38. Don't Hesitate Love

1003 Words
Wajah Erina pun memerah mendengar penuturan Alvaro yang terdengar manis di telinganya. Entah kenapa ia juga merasakan hal yang sama. Meskipun tidak sejujur lelaki itu, karena dirinya masih sangat malu untuk mengakui perasaannya sendiri. Perlahan Erina pun melepaskan tangannya dari leher Alvaro, lalu menatap lelaki itu lekat-lekat. Bahkan tanpa sadar hal tersebut malah membuat dirinya malu sendiri. Ia memang belum pernah bertatapan sampai sedekat ini. Atau mungkin tidak pernah. “Sudahlah, Kak. Ayo, kita makan dulu. Nanti supnya keburu dingin,” ucap Erina berusaha melepaskan tautan tangan lelaki itu yang berada di belakang pinggang miliknya. Dengan menghela napas pelan, Alvaro pun melepaskan tangannya, lalu mengikuti langkah Erina dari belakang. Sebab, wanita itu benar-benar membawa dirinya ke dapur. Padahal ia pikir setelah menidurkan Cherry, dirinya akan mempunyai waktu berdua. Namun, dugaannya salah. “Lo bener-bener ya, Na. Padahal gue pikir kita bakalan berkencan setelah Cherry tidur,” keluh Alvaro mendudukkan diri di mini bar sembari menatap Erina yang mulai memakai celemeknya lagi. Senyum geli dari bibir tipis milik Erina pun terbit. “Iya, nanti. Sekarang kita makan dulu. Aku sudah sangat lapar.” Mendengar hal tersebut, Alvaro yang awalnya lesu pun mulai bersemangat. Lelaki itu langung menegakkan tubuhnya sembari terus menatap Erina yang terlihat sangat cekatan menyiapkan piring di hadapannya. Keduanya pun makan dalam diam sembari sesekali melemparkan candaan ringan dan mengambilkan lauk satu sama lain. Mereka berdua terlihat seperti keluarga bahagia. Padahal diantara keduanya masih belum ada yang menyatakan perasaan satu sama lain, hanya mengumandangkan kata rindu ketika bertemu. Sejenak Erina mulai terusik akan perasaan tersebut. Sejujurnya, ia takut pada Alvaro. Karena sudah sejak lama sekali mereka berdua tidak bertemu. Akankah lelaki itu masih memiliki perasaan yang sama seperti dirinya? “Erina?” panggil Alvaro mengibaskan tangannya tepat di depan wajah wanita itu. Seketika Erina yang tersadar langsung menatap lelaki itu bingung sekaligus terkejut. “Eh, ada apa, Kak?” “Lo ngelamun dari tadi,” jawab Alvaro tersenyum geli. “Enggak kok.” Erina berusaha biasa saja, meskipun jantungnya mulai berdetak begitu cepat. Mendengar hal tersebut, Alvaro kembali menandaskan makanannya, lalu bangkit ke arah wastafle cuci piring. Sedangkan Erina hanya tersenyum tipis, kemudian ikut bangkit membereskan pelaratan makan. Sebenarnya, ia ingin meminta cucian piring tersebut, tetapi rasanya Alvaro tidak ingin diganggu sehingga membuat dirinya memutuskan untuk duduk saja di ruang tamu menatap salah satu drama yang berjalan di minggu ini. Meskipun bukan kesukaannya, tetapi itu cukup menghibur. Di tengah tontonannya itu, Erina mendengar suara langkah kaki mendekat. Sepertinya Alvaro telah menyelesaikan cucian piring. Terlihat lelaki itu sudah melepaskan jas formalnya, dan hanya menyisakan kemeja putih bersih yang tergulung hingga ke siku. Lelaki itu terlihat mendudukkan diri tepat di samping Erina yang terlihat sangat serius menatap layar televisi, dan wanita itu sama sekali belum mengalihkan perhatiannya. Membuat Alvaro langsung menyusupkan tangannya ke arah pinggang milik Erina, lalu menumpukan kepalanya di pundak mungil milik wanita itu. Erina yang melihat sikap manja Alvaro pun hanya tersenyum tipis, lalu mengusap lengan lelaki itu lembut. Entah kenapa mood-nya mendadak buruk mengingat hal itu lagi. “Kenapa, Nana? Kau terlihat aneh sejak kita makan tadi,” ucap Alvaro menegakkan tubuhnya, tetapi tidak melepaskan kedua tangannya. “Tidak apa-apa,” jawab Erina tersenyum tipis membuat lelaki itu mengernyit tidak percaya. “Benarkah?” “Iya, Kak.” Akhirnya, keduanya pun terdiam dengan menyibukkan diri dengan pikiran satu sama lain. Akan tetapi, Alvaro yang masih penasaran dengan keterdiaman Erina pun langsung memindahkan wanita itu ke atas pangkuannya. Tentu saja hal tersebut membuat Erina terkejut bukan main, bahkan dengan gerakan spontan wanita itu langsung mengalungkan kedua tangannya ke arah leher milik Alvaro. “Lo menyebalkan banget sih, Kak!” protes Erina menatap Alvaro kesal, karena dirinya memang benar-benar sangat terkejut tadi. “Enggak ada pilihan lain biar lo enggak mengabaikan gue lagi,” balas Alvaro ringan sembari menatap wajah Erina yang terlihat sangat imut. Bukannya menjawab, Erina hanya memutar bola matanya malas, lalu memainkan dasi milik lelaki itu yang terlihat tidak beraturan. Seperti terikat asal. Padahal Alvaro adalah pemimpin perusahaan, tetapi ia sama sekali tidak memedulikan penampilannya sendiri. “Lo enggak bisa pasang dasi dari dulu ya, Kak?” tanya Erina mulai melepaskan dasi tersebut, ia berniat mengaitkannya lagi. “Memangnya kenapa? Aku tidak peduli dengan itu, yang penting aku selalu hadir. Kakek pun tidak masalah,” jawab Alvaro mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Iya, benar sekali, Tuan Muda Aryasatya,” sinis Erina mulai mengaitkan dasi tersebut dengan pandangan serius. Setelah dirasa cukup pas, Erina pun mulai mengeratkan dasi tersebut sembari tersenyum lebar melihat hasil kerjanya sendiri. Bahkan Alvaro yang sejak tadi diam pun ikut tersenyum. “Erina, apa sejak tadi kau meragukan perasaanku?” tanya Alvaro setengah berbisik membuat jemari lentik milik wanita itu mendadak menghentikan kegiatannya, lalu menatap tepat menembuskan sepasang bola mata menawan tersebut. Sejujurnya, menjawab atau tidak menjawab pun Alvaro sudah mengetahuiya. Karena ia memang pernah merasakan hal yang sama saat bertemu lagi dengan wanita itu. Akan tetapi, dirinya langsung yakin ketika beberapa hari bersama dengan Erina di kantor, dan berjalan keluar. Bagaimana ia bisa yakin? Tentu saja melihat sikap dan gelagat Erina yang biasa saja. Wanita itu benar-benar terlihat bebas ketika bersama dengan dirinya. Bahkan ia yakin kalau Erina pun merasakan hal yang sama, meskipun sifatnya sedikit berbeda. Wanita itu tidak lagi terbuka sepenuhnya. Seperti ada hal yang sengaja ditutupi dengan sempurna. “Erina, apa kau percaya kalau selama ini aku selalu menunggumu?” tanya Alvaro mendadak serius membuat wanita itu langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Aku tidak tahu,” jawab Erina pelan dengan penuh keraguan. Perlahan kedua tangan Alvaro pun menyentuh kepala mungil milik wanita itu, lalu membawanya menatap dirinya kembali. Ia menatap Erina lembut dengan seulas senyum tulus yang terpatri di wajahnya. “Erina, dengarkan! Kau boleh meragukanku, tetapi tidak dengan perasaanku. Karena ini benar-benar tulus. Aku seperti orang gila mencarimu setiap tahun sampai akhirnya aku menyerah, dan bertemu lagi denganmu. Aku memang belum pernah mencintai siapapun sampai segila ini,” ucap Alvaro menatap Erina frustasi. Bahkan lelaki itu dengan spontan memakai Bahasa Mandarin yang sangat lancar, seakan menandakan kalau dirinya benar-benar serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD