24. Workaholic

1073 Words
Kini Erina tengah membereskan mejanya sendiri, lalu mataya melirik ke arah dua rekan kerjanya yang masih berkutat dengan komputer. Kali ini ia tidak kebagian lembur, sebab pekerjaan yang seharusnya terselesaikan dua hari ke depan sudah ia selesaikan hari ini. Alhasil, Erina pun mempunyai waktu untuk memanjakan diri berjalan-jalan mengelilingi mal. Hari ini ia memang sengaja mengajak Lusi untuk menemani dirinya berjalan mengelilingi mal, lalu barulah mereka berdua kembali ke rumah. Walaupun tidak ada yang mau dibeli, tetapi Erina cukup suntuk untuk kembali ke asrama lebih awal daripada biasanya. Karena teman-teman seasramanya pasti masih memiliki kelas hingga malam hari. “Erina! Aku tunggu di lobi, ya?” Lusi menyembulkan kepalanya sembari menatap Erina yang masih memasukkan barang-barangnya ke dalam loker. “Iya, aku akan menyusul!” balas Erina sembari menatap Lusi sesaat, lalu kembali memasukkan laptop kerjanya ke dalam laci loker. Tak lupa ia menguncinya juga, agar tidak ada tangan-tangan jahil yang mengambilnya. Lalu, Erina pun melenggang pergi sembari memakai tas selempangnya yang berwarna putih. Hari ini ia sengaja tidak membawa ransel, karena sesuai prediksinya tadi. Pekerjaan hari ini tidak akan sampai lama, sebab ia telah mengerjakannya semalaman penuh. Sesampainya di lobi, ia pun melihat Lusi tengah berbincang dengan resepsionis yang sepertinya saling mengenal. Padahal selama bekerja di sini Erina tidak kenal siapapun, selain rekan seruangannya dan Lusi yang awalnya menjadi partner dirinya ketika kunjungan penulis. Namun, Lusi dimutasi oleh Wang Junkai untuk pindah menjadi non-fiksi. Alhasil, mereka berdua pun tidak lagi bersama. “Sudah, Na?” tanya Lusi membalikkan tubuhnya dan tersenyum melihat Erina yang sudah rapi. “Sudah. Aku hanya membereskan beberapa pelaratan saja,” jawab Erina membalas senyuman Lusi senang. Lusi pun kembali menghadap resepsionis yan ber-name tag Xiao Yu. “Aku pamit, Yu.” Xiao Yu mengangguk pelan dan menatap Erina ramah. Keduanya pun melenggang pergi meninggalkan perusahaan. Hari ini mereka akan menggunakan bus, tentu saja agar lebih cepat sampai daripada kereta bawah tanah yang harus berjalan lebih jauh lagi untuk ke sana. Tak lama kemudian, bus pun datang dan keduanya langsung naik sembari men-scan  kode QR dari salah satu aplikasi penyimpan uang. Setelah itu, Erina pun memutuskan untuk menduduki bangku kosong yang kebetulan tersisa dua di sana. Kemudian, keduanya pun meninggalkan halte kantor menuju salah satu mal terkenal di Kota Shanghai. Sepanjang perjalanan Erina dan Lusi hanya berbincang ringan sembari berpose ria untuk menjadi timeline di aplikasi Weibo. Terlihat dari antusias Lusi yang berkali-kali membidik wajahnya dengan berbagai pose dan senyuman lucu. Bahkan Erina yang melihatnya pun tertawa pelan. Tanpa sadar mereka pun telah sampai salah satu halte pemberhentian menuju mal. Keduanya pun turun, lalu menatap sekitar yang cukup ramai. “Kita ingin mencari apa di sana?” tanya Lusi sembari menunjuk bangunan yang supermegah bernama mal. “Apa saja. Ayo!” jawab Erina ringan, lalu memeluk lengan Lusi erat sembari membawa gadis itu agar mempercepat langkah kakinya. Berjalan-jalan mengelilingi mal adalah hal yang paling disukai Erina, walaupun ia sama sekali tidak berniat membeli sesuatu di sini, tetapi hanya untuk refreshing otak sangat direkomendasikan. Karena di sini tidak seramai biasanya, membuat Erina dapat dengan leluasa melihat keadaan di sekitarnya. Lalu, pandangan Erina jatuh pada spanduk yang terpasang di tengah-tengah gedung mal tersebut. Di sana bertuliskan salah satu film yang sedang tayang hari ini. “Lusi, apa sebaiknya kita menonton? Lihatlah, di sana ada spanduk film yang menarik,” ucap Erina membuat Lusi mengalihkan perhatiannya dari jejeran gantungan kunci. “Benar katamu, Na. Aku jadi penasaran.” “Kalau begitu, ayo kita menonton. Lagi pula hari ini masih siang, kalau pulang cepat pun rasanya tidak bekerja.” “Baiklah. Kita menonton,” putus Lusi membuat Erina menatap dirinya berbinar-binar, lalu mulai berlari kecil menghampiri eskalator yang mulai merangkak naik. Sesampainya di lantai paling atas, Erina pun langsung mengajak Lusi masuk ke dalam. Dan ternyata, antrian di sana cukup panjang. Bahkan pembelian tiket yang biasanya hanya dua baris memanjang, kini berjumlah lima, dan semuanya sama-sama penuh. Terdengar helaan napas dari Lusi melihat betapa ramainya hari ini. Ia ingin menolak ajakan Erina, tetapi ia juga cukup penasaran dengan film yang terpajang tadi. Apalagi dirinya sempat melihat sebuah trailer dari salah satu layar televisi tepat di belakang sang penjaga tiket. Di sana memang ada beberapa film yang sedang tayang, tetapi pilihannya jatuh pada film tadi. “Lusi, bagaimana ini? Ternyata dugaan kita salah. Kalau ramai seperti ini kita bisa kebagian tiket malam,” tanya Erina dengan raut wajah kecewa. “Tidak apa-apa, aku temani kamu sampai malam. Lagi pula pekerjaanku minggu ini sudah selesai, tinggal bertemu dengan para penulis untuk menanyakan open po dan selebihnya sudah kuatur sejak kemarin,” jawab Lusi tersenyum tipis. Sejujurnya, ia memang benar-benar tidak mempunyai pekerjaan lagi minggu ini, kecuali ada sebuah naskah yang tiba-tiba datang entah dari mana. “Benarkah!? Kamu tidak berbohong hanya untuk menenangkanku, bukan?” Erina menatap penuh selidik pada Lusi yang menggeleng santai, lalu mulai mengikuti antrian yang ia rasa cukup pendek daripada lainnya. “Untuk apa aku berbohong hanya untuk menyenangkanmu, Erina. Kamu tahu sendiri kalau minat baca non fiksi hanya segelintir orang, dan yang harus dipertanyakan itu kamu. Apakah besok tidak ada pekerjaan sampai begitu tenangnya menonton jam malam.” Lusi melirik Erina yang tersenyum lebar. Diam-diam ia tersenyum geli melihat ekspresi temannya itu. “Sudahlah. Pekerjaanku baru saja hari ini selesai, dan besok aku waktunya bersantai. Bahkan aku berencana kalau besok akan meminta cuti, karena pekerjaanku yang membosankan itu sudah habis,” balas Erina tersenyum pongah, lalu merogoh kantung celana jeans-nya untuk meraih ikat rambut berwarna merah, karena ia mulai terasa gerah dengan rambut yang menjuntai ke bawah. “Ya, ya, seorang penggila kerja seperti kamu itu mustahil kalau pekerjaan tidak selesai dalam waktu singkat,” gumam Lusi malas, namun masih terdengar di telinga Erina. Sedangkan Erina hanya tersenyum geli dan mulai merapikan rambutnya yang mulai tidak beraturan. Namun, masih terasa lembut di tangannya. Sebab, hari ini ia memang sengaja tidak keramas, bahkan sudah dari hari kemarin. Mungkin dari penyebab inilah rambutnya menjadi sedikit kusut dan tidak beraturan. Lusi yang melihat Erina tidak kunjung menyelesaikan kuncirannya pun memutar bola mata malas, lalu berkata, “Apa kamu tidak membawa sisir sampai harus seperti itu?” Erina mengangkat kepanya dan meringis pelan melihat wajah kesal Lusi. Temannya itu memang sangat membenci ketidakrapian dalam dirinya. Akan tetapi, baru saja Erina hendak memasukkan segenggam rambutnya ke dalam ikatan rambut tiba-tiba ada sebuah tangan besar yang menahannya. Bahkan Lusi yang berada di hadapannya Erina pun mengangkat alis kanannya bingung. “Bolehkah saya bantu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD