"Aku harus gimana? Aku harus gimana, Ya Allah?" Alya berjalan mondar-mandir di kamarnya dengan frustasi. Apa yang lelaki asing sampaikan padanya tadi siang membuatnya kepikiran setengah mati.
-Flashback On-
"Saya mau ajak kamu ta'aruf dengan saya."
"Mas bilang apa barusan?" tanya Alya dengan alis yang sukses hampir menyatu karena bingung.
"Ta'aruf. Kamu tahu kan?"
Alya mengerjapkan matanya beberapa kali. "Bagian awal dari proses menikah itu kan?"
"Betul sekali. Jadi, boleh saya minta alamat rumah kamu?"
Alya tersenyum canggung. "Mas nggak salah orang? Kita baru aja ketemu sekali ini loh."
"Itu untuk kamu, tapi ini ketiga kalinya saya bertemu dengan kamu."
Alya mengangkat kedua telapak tangannya ke arah Althaf. "Sebentar, sebentar. Ini intinya, Mas ngajak saya nikah?"
"Iya, untuk apa saya ajak kamu ta'aruf jika tak ada niat untuk menikahimu."
Alya sungguh dibuat tak bisa berkutik. Lelaki di hadapannya itu bicara terlalu jelas dan tanpa berbasa-basi. Tanpa ada senyum di wajahnya yang menandakan bahwa lelaki itu memang bicara dengan serius.
"Tapi bahkan kita aja belum tahu nama satu sama lain."
"Saya tahu nama kamu Alya."
"Hah? Mas tahu dari mana?"
"Kamu yang mengatakannya sendiri, saat di halte .. sekitar minggu lalu."
"Halte?" tanya Alya bingung. Pernah juga nggak, ketemu dengan lelaki di hadapannya itu. Lalu bagaimana bisa Alya memberitahukan namanya di halte?
Althaf tersenyum tipis. "Kamu pasti lupa. Nanti akan saya ceritakan secara lengkap saat kita sudah memulai proses ta'arufnya. Bagaimana?"
Alya menelan salivanya susah payah. "Ini terlalu dadakan Mas. Otak saya aja rasanya sampai berhenti berfungsi seketika."
“Pertemuan memang selalu dalam keadaan yang tidak pernah kita sangka. Perkenalkan nama saya Althaf, Althaf Said Abrisam. Saya bekerja di Perusahan Perdagangan Internasional Indonesia. Kamu bisa cari tahu di internet kalau mau." Jelas Althaf dengan tersenyum tipis di akhir kalimatnya.
-Flashback off-
Alya meringis saat mengingatnya kembali. "Apa jangan-jangan Masnya tuh gila ya? Atau dia lagi frustasi kali ya? Masa iya baru ketemu sekali udah ngajak nikah? Yang bener aja. Emang ini drama sinetron?"
Alya duduk di meja belajarnya, ia menekan tombol power laptop miliknya dan membuka mesin pencarian. Alya teringat pesan Althaf untuk mencari tahu dirinya melalui internet. Sebenarnya Alya hanya ingin cukup tahu saja. Ia juga sama sekali tidak penasaran kok dengan yang namanya Althaf Said Abrisam. "Perusahaan Perdagangan Internasional Indonesia." Alya menggerakkan 10 jarinya untuk mengetik. Ada beberapa artikel yang keluar saat Alya mengetik judul tersebut. Namun ia memilih artikel pertama.
Ternyata itu adalah portal website perusahaan tersebut. Alya membaca semua yang tertulis dalam website tersebut. Dari mulai tahun berdiri, kegiatan, pemegang saham, dan hal lainnya. "Siapa nama Masnya ya? Alif? Altar? Alat?" Pusing dengan ingatannya yang tidak bisa diandalkan, Alya membuka susunan struktur organisasi perusahaan tersebut.
"Althaf!" Alya berhasil menemukan nama Althaf melalui susunan organisasi perusahaan tersebut. Di struktur tersebut hanya ada nama pejabat-pejabat tertinggi dalam perusahaan tersebut beserta dengan 11 manajer lainnya, termasuk Althaf. "Masnya manajer? Tapi mukanya masih muda banget, keren udah jadi manajer aja." Tanpa Alya sadari, ia memuji Althaf.
Kepala Alya menoleh, dan melotot ketika Farel tiba-tiba muncul dengan membuka pintu tanpa menegetuknya. "Ngapain sih dari tadi?" tanya Farel dengan wajah datarnya namun dari nada suaranya, terlihat bahwa adiknya sedang kesal.
Alya langsung buru-buru menutup layar laptopnya cepat, dan tertawa kikuk. "Nggak ngapa-ngapain kok."
"Cepet turun, makan!" Farel langsung berbalik dan menutup pintu kamar Alya.
Alya segera menguncir asal rambutnya, dan turun ke bawah untuk makan malam. "Malam Ayah, Bunda,” sapa Alya.
"Kamu kok lama sayang turunnya?" tanya Kartika, sambil menyendokkan sayur dan lauk ke piring suaminya. Sementara Alya dan Farel bergiliran mengambil makanannya sendiri.
"Habis-"
"Habis stalking cowok, Bun." Kalimat Alya jadi tak sempurna karena Farel yang memotong ucapannya.
Alya sontak menendang kaki Farel yang ada di bawah meja, membuat Farel menoleh dan melotot pada Alya. "Lagi fokus aja tadi Bun, baca artikel di internet." Alya langsung mengabaikan tatapan Farel dan lebih memilih bicara dengan bundanya.
"Ya sudah, ayo makan." Semuanya langsung mulai makan dengan tenang. Sesekali Farel dan Alya memperhatikan kedua orang tuanya yang kembali pamer kemesraan di hadapan mereka berdua.
"Alya?" Alya langsung menatap lurus sosok di hadapannya.
"Iya, Yah?" tanya Alya. Alya jadi berpikir sendiri apa yang akan ayahnya tanyakan padanya saat ini, karena biasanya Rama memang sering bertanya mengenai apa pun padanya dan Farel saat makan malam.
"Ayah mau tanya, target kamu menikah di usia berapa?" Alya yang saat itu kebetulan sedang minum pun langsung tersedak begitu mendengar pertanyaan dari Rama.
Farel yang ada di sampingnya, menepuk pelan punggung Kakaknya. "Nggak ada yang minta. Jadi biasa aja minumnya." Alya melirik sebal pada Farel, Alya salah besar jika mengira sikap adiknya itu sebagai bentuk perhatian padanya. Karena itu langsung terbantahkan dengan ucapan menyebalkan dari Farel.
Alya kembali menatap Rama yang ada di hadapannya. Ia menyeka sekitar bibirnya yang basah sehabis minum. "Ayah kok ngomongin itu sih?"
"Ayah cuma nanya sama Alya. Kebetulan Ayah punya teman yang anaknya sudah kerja, dan sudah siap menikah."
"Ayaaahh, Alya nggak pernah kepikiran untuk nikah cepet." Suara Alya terdengar merengek pada Rama.
"Berarti mulai sekarang harus kami pikirkan dengan baik. Ayah dan Bunda sih berharap, kamu nikah muda." Rama menoleh, dan menatap Kartika. Istrinya pun mengangguk menyetujui.
"Lagian umur kamu juga sudah 20 tahun." Ujar Kartika menimpali.
Alya menggeleng kuat.
"Ayah jodohkan kamu dengan anak rekan Ayah saja ya? InsyaAllah dia lelaki yang soleh, dan Ayah rasa kamu cocok sama dia." Imbuh Rama.
Alya kembali menggeleng, namun kali ini gelengannya lebih semangat. Seakan ingin mengatakan bahwa ia sangat tidak mau dijodohkan. "Alya nggak mau di jodohkan, Yah. Biar Alya yang pilih sendiri calon suami Alya." Ucap Alya dengan nada memohon.
Rama tanpak berpikir, dan sedetik kemudian ia mengangguk. "Boleh, itu terserah Alya. Tapi jangan lama-lama ya."
Alya meletakkan sendok garpunya. "Kok jangan lama-lama? Itu mah tergantung kapan ada yang ngajak Alya nikah, Yah." Alya sungguh sudah tidak nafsu untuk makan sekarang. Bukannya Alya tidak mau menikah, hanya saja masih banyak planning Alya ke depannya.
"Emang belum ada yang ajak kamu ta'aruf?" Pertanyaan dari Kartika barusan, sukses membuat Rama dan Farel ikut menatap Alya. Sementara Alya malah kembali teringat dengan ucapan Althaf di kafe tadi siang. Saya mau ajak kamu ta'aruf dengan saya.
Farel yang melihat Alya bengong, menyenggol lengan kakaknya. "Kalau ditanya, jawab."
Alya menunduk sambil mengaduk-aduk sup yang ada di mangkuknya. Ia termakan ucapannya sendiri. "Ya…ya be…belum ada lah." Alya meringis begitu sadar ia bicara dengan terbata-bata.
Farel langsung mengerutkan keningnya, karena ia memperhatikan detail gerakan Alya. Bingung, sekaligus penasaran.
"Kalau sudah ada yang mengajak Alya serius, sebaiknya jangan ditolak. Diproses dulu dengan baik. Nanti sepanjang proses jika menemukan hal yang cocok satu sama lain, kalian berhak menolak untuk melanjutkan ke proses selanjutnya." Tutur Rama, membuat Alya menghela napas panjang dan itu hanya disadari oleh Farel.
*****
"Kenapa bisa barang yang dikirimkan ke China ada salah kuantitas dan kualitas?!" Lelaki tinggi itu bertanya pada anggotanya dengan nada bicara yang cukup tinggi. Althaf mengendurkan ikatan dasinya dan duduk di kursinya. Ia menghela napas panjang.
