39. Owe Me a Story

987 Words
Tanpa sadar perasaan ragu itu membuat hati Erina mendadak nyeri. Ia meringis pelan merasakan sesak di dalam rongga dadanya. Padahal yang seharusnya merasa tersakiti adalah Alvaro bukan dirinya, membuat Erina diam-diam menitikkan air matanya. Sedangkan Alvaro yang melihat air mata tersebut pun mendelik terkejut. Lelaki itu spontan menangkup wajah Erina dengan lembut. Entah kenapa ia merasa tidak percaya kalau air mata yang sangat dirinya hindari malah terjadi tepat di depan matanya sendiri. “Maafkan aku, Nana. Aku tidak bermaksud menyakitimu,” sesal Alvaro mulai mengusap air mata Erina. Namun, wanita itu malah menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya merasa tersakiti dengan perasaanku sendiri. Aku tidak tahu ragu ini berasa dari mana, karena aku cukup merasa kecewa dengan kehidupan yang aku jalani. Maafkan aku, Kak. Aku benar-benar tidak ingin menyakitimu.” Kini Alvaro menjadi mengerti, kalau Erina benar-benar trauma dengan kepercayaan orang lain. Entah apa yang terjadi di masa lalunya, tetapi itu mampu menjawab semua pertanyaan dirinya. Sebab, ia melihat bahwa wanita yang berada di dalam pelukannya ini sangatlah rapuh. Tidak seperti kelihatannya. “Tidak apa-apa, Nana. Aku paham dengan semua masalahmu yang cukup berat itu, tapi aku minta untuk tidak meragukan perasaanku lagi. Karena aku akan sekuat mungkin untuk tetap menjaga perasaan ini secara utuh,” ucap Alvaro mengusap punggung Erina lembut. Bahu yang biasa ia lihat kokoh itu tampak sangat rapuh malam ini, membuat dirinya tidak bisa berkata apapun lagi. Erina yang masih berada di dalam pelukan Alvaro pun hanya mengangguk pelan. memang tidak ada salahnya kalau ia memberikan sebuah kepercayaan pada orang lain, setelah beberapa waktu lalu sempat dikecewakan. Perlahan Alvaro pun melepaskan pelukannya, lalu mengusap rambut Erina yang tanpa sadar hanya sebatas punggungnya saja. Padahal ia lebih menyukai kalau wanita itu memiliki rambut yang panjang. Karena akan memberikan kesan feminim dan manis. Namun, gerakan itu harus terhenti ketika mendengar suara ponsel berdering, membuat Alvaro menoleh ke arah ponselnya. Sayangnya, benda pipih berwarna gelap itu masih menampilkan layar yang sama, seakan memang tidak ada yang menghubunginya. “Nana, ponselmu berdering,” ucap Alvaro membuat wanita itu langsung mengernyit bingung. Kemudian, Erina pun langsung meraih ponselnya yang berada di dalam kantung celana. Dan benar saja, di sana terpampang nama Lusi cukup besar tengah memanggilnya. Hal tersebut membuat Erina melepaskan diri dari pangkuan Alvaro, lalu duduk tepat di samping lelaki itu sembari menggeser layar ponselnya. “Bukankah aku sudah bilang jangan meneleponku hari ini? Aku sedang merajuk denganmu yang tidak bisa datang,” sinis Erina tepat ketika panggilannya tersambung. Sementara itu, di seberang sana terdengar Lusi yang tertawa pelan. Seakan wanita itu sudah menduga kalau Erina akan merespon seperti ini. “Iya, aku tahu,” balas Lusi terdiam sejenak. “Uhm ... Nana, bisakah kau membuka pintu untukku? Aku sudah tepat di depan apartemenmu. Cepatlah!” Seketika Erina bangkit dari sofa, lalu berlari menghampiri pintu apartemennya, lalu mengintip sejenak dari lubang pintu yang ada di sana. Benar saja, tepat di depan pintu terlihat Lusi bersama dengan seorang lelaki yang terlihat tidak asing. Tanpa pikir panjang, Erina pun langsung membuka pintu apartemennya dan menatap Lusi terkejut sekaligus tidak percaya. Padahal sejak tadi ia sudah berniat untuk merajuk dengan wanita itu. Karena sudah tega membiarkan dirinya pindahan seorang diri. “Kau benar-benar menyebalkan, Lusi. Aku pikir kau memang tidak peduli denganku,” keluh Erina memeluk tubuh wanita itu erat. Melihat hal tersebut, Lusi pun hanya tertawa pelan. Ia sudah menganggap kalau Erina adalah adik kandungnya sendiri. Jadi, tidak aneh lagi kalau wanita itu sangatlah manja kepada dirinya. Meskipun ia tidak senang, jika dipanggil dengan sebutan yang lebih tua. Karena pikirnya, tua hanya beberapa tahun tidak masalah. “Tentu saja aku peduli denganmu,  Nana. Buktinya aku datang membawakanmu makanan,” balas Lusi sembari melepaskan pelukannya, dan memberikan paper bag berukuran cukup besar. Sejenak Erina hanya tersenyum senang menerima pemberian tersebut, lalu menyuruh Lusi untuk masuk ke dalam. Tak lupa ia menyempatkan diri untuk menyapa aktor terkenal Han Shuo. Meskipun dirinya mengenal lelaki itu, tetapi rasanya agak canggung untuk berbincang lebih lama. Karena ia hanya dekat dengan Lusi. Sedangkan Lusi yang belum terbiasa dengan apartemen baru milik Erina pun mengendap-ngendap masuk ke dalam sembari sesekali matanya mengitari sekeliling ruangan yang ditata cukup rapi. Padahal ini hari pertama, tetapi melihat pencapaian sebesar ini membuat Lusi diam-diam tersenyum kagum melihat cara kerja Erina yang sangat cepat. Akan tetapi, pandangan Lusi langsung tertuju pada seorang lelaki yang terduduk di sofa sembari menikmati buah di tangannya. Ingin sekali dirinya bertanya, tetapi ia merasa kalau lelaki itu tidak asing. “Ayo, masuk!” ajak Erina sembari menggandeng tangan Lusi menuju sofa miliknya. Mau tak mau wanita itu pun mengikuti langkah Erina dengan pandangan yang terus tertuju pada lelaki tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia ketika melihat wajah lelaki itu sangatlah tidak asing. “Nana, kau berhutang cerita padaku,” kecam Lusi dengan tatapan horror membuat Erina langsung meringis pelan. Alvaro yang menyadari kedatangan Lusi pun hanya tersenyum singkat, lalu lelaki itu langsung terpaku pada sesosok lelaki asing. Entah kenapa ia seperti pernah melihatnya, tetapi itu teringat sangat lama sehingga dirinya tidak mampu untuk mengingatnya kembali. Sedangkan Erina mengerti kalau Alvaro merasa penasaran dengan lelaki yang bersama Lusi pun berkata, “Kak Alva, itu adalah Han Shuo. Dia seorang aktor terkenal sekaligus pasangan Lusi saat ini.” Mendengar hal tersebut, Alvaro pun mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangannya. “Alvaro, teman rekan kerja Lusi sekaligus pacarnya Erina.” Han Shuo tertawa pelan mendengar nada bicara lelaki yang ada di hadapannya. Entah kenapa ia merasa kalau lelaki itu sangat humoris. “Baiklah, salam kenal.” Kemudian, keempatnya pun duduk di sofa masing-masing membuat Erina yang merasa suasana cukup canggung pun bangkit. “Sepertinya, aku harus menyiapkan sesua,tu untuk kalian.” Setelah itu, Erina pun melenggang pergi dengan cepat meninggalkan mereka semua, membuat Lusi yang juga tidak ingin terjebak di dalam suasana canggung tersebut lebih memilih untuk mengikuti Erina saja. Sebab, lebih baik berdebat dengan wanita itu daripada harus mencairkan suasana ala lelaki yang tidak akan pernah bisa dimengerti oleh dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD