu yang lalu."
Rama tersenyum tipis, ia jadi fokus pada kata yang diucapkan anaknya barusan, 'mas Althaf'. "Alya, dengan ta'aruf ini lah kamu bisa mengenal calon suamimu. Kenal lama pun tak bisa menjamin pernikahan yang sempurna. Kamu ingat kakak sepupu kamu yang di Lampung?." Alya mengangguk, Alya memang dekat dengan kakak sepupunya itu. Sehingga Alya cukup mengetahuinya.
"Dia pacaran sudah 7 tahun, tapi belum sampai ke jenjang pernikahan, mereka akhirnya putus." Rama menghentikan ucapannya sejenak, sementara Alya masih mendengarkan dengan serius apa yang Ayahnya sampaikan.
"Menikah adalah hubungan antar lawan jenis yang Allah ridhoi, Alya. Menikah berarti kamu telah menyempurnakan separuh agamaNya. Kamu nggak perlu khawatir karena baru sekali bertemu dengannya, sayang. Kamu cukup banyak berdoa, agar Allah memperlihatkan segala sesuatu yang baik dan buruk dari laki-laki itu. Jika memang laki-laki itu bukan orang yang baik, Allah juga tidak akan memasangkan kamu dengan dia."
"Ya sudah kamu ke kamar sana, belajar. Banyak solat dan berdo'a sama Allah ya sayang." Pinta Kartika sambil tersenyum tulus pada Alya.
"Iya Bun, Yah. Alya ke kamar dulu." Setelah memberikan CV, dan mendengarkan seluruh nasihat orang tuanya, Alya menuju kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Apa ini memang jalan aku untuk menikah saat masih kuliah?" Lirih Alya pelan. Tubuhnya yang lelah memaksa matanya terpejam, hingga tertidur. Melupakan pesan Kartika yang menyuruhnya belajar.
*****
"Coba perlihatkan grafik penjualan bulan Januari dan Februari lalu."
"Ini, Pak." Tikah, memberikan berkas yang sudah ia siapkan ke hadapan Pak Bambang, Direktur Perdagangan Impor. Jadwal meeting dengan direktur di tiap departemen adalah setiap minggu pertama di setiap bulannya.
Bambang memperhatikan tiap angka yang tersaji dalam grafik tersebut. Kepalanya mengangguk-angguk membacanya. Pensil yang dipegang tangan kanannya, menuliskan masukan dan koreksian darinya. "Bagus. Penjualan bisa kalian tingkatkan di 2 bulan tersebut. Tolong di pertahankan."
Althaf menghela nafas lega mendengarnya. "Baik Pak, siap."
"Althaf," udara menggantungkan ucapan Pak Bambang. "Menurut kamu bisakah kita melebarkan sayap untuk penjualan ke Negara Timur sana?"
Althaf diam, berpikir. Anggota teamnya juga ikut berpikir usulan dari Pak Bambang. Perusahaan mereka memang belum memasuki pasar Timur, baru wilayah Eropa dan Asia.
"Saya dan team akan coba buat analisis SWOT nya. Dari situ akan kita kaji kelayakan untuk penjualan di sana, berapa persen kemungkinannya."
Pak Bambang mengangguk, mendengar penuturan Althaf. Tidak salah, ia menyetujui pengangkatan Althaf menjadi seorang manajer, karena laki-laki itu selalu penuh konsep dan aktualisasi yang baik.
"Baik, saya tunggu kabar selanjutnya."
"Siap, Pak."
"Oh ya, jangan lupa untuk selalu koordinasi dengan bagian design, agar dapat mengemas produk kita dengan sebaik dan semenarik mungkin ."
"Baik, Pak." Althaf mencatat semua yang disampaikan oleh Pak Bambang.
"Ah, satu lagi yang mau saya tanyakan." Pak Bambang melepas kaca matanya, dan menatap Althaf. "Saya dengar, ada kesalahan pengiriman barang ke China. Benar Althaf?"
Taufik yang merasa itu adalah kesalahannya langsung melirik ke arah Althaf yang masih tampak tenang. "Iya Pak. Mohon maaf itu adalah kesalahan saya, kedepannya akan lebih saya perhatikan agar tidak terjadi hal seperti itu lagi." Althaf yang merasa diperhatikan, menoleh ke samping dan tersenyum samar ke arah Taufik.
Bambang menyandarkan punggungnya ke kursi dan tersenyum menatap Althaf dan anggotanya. "Baik, saya percaya kamu. Kita cukupkan pertemuan kita hari ini ya. Saya minta semuanya mempertahankan kinerjanya masing-masing. Jika ada kesulitan langsung diskusikan dengan Althaf. Mengerti?"
"Mengerti, Pak." Jawab seluruh team departemen impor. Semuanya langsung undur diri dari ruangan Pak Bambang, termasuk Althaf.
"Pak Althaf." Althaf berhenti dan menoleh.
"Terima kasih untuk yang tadi, Pak." Laki-laki berumur 23 tahun itu sedikit menurunkan kepalanya, sebagai tanda terima kasih.
Althaf mengangkat bahunya, "No problem." ujarnya kemudian kembali berjalan menuju ruang kerjanya.
Drrt drrt.
Althaf merogoh ponselnya yang bergetar di saku celananya saat sudah tiba di ruangannya. "Halo, Assalamu'alaikum."
Mengetahui siapa yang berbicara di telfon, secara otomatis membuat tubuh Althaf berdiri tegap dan menunduk hormat. Walaupun di depannya tidak ada siapapun.
Setelah menutup telfonnya, Althaf menghela nafas panjang. Ia melirik ke arah jam dinding, dan merapihkan pakaiannya. Ia keluar dari ruangannya.
"Dea, saya mau keluar sebentar. Ada hal urgent yang harus saya urus. Kalau sampai jam 5 saya belum sampai kantor, berarti saya langsung pulang ya." Ujar Althaf pada Dea.
"Baik Pak, hati-hati di jalan."
*****
Sore ini Alya sudah duduk di ruang sekretariat organisasi. Hampir 10 menit ia duduk di sana, namun belum ada satu makhluk yang tiba di sana. Alya menjatuhkan kepalanya di atas meja dan menghadap ke arah pintu. Matanya terpejam, hari ini Alya ada 2 mata kuliah, dan dua mata kuliah itu berat untuknya.
Tak lama mata Alya terpejam, pintu sekretariat terbuka, menampakkan tubuh Adnan di sana. Ia masuk dan membiarkan pintunya tetap terbuka. Laki-laki itu menggunakan celana jeans hitam, serta kaos lengan panjang berwarna abu perpaduan hitam. Matanya yang hampir tertutup topi itu melihat bingung ke arah Alya yang sedang tertidur.
Ia duduk di dua kursi berjarak dari Alya, tempatnya biasa duduk. Ia melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata ia sudah telat 15 menit, pantas saja Alya sampai tertidur. Kemana yang lain? Tidak ada anggotanya lagi yang datang selain Alya.
Adnan merubah posisi topinya ke belakang, sehingga matanya lebih leluasa memandang Alya. Alya tampak tenang dalam posisinya, tak sedikitpun merasa terganggu dengan kedatangan Adnan. Adnan segera mengalihkan wajahnya ke arah pintu, tak boleh ia menatap Alya seperti itu. Alya bukanlah mahramnya, menatap Alya sama saja zina mata baginya.
Bangunin aja apa ya? Adnan kembali melirik Alya. Ia mengetuk lima jarinya ke atas meja, untuk berpikir. Adnan sendiri bingung, kenapa ia harus banyak berpikir hanya untuk membangunkan seseorang.
"Al .. " Ucap Adnan dengan suara pelan. Alya belum juga membuka matanya.
"Al .. "
"Ya!" Alya terbangun dan langsung menutupi wajahnya karena tiba-tiba melihat wajah Adnan yang berada di dekatnya. Adnan yang melihat ekspresi Alya jadi menahan tawanya.
"Kakak ngapain di situ?" Alya bicara dengan wajah yang ditutupi kedua tangannya, hanya kedua matanya saja yang terlihat.
"Kamu nggak ngiler kok, tenang aja." Ujar Adnan seraya terkekeh.
Alya mendengus, kemudian melirik jam tangan kecilnya yang berwarna putih. "Udah setengah jam aku di sini?" Tanya Alya dengan nada tak percaya.
Adnan mengangguk, dan melihatkan isi ponselnya pada Alya. Ternyata minggu lalu, mereka sudah sepakat tidak ada rapat, karena beberapa anggotanya memiliki jadwal penting. "Libur, Al."
Alya menghela nafas panjang, dan menepuk keningnya. "Ya ampun. Kok bisa lupa sih aku."
"Pulang aja yuk, kalau gitu. Udah makin sore soalnya."
Alya mengangguk dan berdiri, berjalan menyusul Adnan di belakang.
Adnan kembali melirik Alya. Tumben Alya hanya diam sepanjang jalan, biasanya perempuan itu akan banyak bicara. Tak biasanya Alya seperti itu. "Kamu lagi mikirin apa?"
Alya mengangkat alisnya sebelah. "Hm?"
Adnan mengangkat telunjuknya ke arah kening Alya. "Keliatan jelas kalau kamu lagi mikirin sesuatu."
Alya jadi ikut menyentuh keningnya. "Oh ya?" Alya memang tiba-tiba memikirkan perihal proses ta'aruf itu. Ini sudah 4 hari sejak Alya bicara perihal Althaf pada kedua orang tuanya. Ingin rasanya Alya menanyakan jawaban Ayah dan Bundanya, namun ia takut dan malu. Althaf pun tidak pernah menghubunginya lagi setelah laki-laki itu mengirimkan CV ta'aruf padanya. Althaf menepati ucapannya, bahwa ia hanya akan menghubungi Alya kembali setelah mendapat jawaban dari kedua orang tua Alya.
"Iya. Lagi kenapa sih?"
Alya menggeleng seraya tersenyum. "Nggak ada apa-apa." Bukan bermaksud berbohong pada Adnan. Hanya saja rasanya memang tidak perlu bagi Alya cerita perihal laki-laki kepada Adnan. Adnan bukanlah sahabatnya, juga bukan siapa-siapa untuknya. Hanya, kakak kelas yang ia hormati.
"Beneran?"
Alya mengangguk mantap. Tak terasa mereka sudah sampai di parkiran fakultas. Mereka berdua berhenti. "Kamu pulang naik apa?"
"Busway kak." Jawab Alya.
Adnan menghela nafas panjangnya. Selintas dipikiran Adnan, ia menyesal karena hari ini membawa motornya bukan naik busway. "Oke, kamu hati-hati ya."
Alya tersenyun dan melambai. "Kakak juga." Alya langsung berjalan menuju halte fakultas HI. Pihak kampusnya menyediakan bis halte di tiap-tiap fakultas untuk memudahkan mahasiswanya. Sehingga nanti akan ada bis yang mengantar jemput mereka sampai ke halte busway dan stasiun.
Ku biarkan hujan
Mengawal rinduku
Padamu yang indah di sana
"Assalamu'alaikum." Alya mengangkat ponselnya yang berdering karena telfon dari Farel, adiknya. Sebelah tangannya memegang ponsel, dan sebelahnya lagi berusaha mengeluarkan botol minum di tasnya.
"Wa'alaikumsalam. Dimana?"
"Busway." Sepertinya karena Farel selalu bicara singkat dengannya, itu jadi membuat Alya secara tak sadar mengikuti adiknya bicara singkat.
"Cepat pulang! kamu punya hutang penjelasan."
Alya mengerutkan keningnya. "Penjelasan apa?"
"Cepat pulang. G-P-L!" Farel mengeja satu persatu hurufnya.
Alya mendengus dan memutar bola matanya, malas. "Iya ini lagi di jalan, Farel. Emang ada apa sih?"Alya minum air mineral yang dipegangnya.
"Ada laki-laki datang ke rumah, ngaku calon suami kamu."
Alya sontak tersedak. "Apa kamu bilang???" Alya sungguh kaget bukan main. Mas Althaf kah?
"Dasar wanita jahat. Sejak kapan kamu sembunyiin ini dari aku?"
Hah? Alya mengerutkan keningnya. Apa maksud Farel mengatakan Alya wanita jahat? "Barusan kamu baper?" Tanya Alya sambil menahan tawanya.
"Cepat pulang, dan jelaskan semua ini." Farel langsung menutup telfonnya.
"Siapa sih yang dimaksud Farel? mas Althaf? mungkinkah?. Tapi kayanya nggak mungkin deh. Aku kan belum kasih kabar apa pun ke dia. Itu pasti cuma bercandaan Farel aja. Ya nggak mungkin banget lah kalau beneran." Alya menggeleng, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu memang hanyalah rekayasa Farel.
Setelah menghabiskan waktu hampir 50 menit di jalan, Alya memasuki area kompleknya. Waktu sudah hampir menunjukkan jam 5, tetapi matahari sudah hampir membenamkan dirinya. Semburat sinar jingganya menghiasi langit sore itu.
Alya terdiam kaget saat tiba di depan gerbang rumahnya. Althaf baru saja keluar dari rumahnya, dengan senyum perpisahan kepada kedua orang tuanya. Alya bersembunyi di samping mobil hitam yang terparkir di pertengahan antara rumahnya dan rumah tetangganya. Ia masih diam membeku, jantungnya membutuhkan pasokan udara yang banyak saat ini.
Aku .. mimpikah?
"Alya .. "
"Alya."
Alya mengangkat kepalanya dan dapat melihat Althaf yang berdiri tak jauh darinya. Alya langsung menunduk saat tidak sengaja melihat bola mata hitam milik Althaf.
Aku nggak mimpi.
"Alya, kamu kenapa?"
Alya mengangkat kepalanya sekali lagi, dan langsung mengalihkan wajahnya ke samping. Kenapa ia jadi gugup setengah mati seperti ini.
"Mas .. Mas ngapain di sini?" Alya memberanikan dirinya untuk bertanya dengan kepala menunduk.
"Orang tua kamu yang telfon saya."
"Apa?"
Althaf tersenyum tipis saat menundukkan kepalanya. "Saya langsung pamit ya, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Alhaf langsung masuk ke dalam mobilnya, dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Sementara Alya masih mencoba mencerna apa yang Althaf katakan barusan. Sungguhkah ia tidak bermimpi? Tapi tadi sungguh Althaf, dan bagaimana bisa?
Alya masuk ke rumahnya dengan cepat. Ia akan menuntut penjelasan dari Rama dan Kartika perihal hal ini. Bagaimana mungkin, orang tuanya mengundang Althaf ke rumah tanpa mengatakannya terlebih dahulu pada Alya?
"Assalamu'alaikum. Bun, Yah." Alya langsung melangkah menuju dapur. Biasanya jam segini, Kartika sudah berada di meja makan.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa sih baru datang malah teriak-teriak?" Kartika berdiri dan menghampiri Alya yang tampak bingung dan sebal. Sementara Rama hanya bisa menahan senyumnya agar tak keluar dari bibirnya.
"Bunda kenapa nggak bilang ke aku kalau mau undang Mas Althaf, Bun?" Alya bertanya dengan nada gemas.
"Ayah yang minta, tuh. Katanya udah penasaran banget jadi langsung di minta ke rumah deh."
"Ayaaahh." Rengek Alya. "Alya malu banget tau tadi di depan tiba-tiba lihat ada mas Althaf keluar dari rumah."
"Ciiee, malu-malu." Goda Rama.
"Ayah." Rama tertawa saat mendengar suara tegas Alya.
"Kamu mandi dulu sana. Nanti saat makan malam kita bicarakan masalah ini ya .. " Ujar Rama dengan mimik wajah jauh berbeda. Ini serius dan ucapannya langsung masuk ke dalam telinga Alya, bahwa sepertinya memang ada hal penting yang akan di sampaikan oleh orang tuanya. Apapun itu, Alya harus bisa menerimanya.
Alya menghela nafas panjang, dan naik ke kamarnya dengan langkah lemas. Baru saja ia membuka pintunya, di ranjangnya sudah duduk Farel dengan membaca komik sambil bersandar.
"Astaghfirullah. Ngagetin aja sih kamu di situ." Alya mengelus dadanya, karena saat membuka pintu tadi ia sempat berjengkit kaget.
Farel menutup komiknya dan menatap lurus mata kakaknya. "Duduk dan jelaskan."
Alya yang ditatap seperti itu, jadi merasa seperti terdakwa yang harus memberikan kesaksian dan pengakuan. "Jelasin apa sih?" Tanya Alya pura-pura tidak tahu. Alya duduk di meja riasnya dan melepas kerudung serta kaos kakinya.
"Siapa laki-laki itu?"
"Laki-laki mana?" Alya menatap Farel dari dalam cermin, dan masih bersikap pura-pura tidak tahu. Rasanya malu jika harus berbicara masalah seperti ini pada adik laki-lakinya.
Flashback on
Farel duduk di ruang tv keluarga sambil bersandar di atas sofa. Alya masih di kampus, sedangkan kedua orang tuanya ada di kamar dan entah sedang melakukan apa.
Hingga ia berdiri keluar karena mendengar suara bel rumahnya yang berbunyi.
Farel membuka pintu rumahnya, dan melihat ada seorang laki-laki yang berdiri di depan pagar rumahnya dengan pakaian rapih.
Farel membuka sedikit gerbang rumahnya. "Ya?"
"Mm.. Apa benar ini dengan rumah Alya?"
Farel langsung menatap laki-laki di depannya dengan tatapan memicing. Seorang laki-laki mencari kakaknya, di rumah? Ini adalah pertama kalinya.
"Maaf, ada perlu apa?" tanya Farel mencoba seramah mungkin, tapi dari wajahnya yang datar itu malah terlihat seperti orang ngajak ribut.
"Saya Althaf. Mau bertemu dengan orang tuanya Alya."
Kening Farel berkerut. "Untuk?"
Althaf tersenyum pada Farel. Sepertinya ia mulai tahu kalau laki-laki di depannya itu adalah adik Alya. Mata mereka sama, tapi tatapannya berbeda. Mata Alya lebih terlihat ramah dan friendly, sedangkan mata Farel terlihat datar dan dingin. "Apa boleh saya katakan, saya calon suaminya Alya? " Althaf menjawab dengan pertanyaan kembali, juga tak menghilangkan senyum dari wajahnya.
Farel membulatkan matanya, mulutnya sedikit menganga karena pengakuan Althaf.
Hah? calon suami? Sejak kapan? Apa cuma aku yang nggak tahu? tanya Farel dalam benaknya.
"Mas, mari masuk. Orang tuanya neng Alya sudah menunggu di dalam." Suara Pak Paijo yang tiba-tiba datang dari halaman belakang, menggugurkan semua lamunan Farel.
"Ya Pak, baik." Althaf tersenyum ramah sambil menurunkan kepalanya untuk hormat kepada yang lebih tua. Setelah menyampaikan pesannya, Pak Paijo kembali lagi ke halaman belakang.
Althaf kembali melirik Farel, sedangkan anak itu menatap ke arahnya masih dengan ekspresi kaget dan bingung. Ekspresi kaget yang Farel tampakkan tadi persis dengan ekspresi milik Alya. Althaf tersenyum lebar, bahkan ikut mengeluarkan suara tawanya. "Ekspresi kaget kamu ternyata sama dengan Alya."
Farel mengerjapkan matanya 2x. "Are you serious? Stop kidding me, Sir." tanya Farel dengan bahasa inggris dengan penekanan di akhir kalimatnya.
Althaf hanya tersenyum menanggapi komentar Farel. "Boleh saya masuk?"
Farel masih diam dan menatapnya datar. Akhirnya ia bergeser sedikit, mengalah membiarkan laki-laki itu masuk walaupun di benaknya masih banyak pertanyaan.
"Thank you, brother." Althaf kembali tersenyum dan masuk.
-Flashback Off-
Farel mengerutkan keningnya. "Jangan ngeles. Ini buktinya apa?" Farel melempar CV ta'aruf milik Althaf yang ia pinta dari kedua orang tuanya.
Alya menoleh, dan melongok apa yang Farel sodorkan. "Oh itu. Ya itu, kaya judulnya aja." Alya kembali menghadap ke cermin, ia menghilangkan rasa gugupnya dengan memainkan ponselnya.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita masalah ini?" Farel menatap Alya dari dalam cermin.
"Emang harus aku cerita sama kamu?"
Farel semakin mengerutkan keningnya. Ucapan kakaknya sedikit membuat perasaannya sedikit kesal. "Haruslah. Kenapa pake nanya?"
"Kupikir kamu nggak akan peduli."
"Kenapa aku harus nggak peduli?"
"Kamu kan kalau ngomong aja irit."
"Hubungannya?"
"Ya karena itu, aku pikir kamu nggak akan pernah mau tahu."
Farel berdecak dan berdiri, ia berjalan menuju pintu kamar Alya. "Bodoh." Ujar Farel pelan, bicara sendiri namun masih dapat di dengar Alya.
"Apa kamu bilang?" Alya bertanya dengan nada kesal. Perempuan itu juga ikut berdiri. Ini adalah pertama kalinya, Alya dikatai 'bodoh' oleh adiknya.
"Kamu memang bodoh, kalau beranggapan aku nggak peduli sama kamu. Kamu pikir menikah itu main-main? Kenapa kamu cuma bilang sama Ayah dan Bunda, nggak sama aku? Atau emang kamu yang nggak anggap aku ada di keluarga ini? Atau opini aku untuk calon suami kamu kelak itu nggak penting?" Selesai mengeluarkan unek-uneknya, Farel menatap Alya dengan tersenyum miring, dan langsung keluar dari kamar Alya dengan menutup kencang pintu kamarnya.
Alya duduk dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Barusan Farel marah padanya. Itu juga pertama kalinya, Farel bicara padanya lebih dari 1 kalimat, bahkan Alya jadi penasaran berapa kalimat yang Farel ucapkan padanya tadi. Tapi entah mengapa, apa yang Farel katakan tadi malah terdengar manis di telinga Alya. Tatapan dingin dari mata Farel malah menyiratkan bahwa adiknya itu ternyata perhatian padanya. Memikirkan Farel, jadi membuat bibir Alya mengembang karena senyuman.