Enam manusia yang berada di sana pun hanya bisa menundukkan kepalanya. Beginilah tegasnya Althaf jika sudah menyangkut masalah pekerjaan.
Althaf menjatuhkan laporan yang ada di tangannya ke meja, membuat seisi ruangan kembali hening dan diam membeku. "Siapa yang saya beri tanggung jawab untuk memastikan barang yang dikirim ke China sama akan kuantitas serta kualitasnya sesuai pesanan?!"
Semua yang ada di dalam ruangan tersebut saling lirik memberi isyarat agar ada yang menjawab pertanyaan Althaf. "Sa…saya, Pak." Seorang lelaki berkaca mata bernama Taufik akhirnya mengacungkan tangannya pasrah.
Althaf menghela napas panjangnya kembali. "Hubungi kembali pihak pengemasan barang dan penanggung jawab ekspedisinya. Minta segera pada mereka untuk mengirimkan kembali kekurangan barang ke China sesuai dengan pesanan mereka. Saya tidak mau hal seperti ini terulang kembali."
"Baik Pak. Saya mengerti, dan akan segera saya hubungi kembali pihak tersebut. Sekali lagi saya mohon maaf, Pak."
Althaf mengeluarkan senyum samarnya. "Baik, silahkan kembali ke meja kalian Masing-Masing." Mendengar ucapan Althaf, semuanya saling melempar pandang satu sama lain. Hingga akhirnya Dea yang berada di sana memberi isyarat agar mereka segera berdiri dan keluar dari ruang meeting tersebut.
Setelah semuanya pergi, Althaf menyandarkan tubuhnya di kursi dan memejamkan matanya sejenak. Dea yang sedang merapihkan kursi di sana pun akhirnya keluar diam-diam. Ia menuju pantry, dan membawa segelas air dingin untuk Althaf. "Pak, silahkan di minum dulu." Dea menaruh gelas berisi air dingin yang telah ia ambil dari pantry ke atas meja.
Althaf membuka matanya, dan melirik gelas yang sudah ada di hadapannya. "Terima kasih." Althaf meminum air tersebut hingga setengah gelas. Setelah itu, Althaf berdiri dan keluar dari ruang meeting diikuti dengan Dea dibelakangnya.
"Pak Althaf!"
Althaf menoleh dan melihat Lisa yang sedang berjalan ke arahnya. "Bisa kita bicara sebentar, Pak?" tanya Lisa saat ia sudah sampai di hadapan lelaki itu. Perempuan itu menggunakan celena hitam, serta kemeja V-neck berwarna cokelat dengan aksen long stripe.
"Saya sedang buru-buru, silahkan bicara sekarang."
"Heh?" respon Lisa bingung atas tanggapan Althaf padanya. Dea menatap Lisa bingung saat perempuan itu memberikan isyarat melalui tangannya, menyuruh Dea pergi.
Althaf melirik jam tangan silver Casio miliknya. "Kalau tidak ada yang mau kamu bicarakan, saya permisi."
Lisa menahan lengan Althaf yang hendak beranjak pergi. "Ada, Pak."
Althaf menyatukan kedua alisnya, dan menyingkirkan tangan Lisa dengan buku yang dipegangnya dengan pelan. "Ada apa?"
"Bapak akhir pekan ini sudah ada jadwal?"
Althaf mengalihkan pandangannya ke jendela, dan memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celananya. Ia tahu betul, ujungnya pasti Lisa akan mencoba mengajaknya pergi di akhir pekan, seperti yang sudah-sudah. "Saya sudah ada agenda di hari itu. Maaf saya buru-buru, permisi." Althaf kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
"Baik, Pak. Maafkan saya." Ucap Lisa dengan sedikit menurunkan kepalanya sebagai permintaan maaf.
Lisa menatap ke depan, di mana Althaf telah pergi diikuti dengan Dea. "Pasti enak jadi sekretaris bos yang ganteng, kaya, dan masih single." Keluh Lisa pelan, sedikit kesal dan menyesal, karena Lisa tidak tahu saat ada lowongan untuk sekretaris manajer. Ia juga tak menyangka, bahwa lowongan itu diperuntukkan untuk menjadi sekretaris Althaf.
"Pak, meeting dengan bagian Impor 30 menit lagi." Ucap Dea, begitu Althaf sudah tiba di ruang kerjanya, dan duduk di kursinya.
Althaf mendongak dan menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. "Baik," jawabnya yang membuat Dea segera pamit dari ruangan tersebut. Ah, rasanya tenaga dan pikiran Althaf sudah hampir terkuras habis hari ini. Karena meeting dengan anggotanya tadi, dan mendengar ada beberapa problem yang ternyata cukup menguras perhatiannya.
Althaf melirik kertas yang sudah terlipat dan sedikit lecek di dekat telepon kerjanya. Ia membukanya, itu adalah nomor milik Alya. Awalnya Alya memang tidak berniat sama sekali untuk memberikan kontaknya pada Althaf. Namun karena Althaf terus mendesaknya, akhirnya Alya memberikan nomor teleponnya. Hanya itu, karena Alya belum memberikannya alamat rumahnya pada Althaf.
***
Althaf keluar dari kamar mandinya dengan hanya menggunakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya dan memilih menggunakan kaos oblong dengan celana pendek berwarna hitam. Setelah menyisir rambutnya yang basah dengan asal, ia menuju dapur. Althaf mengeluarkan teh hijau beserta roti gandum kesukaannya dari dalam lemari. Setelah menyeduh tehnya, dan siap dengan roti panggangnya, Althaf membawa sarapannya menuju ruang TV. Ia duduk santai di atas sofa sambil menonton berita yang tersaji pagi itu. Hari kamis ini tanggal merah, sehingga Althaf bisa mengistirahatkan tubuhnya sejenak.
Althaf merogoh handphonenya yang ada di atas meja. Ia menatap nomor Alya yang baru saja ia simpan kemarin. "Telepon atau nggak, ya? Kalau di telepon nanti di angkat nggak, ya?" Althaf berada dalam kebingungan antara menelepon Alya atau mengirimnya pesan.
"Oke, bismillah." Althaf mendekatkan handphonenya ke telinganya, teleponnya sudah terhubung dengan nomor Alya. Pertimbangan Althaf menelepon Alya adalah maka akan lebih cepat untuknya mendapatkan alamat rumah Alya. Althaf paham bahwa Sang Sutradara lah yang mengatur. Semua adalah skenario dan rekayasa-Nya. Manusia hanya berencana dan ikhtiar, keputusan tetap berada dalam genggaman-Nya. Tapi kita manusia juga diberi pilihan. Hidup adalah pilihan, dan Alya adalah pilihan Althaf, walaupun Allah Yang Maha Menentukan bagaimana ending kisahnya nanti.
Halo, assalamu'alaikum.
Althaf diam. Pikirannya seketika ngeblank, lupa dengan apa yang akan ia sampaikan pada Alya. Ia tak pernah mengira bahwa Alya akan secepat itu mengangkat telfonnya.
Halo, ini siapa ya?
"Eh…ya…halo assalamu'alaikum." Althaf akhirnya mengeluarkan suaranya. Tangannya berkeringat karena gugup.
Wa'alaikumsalam. Maaf ini dengan siapa, ya?
Althaf kembali diam, ini tidak seperti dugaannya. Menelepon seorang perempuan ternyata mampu membuat seorang Althaf gugup. Ia bahkan langsung dibuat bingung akan seperti apa ia mengenalkan dirinya di telepon. "Saya… Althaf."
10 detik.
30 detik.
Althaf sama sekali tak mendengar suara apa pun dari seberang teleponnya. Tapi jika Althaf mau tahu, Alya yang sedang sarapan di rumahnya juga hampir saja membanting handphonenya saat mengetahui yang ternyata meneleponnya barusan adalah Althaf.
Ha…halo. Kini malah Althaf mendengar suara Alya yang terdengar gugup. Althaf tersenyum tipis karena kesamaannya dengan Alya.
Althaf berdeham untuk menetralkan situasi canggung mereka. "Hm Alya, boleh saya minta alamat rumah kamu?"
Buat apa?! Althaf refleks menjauhkan handphonenya dari telinganya. Suara Alya tiba-tiba melengking sesaat ia bertanya alamat rumahnya. Ah... maaf. Maksud saya, kenapa Mas selalu nanya alamat rumah saya? Saya aja belum bicara apapun dengan orang tua saya.
Althaf kembali menghirup banyak udara untuk mengisi kekurangan oksigen di rongga dadanya. "Kalau kamu takut dan bingung menjelaskannya, biar saya yang langsung bicara dengan orang tua kamu, Alya."
Alya kembali diam, tak mengatakan sepatah kata apa pun.
"Alya, bagaimana?"
"Saya… belum tahu Mas."
Dapat Althaf dengar, nada bicara Alya memelan. Althaf jadi semakin gugup. Bagaimana kalau belum apa-apa, ia sudah ditolak duluan karena Alya yang tidak mau diajak ta’aruf. "Kamu sudah cari tahu nama saya beserta pekerjaan saya di internet?"
Sudah.
"Lalu apa alasan kamu bingung menentukannya? Ini baru proses perkenalan Alya. Jika sepanjang proses kamu tidak menyukai saya, maka kamu boleh membatalkannya. Saya tidak masalah, dan akan menghargainya." Althaf berhenti sejenak, "Kalau kamu tidak kasih saya alamat rumah kamu, maka kita malah akan berhubungan secara pribadi seperti ini. Saya tidak mau membuat diri kamu berdosa, juga saya,” jelasnya.
Tanpa Althaf tahu, Alya kembali dibuat terkesan oleh apa yang Althaf katakan. Memang dari yang Alya pahami, jika di antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram, tidak bertemu, dan hanya berhubungan melalui telepon atahupun chatting, itu tetap bisa menimbulkan dosa jika yang dibicarakan mulai melenceng, atau menjurus pada sikap saling perhatian satu sama lain.
Saya…saya ketik lewat sms ya, Mas.
Althaf tersenyum lega mendengarnya, mengucap banyak kalimat tahmid di dalam hatinya. Walaupun suara Alya terdengar gugup dan ragu tapi Alya tetap membukakan jalan untuknya melakukan proses ta’aruf. "Alhamdulillah, saya tunggu ya Alya. Assalamu'alaikum." Althaf langsung mematikan teleponnya begitu Alya menjawab salamnya. Senyumnya tak berhenti mengembang. Althaf berharap ini adalah langkah awal yang sudah Allah takdirkan untuknya.
Althaf segera beranjak menuju kamarnya. Ia harus menyiapkan data dirinya untuk Alya dan keluarganya. Althaf akan mempersiapkan yang terbaik untuk ini. Namun Althaf juga mengingatkan kepada dirinya sendiri, agar tak terlalu berharap pada manusia. Karena jika berharap pada manusia maka kamu akan kecewa, jadi berharaplah hanya pada Allah. Karena Allah yang paling tahu hal terbaik bagi hamba-Nya.
*****
Setelah mandi dan sarapan, Alya bersantai di atas kasurnya sambil membaca novel kesukaannya. Membaca novel yang bergenre romance islami itu, Alya jadi teringat akan Althaf. Teringat setiap kata yang lelaki itu ucapkan.
Saya ingin mengajak kamu ta'aruf dengan saya.
Untuk apa saya mengajakmu ta'aruf, jika tak ada niat untuk menikahimu.
Kamu bisa menolak, jika sepanjang proses kamu tidak menyukai saya.
Saya tidak mau membuat diri kamu berdosa, juga saya.
Alya menggelengkan kepalanya, menyadarkan kembali pikirannya. Ia tak boleh memikirkan lelaki yang bukan mahramnya. "Ya Allah, Mas itu buat aku kepikiran terus. Padalah udah dikasih alamat rumah, tapi mana? Dia nggak ke sini." Alya menepuk pipinya sekali, dan menggelengkan kepalanya lagi. "Jangan dipikirin, Alya!"
Alya mengambil handphonenya yang berdering karena pesan masuk. Lelaki yang baru saja terlintas di pikirannya beberapa saat lalu mengiriminya sebuah pesan. Nomor asing yang baru saja tersimpan di handphonenya dengan nama ‘Mas Althaf’ setelah kemarin Althaf menelepon dirinya.
Alya memberanikan dirinya untuk membuka pesan Masuk dari Althaf.
From : Mas Althaf
Assalamu'alaikum, Alya. Saya kirimkan CV ta'aruf saya sebagai bahan pertimbangan kamu dan orang tua kamu. Saya tunggu juga punya kamu ya. Terima kasih.
"Ya Allah, CV?" Mata Alya tak lepas dari layar handphonenya yang masih menunjukkan isi pesan dari Althaf. Antara percaya tak percaya, Alya mendapatkan CV dari seorang lelaki. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kalinya Alya mendapatkan CV ta’aruf yang ditujukan untuknya. Alya membuka file CV Althaf, dan membaca CV sebanyak 7 lembar itu dengan perlahan. Ada foto ukuran 4x6 cm di lembar pertama. Foto Althaf menggunakan jas serta rambutnya yang di sisir rapih. Biodata dirinya pun lengkap tersedia di file tersebut. TTL, golongan darah, alamat, makanan kesukaan, kebiasaan, background pendidikan, pekerjaan, dan masih banyak lagi.
Sepertinya Alya sudah mulai bisa mempercayai bahwa Althaf memang memiliki niat yang baik, dan bukanlah orang jahat atahu orang aneh seperti yang ia sangka di awal. Ia mulai bisa memahami Althaf sedikit demi sedikit saat membaca CV yang telah disajikan hampir secara lengkap. Alya hanya tinggal harus menjemput jalan yang telah Allah berikan melalui seorang lelaki bernama Althaf Said Abrisam. Ta'aruf memang baru langkah awal dari proses menuju pernikahan. Tetapi dari awal inilah seseorang harus memutuskan dengan hati-hati proses kedepannya. Alya, dan Althaf sama-sama memiliki hak untuk memilih, dan biarkan Allah yang akan menentukan hasilnya. Yakinlah, bersandar pada keputusan Sang Arsy tidak akan pernah membuat kamu kecewa.
BAB IV – Minta Restu
Althaf saat ini sudah berada di kediaman orang tuanya di Bandung. Ini memang jadwal Althaf untuk mengunjungi orang tuanya sekalian membicarakan mengenai niatnya untuk menikahi seorang perempuan bernama Alya kepada kedua orang tuanya.
Althaf menghirup napas dan mengembuskannya perlahan. Menghilangkan rasa gugupnya yang tiba-tiba kembali muncul. "Pak, Bu. Aku mau bicara sesuatu." Ujar Althaf saat makan malam keluarga kecil itu. Adiknya, Melisa tidak ada di rumah, karena adiknya kuliah di Yogya dan tinggal di sana.
"Bicara apa, Nak?" tanya Gunawan santai sambil menyuap makan malamnya.
"Aku ingin menikah."
Gunawan dan Herlina kompak menatap anak mereka. "Kamu serius?" tanya Gunawan, setelah menelan makanannya.
"Iya Pak, namanya Alya." Althaf tersenyum kepada kedua orang tuanya saat menyebut nama Alya.
“Alya?” Kompak sudah pertanyaan antara Gunawan dan Herlina. Kerutan di keningnya juga tampak di kedua orang tua Althaf. Mereka kembali mengingat masa lalu anak mereka yang bersangkutan dengan nama Alya.
“Iya, Bu. Namanya Alya Khansa Ramadhani.”Herlina, dan Gunawan kembali bingung. Di wajah Althaf tak menggambarkan ekspresi yang lain selain ekspresi tenang dan senyum merekah bahagia. mengusap punggung tangan anaknya. Mereka berdua saling pandang sesaat, lalu saling menukar senyum lega. Bersyukur jika anak mereka telah move on dari masa lalunya.
Herlina mengeluarkan senyum simpul untuk Althaf. Lega sekali akhirnya mendengar anaknya ingin segera menikah. "Alhamdulillah, Ibu seneng dengernya. Alya itu siapa? Seperti apa orangnya? Apa kamu sudah bicara dengannya?"
Althaf ganti mengusap lembut tangan Ibunya. "Sudah Bu, Aku juga sudah dapat alamat rumahnya. Rencananya, aku memang ingin minta restu Bapak sama Ibu terkait hal ini."
Althaf menyodorkan CV ta'aruf Alya yang sejak tadi ia letakkan di kursi kosong di sampingnya. Herlina menerima lembaran yang diberikan oleh Althaf. "Itu biodata diri Alya. Bapak dan Ibu silahkan baca itu sebagai bahan pertimbangan.
"Apa tujuan kamu menikahinya, Althaf?" Gunawan meletakkan sendok dan garpunya. Matanya menatap lurus Althaf, menanti jawaban dari mulut anaknya. Gunawan berharap Althaf menikah bukan hanya karena paras atahu harta seorang perempuan yang ia sukai. Tetapi menghadirkan dan mempercayakan scenario Allah pada pernikahannya kelak.
"Untuk menjalankan sunah Rasulullah. Menyempurnakan separuh agama aku maupun Alya. Agar aku bisa membina sebuah keluarga hingga sampai ke surga bersama. Juga untuk membuat Bapak dan Ibu bahagia, karena aku tahu bagaimana kemauan Ibu untuk minta aku menikah." Althaf menjawab pertanyaan Gunawan dengan lancar dan santai. Alasan Althaf menikahi Alya tentunya sudah Althaf pikirkan dengan seksama. Tak mungkin ia menikahi putri orang tanpa tujuan yang jelas.
Menikah bukan hanya kehidupan antara sepasang suami dan istri. Tapi bagaimana pernikahan itu bisa menyatukan 2 keluarga. Tentang bagaimana sepasang suami istri dapat menghasilkan anak-anak yang soleh dan solehah. Membuat keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah.
Gunawan dan Herlina saling tatap. Mata yang saling menatap tanpa berbicara, memikirkan jawaban yang sama untuk keputusan anaknya.
"Bapak setuju InsyaAllah. Bapak ingin berpesan pada kamu untuk jangan pernah menyakiti hati istrimu. Sayangi dan cintai dia. Berikan perlindungan kepada keluargamu dari hal apapun. Bapak percaya kamu dapat memilih calon istri yang baik menurut agama dan kamu bisa menjaganya.
"Kalau Bapak sudah setuju, InsyaAllah restu Ibu juga menyertaimu." Senyum syukur Althaf mengembang tatkala kedua orang tuanya setuju dengan niatnya untuk menikah.
"Bapak dan Ibu juga akan baca ini, agar bisa tahu seperti apa calon istrimu itu." Althaf jadi tersenyum canggung saat mendengar Gunawan mengatakan Alya sebagai calon istrinya. Bolehkah Althaf jadi berharap itu sungguh terjadi?
*****
Alya menatap lembaran CV Althaf yang sudah ia print dalam bentuk A4. Sudah hampir seminggu sejak Alya dan Althaf bertukar CV, Alya selalu memohon kepada Allah agar hatinya diberikan petunjuk dan ketetapan hati yang mantap dalam memilih calon suami. Agar dirinya tak goyah dan selalu yakin dengan setiap keputusannya.
Alya memang tidak tahu apakah Althaf sungguh lelaki terbaik yang ia pilih. Namun pilihan tetaplah pilihan, dan Alya harus berani memilih. Jikalah Althaf adalah jodohnya dan calon imam terbaiknya, pastilah Allah akan mempermudah jalannya. Alya hanya perlu ikhtiar dan banyak berdoa.
Selama 20 tahun, tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya untuk menikah muda, terlebih ia masih kuliah saat ini. Hingga akhirnya ada seorang lelaki yang datang tanpa permisi dan mengajaknya untuk ta'aruf. Sehingga wajar jika Alya merasa banyak bingung dan banyak berpikir mengenai keputusan yang akan ia ambil selanjutnya.
Alya memejamkan matanya, dan menghela napas panjang. Memberikan CV althaf pada orang tuanya, berarti Alya harus siap jika saja kedua orang tuanya menyetujui proses ta’aruf dilanjutkan ke proses berikutnya. Dan artinya lagi Alya harus siap nikah muda. “Bismilah," ucap Alya sambil keluar kamar dengan menggenggam erat CV milik Althaf. Hari ini akan Alya sampaikan langsung kepada orang tuanya. Alya sudah mempersiapkan dirinya apapun jawaban yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya.
Setiba di depan kamar kedua orang tuanya, Alya malah diam mematung. Keberanian yang sejak tadi ia siapkan seakan luluh lantah. Tangannya yang memegang CV Althaf berkeringat. Berkali-kali ia menelan gugup salivanya.
"Ngapain?"
Alya langsung menoleh dan menyembunyikan berkas CV Althaf di belakang punggungnya. "Huh?" Alya bingung.
"Ngapain di depan kamar Bunda?" Tatapan datar Farel seakan langsung menghunus tepat di mata Alya. Adiknya memegang komik dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celananya. Farel juga menggunakan kacamata bening miliknya. Hanya kacamata bening, tanpa ada fungsi lain, karena mata Farel masih berfungsi dengan sangat baik.
"Huh?" Alya masih bingung harus menjawab apa. Otaknya langsung ngeblank karena tatapan milik Farel.
Farel membenarkan letak kacamatanya. "Selalu nggak jelas," imbuh Farel kemudian berbalik, meninggalkan Alya.
"Farel?" Farel menoleh tanpa memutar badannya. "Ayah sama Bunda mana?" tanya Alya sedikit ragu. Ia berharap adiknya tak mencurigai sikapnya.
"Supermarket," jawab Farel singkat, dan kembali berjalan menuju kamarnya.
30 menit, Alya menunggu Rama dan Kartika kembali dari supermarket. Ini sudah menunjukkan pukul 20.20, dan Alya tetap berniat melanjutkan apa yang sudah diputuskan sejak awal. Alya menunggu di ruang tv, beruntung Farel sudah tenang di kamarnya, sehingga Alya tidak perlu takut ketahuan lagi.
Suara mobil yang Alya tahu milik Ayahnya. "Assalamu'alaikum." Rama dan Kartika kompak mengucap salam saat memasuki rumah dengan tangan penuh dengan plastik belanjaan. Alya langsung bangkit berdiri dan mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
"Kamu tumben nonton tv?" tanya Kartika sambil mengusap lembut rambut anaknya. Rama dan Kartika ikut duduk di sofa bersama Alya.
"Bun, Yah, Alya mau bicara sesuatu."
"Bicara apa?" tanya Rama santai sambil memencet remot tv sesuai yang ia inginkan.
"Yah, Alya sungguh mau bicara serius."
Rama menoleh. Alya memang sudah memasang wajah seriusnya, agar saat ia menceritakan semuanya, kedua orang tuanya dapat mempercayainya.
"Hm, baik." Rama mematikan tvnya, dan menatap Alya. Kartika juga jadi semakin penasaran dengan apa yang akan dikatakan anaknya.
Alya menarik napas dan mengembuskannya perlahan berkali-kali. Sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bahwa ini memang sudah keputusannya untuk membicarakan perihal Althaf kepada orang tuanya.
Alya menyodorkan CV Althaf pada Rama. Rama dan Kartika membukanya, dan cukup terkejut dengan apa yang Alya berikan padanya. "CV ta'aruf?" tanya Rama dan Kartika dengan kompak. Pupil mata keduanya bahkan ikut melebar karena saking terkejutnya.
“Yang bener kamu?” tanya Rama memastikan.
Alya mengangguk ragu. "Namanya Althaf Said Abrisam. Mas Althaf bilang mau ajak Alya ta'aruf, Yah," ucap Alya dengan suara yang pelan namun dapat didengar jelas oleh Rama maupun Kartika.
Melihat wajah anaknya yang begitu tegang nan gugup membuat Rama terkekeh. "Itu ada yang ngajakin nikah. Ternyata bener kan dugaan Ayah. Kamu ini, diem-diem langsung nyodorin CV ta’aruf aja.”
"Ih Ayaahh!" rengek Alya pada Rama karena bicara dengan suara yang jail.
"Alya bingung harus jawab apa." Alya menundukkan kepalanya dalam. Hingga ia mengangkat kepalanya saat merasakan puncak kepalanya dibelai halus oleh Kartika.
"Sayang, kamu nggak harus jawab sekarang. Seorang perempuan itu juga berhak memilih kriteria calon suaminya. Bunda sama Ayah bersyukur kalau kamu akhirnya mau nikah muda. Tetapi Bunda sama Ayah berharap kamu memilih calon suami yang sesuai dengan Islam. Lelaki soleh yang dapat bertanggung jawab atas kamu dan calon anak kamu kelak." Alya mendengarkan dengan seksama nasihat Kartika.
"Kamu sudah baca semua CV ini?" tanya Rama pada Alya.
"Sudah, Yah."
"Berarti boleh Ayah dan Bunda baca dulu CV ini?" tanya Rama lagi, seraya tersenyum pada Alya.
Alya mengangguk setuju. Justru Alya memang ingin mengetahui bagaimana kesan kedua orang tuanya saat membaca CV ta'aruf milik Althaf. "Tapi Bun, Alya baru ketemu sekali sama Mas Althaf, itu pun baru 3 minggu yang lalu."
Rama tersenyum tipis, ia jadi fokus pada kata yang diucapkan anaknya barusan, 'Mas Althaf'. "Alya, dengan ta'aruf ini lah kamu bisa mengenal calon suamimu. Kenal lama pun tak bisa menjamin pernikahan yang sempurna. Kamu ingat kakak sepupu kamu yang di Lampung?" Alya mengangguk, Alya memang dekat dengan Kakak sepupunya itu. Sehingga Alya cukup mengetahuinya.
"Dia pacaran sudah 7 tahun, tapi belum sampai ke jenjang pernikahan, mereka akhirnya putus." Rama menghentikan ucapannya sejenak, sementara Alya masih mendengarkan dengan serius apa yang ayahnya sampaikan. "Menikah adalah hubungan antar lawan jenis yang Allah ridhoi, Alya. Menikah berarti kamu telah menyempurnakan separuh agama Allah. Kamu nggak perlu khawatir karena baru sekali bertemu dengannya, sayang. Kamu cukup banyak berdoa, agar Allah memperlihatkan segala sesuatu yang baik maupun yang buruk dari lelaki itu. Jika memang lelaki itu bukan orang yang baik, Allah juga tidak akan menjodohkan kamu dengan dia."
"Betul apa yang Ayah bilang. Lebih baik sekarang Alya ke kamar, belajar. Banyak-banyak juga solat dan berdo'a sama Allah ya sayang." Pinta Kartika sambil tersenyum tulus pada Alya.
Alya mengangguk kecil. “Makasih atas nasihat Ayah dan Bunda. Kalau gitu Alya ke kamar dulu." Setelah memberikan CV, dan mendengarkan seluruh nasihat orang tuanya, Alya menuju kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Apa ini memang jalan aku untuk menikah saat masih kuliah?" lirih Alya pelan. Tubuhnya yang lelah memaksa matanya terpejam, hingga tertidur pulas. Melupakan pesan Kartika yang menyuruhnya belajar.
*****
"Coba perlihatkan grafik penjualan bulan Januari dan Februari lalu."
"Ini, Pak." Tikah, memberikan berkas yang sudah ia siapkan ke hadapan Pak Bambang, Direktur Perdagangan Impor. Jadwal meeting dengan direktur di tiap divisi adalah per quartal.
Bambang memperhatikan tiap angka yang tersaji dalam grafik tersebut. Kepalanya mengangguk-angguk saat membacanya. Pensil yang dipegang tangan kanannya, menuliskan masukan dan koreksian darinya. "Bagus. Kalian bisa meningkatkan penjualan di 2 bulan tersebut. Tolong di pertahankan."
Althaf dapat menghela napas lega karena mendengar komentar Pak Bambang. "Baik Pak, siap."
"Althaf," udara menggantungkan ucapan Pak Bambang. "Menurut kamu bisakah kita melebarkan sayap untuk penjualan ke Negara Timur sana?"
Althaf diam, berpikir. Anggota teamnya juga ikut berpikir usulan dari Pak Bambang. Perusahaan mereka memang belum memasuki pasar Timur, baru wilayah Eropa dan Asia saja yang sudah mereka jajaki.
"Saya dan tim akan coba buat analisis SWOT nya Pak. Dari situ akan kita kaji kelayakan untuk penjualan di sana, berapa persen kemungkinannya. Akan kita compare juga untuk kemungkinan untung serta kerugiannya."
Pak Bambang mengangguk, mendengar penuturan Althaf. Tidak salah, ia menyetujui pengangkatan Althaf menjadi seorang manajer, karena lelaki itu selalu penuh konsep dan aktualisasi yang baik.
"Baik, saya tunggu kabar selanjutnya."
"Baik, Pak."
"Oh ya, jangan lupa untuk selalu koordinasi dengan bagian design, agar dapat mengemas produk kita dengan sebaik dan semenarik mungkin ."
"Baik, Pak." Althaf mencatat semua yang disampaikan oleh Pak Bambang.
"Ah, satu lagi yang mau saya tanyakan." Pak Bambang melepas kacamatanya, dan menatap Althaf. "Saya dengar, ada kesalahan pengiriman barang ke China. Benar Althaf?"
Tahufik yang merasa itu adalah kesalahannya langsung melirik ke arah Althaf yang masih tampak tenang. "Iya Pak. Mohon maaf karena itu adalah kesalahan saya, kedepannya akan lebih saya perhatikan agar tidak terjadi hal seperti itu lagi." Althaf yang merasa diperhatikan, menoleh ke samping dan tersenyum samar ke arah Tahufik.
Bambang menyandarkan punggungnya ke kursi dan tersenyum menatap Althaf dan anggotanya. Cukup puas ia mendengar penjelasan Althaf, karena ia tahu, Althaf adalah karyawannya yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan. "Baik, saya percaya kamu. Kita cukupkan pertemuan kita hari ini ya. Saya minta semuanya mempertahankan kinerjanya masing-masing. Jika ada kesulitan langsung diskusikan dengan Althaf. Mengerti?"
"Mengerti, Pak." Jawab seluruh tim divisi impor. Semuanya langsung undur diri dari ruangan Pak Bambang, termasuk Althaf.
"Pak Althaf?" Althaf sontak berhenti dan menoleh.
"Terima kasih untuk yang tadi, Pak." Taufik sedikit menurunkan kepalanya, sebagai tanda terima kasih.
Althaf mengangkat bahunya, "No problem," ujarnya kemudian kembali berjalan menuju ruang kerjanya.
Drrt drrt.
Althaf merogoh handphonenya yang bergetar di saku celananya saat sudah tiba di ruangannya. Pesan masuk dari seseorang yang dengan refleks mampu membuat tubuhnya menegang detik itu juga.
*****
Sore ini Alya sudah duduk di ruang sekretariat organisasi. Hampir 10 menit ia duduk di sana, namun belum ada satu manusia pun yang tiba di sana. Entah ke mana perginya semua teman organisasinya hari ini. Lama menunggu, Alya menjatuhkan kepalanya ke atas meja dan menghadap ke arah pintu. Matanya terpejam. Hari ini Alya ada 2 mata kuliah, dan dua mata kuliah itu berat untuknya.
Tak lama mata Alya terpejam, pintu sekretariat terbuka, menampakkan tubuh Adnan di sana. Ia masuk dan membiarkan pintunya tetap terbuka. Lelaki itu menggunakan celana jeans hitam, serta kaos lengan panjang berwarna abu perpaduan hitam. Matanya yang hampir tertutup topi itu melihat bingung ke arah Alya yang sedang tertidur.
Ia duduk di dua kursi berjarak dari Alya, tempatnya biasa duduk. Ia melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata ia sudah telat 20 menit, pantas saja Alya sampai tertidur. Kemana yang lain? Tidak ada anggotanya lagi yang datang selain Alya.
Adnan merubah posisi topinya ke belakang, sehingga matanya lebih leluasa memandang Alya. Alya tampak tenang dalam posisinya, tak sedikit pun merasa terganggu dengan kedatangan Adnan. Adnan segera mengalihkan wajahnya ke arah pintu, tak boleh ia menatap Alya terlalu lama seperti itu. Alya bukanlah mahramnya, menatap Alya sama saja zina mata baginya.
Bangunin aja apa ya? Adnan kembali melirik Alya. Ia mengetuk lima jarinya ke atas meja, untuk berpikir. Adnan sendiri bingung, kenapa ia harus banyak berpikir hanya untuk membangunkan seseorang.
"Al,” panggil Adnan dengan suara pelan. Alya belum juga membuka matanya.
"Alya!"
"Ya!" Alya terbangun dan langsung menutupi wajahnya karena tiba-tiba melihat wajah Adnan yang berada di dekatnya. Adnan yang melihat ekspresi Alya jadi menahan tawanya.
"Kakak ngapain di situ?" Alya bicara dengan wajah yang ditutupi kedua tangannya, hanya kedua matanya saja yang terlihat.
"Kamu nggak ngiler kok, tenang aja." Ujar Adnan seraya terkekeh.
Alya mendengus geli, kemudian melirik jam tangan kecilnya yang berwarna putih. "Udah 40 menit aku di sini?" tanya Alya dengan nada tak percaya.
Adnan mengangguk, dan melihatkan isi handphonenya pada Alya. Ternyata minggu lalu, mereka sudah sepakat tidak ada rapat, karena beberapa anggotanya memiliki jadwal penting. "Libur, Al."
Alya menghela napas panjang, dan menepuk keningnya. "Ya ampun. Kok bisa lupa sih aku."
"Pulang aja yuk, kalau gitu. Udah makin sore soalnya." Alya mengangguk dan berdiri, berjalan menyusul Adnan di belakang.
Adnan kembali melirik Alya. Tumben Alya hanya diam sepanjang jalan, biasanya perempuan itu akan banyak bicara. Tak biasanya Alya seperti itu. "Kamu lagi mikirin apa?"
Alya mengangkat alisnya sebelah. "Hm?"
Adnan mengangkat telunjuknya ke arah kening Alya. "Keliatan jelas kalau kamu lagi mikirin sesuatu."
Alya jadi ikut menyentuh keningnya. "Oh ya?" Alya memang tiba-tiba memikirkan perihal proses ta'aruf dengan Althaf. Ini sudah 4 hari sejak Alya bicara perihal Althaf pada kedua orang tuanya. Ingin rasanya Alya menanyakan jawaban Ayah dan Bundanya, namun ia takut dan malu. Althaf pun tidak pernah menghubunginya lagi setelah lelaki itu mengirimkan CV ta'aruf padanya. Althaf menepati ucapannya, bahwa ia hanya akan menghubungi Alya kembali setelah mendapat jawaban dari kedua orang tua Alya.
"Iya. Lagi kenapa sih?"
Alya menggeleng seraya tersenyum. "Nggak ada apa-apa." Bukan bermaksud berbohong pada Adnan. Hanya saja rasanya memang tidak perlu bagi Alya cerita perihal lelaki kepada Adnan. Adnan bukanlah sahabatnya, juga bukan siapa-siapa untuknya. Hanya, kakak kelas yang ia hormati.
"Beneran?" Alya mengangguk mantap. Tak terasa mereka sudah sampai di parkiran fakultas.
Mereka berdua berhenti. "Kamu pulang naik apa?"
"Busway, Kak." Jawab Alya.
Adnan menghela napas panjang diam-diam. Selintas dipikiran Adnan, ia menyesal karena hari ini membawa motornya bukan naik busway. "Oke, kamu hati-hati ya."
Alya tersenyun dan melambai. "Kakak juga, assalamu’alaikum." Alya langsung berjalan menuju halte fakultas HI. Pihak kampusnya menyediakan bis halte di tiap-tiap fakultas untuk memudahkan mahasiswanya. Sehingga nanti akan ada bis yang mengantar jemput mereka sampai ke halte busway dan stasiun.
Ku biarkan hujan
Mengawal rinduku
Padamu yang indah di sana
"Assalamu'alaikum." Alya mengangkat panggilan yang berdering dari handphonenya yang berdering karena telepon dari Farel, adiknya. Sebelah tangannya memegang handphone, dan sebelah tangannya lagi berusaha mengeluarkan botol minum di tasnya.
Wa'alaikumsalam. Di mana?
"Busway." Sepertinya karena Farel selalu bicara singkat dengannya, itu jadi membuat Alya secara tak sadar mengikuti adiknya bicara singkat.
Cepat pulang! kamu punya hutang penjelasan.
Alya mengerutkan keningnya. "Penjelasan apa?"
Cepat pulang. G-P-L! Farel mengeja satu persatu hurufnya.
Alya mendengus dan memutar bola matanya, malas. "Iya ini lagi di jalan, Farel. Emang ada apa sih?"Alya minum air mineral yang dipegangnya.
"Ada lelaki datang ke rumah, ngaku calon suami kamu."
Alya sontak tersedak, dan langsung menjauhkan botol minum dari mulutnya. "Apa kamu bilang?!" Alya sungguh kaget bukan main. Mas Althaf kah?
Dasar wanita jahat. Sejak kapan kamu sembunyiin ini dari aku?
Alya mengerutkan keningnya bingung. Apa maksud Farel mengatakan Alya wanita jahat? "Barusan kamu baper?" Tanya Alya sambil menahan tawanya. Ia baru sadar jika mungkin saja Farel ngambek karena ia belum menceritakan proses ta’aruf dengan Althaf padanya.
Cepat pulang, dan jelaskan semua ini. Farel langsung menutup teleonnya.
"Siapa sih yang dimaksud Farel? Mas Althaf? Mungkinkah? Tapi kayanya nggak mungkin deh. Aku kan belum kasih kabar apa pun ke Mas Althaf. Itu pasti cuma bercandaan Farel aja. Ya nggak mungkin banget lah kalau beneran." Alya menggeleng, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu memang hanyalah rekayasa Farel.
Setelah menghabiskan waktu hampir 50 menit di jalan, Alya memasuki area kompleknya. Waktu sudah hampir menunjukkan jam 5, tetapi matahari sudah hampir membenamkan dirinya. Semburat sinar jingganya menghiasi langit sore itu.
Alya terdiam kaget saat tiba di depan gerbang rumahnya. Althaf baru saja keluar dari rumahnya, dengan senyum perpisahan kepada kedua orang tuanya. Alya bersembunyi di samping mobil hitam yang terparkir di pertengahan antara rumahnya dan rumah tetangganya. Ia masih diam membeku, jantungnya membutuhkan pasokan udara yang banyak saat ini.
Aku .. mimpikah?
"Alya?"
Alya tak mendengar jika ada seseorang yang memanggil namanya.
"Alya!"
Alya mengerjapkan matanya. Mengangkat kepalanya dan dapat melihat Althaf yang berdiri tak jauh darinya. Alya langsung menunduk saat tidak sengaja melihat bola mata hitam milik Althaf.
Aku nggak mimpi.
"Alya, kamu kenapa?"
Alya mengangkat kepalanya sekali lagi, dan langsung mengalihkan wajahnya ke samping. Kenapa ia jadi gugup setengah mati seperti ini? "Mas… Mas ngapain di sini?" Alya memberanikan dirinya untuk bertanya dengan kepala menunduk.
"Orang tua kamu yang telepon saya."
"Apa?"
Althaf tersenyum tipis saat menundukkan kepalanya. "Saya langsung pamit ya, assalamu'alaikum."
"Wa... wa'alaikumsalam." Alhaf langsung masuk ke dalam mobilnya setelah mendapat jawaban salam dari Alya. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Sementara Alya masih mencoba mencerna apa yang Althaf katakan barusan. Sungguhkah ia tidak bermimpi? Tapi tadi sungguh Althaf, dan bagaimana bisa?
Alya Masuk ke rumahnya dengan cepat. Ia akan menuntut penjelasan dari ayah dan bundanya perihal ini semua. Bagaimana mungkin, orang tuanya mengundang Althaf ke rumah tanpa mengatakannya terlebih dahulu pada Alya?
"Assalamu'alaikum. Bun, Yah." Alya langsung melangkah menuju dapur. Biasanya jam segini, Kartika sudah berada di meja makan.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa sih baru datang malah teriak-teriak?" Kartika berdiri dan menghampiri Alya yang tampak bingung dengan ekspresi wajah yang sebal. Sementara Rama hanya bisa menahan kedutan di bibirnya yang menahan senyuman.
"Bunda kenapa nggak bilang ke aku kalau mau undang Mas Althaf, Bun?" Alya bertanya dengan nada gemas.
"Ayah yang minta, tuh. Katanya udah penasaran banget jadi langsung di minta ke rumah deh."
"Ayaaahh." Rengek Alya. "Alya malu banget tahu tadi di depan tiba-tiba lihat ada Mas Althaf keluar dari rumah."
"Ciiee, malu-malu." Goda Rama.
"Ayaaah!"
Rama tertawa saat mendengar suara tegas Alya.
“Lebih baik kamu masuk kamar, lalu mandi. Nanti saat makan malam kita bicarakan masalah ini ya." Ujar Rama dengan mimik wajah jauh berbeda. Ini serius dan ucapannya langsung masuk ke dalam telinga Alya, bahwa sepertinya memang ada hal penting yang akan di sampaikan oleh orang tuanya. Apa pun itu, Alya harus bisa menerimanya.
Alya menghela napas panjang, dan naik ke kamarnya dengan langkah lemas. Baru saja ia membuka pintunya, di ranjangnya sudah duduk Farel dengan membaca komik sambil bersandar.
"Astaghfirullah. Ngagetin aja sih kamu di situ." Alya mengelus dadanya, karena saat membuka pintu tadi ia sempat berjengkit kaget.
Farel menutup komiknya dan menatap lurus mata kakaknya. "Duduk dan jelaskan."
Alya yang ditatap seperti itu, jadi merasa seperti terdakwa yang harus memberikan kesaksian dan pengakuan. "Jelasin apa sih?" tanya Alya pura-pura tidak tahu. Alya duduk di meja riasnya dan melepas kerudung serta kaos kakinya.
"Siapa lelaki itu?"
"Lelaki mana?" Alya menatap Farel dari dalam cermin, dan masih bersikap pura-pura tidak tahu. Rasanya malu jika harus berbicara masalah seperti ini pada adik lelakinya.
“Lelaki yang namanya Althaf itu. Yang ngaku sebagai calon suami kamu.” Ujar Farel. Ia jadi mengingat kejadian tadi sore sebelum Alya pulang ke rumah.
-Flashback On-
Selepas pulang sekolah, Farel menghabiskan waktunya dengan bersantai di ruang tv keluarga sambil bersandar di sofa. Alya masih di kampus, sedangkan kedua orang tuanya ada di kamar dan entah sedang melakukan apa. Aneh juga sebenarnya karena ayahnya tiba-tiba pulang ke rumah dalam waktu yang cepat, yaitu sebelum waktu jam kantor usai.
Farel berdiri dan keluar dari rumahnya karena mendengar suara bel rumahnya yang berbunyi. Farel membuka pintu rumahnya, dan melihat ada seorang lelaki yang berdiri di depan pagar rumahnya dengan pakaian rapih.
Farel membuka sedikit gerbang rumahnya. Alisnya terangkat karena bingung.
"Assalamu’alaikum, apa benar ini dengan rumah Alya?"
Farel langsung menatap lelaki di depannya dengan tatapan memicing. Seorang lelaki mencari kakaknya, di rumah? Ini adalah pertama kalinya.
"Wa’alaikumsalam. Maaf, ada perlu apa?" tanya Farel mencoba seramah mungkin, tapi dari wajahnya yang datar itu malah terlihat seperti orang ngajak ribut.
"Saya Althaf. Mau bertemu dengan orang tuanya Alya."
Kening Farel berkerut. "Untuk?"
Althaf tersenyum pada Farel. Sepertinya ia mulai tahu kalau lelaki di depannya itu adalah adik Alya. Mata mereka sama, tapi tatapannya berbeda. Mata Alya lebih terlihat ramah dan friendly, sedangkan mata Farel terlihat datar dan dingin. "Apa boleh saya katakan kalau saya calon suaminya Alya? " Althaf menjawab dengan pertanyaan kembali, juga tak menghilangkan senyum dari wajahnya.
Farel membulatkan matanya, mulutnya sedikit menganga karena pengakuan Althaf.
Hah? calon suami? Sejak kapan? Apa cuma aku yang nggak tahu? tanya Farel dalam benaknya.
"Mas, mari masuk. Orang tuanya neng Alya sudah menunggu di dalam." Suara Pak Paijo yang tiba-tiba datang dari halaman belakang, menggugurkan semua lamunan Farel.
"Ya Pak, baik." Althaf tersenyum ramah sambil menurunkan kepalanya untuk hormat kepada yang lebih tua. Setelah menyampaikan pesannya, Pak Paijo kembali lagi ke halaman belakang. Althaf kembali melirik Farel, sedangkan anak itu menatap ke arahnya masih dengan ekspresi kaget dan bingung. Ekspresi kaget yang Farel tampakkan tadi persis dengan ekspresi milik Alya. Althaf tersenyum lebar, bahkan ikut mengeluarkan suara tawanya. "Ekspresi kaget kamu ternyata sama dengan Alya. Jadi, bolehkah saya masuk?"
Farel masih diam dan menatapnya datar. Akhirnya ia bergeser sedikit, mengalah membiarkan lelaki itu masuk walaupun di benaknya masih lahir banyak pertanyaan.
-Flashbak Off-
"Jangan ngeles. Ini buktinya apa?" Farel melempar CV ta'aruf milik Althaf yang ia pinta dari kedua orang tuanya.
Alya menoleh, dan melongok apa yang Farel sodorkan. "Oh itu. Ya itu, kaya judulnya aja." Alya kembali menghadap ke cermin, ia menghilangkan rasa gugupnya dengan memainkan handphonenya.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita masalah ini?" Farel menatap Alya dari dalam cermin.
"Emang harus aku cerita sama kamu?"
Farel semakin mengerutkan keningnya dalam. Pertanyaan kakaknya barusan sedikit membuat perasaannya menjadi kesal. "Haruslah. Kenapa pake nanya?"
"Kupikir kamu nggak akan peduli."
"Kenapa aku harus nggak peduli?"
"Kamu kan kalau ngomong aja irit."
"Hubungannya?"
"Ya karena itu, aku pikir kamu nggak akan pernah mau tahu."
Farel berdecak dan berdiri, ia berjalan menuju pintu kamar Alya. "Bodoh," kata Farel pelan, bicara sendiri namun masih dapat di dengar Alya.
"Apa kamu bilang?" Alya bertanya dengan nada kesal. Perempuan itu juga ikut berdiri. Ini adalah pertama kalinya, Alya dikatai 'bodoh' oleh adiknya.
"Kamu memang bodoh, kalau beranggapan aku nggak peduli sama kamu. Kamu pikir menikah itu main-main? Kenapa kamu cuma bilang sama Ayah dan Bunda, nggak sama aku? Atau emang kamu yang nggak anggap aku ada di keluarga ini? Atau opini aku untuk calon suami kamu kelak itu nggak penting?" Selesai mengeluarkan unek-uneknya, Farel menatap Alya dengan tersenyum miring, dan langsung keluar dari kamar Alya dengan menutup kencang pintu kamarnya.
Alya duduk dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Barusan Farel marah padanya. Itu juga pertama kalinya, Farel bicara padanya lebih dari 1 kalimat, bahkan Alya jadi penasaran berapa kalimat yang Farel ucapkan padanya tadi. Tapi entah mengapa, apa yang Farel katakan tadi malah terdengar manis di telinga Alya. Tatapan dingin dari mata Farel malah menyiratkan bahwa adiknya itu ternyata perhatian padanya. Memikirkan Farel, jadi membuat bibir Alya mengembang tersenyum.
***
Alya berdiri di balkon kamarnya. Angin malam yang berembus, ikut mengibarkan baju serta kerudung yang dikenakan oleh Alya. Matanya menatap ke atas langit malam yang hanya ada beberapa bintang yang menghiasinya. Pikirannya menerawang dan berkelana memikirkan apa yang ayahnya sampaikan saat makan malam. Di mana kedua orang tuanya, memintanya untuk mempercepat proses ta'aruf dengan Althaf.
Walaupun pikirannya masih tabu akan pernikahan, tapi Alya sudah tahu bahwa proses ta'aruf itu memang tidak boleh terlalu lama, agar tidak menimbulkan fitnah di dalamnya. Perlu diketahui bahwa proses ta'aruf juga bisa menimbulkan dosa, jika kedua calon yang belum sah saling berkomunikasi dengan intens. Di sinilah letak gangguan para setan, yang bisa mengotori kesucian proses ta'aruf pihak yang ingin menikah.
Althaf pun sudah mencoba untuk memberikan penjelasan terhadap orang tuanya, bahwa jika Alya menikah dengannya, ia tidak akan menghalangi aktivitas kuliah Alya.
Lalu bagaimana jika kenyataannya, hati Alya yang belum siap sesuai yang ia harapkan? Rasanya, dirinya belum pantas untuk menyandang gelar sebagai seorang istri. Kepribadiannya yang masih sering manja, dan kekanakan, apa pantas jika ia menikah dalam keadaan seperti itu?
Alya memejamkan matanya. Tangannya mengerat pada besi balkon kamarnya, "Astaghfirullah, Ya Allah…" lirih Alya. Dibebani oleh perasaan gundah gulana akan perasannya. Tidak ada lagi obat yang lebih mujarab untuk mengobati kegelisahan hatinya selain berkeluh kesah kembali kepada Sang Pemilik hati.
Alya menoleh, begitu mendengar suara pintunya yang terbuka. Kepala Farel mencul sedikit, matanya menatap ke arah Alya, menunggu persetujuan agar ia bisa masuk. Farel Masuk saat Alya menjawabnya melalui tatapan mata dan melangkah mendekati kakaknya.
Farel menoleh, menatap kakak perempuannya yang menatap ke langit. "Lagi apa?"
"Hm?" tanya Alya dengan gumaman.
"Kamu kepikiran kata-kata Ayah?"
Alya tersenyum tipis karena Farel ternyata mengetahuinya. Alya mengangguk kecil membenarkan.
"Ikuti kata hati kamu aja."
"Hati aku masih bingung, Rel."
Farel mengalihkan pandangannya menjadi menatap Alya. Ia menyingkirkan anak rambut yang mengelitiki dahinya karena tertiup angin. "Udah solat Istikharah?" Alya membalasnya dengan anggukan kecil.
"Terus apalagi yang bikin hati kamu masih bingung?"
Alya kembali menggeleng. "Entahlah," matanya terus menatap ke arah langit. Kondisi hatinya memang sedang tak karuan saat ini. "Kayanya aku yang terlalu takut melangkah." lanjutnya dengan tersenyum tipis. “Aku takut untuk meninggalkan rumah ini. Aku takut kalau nggak bisa ada di samping kamu, Ayah, maupun Bunda. Aku takut nggak bisa jauh dari kalian.”
"Kalau aku tanya alasan kamu buat tolak dia, ada?" Alya menoleh dan mengerutkan keningnya. Pikirannya kosong saat mencoba mencari alasan untuknya menolak Althaf.
"Nggak ada, kan?"
Alya mendengus sebal. "Kamu nanyanya begitu, aku jadi nggak tahu mau jawab apa."
Farel berdecak, dan menatap datar pada Alya. "Itu tandanya kamu nggak punya alasan buat nolak dia. Lagian aku udah baca biodatanya, dan buat aku, dia keren."
Alya tertawa renyah, dan menyenggol lengan Farel dengan sikunya. "Kamu bilang Mas Althaf keren?"
Farel mengangguk canggung, aneh rasanya jika seorang lelaki mengagumi lelaki yang lain. Tapi memang itu kenyataannya. Saat Farel bertemu dengan Althaf, ia bisa melihat ketulusan dari sorot matanya. "Aku serius. Dia hafiz qur’an, soleh, mapan, ganteng, dan tinggi. Bukannya itu suami impian setiap perempuan?"
Alya kembali tertawa mendengar pengakuan jujur adiknya. Benar juga yang dikatakan Farel, Alya tidak memiliki alasan untuk menolak Althaf. "Oh ya, kamu udah nggak marah sama aku?" Alya membelokkan pembicaraan mereka.
"Nggak usah dibahas lagi."
Alya merangkulkan tangannya dengan susah payah ke bahu Farel, itu karena tubuh Farel yang terlalu tinggi untuknya. "Maaf ya, karena udah nyembunyiin masalah ini dari kamu. Tapi aku nggak pernah bermaksud bohong sama kamu, waktunya aja yang kurang buat aku kasih tahu kamu."
Farel hanya bergumam tidak jelas, membalasnya. Karena memang Farel bukan marah karena itu. Hanya saja, ia takut Alya salah dalam memilih calon pendamping, sehingga Farel jadi sedikit kesal saat melihat ada seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di depan rumahnya dan mengaku sebagai calon suami kakaknya.
"Aku berharap yang terbaik untuk kamu, Mbak."
Sial! Farel langsung mengalihkan pandanganya ke segala arah. Ia baru menyadari mulutnya tadi memanggil Alya dengan sebutan mbak.
Alya menoleh dan memandang Farel. "Mbak?" Alya meremas lengan Farel sambil mencoba menatap wajah Farel yang selalu berpaling menghindari tatapannya.
Alya sontak tertawa karena Farel yang salah tingkah. "Coba panggil sekali lagi?" Alya tersenyum lebar, menggoda adiknya yang wajahnya sudah seperti kepiting rebus, merah karena malu.
"Tahu ah!" Farel menyingkirkan tangan Alya, dan berjalan cepat untuk keluar dari kamar kakak perempuannya. Memalukan!
Seingat Farel, ia hanya memanggil Alya dengan sebutan 'Mbak' sampai SD saja. Karena setelahnya dia hanya menyebut aku-kamu, tanpa embel-embel mbak ataupun nama kakaknya langsung.
*****
"Pak!"
"Pak!"
Althaf mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia mengangkat kepalanya dan melihat Dea sudah berdiri di depannya dengan memegang buku jadwal milik Althaf.
"Ya?"
"Pak Althaf sedang melamunkan apa?" Dea bertanya dengan memberikan senyum tipis untuk Althaf. Perlu diketahui ia sudah memanggil Althaf berulang kali, namun Althaf hanya diam dengan dagu bertopang di tedua tangannya yang terkepal.
"Nggak ada," jawabnya langsung tanpa berpikir panjang.
Dea tahu, Althaf berbohong. Selama Dea bekerja di sini, tidak pernah ia lihat Althaf melamun seperti tadi.
"Ini sudah jam istirahat, Pak."
Ah, benarkah? Althaf melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Memang sudah memasuki jam istirahat, dan sebentar lagi adzan zuhur pasti akan berlangsung. "Baik, terima kasih."
Althaf menghela napas panjang, begitu Dea sudah pamit dari ruangannya. Ia beristighfar di dalam hatinya dengan mengusap wajahnya.
Althaf menekan nomor extension Bima dengan menggunakan telepon kantornya. "Bim, keluar yuk makan.”
“Oke, gue tunggu di lorong lift ya." Althaf keluar dari ruangannya, dan menunggu Bima di depan lift sesuai janji mereka tadi. Ia berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.
"Oi!" Bima menekan tombol lift ke lantai bawah dan merangkul pundak Althaf.
"Hm." Althaf tak menolak, dan hanya menanggapinya dengan santai. Selanjutnya mereka masuk bersamaan setelah pintu lift terbuka.
Althaf dan Bima keluar dari lift, dan menuju musholla yang juga berada di lantai 1. Selesai sholat, mereka berdua keluar dari kantor. Mereka memilih untuk makan siang di kafe yang berada tidak jauh dari kantor, sehingga hanya perlu jalan kaki untuk sampai ke sana.
Mereka duduk dengan saling diam, tidak ada yang membuka suara. Keduanya hanya memainkan handphone masing-masing bahkan setelah pesanan mereka sudah datang. 1 ice cappucino, 1 machiato, 1 spaghetti carbonara, dan 1 sirloin steak.
Bima meletakkan handphonenya setelah puas memainkannya. "Makan, Al." Perintah Bima pada Althaf.
"Sebentar," Althaf masih sibuk dengan mengetik sesuatu di keypad handphonenya.
"Makan dulu, eh. Lo WA siapa si, serius banget?"
"Bapak gue," jawab Althaf dengan nada santai.
"Kenapa? Ada masalah?"
"Ayahnya Alya nanyain orang tua gue."
Bima langsung tersedak ketika ia sedang meminum ice cappucinonya. "Lo udah ketemu sama orang tuanya Alya?"
"Udah, lengkap. Ada ayah, ibunya, bahkan adiknya juga ada,” jawab Althaf santai. Ia mulai makan dengan tenang.
"Gila, demi apa?!" pekik Bima. Menurut Bima, itu adalah waktu yang sangat singkat. Ia saja mendekati Rossa hampir 2 tahun, belum dengan berbagai kebimbangan di dalam hatinya dulu untuk menikahi Rossa. Rasanya kalah telak saat tahu Althaf sudah sampai tahap bertemu orang tua. Beda jauh dengan Bima, yang baru berani bertemu dengan orang tuanya Rossa saat ia sudah memacari Rossa lebih dari setahun.
Althaf tersenyum kecil karena respon yang diberikan Bima. "Iya," Althaf meletakkan handphonenya dan gantian menatap Bima.
"Kalian ngomongin apa aja?"
"Banyak hal. Gue ceritain semuanya tentang sifat gue, keluarga gue, orang terdekat, kerjaan, dan yang lainnya." Jelas Althaf.
"Terus respon mereka?" tanya Bima penasaran.
Sudut bibir Althaf terangkat, ia tersenyum. "Respon kedua orang tuanya baik. Tapi sayang, gue nggak ketemu sama Alya, karena orang tuanya ngundang gue ke rumah, saat Alya lagi kuliah." Senyumnya berkurang dari wajahnya, sedikit kecewa karena tidak bertemu Alya. Bukan karena ia merindukan Alya, namun karena mungkin saja itu adalah kesempatannya untuk bisa lebih meyakinkan Alya agar memilih dirinya.
"Yaah," Bima ikut merasa kecewa mendengarnya. "Terus hasilnya?"
"Mereka minta gue buat percepat proses ini."
Mulut Bima sukses menganga lebar. "Terus lo bersedia?"
Senyum merekah dari wajah Althaf. Ia mengangguk. "Ta'aruf itu emang nggak baik kalau terlalu lama, Bim. Takut malah menimbulkan fitnah"
Bima manggut-manggut dan membulatkan bibirnya membentuk huruf O. "Baru tahu gue. Terus lo udah yakin sama Alya?"
"InsyaAllah. Semuanya gue serahin sama Allah."
"Mantap emang temen gue."
Althaf hanya melempar senyum kepada Bima. "Tapi ada yang buat gue khawatir, Bim."
Bima menelan makanannya sebelum bertanya balik. "Apa?"
"Apa menurut lo, gue bisa jadi suami yang baik?"
Bima sontak tertawa. "Lo serius nanya itu ke gue? Al, gue tahu lo orang baik dan penuh tanggung jawab. Lo pasti bisa jaga dia, dan bikin istri lo bahagia dunia akhirat."
Althaf tersenyum mendengarnya, perasaannya jadi lebih tenang. Sejak ia diajak ke rumah orang tuanya Alya, dan berhadapan langsung dengan calon mertuanya, Althaf jadi susah tidur, dan selalu kepikiran. Teringat semua amanah dari kedua orang tuanya Alya. "Thanks."
"Santai," Bima menaikkan bahunya, dan tersenyum lebar, sehingga Althaf juga ikut balas tersenyum tak kalah lebar, bahkan hingga mengeluarkan kekehan.
"Terus apa rencana lo sekarang sama Alya?"
Althaf menatap Bima sambil tersenyum lebar. "Khitbah."
*****
Mata Alya terbuka sedikit demi sedikit. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 03.15. Alya menggulatkan tubuhnya dan kembali membenamkan wajahnya ke atas bantal, sebelum benar-benar bangkit untuk duduk. Gadis itu duduk diam selama 2 menit untuk menyadarkan tubuhnya dari tidur.
Bagi yang ingin melaksanakan ibadah tahajud, dianjurkan untuk membaca 10 ayat terakhir surat Al-Imran untuk menghilangkan godaan syaitan dan membantu menghilangkan rasa kantuk.
Alya bergerak menuju kamar mandi, dan mengambil wudhu. Ia menggelar sajadahnya dan memakai mukenanya. Alya memulai solat tahajud 2 rakaat dengan surat yang pendek dan ringan. Kemudian dilanjutkan dengan 2 rakaat berikutnya dengan hafalan surat panjang yang ia miliki.
Disunahkan juga bagi yang ingin melakukan ibadah solat tahajud, membaca surat pendek di 2 rakaat pertama, kemudian dilanjutkan dengan bacaan surat yang panjang di kelipatan 2 rakaat berikutnya. Atau bisa dihitung dengan 50 ayat per 1 rakaat solat. Namun itu yang disunahkan, adapun jika terasa memberatkan maka tidak perlu dilakukan.
Selesai solat tahajud, Alya membuka kedua telapak tangannya untuk berdoa. "Ya Allah, Ya Tuhanku. Tuhan yang memiliki kuasa akan tubuh serta hati ini. Berikan hamba keyakinan akan pilihan hamba, Ya Allah. Berikan hamba petunjuk dari kebaikan serta keburukan akan pilihan hamba."
"Engkau-lah yang menentukan dengan siapa hamba menikah. Engkau lah yang memiliki kuasa untuk memasangkan lelaki yang baik dengan perempuan baik, lelaki yang tidak baik dengan perempuan yang tidak baik. Hamba tahu, hamba bukanlah seorang perempuan yang sempurna. Hamba masih memiliki banyak kekurangan, manja, dan terkadang masih belum mampu mengoptimalkan hijrah hamba, maka berikan hamba seorang suami yang mau membimbing hamba menjadi perempuan yang baik dan solehah. Sudi kiranya jika Engkau mau memberikan hamba seorang lelaki soleh nan baik, yang bisa mendampingi hamba menjadi perempuan baik sesuai dengan kriteria Islam.”
“Izinkan hamba agar bisa menjadi seorang istri yang solehah, yang taat kepada suaminya. Yang mampu menjadi istri berbakti dan ibu yang memiliki akhlak baik untuk anak-anak hamba kelak. Aamiin Yaa Rabbal Aalamiin."
*****
Sementara itu, di kediaman rumah Althaf. Lelaki itu berdiri di depan cermin lemari pakaiannya. Ia menyisir rapih rambutnya, setelah selesai memakai baju muslim putihnya. Althaf sudah akan bersiap untuk pergi ke masjid untuk solat subuh berjamaah. Biasanya Althaf akan pergi ke masjid 10 menit sebelum waktu adzan subuh.
Althaf langsung melangsungkan solat sunnah tahiyatul masjid 2 rakaat begitu sampai. Ia memejamkan matanya sejenak, kemudian takbir dengan suara lirih. Ucapan takbir, mengagungkan kebesaran nama Sang Khalik membuat jantungnya berdesir. Seperti ada sesuatu yang mengaliri aliran darahnya, sehingga membuatnya merinding.
Althaf kembali melanjutkan kegiatannya dengan muroja'ah hafalannya surat An-Nisa sembari menunggu waktu adzan berkumandang. Surat yang membahas banyak hal tentang perempuan. Bagaimana cara memperlakukan seorang perempuan dengan benar, sampai dengan kesetaraan hak antara lelaki dan perempuan, dan masih banyak lagi.
"Astaghfirullah, Ya Allah." Althaf mengusap wajahnya. Ia kembali teringat Alya. Semakin dihindari untuk diingat, sosok Alya malah kembali mendiami pikirannya. Apa yang disampaikan Allah melalui firmannya tadi, sama dengan apa yang diamanahkan ayahnya Alya padanya.
Althaf akan terus membenahi dirinya menjadi sosok yang lebih pantas untuk menjadi calon suami bagi Alya. Manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi berjuang menjadi lebih baik itu wajib.
***
Althaf sudah tiba di ruangannya sejak jam 7.40. Althaf memutuskan untuk menghubungi Alya hari ini. Terakhir ia menghubungi Alya adalah saat memberikan CVnya pada Alya, dan terakhir Althaf bertemu langsung dengan Alya adalah saat ia diundang untuk datang ke rumah orang tuanya Alya.
Althaf mendekatkan handphone ke telinganya. Ia tidak tahu apa yang sedang dilakukan Alya lakukan di pagi hari seperti ini. Karena sepertinya jam kuliah, tidak akan sepagi ini.
Lama tak kunjung di angkat, Althaf kembali mencoba menelfonnya. Hingga akhirnya telepon tersebut tersambung dan terdengar suara Alya dari sebrang sana.
Assalamu'alaikum, suara lembut Alya kini telah menguasai indera pendengaran Althaf.
"Wa'alaikumsalam, Alya."
Iya Mas, ada apa?
"Bagaimana kabar kamu?" Althaf memberanikan diri untuk menanyakan kabar Alya.
Alhamdulillah baik. Mas Althaf sendiri bagaimana kabarnya?
Althaf tersenyum tipis, lega mendengarnya jika kabar Alya ternyata baik. "Alhamdulillah saya juga baik."
Lama Althaf dan Alya sama-sama diam. Keduanya bingung melanjutkan pembicaraan.
"Mmm… Al," Althaf memulai kembali pembicaraan mereka yang sempat terhenti hampir 1 menit lamanya.
Ya?
"Boleh saya tanya kamu sesuatu?"
Di seberang sana, Alya diam. Jantungnya kembali berdegup tanpa alasan. Otaknya berkelana memikirkan pertanyaan apa yang akan ditanyakan Althaf padanya. "Y.. Ya?" tanya Alya dengan sedikit terbata.
"Apa kamu mau melanjutkan proses ta'aruf kita?"
Lama Althaf menunggu jawaban dari bibir Alya, namun tak kunjung terdengar. Ia jadi khawatir bahwa Alya mungkin akan membatalkan proses ta’aruf mereka. Padahal Alya sedang berdoa sepenuh keyakinannya, Allah akan memberikan keyakinan dan ketepatan hati untuk dirinya.
InsyaAllah, Mas.
MasyaAllah, senang sekali Althaf mendengar jawaban itu dari Alya. "Alhamdulillah, saya senang mendengarnya. Akhir pekan ini, saya berencana ajak kedua orang tua saya ke rumah kamu."
Minggu ini Mas? tanya Alya yang terdengar begitu terkejut dari suaranya. Wajar saja, karena Alya merasa bahwa proses mereka berjalan terlalu cepat.
"Iya, Alya."
Ter.. terserah Mas Althaf aja. Nanti biar Alya sampaikan ke ayah dan bunda.
Senyum Althaf kembali merekah lebar. "Alya, terima kasih sudah memberikan saya kesempatan. Jika ada yang mau kamu tanyakan, maka tanyakan saja, jangan sungkan Alya.”
Alya diam tak menjawab.
“Assalamu'alaikum," ucap Althaf dengan berniat menutup sambungan teleponnya dengan Alya.
Wa'alaikumsalam, Hanya balasan salam yang bisa Alya ucapkan pada Althaf. Lidahnya menjadi Kaku untuk sekedar mengucapkan kata lain.