8. Tetangga Kos

2094 Words
Embun yang menetes dari ujung dedaunan, menambah keasrian alam Ibu pertiwi. Kicau burung yang terdengar merdu, menjadi awal memulai hari. Menghirup udara sejuk menjadi suatu kenikmatan tersendiri yang tidak pernah bisa digantikan oleh apa pun kecuali mengingat betapa besar Keagungan Tuhan. Sinar mentari pagi menyelusup setiap celah dedaunan. Menghangatkan bumi setelah semalaman diterpa udara dingin. Wajah-wajah penuh harapan menjadi saksi betapa besar nikmat yang Tuhan berikan. *** Bambang meminta izin untuk menyimpan jaket merah kesayangannya ke dalam tenda, sedangkan semua peserta masih melanjutkan olah raga pagi bersama panitia. Langkah Bambang terhenti seketika ia menyadari ada seseorang yang duduk dalam sepi di tepi danau. Kebetulan tenda kelompok Bambang berada di ujung sendiri. Ketika Bambang melangkah dan menoleh ke arah danau, terlihat Medusa sedang menyendiri. Bambang merasa ada suatu masalah yang terjadi dengan Medusa. Ia yang penasaran berbelok arah dan berjalan menuju belakang tenda, hanya untuk melihat Medusa. Sinar mentari pagi yang hangat, menerpa wajah manis Medusa. Sorot mata yang kosong seakan menerawang jauh ke arah perbukitan. Entah apa yang ada dalam pikiran dan hatinya saat ini. Namun satu yang pasti, sikap Medusa yang dingin bukan tanpa alasan. Hal itu semakin membuat Bambang penasaran dan ingin mengetahui pasti, apa yang sedang ia alami. Bambang mematung memandang Medusa dari belakang tenda yang tidak jauh dari tempat Medusa duduk saat ini. Seketika Bambang terkejut saat Medusa tidak sengaja menoleh ke arahnya. “Ngapain lu lihat-lihat gue?” Rona wajah Medusa langsung berubah kembali dingin dan judes. “Eh ... Enggak! Siapa yang lihatin kamu?” Bambang merasa tertangkap basah sedang menatap Medusa. Dirinya beringsut berusaha menepis tuduhan Medusa. Padahal jelas-jelas hanya ada Bambang dan Medusa di sana. “Udah nggak usah ngelak! Punya dendam apa sih lu?” Medusa langsung menyambar ucapan Bambang. “Idih ... dendam apaan? Jangan GR deh! Saya ini mau naruh jaket! Kebetulan lewat! Nggak ada lihatin kamu!” Bambang masih mengelak. Mendengar keributan, beberapa peserta menghampiri suara ribut-ribut itu. Jae yang serba ingin mengetahui informasi, menjadi orang yang pertama tiba di sana. Sungguh mengejutkan, lagi dan lagi Jae mendapati Bambang bertengkar dengan Medusa. Kemudian beberapa peserta dan panitia lain ikut menghampiri kegaduhan yang dilakukan mereka berdua. Adu mulut antara Bambang dan Medusa sulit dikendalikan. Emosi yang memuncak membuat keduanya tidak ada yang mau mengalah. Bambang yang mengelak kenyataan, Medusa yang berlebihan menyikapi kelakuan Bambang. Memang sebenarnya ada perasaan lain dalam hati mereka. Namun mereka berkeras menepis hal itu. Sehingga jika mereka bertemu seakan bagai Tom adn Jerry yang selalu membuat keributan atas pertengkaran mereka. “Awas kalo macam-macam sama gue!” Medusa mengancam. “Eh, Mbak! Jangankan macam-macam ... satu macam aja saya Emoh! Ogah! Sorry!” Bambang lagi-lagi menepis. “Apa maksudnya?” Medusa masih menatap bambang dengan sinis. “Udah-udah! Kagaknuseh ribut-ribut!” Jae berusaha melerai. “Maksudnya ... Aku ora sudi! Bye!” Bambang menatap Medusa dengan sorot mata yang lebih tajam bagai kilatan elang. Seketika Medusa tersadar dirinya terluka, setelah Bambang melangkah pergi dari hadapannya. “Apa? Astaga ... kenapa perasaan ini sakit, setelah dia menatap seperti itu?” Medusa mencoba menepis perasaannya yang terluka karena perlakuan Bambang. Bambang melangkah pergi meninggalkan Medusa. Ia merass sangat emosi dibuatnya. “Bambang! Berapa kali lu berantem mulu ama Medusa? Ati-ati loh! Bisa-bisa jadi demen ntar!” Jae kembali mengingatkan tentang hal itu. “Pait ... pait ... pait ... amit-amit jabang bayi! Bisa-bisa cepet tua kalo dekat dia!” Bambang masih kesal dengan yang baru saja terjadi. “Sudahlah, Bang! Jangan kau terlalu membencinya! Pepatah mengatakan, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan, karena bisa saja rasa benci itu akan berubah menjadi cinta.” Sam berusaha menenangkan sahabatnya. “Astagfirullah ... iya udah, aku nggak begitu benci sama dia! Cuma sebel aja! Aku nggak mau rasa benci ini bakal jadi boomerang!” Bambang tidak mau kalau cinta datang setelah benci menghilang. Sehingga ia berusaha bersikap biasa pada Medusa. Sebenarnya Medusa bukanlah tipe perempuan idaman Bambang. Begitu pula sebaliknya, Medusa tidak suka dengan cowok somplak model Bambang. Hanya saja, perasaan benci yang berlebihan, justru membuka tabir perasaan yang lainnya. *** Kegiatan malam keakraban berlangsung lancar tanpa halangan. Walau tetap saja ada kerikil yang mengganjal antara Bambang dan Medusa. Kesan pertama begitu menggoda selanjutnya bagai Tom and Jerry. Hari terus berganti bagai waktu berjalan tanpa bisa berhenti. Satu bulan berlalu terasa begitu membelenggu Bambang yang berada di dalam perantauan. Seperti pagi ini, seperti biasa Bambang menelepon kedua orang tuanya sekadar memberi kabar dan melepas rindu walau hanya mendengar suara mereka. Samini dan Samino merasa sangat merindukan anak semata wayang mereka. Namun, Bambang akan pulang ke desa jika liburan semester tiba. Hanya doa yang selalu mereka berikan untuk orang-orang yang tersayang. *** Gerimis menyapa kota Jakarta pagi ini. Bambang mengurungkan niatnya untuk memanaskan motornya. Ia berniat jalan kaki untuk pergi ke kampus bersama Sam. Suara gelas beradu dengan sendok menjadi teman dalam kesunyian. Aroma kopi yang selalu menceriakan hari, seakan menjadi penyemangat tuk memulai hari. “Jakarta diguyur hujan ... kerasa banget sejuknya ... paling cocok nyeruput kopi ... Aaahhh ... mantap.” Bambang duduk di depan meja belajarnya sembari memainkan ponsel miliknya untuk memeriksa chat grup kelasnya. Sayup-sayup terdengar suara Engkong Sarmili. Kedengarannya Engkong mengingatkan para mahasiswa untuk segera membayar uang sewa kos. Pria yang sudah berumur ini sangat giat mengingatkan semua yang menyewa rumah atau kos untuk segera membayar biaya sewa tepat waktu. Engkong memiliki ciri khas mengenakan celana panjang, kaos polo, dan peci putih. “Aduh ... suara Si Engkong?” Bambang merasa sebentar lagi Engkong akan menyambangi dirinya juga. Baru saja Bambang berbicara dalam hati, Engkong susah sampai di depan pintu kamar kosnya. “Assalamualaikum ....” Engkong dengan tegas mengucapkan salam. “Wa’ alaikumsalam ... eh, Engkong.” Bambang tersenyum manis sembari mencium tangan Engkong Sarmili, walau hatinya galau karena belum membayar sewa kos. “Nah begini jadi anak mude! Punya sopan santun aman orang yang lebih tua ... tapi, lu jangan lupe! Tanggal lima, kudu bayar sewa kos ... Gua yakin, kalo elu bakal bayar tepat waktu!” Engkong Sarmili yakin jika Bambang adalah pemuda yang baik. “Iya, Engkong ... Insya Allah saya bayar tepat waktu alias on time.” Bambang tersenyum penuh ramah. “Nah, bagus ni begini! Gua demen nih! Ye udeh lanjutin ngopinye! Gua mau keliling lagi!” Engkong Sarmili kembali keliling mengingatkan mereka untuk membayar sewa kos tepat waktu. Setelah Engkong melangkah pergi dari depan kamar kosnya, Bambang menundukkan kepalanya. Ada perasaan galau yang terus menggelayut dalam hati Bambang. Ia merasa tidak sampai hati jika terus menerus meminta uang pada kedua orang tuanya yang hanya bekerja sebagai buruh tani di desa. Bayarannya mengandalkan hasil panen sawah garapan mereka. Biasanya separuh bagian dari hasil menjual secara borongan atau lebih dikenal dengan istilah “tebas pari”. Namun hama tikus dan cuaca sangat memengaruhi hasil panen mereka. Pendapatan yang tidak seberapa dari kedua orang tua Bambang, digunakan untuk kebutuhan sehari-hari serta biaya untuk kuliah Bambang. Sehingga Bambang merasa harus mencari pekerjaan paruh waktu agar bisa meringankan beban kedua orang tuanya untuk membiayai kebutuhan Bambang selama kuliah di Jakarta. *** Siang ini Engkong Sarmili terlihat sangat berbunga-bunga. Hal itu disadari oleh Nyak Rohaye yang merupakan ibu dari Jaelani. Ketika Nyak Rohaye mengantar satu rantang berisi makanan ke rumah Engkong Sarmili, terlihat ada dua orang tamu di rumah Engkong. “Assalamualaikum ... Babe ....” Nyak Rohaye melangkah masuk. “Wa’ alaikumsalam ....” Engkong Sarmili menjawab salam. Nyak Rohaye tersenyum menyambut dua tamu itu. Mereka saling bersalaman dan berkenalan. Ternyata dua orang itu akan menyewa salah satu rumah Engkong Sarmili yang berada tidak jauh dari sana. Lebih tepatnya rumah Engkong yang akan disewa, bersebelahan dengan rumah kos yang Bambang sewa. Nyak Rohaye dan Engkong Sarmili mngantar calon penyewa melihat rumah yang akan mereka sewa. Mereka berbincang sembari melihat rumah itu. Rumah sederhana dengan dua kamar tidur dan desain kekinian, memikat hati calon penyewa. “Nah, ini rumahnye! Cakep pan?” Emgkong berusaha memberi pelayanan bagus untuk calon penyewa rumahnya. “Rumahnya rapi, dekat jalan, air PAM juga ade ... warung juga deket, deket pula ama jalan raya.” Rohaye ikut menawarkan. “Iya, Bu ... Cuma, harganya apa bisa geser dikit, Be?” pinta wanita calon penyewa itu. “Ini udeh termasuk murah, Mpok! Bilang aje ama suaminye ... suruh ikut kemari biar lebih mantap buat nyewa dimari ... ini harge udeh paling top gua tawarin ama Mpok!” Engkong Sarmili memang jago dalam hal pemasaran. “Maaf, Be! Saya single parrents,” jawab wnita itu. “Apaan ntu?” bisik Engkong pada Rohaye. “Janda, Be!” Rohaye menjawab dengan berbisik pula. “Astagfirullah ... bukan maksud ... ye udeh harganye gua turunin dikit, ye! Gua turunin dua ratus ribu sebulan, pegimane? Cocok ape kagak Mpok?” Engkong Sarmili tersenyum berharap wanita itu menyetujuinya. “Iya, Be! Saya cocok, terima kasih Bu Rohaye sama Babe!” Wanita itu sangat berterima kasih. Lusa mereka sudah resmi pindah di sana. Nyak Rohaye sempat bingung dengan sikap ayahnya barusan. Lantaran Engkong Sarmili kehilangan sifat pelit meditnya beberapa saat di depan Bu Desi yang akan mengontrak di rumah milik Babenya. *** Jae, Bambang, dan Sam sedang duduk bersantai di teras rumah Jae. Mereka beristirahat setelah pulang kuliah. Tak lama kemudian Nyak Rohaye datang membawakan es teh manis sebagai pelepas dahaga mereka bersama beberapa camilan untuk mereka. Nyak Rohaye hanya memiliki satu anak yaitu Jaelani. Sehingga Jaelani adalah cucu Engkong Sarmili satu-satunya. Hanya saja sikap pelit bin medit Engkong Sarmili membuat Jaelani dan Engkongnya seperti Bambang dan Medusa yang selalu berselisih. “Ayo! Diminum dulu es teh manisnye!” Nyak Rohaye senang jika Jaelani memiliki banyak teman. “Makasih, Nyak!” jawab Bambang dan Sam. “Oh ... iye, Jae! Rumah Engkong yang deket ama kosan cowok ntu, udeh ade yang mau nyewa.” Nyak Rohaye merasa senang karena kontrakan Babenya laku. “Alhamdulillah ... tapi, Nyak! Tetep aje Engkong pelit bin medit.” Jae berbincang sambil meminum es teh manis buatan ibunya. “Eh ... tapi, tadi tumben-tumbenan Engkong elu mau ngasih potongan harga sewa ama calon penyewa yang baru.” Nyak Rohaye menceritakan hal itu pada mereka. “Emang siape, Nyak? Kok tumben Si Engkong baek bener?” Jaelani penasaran. “Namanye Bu Desi sama anaknya cewek, namanye ... Saraswati.” “Uhukk ... uhukk ....” jawaban Nyak Rohaye seketika membuat Bambang tersedak es teh manis yang sedang ia minum. “Bang? Hati-hati kau!” Sam berusaha menepuk punggung Bambang yang masih batuk. “Lu kenape sih? Nih minum dulu!” Jae menyodorka segelas air putih. “Aduh, Tong! Ati-ati minumnye! Emang lu kenape ama nama Saraswati?” Nyak Rohaye penasaran hingga mengernyitkan dahinya. “ Ntu sih, Nyak! Si Bambang sensitif ama nama Saras ... soalnye di kampus ade kakak tingkat yang namanye Saras ntu ribut mulu ama Si Bambang.” Jaelani menjelaskan pada ibunya. “Enggak juga, Nyak! Kebetulan aja, barusan kesedak gitu, Nyak!” Bambang berusaha mengelak lagi. “Kali aje, bukan Saras kakak kelas kita, alias Medusa.” Jaelani menatap Bambang. “Tapi entah mengapa, feeling aku mengatakan, bahwa orang yang mengontrak di rumah kontrakan Engkong yaitu Si Medusa.” Sam merasakan sesuatu yang berbeda. “Emangnya dunia selebar daun kelor, Sam? Masa iya, udah satu jurusan sama dia, eh ... kudu tetanggaan juga?” Bambang merasa sangat galau. “Ciyeee ... galau nih yeee ....” Jaelani mulai meledek Bambang. “Amit-amit jabang bayi bocah kaget!” Bambang kembali mengucapkan mantra andalannya. “Eh ... kagak boleh begitu, Bambang! Bise-bise nti lu berbalik demen ama dia loh!” Nyak Rohaye mengingatkan Bambang. “Astagfirullah ... iya ... maaf, Nyak! Bukan maksud saya begitu, tapi memang dia galak banget, Nyak! Sentimen sama saya.” Bambang mencoba menjelaskan. “Nyak jadi pengin tahu yang namanya Medusa ntu, Jae!” Nyak Rohaye malah penasaran pada Medusa gara-gara cerita Bambang. Tak lama berselang, Engkong Sarmili datang ke rumah anaknya. Ia memerintah Jaelani untuk mengecek rumah yang sudah disewa itu. Apakah pemiliknya sudah mulai berbenah atau belum. Sebagai cucu yang baik, Jae langsung melaksanakan perintah Engkongnya. Sam dan Bambang pun sekalian berpamitan, karena mereka satu arah ke tempat kos dan rumah kontrakan Engkong. *** Mereka bertiga sedang berjalan sembari berbincang asyik menuju rumah kontrakan Engkong yang bersebelahan dengan rumah kos anak cowok. Jarak dari rumah Jaelani hanya sekitar dua ratus meter. Bambang dan Sam mengantar Jaelani menemui Ibu Desi yang mengontrak di salah satu rumah Engkong Sarmili. Jaelani mencurigai sesuatu dalam benaknya. Ia merasa kalau rumah kontrakan Engkong ada kaitannya dengan Medusa. Namun dia tidak bisa menebak-nebak apa yang akan terjadi setelah mereka sampai di sana. Walau dalam hatinya memiliki firasat yang mengarah kepada Medusa. *** Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD