Pertemuan Pertama

2659 Words
Althaf sedang bersiap di depan cermin, untuk memastikan dirinya rapih. Ia memasang dasinya, lalu menyisir rambutnya. Tak lupa ia memakai jam tangan silver serta menyemprotkan sedikit parfum di tubuhnya. Althaf keluar dari kamarnya dengan membawa tas serta jas hitamnya. Althaf berjalan menuju dapur dan minum segelas air hangat. Althaf memang jarang sarapan di rumah, biasanya ia hanya minum kopi, atau membeli sandwich saat akan jalan ke kantor. Althaf keluar dari rumahnya, dan mengunci pintu rumahnya. Selepas kuliah, Althaf memang langsung pindah ke Jakarta. Awalnya ia menyewa sebuah kos-kosan, dan kini ia sudah bisa mencicil rumah yang telah ia beli dari hasil kerja kerasnya. Walaupun ia tinggal seorang diri, Althaf tetap selalu meluangkan waktunya untuk pergi ke rumah orang tuanya yang ada di Bandung. Althaf menginjak pedal gasnya lalu keluar dari pekarangan rumahnya. Di rumah itu Althaf hanya tinggal seorang diri, tanpa ada siapapun yang menemani termasuk sanak keluarganya. Althaf memasang headset bluetooth di telinganya, saat ada panggilan masuk di handphonenya. "Assalamu'alaikum, Bim." Wa'alaikumsalam. Al gawat, Pak Rudy udah sampe kantor. Dia minta ada meeeting dadakan jam 8 kurang10 untuk semua jajaran atas sampai level manajer station. Pak Rudy adalah Direktur Utama perusahaan, dengan 6 Direktur yang ada dibawahnya, termasuk Pak Riksa. Althaf melirik jam tangannya. "Duh, dadakan banget, Bim. Ini udah jam setengah 8." Emang, parah banget kan? Lo udah dimana sekarang? "Gue masih di lampu merah nih, macet banget." Mending lo parkirin mobil lo di sana aja deh, terus lo naik ojek. Serius kayanya ada hal penting yang harus di bahas pagi ini. Soalnya semua orang pada grabag grubug nyiapin bahan buat meeting, Al. Althaf mengusap wajahnya gusar, "Oke deh, semoga gue bisa tepat waktu." Eh, harus Al. Tamat riwayat, kalo lo sampe telat nanti. "Oke oke, gue paham. Ya udah ya gue tutup, Assalamu'alaikum." Althaf melihat ada ruko perkantoran yang cukup luas berada di kiri jalan setelah lampu merah. Bisa Althaf tebak, ada sekitar 30 perusahaan berdiri di sana dengan tinggi gedung maksimal 5 lantai. Althaf memutuskan untuk memakirkan mobilnya di sana, dan segera berlari ke depan untuk mencari ojek. "Pak!" Althaf menoleh ke samping saat seorang perempuan yang juga sedang memanggil tukang ojek. Perempuan itu menggunakan atasan berwarna baby pink serta rok lipit berwarna senada. Althaf tak dapat melihat wajah perempuan itu dengan jelas, namun setiap gerakan perempuan itu, berhasil membuatnya tersenyum tipis. "Mas, jadi naik nggak?" "Eh?” Althaf mengerjap. “Iya Pak, jadi." Althaf menerima helm yang diberikan padanya, lalu memakainya. Ia kembali menoleh, dan ternyata sudah tak menemukan perempuan itu di sana. Sepertinya perempuan itu sudah pergi saat Althaf bicara dengan bapak ojeknya. *** Althaf masuk ke ruangan meeting berkapasitas 30 orang dengan d**a naik turun. Ia tersenyum kikuk memasuki ruangan, yang sudah hampir terisi penuh oleh rekan kerja, dan juga atasannya. Untung saja, ia datang 5 menit lebih awal sehingga rapatnya belum di mulai. Semua ini berkat bantuan Bapak ojek. Althaf melayangkan bokongnya pada kursi di samping Bima. Bima menyodorkan minum dan juga tisu ke arah Althaf, "Minum bro." Bima memandang kasian ke arah Althaf. Kening yang berkeringat, rambut yang acak-acakkan, serta napas yang ngos-ngosan. Althaf langsung meminum segelas air yang diberikan Bima tanpa jeda, dan kemudian menyeka keringatnya dengan tisu. Ia duduk bersandar di kursi dan mendinginkan tubuhnya sebentar. Semua orang berdiri begitu Pak Rudy masuk, Althaf dan Bima juga segera berdiri. Tak lupa Althaf merapihkan pakaian, dan rambutnya secepat kilat. "Selamat pagi semuanya, silahkan duduk." Pak Rudy duduk setelah menyapa semua karyawannya yang ada di hadapannya. Ia tersenyum hingga semakin jelas menunjukkan wajahnya yang telah keriput. Pak Rudy memang sudah akan memasuki umur 65 tahun. Namun tubuhnya masih bugar, dan tetap masih bisa memimpin perusahaan dengan sangat baik. "Mohon maaf, saya meminta rapat dadakan sebelum jam kantor. Tapi memang ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan kalian semua." Semua tampak fokus mendengarkan apa yang kira-kira akan dibicarakan oleh Pak Rudy. "Besok saya harus pergi ke luar negeri selama 2 hari. Sehingga selama saya pergi, seluruh manajer harus memastikan semua divisi berjalan dengan baik, dan tugas direktur adalah untuk menyampaikannya pada saya, secara rinci." What? Althaf dan Bima saling berpandangan dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. "Demi apa ya, tuh kakek-kakek. Gue pikir ada hal urgent pake banget yang mau dia sampein! Perasaan dari dulu kalo dia pergi, pergi aja nggak sampe bikin pengumuman di ruang meeting segede gitu." Cerocos Bima dengan wajah kesal. Mereka saat ini sudah keluar dari ruang meeting, dan kembali bekerja. Bima masuk lebih dahulu ke ruangan Althaf, di susul sang empunya. Bima memang terkadang suka mampir di ruangan Althaf setelah meeting berakhir, karena tempat kerjanya melewati ruangan Althaf. Althaf meletakkan buku agendanya di meja, dan mengendorkan ikatan dasinya. Sudah buru-buru kaya habis di kejar maling, namun meeting barusan tak lebih hanya berlangsung selama 5 menit. Itu juga sudah termasuk pembukaan dan penutupan. Althaf duduk dengan punggung bersandar di kursi kerjanya. "Gue laper banget, Bim." Keluh Althaf dengan mengusap perutnya yang semakin keroncongan. Bima langsung mendelik ke arah Althaf, "Ya ampun lo belom makan?" tanya Bima, yang dijawab gelengan oleh Althaf. "Ayo bangun! Kasian banget Ya Allah, jomblo nggak ada yang masakin." Bima berdiri dan menarik tangan Althaf agar segera berdiri. "Saya ke pantry dulu ya sebentar, untuk sarapan." Althaf bicara dengan Dea, sekretaris yang mejanya berada di samping ruangannya. Berjaga-jaga jika ada yang mencarinya selama ia makan. "Perlu saya temani, Pak?" tanya Dea dengan menampilkan ekspresi senyum terbaiknya. "Nggak perlu, saya ditemani Bima." Althaf langsung melengos pergi, sedangkan Bima hanya memberi senyum pada Dea. Lebih tepatnya, ikut simpati dengan tolakan halus barusan. ***** Alya sibuk merapel banyak doa dengan posisi jongkok di depan ruang kelasnya yang Masih terbuka. Pak Alex, dosen tampan nan killer yang sudah memiliki satu anak itu ternyata sudah memulai perkuliahan. Pak Alex adalah dosen yang mengampu mata kuliah politik Internasional untuk jurusan HI. Pak Alex juga merupakan orang yang sangat ketat dengan Masalah kedisiplinan. Rasanya seluruh mahasiswa di sana pasti tahu seperti apa Pak Alex itu. "Duh, Masuk nggak nih?" Alya meringis, "Padahal baru telat 5 menit," keluh Alya dengan melirik jam tangannya. Alya mengecek kembali ponselnya dan melihat pesan Masuk dari Raya. From : Arraya  Masuk dalam 5 detik dari sekarang. Beliau lagi sibuk nulis di papan. Alya kembali meringis, bagaimana caranya Masuk dalam tempo kilat begitu? Dengan mengucap Basmallah, akhirnya Alya melangkah Masuk ke kelas dengan mengendap-endap. Mumpung, Pak Alex lagi sibuk nulis di papan, jadi Alya bisa Masuk ke kelas dengan diam-diam. "Alya Khansa Ramadhani." Alya mematung, berhenti melangkah saat ia mendengar nama lengkapnya baru saja disebutkan. Namun karena tak yakin, akhirnya Alya tetap melanjutkan langkahnya yang hanya tinggal sedikit lagi mencapai kursi kosong. "Alya Khansa Ramadhani." Perempuan yang menggunakan setelan pakaian berwarna baby pink itu sontak mendongak, menatap ke depan, dan berdiri tegap. Pak Alex sudah berdiri tegap dan matanya lurus menatap Alya yang tampak seperti maling tertangkap basah. Alya tersenyum kecut pada Pak Alex. "Iya, Pak?." Alya melirik ke kanan sedetik, dan mampu menangkap wajah Raya yang menatapnya khawatir. "Silahkan tutup pintunya." Ucapan yang baru saja disampaikan oleh Pak Alex terdengar tegas namun santai. Tak ada ekspresi marah atau emosi yang dikeluarkan. Alya Masih diam di posisinya. Ia ingat betul sudah menutup pintunya setelah ia Masuk tadi. "Maaf Pak, tapi pintunya sudah saya tutup." Cicit Alya dengan pelan. Alya kembali menatap ke depan, dan mengedarkan pandangan ke teman-temannya yang seketika diam, hening, tanpa suara. Semuanya dengan kompak menatap ke arah dirinya. "Silahkan tutup pintunya dari luar." "Maksud .. Bapak?" tanya Alya ragu. "Saya rasa, ucapan saya cukup jelas. Keluar dan tutup pintunya." ".........." Alya menatap Pak Alex bingung. Ia di usir dari kelas? "Keluar, dan tutup pintunya kembali Alya Khansa Ramadhani." Suara Alex kembali menyadarkan dunia Alya. Alya menghela napas panjang dan akhirnya memutuskan keluar kelas dan menutup pintunya kembali dengan rapat sesuai arahan Pak Alex. Diusir dari kelas, Alya memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Lebih baik ia mengerjakan revisi proposal dari Adnan yang harus ia selesaikan 2 hari lagi. Hari ini hanya ada jadwal mata kuliah Pak Alex, setelahnya ia ada rapat kepanitiaan sore nanti bersama Adnan dan yang lain. Alya Masuk dan mengambil tempat duduk di pojok, dekat rak buku sejarah. Alya mengeluarkan netbooknya dan hardcopy proposal yang diberikan oleh Adnan. Ia mulai mengerjakan revisian proposalnya. 10 jarinya bergerak serempak dengan cepat. "Al," Alya menoleh, dan melihat Adnan sedang berdiri dengan mendekap buku tebal yang sudah tampak usang. "Eh, Kak Adnan?" Adnan berdiri di samping meja Alya, dan meletakkan buku tebalnya di meja tersebut. "Kamu ngapain di sini? Bukannya ada kelas ya?" Alrya melirik buku tebal yang diletakkan Adnan di mejanya, dan tertulis 'Pemikiran Politik Barat'. Seketika Alya meringis, karena kembali mengingat insiden di usir dari kelas Pak Alex. "Di usir,” jawab Alya pelan dan terdengar pasrah. Adnan duduk di kursi kosong depan Alya. "Serius kamu? Di usir dari kelas?" "Iya Kak. Kakak harus liat gimana ekspresi Pak Alex tadi saat ngusir aku. Bentuk alis dan tatapan matanya itu Kak bikin hmm .. aku ngerasa mata aku kaya ditusuk saat natap mata Pak Alex. Ini adalah momen bersejarah dalam hidup aku di usir dari kelas." Adnan sontak tertawa karena melihat ekspresi wajah Alya yang lucu saat bercerita. "Sshhtt Kak!" Alya mengingatkan Adnan, jika saat ini mereka ada di dalam perpustakaan. "Hehe lupa," cengir Adnan, dan benar saja ketika ia melirik ke sekitar, semua orang menatap ke arahnya. "Oh ya, kamu lagi ngerjain apa sekarang?" Alya mendorong proposalnya ke arah Adnan. "Nih, revisian dari Kakak." Adnan meringis, "Banyak ya?" tanya Adnan yang sebenarnya ia sudah tau sendiri jawabannya. Karena Adnan lah yang mengoreksi tiap lembar, tiap kata dari proposal yang Alya kerjakan. "Kurang banyak, Kak." Jawab Alya dengan nada bercanda, namun tatapan nya datar sehingga membuat Adnan jadi multi tafsir mengartikannya. Adnan mengambil alih netbook Alya, dan juga proposalnya. "Sini, aku bantuin." "Ih nggak usah. Aku bisa ngerjain itu sendiri." Alya menarik kembali netbook serta proposalnya, dan ia pegang dengan kuat. Adnan terkekeh pelan, "Ya udah kalau gitu aku tinggal ya, kalau ada bagian yang kamu nggak ngerti bilang ya." "Siap ketua." Ujar Alya terkekeh ringan. "Aku pamit ya, Assalamu'alaikum." Ujar Adnan seraya berdiri. "Wa'alaikumsalam,"  balas Alya dengan kembali mengerjakan revisian proposalnya yang tadi sempat tertunda.  Baru dua langkah Adnan maju, ia kembali menoleh pada Alya. Adnan tersenyum tipis pada Alya yang tampak fokus mengerjakan revisi proposal darinya. Seperti ada rasa berbeda yang dirasakan oleh hatinya saat melihat Alya. ***** Tok tok tok! "Masuk." Perempuan yang menggunakan blazer berwarna hitam serta celana panjang slim fit itu Masuk ke dalam ruangan Althaf. "Ini Pak, ada surat permintaan penawaran dari China terkait pembelian barang untuk bulan depan." Dea menyerahkan beberapa lembar berkas untuk Althaf periksa. "Baik, terima kasih." Tanya Althaf sambil melonggarkan ikatan dasinya. Ini sudah mau memasuki waktu isya, tapi Althaf   masih setia berada di kursinya. "Ada apa lagi?" tanya Althaf pada Dea, karena sekretarisnya itu   masih juga belum beranjak dari ruangannya. "Ti…tidak ada, Pak." Dea gelagapan, karena tadi, sempat-sempatnya ia malah sibuk mmemperhatikan Althaf yang sedang menarik dasinya. "Kalau begitu silahkan keluar," pinta Althaf yang langsung membuat Dea keluar tanpa menolak. Althaf bersandar di kursi kerjanya, dan mengembuskan napasnya perlahan. Inilah yang sering membuat Althaf merasa aneh, para pegawai perempuan di sana sering kali menatapnya dengan berlebihan, dan itu membuat Althaf sangat risih. Setelah memeriksa surat penawaran tersebut, Althaf melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan jam 19.10, itu tandanya adzan isya sudah berkumandang sejak 5 menit yang lalu. Ia membereskan semua barang pribadinya, lalu keluar ruangan. "Saya pamit duluan ya, De." Althaf pamit pada sekretarisnya yang   masih sibuk mengetik sesuatu di komputernya. Dengan cepat Dea berdiri, dan membereskan barangnya dengan kecepatan kilat. "Saya juga mau pulang kok, Pak." Ucap Dea dengan tersenyum manis ke arah Althaf. "Ya silahkan, kamu hati-hati di jalan. Saya duluan, assalamu'alaikum." Althaf segera berlalu pergi, karena setelah satu detik ia menunggu jawaban salam dari Dea, tak kunjung ia dapatkan. Sedangkan Dea hanya bisa menatap tak percaya pada Althaf yang pergi begitu saja. Di lain sisi atasannya itu tampan, dan tak bisa Dea pungkiri bagaimanapun caranya. Namun Althaf tetaplah Althaf, yang berlaku dingin padanya dari semenjak Dea bertugas sebagai sekretaris Althaf. Althaf turun ke lantai 2 untuk solat isya terlebih dahulu. Setelah selesai solat, ia kembali turun menuju parkiran mobil dan celingukkan sendiri mencari mobilnya. Berkali-kali ia menekan kunci alarm mobilnya, namun nihil, tidak ada suara apapun. "Allahu Akbar, mobil!" Seketika ia baru ingat, bahwa ia meninggalkan mobilnya di ruko tadi pagi. Dengan langkah lemas akhirnya Althaf kembali naik ke lantai 1 untuk pesan ojek dan ke tempat dimana ia memakirkan mobilnya. "Makasih Pak," ucap Althaf kepada ojek yang telah mengantarnya dengan selamat sampai di dekat halte tempat ia memakirkan mobilnya tadi pagi. Althaf melihat sekelilingnya, banyak pohon besar yang ditanam di sepanjang jalan itu. Udara malam ini juga terasa bersih dan anginnya dingin sedikit sejuk. “فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ " Althaf berhenti melangkah sejenak, saat samar-samar ia mendengar suara lantunan salah satu ayat suci yang ia tahu adalah surat Ar Rahman. "يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالإنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ فَانْفُذُوا لتَنْفُذُونَ إِلا بِسُلْطَانٍا " Althaf mengedarkan pandangan ke sekelilingnya saat mendengar lantunan itu kembali, namun yang Althaf lihat hanyalah satu orang perempuan yang sedang duduk bersandar di halte. Althaf memutuskan untuk berjalan mendekati perempuan itu. Hingga akhirnya Althaf telah berdiri di samping bangku halte dan akhirnya memutuskan untuk duduk di pinggir bangku tersebut. Perempuan itu juga tampak tak menyadari kehadiran Althaf, mungkin karena matanya yang terpejam. Althaf juga melihat perempuan itu mendekap tas berwarna cokelat di depan d**a, dan ia menggunakan masker wajah. Althaf menghadap ke jalan dan memasang telinganya baik-baik, ingin memastikan apakah perempuan yang ada di sampingnya itu yang tadi melantunkan ayat surat Ar Rahman. " يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِنْ نَارٍ وَنُحَاسٌ فَلا تَنْتَصِرَان " Ternyata benar, lantunan ayat suci yang ia dengar itu berasal dari perempuan yang ada di sampingnya. Semakin lama suaranya semakin pelan, namun tetap terdengar merdu. Althaf bahkan cukup yakin, perempuan itu melantunkannya dengan tajwid yang sempurna. Namun 1 menit sudah ia menunggu, Althaf tidak lagi mendengar suara dari perempuan yang duduk di sampingnya, hingga Althaf tak bisa menahan dirinya untuk tak menoleh. "Kamu, tidur?" tanya Althaf, dengan suara yang sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar nyamuk. Althaf menggerakkan telapak tangannya di depan wajah perempuan itu, namun tak ada sahutan. Althaf tersenyum bahkan terkekeh geli tanpa suara. Perempuan itu sungguh benar-benar tertidur di halte, di malam hari seperti ini, seorang diri. Semakin Althaf memperhatikannya, Althaf jadi menyadari pakaian yang digunakan perempuan itu sama dengan pakaian perempuan yang ia lihat tadi pagi, Althaf yakin hal itu. Althaf membuka handphonenya. Ternyata sudah 10 menit lamanya ia duduk di halte tersebut. Althaf melirik perempuan yang ada di sampingnya, yang masih memejamkan matanya. Althaf jadi sibuk memikirkan, apa yang dilakukan perempuan di sampingnya itu seharian ini hingga sampai tertidur di halte? Bagaimana jika ada orang jahat yang menghampirinya, dan ia tak sadar karena asyik tertidur? "Mmm…" Althaf kembali diam, bingung akan membangunkan perempuan itu seperti apa. Kubiarkan hujan mengawal rinduku, padamu yang indah di sana. Kuhanyutkan hati, menembus cintamu, dan aku pun bahagia. Althaf tahu lagu itu, lagu Ali Sastra yang berjudul Hujan. Namun Althaf tak tahu dari mana asal lagu tersebut. Tak lama lagu itu kembali terdengar. Althaf melirik tas yang didekap perempuan di sampingnya, sepertinya suaranya memang berasal dari sana. Karena di halte itu, hanya ada Althaf dan perempuan itu. Althaf mengeluarkan pulpennya dari dalam tasnya dengan cepat, bermaksud membangunkan perempuan itu. "Assalamu'alaikum saya Alya, ini siapa ya?" Perempuan itu secara tiba-tiba terbangun, membuka maskernya dan mengangkat panggilannya. Menyebabkan pulpen Althaf terlempar entah kemana. Althaf yang berada di sana cukup kaget, karena perempuan itu bangun tiba-tiba dan mengangkat handphonenya tanpa melihat dulu siapa yang menelfonnya. Perempuan yang ternyata adalah Alya itu melirik jam tangannya, dan membulatkan matanya seketika saat melihat sudah mau jam 8 malam. "Iya iya, Bun. Alya pulang sekarang." Alya meringis saat mengetahui yang meneleponnya adalah sang buda. Dengan setengah sadar, Alya berdiri dan celingukkan ke kanan ke kiri, mencari ojek namun tak ada, "Aduh Alya! Kenapa bisa ketiduran sih?" ringisnya frustasi. "Taksi!" teriak Alya sambil menggerakkan tangan kanannya saat melihat taksi kosong yang melaju ke arahnya. Saat taksi tersebut berhenti tepat di depan halte, Alya bergerak maju, dan kakinya menginjak pulpen yang ternyata milik Althaf yang tadi terlempar karenanya. Efek   masih setengah sadar, Alya hanya mengambil pulpen itu dan segera masuk ke dalam taksi. "Eh, itu pul..pen.. saya." Ucapan Althaf mengecil di akhir, karena taksi Alya yang sudah melaju dengan segera. Althaf memandangi taksi yang sudah hampir lenyap dari jarak pandangnya. "Alya?" Althaf menyebut nama Alya begitu saja, ia kemudian tersenyum tipis saat mengingat perempuan itu. ================== Halooo! Saat ini Halaqoh Cinta akan hadir dalam bentuk buku cetak. Masa PO berlaku dari tanggal 17-30 Juli 2020. Untuk yang mau liat gambar cover dan info lengkapnya bisa kunjungi ** @hapsyahnurfalah atau chat ke nomor 0858-9213-1230. Harga buku 88.000 sudah include bookmark, postcard, dan ganci. Terima kasih! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD