Ini adalah hari ulang tahunnya. Di mana seharusnya, seseorang itu, hadir di hadapannya saat ini. Menampilkan senyum yang mampu membuatnya tertawa, maupun tawa yang sanggup menarik sudut bibirnya.
Di mana seharusnya mereka menghabiskan waktu bersama tanpa mengenal detik yang terus berputar berganti dengan menit, jam, maupun hari.
Di mana seharusnya, ia bahagia saat ini.
Axela mengadahkan kepalanya saat buliran air mata tengah mendesak dirinya terlihat semakin nelangsa. Ia menyandarkan punggungnya pada pilar di dekat sebuah gudang sekolah. Entah apa yang dilakukannya di sini. Ia hanya ingin mencari tempat di mana tak ada seorang-pun yang berniat mengganggunya.
Namun, sepertinya itu tak berlaku lagi.
Axela mengernyit dalam saat telinganya menangkap suara-suara aneh penuh nafsu serta kemaksiatan yang berasal dari dalam gudang. Oh, sungguh? Ada apa dengan murid-murid di sekolah ini?!
“b******k,” umpatnya kesal.
Cewek itu membuka sebelah sepatunya asal, lantas melempar dengan kuat pintu gudang itu menggunakan sepatunya.
Axela berlalu begitu saja tanpa memperdulikan benda malang itu. Ia tidak menyadari, sepasang mata hitam tengah memperhatikannya dengan tatapan tak terbaca. Namun tak dapat dipungkiri, sudut bibirnya tertarik samar melihat cewek itu.
Orion membungkuk dalam, lantas memungut sepatu converse yang boleh dikatakan tidak layak pakai tersebut. Diamatinya seraya menimang-nimang benda itu tanpa mengurungkan senyumannya. Tanpa Axela ketahui, Orion telah terhibur karenanya.
Inikah yang dikatakan Alex mengenai sifat asli cewek itu? Bertindak tanpa berpikir dua kali, membuat laki-laki itu terhibur namun tak urung membuatnya cemas! Ya. Orion merasakannya.
Tanpa diketahui, saat tekad yang telah membulat untuk melindungi Axela, Orion tak pernah absen untuk mengamati setiap langkah cewek itu. Bahkan tanpa ia sadari, tak jarang sudut bibirnya tertarik membentuk seulas senyum melihat cewek itu berdecak kesal, mengerutkan dahi, ataupun mencibir.
Walaupun dirinya merasa tahu, masih ada serpihan tajam yang mengganjal hati cewek itu. Membuat dinding tak kasat mata yang seolah melarangnya masuk dalam dunia Axela.
Oh, sungguh! Bila ia mengetahui masalah yang cewek itu alami, Orion akan membantunya. Dengan cara apa pun! Tapi apa yang diketahuinya? Bahkan cewek itu selalu menjauh di saat ia telah merasakan bahwa Axela adalah masa lalu mendiang kakaknya. Masa depannya.
Hanya satu yang diinginkan Orion dalam permohonan pertamanya di hari ulang tahun Alex kini, seolah mewakilkan harapan dari mendiang kakaknya...
Ia ingin semua beban cewek itu sirna. Ia tidak peduli cewek itu akan menjadi seperti dahulu ataupun tetap menjadi seperti ini. Karena kini, cewek itu adalah miliknya. Ya. Ia akan menjaga serta melindungi cewek itu dengan penuh rasa yang tak pernah dikenal sebelumnya, bukan hanya karena janjinya pada Alex.
***
“Astaga! Ke mana sepatu lo? Kenapa telanjang gitu?!” Gladys memekik begitu mendapati kedatangan Axela yang tanpa peduli dengan penampilannya.
“Gue pakai baju,” sergah cewek itu santai.
“Terus, lo ke sini naik angkutan umum sambal nyeker begitu?” Molly membelalakan kedua mata bundarnya.
“Gue nggak se-i***t itu.” Axela memutar bola matanya. “Gue suruh bawahan untuk jemput di sana,” jelasnya yang membuat Gladys tercengang.
“Demi ya, gila lo! Kalau Tiffany tahu bagaimana?!” Gladys semakin memekik.
Axela berdecak akibat pekikan Gladys yang memekakkan pendengarannya. “Cepat atau lambat dia juga akan tahu,” jelasnya acuh.
Entah, ia sudah tidak peduli lagi. Persetan dengan semua rencananya! Ia ingin segera menuntaskan semuanya.
Ya, mungkin benar, sejak Orion terasa berpihak padanya entah iblis apa yang merasuki jiwanya untuk segera menguak seluruhnya. Toh, bukankah kini dirinya sudah mulai terlihat berada diatas? Dan sudah bukan hal yang harus disembunyikan lagi bukan? Cepat atau lambat, cewek b***t berotak kosong itu akan atau bahkan harus mengetahui “siapa” dirinya sebenarnya.
Ya, sebelum api neraka monster berparas manusia itu diluapkan untuk kehidupannya. Membuat dirinya kembali hancur untuk sekian kalinya.
“Jadi kita nggak perlu beraksi lagi, nih?” Molly menyengir lebar menatap Axela yang tersenyum tipis padanya.
“Perlu. Gue masih membutuhkan kalian—”
“Tunggu, Xel. Kita nggak akan mau membantu lo untuk rencana yang terakhir ini, sebelum…” Diana menggantungkan kalimatnya melirik Gladys yang mengangguk mantap seakan meminta persetujuannya.
“Sebelum apa?” Axela mengangkat sebelah alisnya.
“Veniza Ravina di hadapan kami mengakui seluruhnya.”
***
Veniza menduduki bangku taman yang tersedia, menatap danau di hadapannya seraya mengayunkan kedua kakinya. Matanya menyapu pemandangan danau yang begitu asri, namun tak dapat dipungkiri, buliran kristal bening di pelupuk matanya mendesak untuk keluar.
Sungguh, ia bahagia! Bukankah senang rasanya melihat sahabatmu tertawa lepas seakan melupakan bebannya? Ya. Seperti yang dialaminya saat ini.
Tiffany nampak tengah tertawa lepas dengan Alex yang sesekali mengusap kepala cewek itu. Ya, keduanya tengah bermain diatas permukaan danau, menaiki kapal mini bermesin yang dikendarai Alex. Melihat kebahagiaan keduanya, bukankah seharusnya ia tertawa?
Sungguh, ia tidak kuasa. Berulang kali ia mencoba mengerjap-ngerjapkan matanya upaya untuk tak menjatuhkan air mata itu, namun kenyataan malah semakin mengumpulkan kesedihan yang hanya mampu terbayar dengan jatuhnya air mata.
Alex Marvando Revian…
Ia mencintai laki-laki itu, lebih dari segalanya. Namun jika memang laki-laki itu hadir dalam hidupnya bukan untuk dirinya, ia akan menerimanya. Berusaha menerima bahwa laki-laki itu mencintai sahabat kecilnya, Tiffany.
***
“Kenapa kamu menghilang, Za?” Alex menangkup wajah Veniza seraya menatap kedua mata berwarna cokelat terang di hadapannya. Kedua mata yang selalu membuat debaran di jantungnya berpacu lebih cepat.
“Kamu sibuk dengan Tiffany,” sungutnya. Sungguh, ia bukanlah tipikal perempuan yang dapat menyembunyikan kebenarannya.
Ia memang pandai berpura-pura, namun ia tidak dapat berbohong.
Alex tersenyum hangat, “Cemburu?”
Veniza menggeleng lemah. Direngkuhnya tubuh cewek itu dalam dekapnya. “Maaf, Za. Kamu tahu? Aku hanya menganggapnya sebagai adik. Sejak dulu aku menginginkan adik perempuan, dan yang ku pilih adalah Tiffany. Dia cewek yang manis.” Karena kamu adalah pilihanku. Sebagai cewekku. Lanjut batinnya.
See? Bahkan Alex tak pernah mengatakan bahwa ia mencintai Veniza, membuat cewek itu semakin ragu dengan perasaan laki-laki yang tengah mendekap tubuhnya erat.
Bukankah tidak perlu dijelaskan? Seharusnya cewek itu mengerti, bagaimana sikap Alex padanya. Seharusnya Veniza tak perlu meragukannya. Karena yang dicintainya hanyalah cewek itu. Siapa pun mengetahui kalimat itu. Penuturan yang secara tak langsung mengatakan bahwa Tiffany hanya dianggap seperti seorang adik baginya!
Dan tanpa mereka sadari, sepasang mata cokelat tengah menatap punggung cewek itu tajam seolah menembus dan dapat membunuh pemilik jiwa itu.
***
“Nicaaa!”
“Iya Cifa?”
“Mau menolongku untuk yang satu ini? Huh, aku capek nunggunya!” Terdengar dengusan kesal dari sebrang.
Veniza terkekeh mendengar dengusan sahabatnya dari loud-speaker ponsel diatas nakas. “Memangnya kamu di mana sekarang?”
“Aku habis membelikan sesuatu untukmu! Cepatlah menjemputku, bawaanku sangat berat, Nicaaa!”
“Ya, baiklah. Aku panasi motor—”
“Oh no, jangan naik motor, Ca! Kamu ambil saja kunci mobilku di ruang tamu. Lagi nggak ada siapa pun, dan sepertinya aku lupa mengunci pintu rumah.”
Veniza tertawa kecil. “Kamu ini, kalau ada maling bagaimana?”
“Ya, kan ada kamu,” sahut Tiffany, keduanya tergelak.
“Okay, aku kesana Cif. Kirimkan alamatnya lewat pesan ya? Bye.”
“Goodbye.”
***
Tiffany membidikkan kameranya ke arah kedua orang dihalaman rumahnya melewati jendela tanpa diketahui oleh siapa pun.
Tepat! Ia berbohong.
Ia tidak berada diluar rumah. Sekarang dirinya tengah berada dalam kamarnya di lantai atas. Menyunggingkan seringai mengerikan ke arah dua orang di halaman depan rumahnya tanpa mereka sadari.
Sebentar lagi, ucapkan selamat tinggal teman kecil. Licik batinnya.
Apa yang telah dilakukannya? Tentu saja merusaki mesin mobil miliknya. Membuat cewek lugu itu masuk kedalam perangkapnya, dan kemudian sosok itu akan menghilang.
Ia memang sengaja merencanakan hal ini di saat laki-laki yang mereka cintai tengah berkunjung ke rumah sahabat kecilnya. Sesuai dengan rencananya, ia akan berada di sisi laki-laki itu di saat-saat terakhir Veniza. Menghilangkan batu kristal yang selama ini menjadi dasar penghalang atas kebahagiaannya, membuat dirinya hanya terlihat seperti batu usang di sisinya.
Lantas? Oh tentu saja mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Semua yang cewek itu miliki!
Dengan sebuah pena, ia menggoreskan tinta itu di balik foto yang telah tercetak. Seringai licik mulai mengukir wajah cantiknya, menampakan bayang sang iblis yang tengah merasuki relung jiwanya.
Hari di mana lo akan berpisah dengan dia untuk selamanya. Gue benci saat mendapat penolakan si b******k Alex. Dia menolak gue, lo tau? Karena semua ini adalah Bullshit! Kami seperti itu karena Alex nggak lebih menganggap gue sebagai seorang Adik! Dan itu semua karena lo…
Veniza Ravina!
***
“Biar aku saja. Kamu belum mempunyai SIM, kan?” Alex mengambil alih kursi kemudi, membuat Veniza mengernyit dalam. “Lagipula, bukankah kamu harus mengerjakan soal-soal menjelang ujian akhir? Mau merasakan jadi murid SMA biar cepat menyusulku, kan? Jadi biarkan aku saja yang menjemput Tiffany.”
Alex menepuk puncak kepala cewek itu. “ini bukan karena kamu ingin bertemu Tiffany kan, Lex?” Batinnya cemas, namun tak urung ia mengangguk dan tersenyum tipis menyetujui laki-laki itu.
Veniza melambaikan tangannya ragu. Entah apa yang mengganjal hatinya saat mobil sedan itu berlalu dengan kecepatan cukup tinggi dari pandangannya. Mungkinkah karena kecemasannya yang semakin menyelimuti hati cewek itu akan Alex juga Tiffany, atau mungkin…
DUAGH!
Veniza meringis samar mendengar suara benturan yang terdengar keras dari kejauhan, begitu memekakan telinga siapa pun yang mendengarnya. Ia memandangi heran orang-orang komplek perumahannya yang keluar dari kediamannya dengan begitu panik. Berlalu-lalang seraya berlari ke arah di mana sebuah mobil sedan yang berupa persis seperti milik Tiffany, sudah tak berbentuk pada bagian depannya akibat menghantam sebuah tiang listrik yang menjulang tinggi diujung perumahan itu.
Percikkan api yang berasal dari mesin mobil itu mulai menyatu, membuat kobaran api semakin sulit untuk di hentikan. Membuat waktu seakan mati ketika napasnya memulihkan kembali dirinya dalam kenyataan. Kenyataan yang membuat dirinya seolah mati dan hanya mampu bertahan hidup pada sebuah bayangan.
Bayangan dirinya yang begitu semu menemani.
***
Ketiganya tertegun. Penuturan cerita Axela yang mengalir tanpa hambatan membuat atmosfer dalam kamar Diana semakin memanas, namun yang tercipta seolah tinggalah kebekuan.
“Sejak saat itu, gue berusaha untuk menjadi lebih hebat dari semua orang yang pernah gue kenal. Agar gue bisa membayar berapa pun yang diminta seseorang untuk mencari informasi tentang kepergiannya,” jelas Axela, pilu.
“Dan saat gue mengetahui dalang di balik semua ini adalah teman kecil gue sendiri, sejak saat itu-pun gue nggak percaya dengan sebuah pertemanan. Dan mulai saat itu gue bertekad untuk membalaskan semuanya.” Axela membasahi bibirnya, “Sekali pun mengubah diri gue sendiri menjadi orang yang nggak gue kenal.”
Gladys menggigit bibirnya, memberanikan diri untuk bertanya sebuah kejanggalan yang masih menghimpit benaknya. “Ng, Xel? Soal mata lo…”
“Ya. Kalian pasti heran kenapa dalam cerita gue sebelumnya, Veniza memiliki mata berwarna cokelat terang?” Axela tersenyum miring seraya beranjak dari posisi duduknya, memandangi pemandangan di luar jendela kamar Diana. Memunggungi ketiga pasang mata yang menatap penuh punggungnya.
Cewek itu memutar tubuhnya seraya menyandarkan punggungnya pada dinding di samping jendela itu. Tersenyum penuh rahasia, seolah berniat mengerjai ketiga sahabatnya agar semakin gemas dengan dirinya.
“Ini adalah mata Alex.”