25. He's Very Scary

917 Words
“Boys?” tanya Erina bingung. Lelaki itu adalah Boys Force yang pernah bertemu dengan Erina waktu lalu. Entah kebetulan yang disengaja atau tidak di sengaja hingga mereka berdua bertemu di sini. Setelah menyelesaikan ikatan rambut untuk Erina, Boys langsung menurunkan tangannya dan menatap gadis itu tersenyum lebar. “Xie xie,” ucap Erina tulus, lalu menunduk dalam menghindari tatapan Boys. Ia masih sedikit tidak percaya atas kejadian kemarin. Apalagi Alvaro yang tiba-tiba merusak acara pertemuannya. “Jangan sungkan. Aku hanya membantu,” balas Boys semakin melebarkan senyumannya, lalu melirik Lusi yang berada di samping Erina. “Apa kalian sedang quality time?” “Tidak. Kami hanya ingin berjalan-jalan saja. Kamu sendiri, bagaimana?” Erina melirik wajah Lusi yang sudah menuntut penjelasan. “Kebetulan sekali film kesukaanku sedang tayang, jadi aku menyempatkan diri kemari dan bertemu dengan kamu, Erina. Apakah ini pertanda kalau kita jodoh?” canda Boys tertawa pelan, membuat Erina mau tak mau menyemburkan tawa gelinya. “Benarkah!? Kalau begitu, aku ingin sekali bertemu dengan Hu Yitian,” balas Erina ringan, sedangkan Lusi sudah memasang wajah kesalnya melihat mereka berdua yang asyik sendiri. “Erina, kita jadi beli tiket atau tidak?” tanya Lusi sedikit menuntut. Erina mengatur ekspresinya secepat mungkin, lalu mengangguk kuat. “Ayo, kita beli tiket!” Namun, baru saja gadis itu hendak melakukan pengantrian tiba-tiba ditarik oleh Lusi, membuat dirinya kembali di tempat semula. Akan tetapi, baru saja Erina hendak protes tiba-tiba temannya menyela pembicaraan. “Hei, Boys! Apa yang akan kamu tonton hari ini?” tanya Lusi tanpa memerdulikan tatapan Erina. Boys menoleh ke arah Lusi dengan wajah yang sulit diartikan, lalu tersenyum lebar menatap Erina. “Aku ingin menonton film romantis. Apa kalian juga sama?” “Kalau begitu, kita ber-” “Wah, sayang sekali. Hari ini aku dan Erina ingin menonton film horror. Kalau begitu, kami duluan ya, Boys!” potong Lusi cepat, lalu bergegas menyeret Erina agar gadis itu tidak mengeluarkan u*****n-u*****n yang menyakitkan. Melihat Lusi yang terburu-buru pergi, Boys hanya tersenyum miring. Namun, berbeda dengan tatapannya yang selalu terpaku pada Erina. Entah kenapa ia masih menginginkan gadis itu untuk dimilikinya. Sementara di sisi lain. Lusi yang masih terus menyeret Erina pun mulai kewalahan, lalu melepaskan gadis itu ketika mereka telah keluar dari cinema. “Lusi, kenapa kamu berbohong pada Boys?” tanya Erina dengan nada sedikit meninggi, dan menatap wajah temannya kesal sekaligus marah. “Itu jauh lebih baik daripada kita satu studio dengan lelaki itu,” jawab Lusi tidak kalah sinis dan mulai melangkah mendekati pagar pembatas lantai yang menjadi tempatnya berpijak, lalu membalikkan tubuh menatap Erina yang masih setia di depan pintu kaca cinema. “Apa kamu tidak sadar kalau tatapan Boys itu cukup berbeda?” Erina mengerutkan keningnya bingung. “Maksudmu?” Lusi menghela napas pelan sembari melipat kedua tangannya di depan d**a, lalu menatap Erina sedikit kesal. “Aku sadar kalau tadi Boys melihatmu cukup ... menakutkan,” jawab Lusi sengaja memelankan kata akhir. Ia memang sempat memergoki kalau Boys menatap Erina sedikit terobsesi. “Kamu itu terlalu banyak menonton film horror makanya seperti itu.” Erina tertawa pelan sembari meletakkan kedua sikunya ke atas pembatas lantai. “Tidak. Aku serius!” balas Lusi cepat dan menatang Erina lekat. “Sudahlah, Lusi. Kamu tidak perlu seperti itu. Lagi pula Boys tidak akan menyakitiku.” “Tahu dari mana kalau dia tidak akan menyakitimu, Erina? Aku sangat sadar bahwa tadi waktu kita masuk tidak ada dia, kenapa sekarang menjadi ada? Apa kamu tidak curiga kalau sedari tadi dia membuntuti kita?” Lusi menatap Erina menggebu-gebu. Ia sangat mencemaskan Erina, karena sudah mendapatkan klien cukup menakutkan seperti Boys. Ia sadar bahwa lelaki itu sedikit berbeda dari lelaki lain yang ia kenal. “Lusi, aku tahu kamu mencemaskan keamananku. Tapi aku minta, jangan menilai setiap lelaki seperti itu. Kejadian kemarin itu mungkin ketidaksengajaan dia, dan aku sudah melupakannya. Lagi pula setiap orang pasti mempunyai kesalahahan.” “Erina! Kenapa kamu keras kepala sekali!? Aku tidak menghasutmu untuk menjauhi Boys. Aku hanya mengingatkanmu agar selalu waspada dan menjauh dari orang-orang yang ingin bersikap buruk.” “Terima kasih, Lusi. Aku sangat bersyukur kamu mencemaskanku, tapi Boys adalah klien aku. Sangat tidak mungkin sekali kalau aku menjauhi klien sendiri. Apa kata Bos Wang nanti?” Lusi terdiam. Wang Junkai memang tidak pernah bisa diprediksi. Entah kenapa lelaki paruh baya itu terlihat perhatian sekaligus acuh pada keadaan sekitar. Akan tetapi, saat dirinya memprotes hal itu, Wang Junkai seakan menutup telinganya rapat-rapat. Erina melangkah mendekati Lusi, lalu memegang pundak kecil itu lembut. Ia tahu bahwa wanita yang ada di hadapannya ini cukup mencemaskan dirinya. Akan tetapi, Erina sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, karena Boys adalah klien dirinya sendiri. “Jadi, kita mau nonton atau terus terdiam seperti itu?” tanya Erina tersenyum geli, membuat Lusi mengalihkan perhatiannya dan langsung menghamburkan pelukan ke arah Erina. “Kamu memang yang selalu bisa mengubah mood-ku dengan cepat, Erina.” Sedangkan Erina hanya tertawa pelan dan menepuk-nepuk pundak Lusi pelan. Entah kenapa ia merasa sangat nyambung berteman dengan wanita itu daripada dulu ketika dirinya masih berteman dengan Cyra. Ngomong-ngomong soal Clara, ia jadi penasaran bagaimana kabar gadis berwajah good looking itu. Apakah masih bersama kekasihnya atau tidak. Akan tetapi, tanpa mereka sadari sedari tadi Boys mendengarkan perdebatan mereka berdua yang cukup panas. Padahal jarak mereka cukup jauh, tetapi ia dapat dengan jelas mendengar suara Erina yang cukup meninggi saat Lusi mengeluarkan kekesalannya dari tadi. “Lihatlah nanti, Lusi. Aku akan membuat perhitungan denganmu,” gumam Boys tersenyum miring.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD