Ungkapan Tak Terduga

2791 Words
Langit   masih tampak gelap, namun udara sejuk di pagi hari seakan saling mendorong untuk memasuki kamar yang jendelanya sudah terbuka sempurna itu. Alya tersenyum lebar, memandangi pantulan cerminan dirinya. Ia sudah memakai pakaian olahraga beserta kerudung dan topinya yang berwarna putih. Alya melangkah keluar dari kamarnya. Tubuhnya masih berada di tangga, namun hidungnya sudah menangkap bau sedap dari arah dapur. Itu pasti ulah bundanya. "Pagi, Bunda!" sapa Alya dengan semangat, saat sudah tiba di samping tubuh Kartika, sang bunda tercintanya. "Pagi sayang, mau olahraga?" tanya Kartika lembut, namun mata dan tangannya tetap fokus membuat memotong buah dan sayur untuk bahan salad sebagai salah satu menu sarapan keluarganya hari ini. "Iya dong, Bunda mau ikut?" Kartika tertawa pelan. "Siapa dong yang masak kalau kamu ajak Bunda olahraga?" "Ayah," jawab Alya dengan terkekeh pelan, menjadikan ayahnya sebagai bahan candaan di pagi hari. Keluarga Alya memang tak memiliki pembantu rumah tangga, karena Alya hanya dua bersaudara, dan adiknya pun sudah kelas 3 SMA. Selain itu juga, keluarga Alya memang orang yang menyukai kebersihan, sehingga rumah tetap dalam keadaan rapih dan bersih. "Kamu ini, sudah sana olahraga. Jangan terlalu lama ya, jam 6.15 sarapan di rumah." "Siap, Bun!" jawab Alya lebih semangat. Alya mencium tangan kanan Kartika. "Alya pergi dulu ya, assalamu’alaikum." Setelah berjalan melewati tangga, Alya kembali berjalan mundur saat ekor matanya menangkap kehadiran Farel yang sedang menuruni anak tangga. "Hai!" Alya menyapa adik laki-lakinya yang sudah menggunakan celana abu-abu, serta kaos polos berwarna putih. Sedangkan tas hitamnya hanya ia sampirkan di bahu kanannya, serta seragam baju muslim yang ia pegang masih lengkap dengan hangernya. Ini adalah hari jumat, sehingga jadwal seragam Farel adalah menggunakan baju muslim formal dari sekolahnya. Farel melirik sedetik ke arah kakak perempuannya yang telah menyapanya dengan semangat. "Minggir,” ucap Farel datar sambil menggeser tubuh Alya pelan ke samping, dan ia berjalan menuju ruang tamu. Alya mendelik dan menoleh, matanya mengekori kepergian Farel. "Dasar, anak kepala dingin." Cibir Alya dengan suara pelan. Ia berjalan mendekati adiknya, yang berdiri di samping sofa. Alya memperhatikan adiknya yang meletakkan seragamnya dengan hati-hati di sofa. Sudah bukan hal baru lagi bagi Alya, melihat Farel yang sangat memperhatikan detail dari kerapihan dan kebersihan. "Berangkat jam berapa kamu?" Farel kembali melirik Alya dari sudut mata sipitnya. "Biasa." Mendengar jawaban singkat Farel, senyum Alya saat ini lebih tampak seperti dipaksakan. "Naik apa?" tanya Alya lagi. "Kalau udah tahu, ngapain nanya?" tanya Farel balik dengan wajah sangat datar, tanpa ekspresi dan mimik wajah yang bahkan tak bergeser sedikit pun, dan itu membuat Alya sebal melihatnya. Farel memasukan handphonenya ke dalam saku celananya. "Minggir. Halangin jalan orang terus sih." Farel kembali menggeser tubuh Alya ke samping, meninggalkan kakak perempuannya menuju dapur. Alya menyampaikan kekesalannya melalui ledekan dari mulutnya tanpa suara yang keluar saat Farel sudah membelakanginya. "Jangan ngeledek!" omel Farel tanpa menoleh, membuat Alya langsung menutup rapat bibirnya. Tak berlarut dengan sebalnya pada Farel, Alya keluar dari rumahnya dan memakai sneaker nya yang berwarna putih. Tak lupa ia menuntun sepeda gunung kesukaannya, hadiah dari Ayahnya saat ulang tahunnya yang ke 15 tahun. "Pagi, Pak Jo!" Satpam yang sedang memejamkan matanya di dalam posnya itu pun terlonjak bangun karena suara Alya. "Eh, Neng Alya. Ngagetin saya aja nih." Satpam dengan nama asli Paijo itu pun hanya bisa menggaruk rambut belakangnya karena ketahuan tidur oleh anak majikannya. "Hehe, maaf ya Pak Jo. Oh ya, tadi Pak Jo solat subuh nggak?" "Solat kok, Neng. Tadi di ajak Bapak ke masjid untuk solat subuh." "Alhamdulillah." Alya tersenyum senang, "Ya udah kalau Pak Jo masih ngantuk, tidur lagi aja nggak papa. Maaf ya Pak Jo, jadi Alya bangunin tiba-tiba." Pak Paijo menggeleng, "Nggak neng, saya justru minta maaf karena sudah berani tidur saat jam kerja." ucap Pak Jo menyesal. Alya tersenyum pada Pak Paijo, "Nggak papa Pak Jo, oh ya Alya olahraga dulu ya, sebentar lagi matahari terbit nih." Pamit Alya. Alya keluar dari pekarangan rumahnya dan mulai mengayuh sepedanya. Kakinya terus mengayuh, membuat roda sepedanya berputar semakin cepat. Rute Alya bersepeda adalah memutari 2 kali area komplek rumahnya, setelah itu ia akan keluar menuju jalan raya di sekitar daerahnya. Alya berhenti sejenak di depan supermarket, dan turun dari sepedanya. Ia telah menyelesaikan seluruh rutenya hanya dalam waktu 30 menit. Setelah memakirkan sepedanya dengan baik, Alya Masuk ke dalam supermarket untuk membeli air mineral. Ia melirik jam tangan hitamnya, sudah menunjukkan pukul 6.10, itu berarti ia harus segera pulang ke rumahnya untuk sarapan. "Makasih ya Mbak." Setelah Alya membayar minuman yang dibeli, Alya keluar dan duduk di kursi yang disediakan oleh supermarket tersebut. Ia menenggak air minumnya sampai habis dalam satu tarikan napas. Setelah ia merehatkan tubuhnya sejenak, Alya bangkit berdiri. "Iya, Bu. Althaf mampir ke supermarket nih untuk beli roti. Iya, Ibu nggak usah khawatir ya, nanti akhir pekan Althaf pulang ke Bandung." Alya menoleh saat mendengar suara laki-laki yang tak jauh dari posisi duduknya itu. Ia hanya bisa menatap bagian belakang laki-laki yang memakai setelan rapih ala pekerja kantoran. Alya menatap selama dua detik, karena selanjutnya laki-laki itu masuk ke dalam supermarket. Alya hanya menaikkan bahunya santai saat mengingat nama lelaki yang barusan adalah ‘Althaf’. Alya tak sadar, bahwa lelaki tadi adalah lelaki yang sama seperti yang ada di halte. ***** Althaf masuk ke dalam mobilnya dengan membawa sekantung plastik belanjaan. Itu karena saat ia akan berangkat ke kantor tadi, ibundanya menelepon dirinya dan menyuruhnya untuk membeli sarapan. Alhasil, Althaf membeli sekotak s**u putih ukuran 500gr, roti gandum, serta teh hijau karena Althaf tidak terlalu menyukai roti. Bagi Althaf, sarapan memang hal yang sudah sering ia lewatkan begitu ia memutuskan untuk pergi merantahu ke Jakarta. Setelah menembus kemacetan di jalanan Jakarta hampir 100 menit, Althaf memakirkan mobilnya di basement. Ia keluar dari mobilnya dan berjalan menuju lift tak jauh dari posisinya memarkir mobil. "Tunggu!" Althaf menahan pintu liftnya agar tetap terbuka, saat melihat seseorang yang sedang berlari menuju lift. "Makasih ya, Pak Althaf." Perempuan itu menoleh ke samping dan tersenyum manis ke arah Althaf. Lisa, perempuan yang memakai rok hitam di atas lutut, serta kemeja yang sangat pas dengan ukuran tubuhnya. Pakaiannya itu semakin memperlihatkan tubuh indah dan seksi miliknya. Jika dilihat dari wajahnya, ia pasti menghabiskan waktu hingga 2 jam untuk menempelkan berbagai jenis make up ke wajahnya. Bibirnya yang tipis diwarnai dengan lipstik berwarna merah cerah. Althaf hanya menoleh sedetik, "Sama-sama," jawab Althaf datar, tanpa balas tersenyum sedikitpun. "Eh, itu kerah jas kamu sedikit miring." Lisa bergeser, mendekat ke arah Althaf dan ingin membenarkan posisi jas Althaf. Tapi dengan cepat Althaf semakin memojokkan dirinya ke dinding lift. "Terima kasih, tapi saya bisa sendiri." Tolak Althaf dengan mengangkat sebelah tangannya ke arah Lisa. Lisa tersenyum canggung, dan kembali bergeser di posisinya semula. Hingga akhirnya mereka sampai di lantai 5, itu berarti Althaf akan turun terlebih dahulu, karena bagian marketing berada di lantai 8. Althaf langsung bergegas keluar dari lift tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun pada Lisa. "Astaghfirullahaladzim!" seru Althaf pelan saat ia sudah berada di lantai 5, dan pintu lift telah tertutup sempurna. Ia jadi sedikit menyesal karena tadi telah membukakan pintu lift untuk Lisa. Lisa adalah karyawan bagian marketing yang masuk bersamaan dari perekrutan tahun dan bulan yang sama dengan Bima. Althaf mulai mengetahui Lisa menyukainya saat perempuan itu mulai sering menatapnya saat rapat, memberikan senyum pada Althaf, bahkan perempuan itu tak segan-segan mengajak Althaf makan siang dan mengajaknya pulang bersama. Althaf tidak ingat lagi, sudah berapa alasan yang Lisa pakai sebagai cara untuk mendekatinya. Tapi sebanyak cara Lisa pulalah, Althaf juga selalu memiliki alasan tersendirinya untuk menghindari Lisa. Althaf berjalan menuju ruangannya, ia juga sudah melihat Dea yang sedang sibuk berias di mejanya. Melihat atasannya datang, Dea langsung meletakkan lipstik serta cerminnya dan sontak berdiri. "Pagi Pak." Althaf mengangguk sekali, membalas sapaan sekretarisnya dan langsung masuk ke ruangannya tanpa bicara lebih banyak. Althaf melepas jasnya dan menggantungnya. Ia duduk dan meminum air mineral pada gelas yang sudah tersedia di mejanya. Althaf melirik jam tangan silvernya, ia masih memiliki cukup waktu untuk sarapan. Althaf keluar dari ruangannya dan hendak menuju pantry yang disediakan di tiap lantai perusahaan dengan membawa sekantung plastik belanjaannya tadi. "Bapak mau sarapan?" Suara Dea menghentikan langkah Althaf. Lelaki itu menoleh, dan melihat Dea yang sedang tersenyum manis padanya. "Iya," jawab Althaf singkat. Dea menatap kantung plastik belanjaan Althaf. "Sini Pak, biar saya bantu siapkan." "Tidak perlu, saya bisa sendiri." "Atahu perlu saya temani, Pak?" "Tidak, terima kasih." Althaf berbalik dan melanjutkan langkahnya kembali. Dea menghela napas panjang dengan bibir mengerucut. "Gue inget pake banget, 2 tahun gue jadi sekretarisnya, belom pernah sekalipun tuh dia senyum ke gue.  "Hoi!" Bima tiba-tiba datang dan menepuk bahu Althaf. "Hm," balas Althaf, "Udah sarapan lo?" sambung Althaf bertanya pada Bima. Bima duduk di kursi yang menghadap ke jendela yang menyajikan pemandangan gedung-gedung tinggi di Jakarta. "Udah lah, kan ada Rossa." Ucapnya tanpa menoleh pada Althaf. Selesai memanggang rotinya dan menyeduh tehnya, Althaf duduk di samping Bima dengan jarak satu kursi kosong. "Bim…" Bima menoleh, "Ya?" tanya Bima. "Kalau tahun depan gue mau nikah, menurut lo gimana?" Althaf bicara dengan nada santai, tanpa ekspresi berlebihan dari wajahnya yang semakin menandakan bahwa ia bicara dengan serius. Mata Bima membulat seketika, "What? serius lo mau nikah?" tanya Bima tak percaya namun ia juga berharap apa yang Althaf katakan benar. "Nggak usah pake berisik berapa?" tanya Althaf kesal sambil celingukan ke sekitarnya. Bima menggeleng, dan mencoba menyadarkan dirinya kalau ia tak bermimpi. Hampir 5 tahun ia mengenal Althaf, baru kali ini ia mendengar sahabatnya membicarakan masalah pernikahan, yang sebelumnya bahkan untuk membicarakannya saja Althaf malas dan terkesan menyepelekan. "Lo serius, Al?" tanya Bima memastikan. Althaf mengangguk mengiyakan. "Siapa yang mau lo nikahin?" "Gue juga belum tahu." Bima terbelalak, "Tuh kan, ngaco ujungnya. Maksud lo, lo mau nikah tapi belum ada calon gitu?" tanya Bima. "Ada, tapi gue cuma tahu namanya." Bima tertawa, "Sumpah ya Al, nggak ngerti gue. Lo harus jelasin ke gue dari awal biar gue paham." ujar Bima. "Iya gue sama perempuan itu cuma pernah ketemu dua kali. Semuanya terjadi di hari yang sama. Itu pun cuma gue yang liat dia, dia nggak. Dan cuma gue juga yang tahu nama dia, tapi dia nggak tahu nama gue. Itu pun gue tahu nama dia secara nggak sengaja.” Alis Bima terangkat sebelah. "Terus?" "Nggak ada lagi, itu aja." "Itu aja?" "Iya." "Lo tahu nggak, dia udah punya pacar atau calon suami?" "Nggak tahu, gue kan cuma tahu namanya." Bima menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Cerita Althaf barusan sungguh membuatnya tak habis pikir. "Kenapa lo nggak ajak dia kenalan dulu, Al?" "Yang pertama kita sama-sama lagi buru-buru, dan gue cuma liat dia sekilas. Yang kedua gue ketemu dia, dia lagi ketiduran di halte." "Terus lo suka dia?" tebak Bima dengan pikirannya yang tak masuk akal. "Sepertinya." Bima meringis, "Haduh Al, jadi intinya yang niat lo nikahin itu cewe yang baru lo tahu namanya doang?” tanyanya. "Hm tahu." "Kemungkinan buat lo ketemu sama dia lagi itu cuma 0,01%, Al. Lo tahu kan?" "Kalau jodoh mah pasti ketemu lagi. Tapi kalau nggak ya berarti belum jadi nikah tahun depan." Jawab althaf dengan entengnya. Bima yang melihatnya saja sampai menggelengkan kepala. ***** Matahari semakin bersinar dengan terik pada tempatnya. Sinarnya yang kuat menyinari tiap inci belahan dunia. Banyak orang yang masih semangat mencari sesuap nasi di bawah teriknya matahari untuk keluarganya. Ada juga yang bekerja dalam gedung tinggi, serta sejuknya udara yang menyelimuti ruang kerja mereka. Semuanya sama-sama berjuang, bekerja untuk keluarganya masing-masing. Apa pun yang dilakukan semuanya itu adalah untuk mencari keridhaan serta keberkahan dari Yang Maha Kuasa, Allah Swt. Seperti halnya Alya yang saat ini sudah bersiap pergi untuk rapat kepanitiaan bersama dengan Adnan dan rekan yang lainnya. Perempuan cantik itu menggunakan rok lipit berwarna cokelat, kerudung yang juga berwarna senada dengan rok yang ia pakai, serta topi berwarna mustard untuk melindungi wajahnya dari panas matahari. Setelah pamit dengan Kartika, Alya bergegas ke luar rumah dan memakai sepatu yang senada dengan warna topinya. Kali ini, Alya tidak berangkat dengan bus atau ojek, melainkan dengan motor matic miliknya yang berwarna putih. Alya memang lebih sering menggunakan motornya, hanya saja belakangan ini Alya suka malas jika membawa motornya. Setelah menempuh perjalanan hampir 30 menit, Alya tiba di sebuah kafe yang memiliki fasilitas perpustakaan di lantai 2. Alya membuka helmnya dan merapihkan posisi topi serta kerudungnya. Alya celingukkan saat dirinya sudah masuk ke dalam kafe tersebut. Keadaan kafe cukup ramai, namun ia tak menemukan satu pun temannya yang berada di sana. Akhirnya Alya memutuskan untuk menelepon temannya, Nisa. "Assalamu'alaikum Nis, kalian di mana?" "Oke, aku ke atas sekarang." Alya menutup teleponnya dan segera menuju lantai 2, menyusul teman-temannya. "Eh, maaf. Saya nggak sengaja." Alya mendongak, dan menatap lelaki yang di tabraknya barusan. Sekilas, apa yang lelaki itu pakai mirip dengan lelaki yang Alya lihat saat di depan supermarket. "Maaf ya Mas?" Tubuh Alya kembali membungkuk untuk meminta maaf, namun lelaki di depan Alya hanya diam, mungkin efek dari kaget karena Alya tadi sedikit berlari. Karena lelaki itu diam, Alya kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Lelaki itu berbalik, matanya mengekori kepergian Alya yang tadi menabraknya. "Alya?" Ternyata lelaki yang tadi Alya tabrak adalah Althaf, Althaf Said Abrisam. Rasanya baru tadi pagi Althaf menceritakan tentang Alya pada Bima. Bima mengatakan bahwa bertemu dengan Alya kembali adalah suatu ketidakmungkinan, tapi ternyata Allah berencana lain. Ia malah langsung Allah pertemukan kembali dengan Alya. "Pak Althaf?" Dea muncul, mengingatkan Althaf  bahwa rapatnya dengan klien sudah akan di mulai. Althaf menoleh pada Dea, namun baru sedetik kepalanya kembali melirik ke arah tangga. "Baik," setelah sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri, Althaf akhirnya ikut melangkah menuju ruang meeting yang telah disediakan. Untuk meeting dengan klien hari ini memang Dea telah menyewa ruang tertutup yang ada dalam kafe tersebut. Althaf dari divisinya membawa 2 anggotanya, serta Dea sebagai notulen. Sedangkan klien tersebut berjumlah 3 orang. Mereka sedang membicarakan mengenai kelanjutan kerjasama dengan China untuk pengadaan bahan baku semen serta beton. "Jadi, bagaimana menurut Bapak?" Lelaki yang menggunakan kacamata tersebut, menoleh pada Althaf, meminta pendapat Althaf terkait presentasinya tadi. Kedua lelaki yang merupakan perwakilan perusahaan China itu ternyata berasal dari Indonesia. "Pak Althaf?" Semua orang saling bertukar pandang, karena Althaf   masih diam, namun matanya tetap menghadap ke slide yang tadi sedang dipresentasikan. "Pak!" panggil Dea pelan namun penuh penekanan. Tak biasanya Althaf diam, dan terbengong saat sedang bekerja, di tambah ini adalah meeting dengan klien mereka. Althaf mengerjap, dan tersadar. Matanya menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya yang juga sedang menatapnya. "Ah, saya minta maaf. Mohon maaf, tapi tolong beri saya waktu 2 menit." Althaf berdiri, melangkah keluar ruangan dengan membawa buku catatan serta pulpennya. Althaf berjalan cepat menuju ruang perpustakaan di atas. Matanya menjelajah, mencari perempuan yang sejak tadi membuat pikirannya tidak bisa fokus, Alya. Dengan jarak hampir 7 meter, Althaf mampu melihat Alya yang sedang bicara serius dengan teman-temannya. Althaf maju mendekati sekumpulan orang di depannya. "Permisi." Suaranya berhasil membuat semua yang ada di sana menoleh kompak, namun tidak dengan Alya, perempuan itu masih sibuk mengetik apa yang tadi Adnan sampaikan. Adnan yang awalnya sedang memberi arahan pada anggotanya pun berdiri, "Ada yang bisa saya bantu Mas?" tanya Adnan dengan ramah pada Althaf. "Saya ada perlu dengan perempuan yang memakai topi." Adnan menoleh ke belakang, mengamati anggotanya satu persatu, dan yang memakai topi hanyalah Alya. “Maksud Anda, Alya?” tanya Adnan pada Althaf. Alya akhirnya menoleh karena mendengar suara Adnan yang memanggil namanya. "Ada apa, Kak?" "Ada yang cari kamu," kata Adnan, yang membuat Alya berdiri, dan melangkah maju mendekati Adnan dan lelaki yang wajahnya tertutupi kepala Adnan. Alya berdiri di samping Adnan dan akhirnya berhasil menatap Althaf. "Mas yang tadi kan?" tanya Alya memastikan. "Bisa kita bicara sebentar?" tanya Althaf dengan suara yang terdengar hati-hati. "Maaf, tapi ada perlu apa?" tanya Adnan, mendahului. "Maaf, tapi saya hanya akan bicara pada dia." Ujar Althaf, membuat Adnan menyatukan kedua alisnya, bingung. Althaf berjalan menjauh terlebih dahulu, dan berdiri di dekat tangga. Dengan bingung, Alya pun mengikuti Althaf. "Ada apa ya, Mas?" Alya bertanya karena hampir sepuluh detik lelaki di depannya itu hanya diam dengan kepala menunduk. "Boleh saya tanya sesuatu ke kamu?" Alya mengerutkan keningnya. "Tanya apa?" Althaf berpikir sejenak, apa yang ingin ia tanyakan pada perempuan di hadapannya itu. Seketika ia jadi mengingat perbincangannya dengan Bima tadi pagi. "Kamu punya pacar?" Althaf merasa diriya sangat konyol karena bertanya seperti itu, namun sepertinya memang harus ia pastikan dengan cepat. "Nggak,” jawab Alya dengan jujur. "Calon suami?" Alya semakin mengerutkan keningnya. "Nggak ada. Mas kenapa nanyanya begitu ya?" Kedua sudut bibir Althaf tertarik, ia tersenyum samar dan tipis. "Boleh saya minta alamat rumah kamu?" lanjut Althaf dengan berani. Althaf sudah memutuskan semua ini. Setelah bertemu dengan Alya di halte hari itu, entah kenapa Althaf jadi sering terbayang wajah perempuan itu ketika Althaf sedang berdoa perihal jodoh kepada Allah Swt. Mungkin itu pertanda baik dari-Nya, sehingga akan Althaf  coba terlebih dahulu. Siapa tahu, jodoh. "Untuk?" "Saya ada urusan dengan orang tua kamu." Kebingungan Alya semakin menjadi. "Ah! Karena saya nabrak Mas tadi? Makanya Mas mau lapor sama orang tua saya. Saya kan sudah minta maaf tadi," kata Alya dengan menebak maksud Althaf meminta alamat rumahnya. "Bukan karena itu." "Lalu?" Althaf yang memiliki tinggi 181 cm itu memberanikan diri menatap Alya yang tingginya hanya sebatas bahu tubuhnya. "Saya mau ajak kamu ta'aruf dengan saya." ================== Halooo! Saat ini Halaqoh Cinta akan hadir dalam bentuk buku cetak. Masa PO berlaku dari tanggal 17-30 Juli 2020. Untuk yang mau liat gambar cover dan info lengkapnya bisa kunjungi i********: @hapsyahnurfalah atau chat ke nomor 0858-9213-1230. Harga buku 88.000 sudah include bookmark, postcard, dan ganci. Terima kasih! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD