Orion menatap nisan di hadapannya. Ia bersimpuh dengan jari-jari bertaut dalam. Ya, dirinya kini yakin “siapa” cewek yang harus dilindunginya, sesuai janjinya pada Alex. Walaupun berbagai barang bukti masih dalam genggaman Tiffany, namun hatinya sepenuhnya sudah mengarah pada cewek itu, Axela.
Kalimat cewek itu yang meyakinkannya.
“Gue belum sepenuhnya tau yang sebenarnya, Lex. Tapi gue bersumpah akan menepati janji gue sesuai pesan lo.”
Posisinya yang memunggungi, membuatnya tidak menyadari kedua mata hitam sedang menatapnya lekat. Tidak. Ia belum pergi setelah berbincang dengan seseorang dalam masa lalunya yang kini bersembunyi dengan tenang dibalik gundukan tanah itu. Ia merasakan seseorang mengikutinya sejak berlalu dari rumah Tiffany.
Ya, Axela tahu, Orion mengikutinya. Karena itu ia membiarkan sebuah alasan yang selama ini ditutupinya mengalir begitu saja dari bibirnya.
Sejak ia ketahui siapa Orion sebenarnya, ia yakin cowok itu akan berpihak padanya jika semua kebenaran sudah terkuak, namun bukan untuk saat ini tentunya...
***
Axela menatap kalung dalam genggamannya dengan rasa nyeri di d**a. Tiffany memang bermain secara mulus dan membuat semua kebohongan terlihat seperti fakta sebenarnya.
Seharusnya. Seharusnya kalung itu telah musnah dan menjadi bangkai dalam keikutsertaan terbakarnya mobil yang di kemudikan Alex. Namun apa yang dilihatnya kini? Tiffany memang benar-benar cerdik. Kalung di tangannya masih terlihat sempurna, persis seperti pertama kali Alex memberikan hadiah itu padanya. Seakan Tiffany memang tidak tahu menahu soal kecelakaan itu, seakan kalung itu diberikan Alex untuknya sebelum cowok itu benar-benar pergi.
Brengsek! Umpat batinnya kasar.
Axela tidak dapat menyembunyikan amarah dan kebenciannya untuk cewek itu, mantan sahabatnya yang begitu picik! Cewek cantik yang memiliki rupa bak Dewi Yunani namun mempunyai hati layaknya monster yang ingin menghancurkan titik kelemahannya dengan segala kekuasaan yang dimiliki cewek itu sekarang.
“Benar kan kata gue, Tiffany itu emang nyimpan kalung begituan.” Molly membusungkan dadanya.
“Ada bukti lain selain ini?” tanya Axela tanpa memalingkan tatapannya dari kalung itu.
Diana menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat yang membuat sebelah mata Axela menyipit, curiga. “Lo liat sendiri.”
Axela membukanya perlahan. Dan betapa terkejut dirinya saat mendapati kenyataan itu.
Foto-foto Tiffany dan Alex yang terlihat begitu bahagia. Tidak, ini bukan rekayasa. Bukan ciptaan Photoshop atau aplikasi canggih lain sebagainya, namun ini benar-benar foto nyata cewek itu dengan Alex!
“Coba lo balik fotonya.”
Tanpa menatap Gladys yang menyuruhnya, ia melihat sisi belakang foto tersebut. Berbagai macam tulisan Tiffany akan Alex tertera begitu rapi di sana. Namun pandangannya berhenti pada sebuah foto laki-laki itu bersama dirinya sendiri pada hari di mana kabar buruk itu nyaris membuatnya mati!
Ya, ia masih ingat dengan jelas apa yang dikenakan Alex sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Laki-laki itu memakai kemeja biru laut dan dilapisi dengan jaket kulit hitam. Ia masih mengingat itu.
Axela membalikan fotonya. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan, saat membaca kalimat iblis itu!
Hari di mana lo akan berpisah dengan dia untuk selamanya. Gue benci saat mendapat penolakan si b******k Alex. Dia menolak gue, lo tau? Karena semua ini adalah Bullshit! Kami seperti itu karena Alex nggak lebih menganggap gue sebagai seorang Adik! Dan itu semua karena lo…
Veniza Ravina!
***
“So, jelasin ke kami siapa Axela?”
Gladys bersidekap seraya menatap Axela dengan sebelah alis terangkat.
“Bukan saatnya untuk kalian tahu soal ini!” tukasnya dengan nada tajam.
“Ya, tapi… Veniza itu siapa? Elo, kan?” Gladys mendelik gemas. Ia merasa tertipu dengan topeng sempurna yang di tutupi Axela selama ini.
“Gue Axela. Sekarang Axela Devaza.” Axela membuang pandangannya.
Hey, bukankah mereka adalah teman?
Persetan dengan label itu! Axela tidak sanggup membuka topengnya saat ini. Dinding kasat mata yang sudah mampu menyembunyikan semuanya, tidak boleh dengan gegabah ia buka lantas menghancur begitu saja.
“Ya ter—”
“Nggak sekarang, Dys!” Axela mendelik tajam ke arah Gladys yang tengah memandanginya gusar.
“Ya tapi—”
“Dys, gue yakin Axela nggak mungkin ingkarin janjinya kalau dia pasti ngasih tau ke kita apa alasannya. Benarkan?” Diana menyentuh pundak Gladys lembut.
Axela mengangguk samar. “Gue nggak ada niatan sama sekali untuk membohongi kalian. Ini semua demi kesempurnaan penyamaran ini. Lo tahu? Kalau gue nggak begini, bukankah dengan mudah Tiffany akan menghancurkan gue, detik ini juga?” Bibirnya menipis menatap Gladys yang mulai terlihat tenang.
Gladys menghirup napasnya dalam. “Okay. Nggak masalah. Asal lo jangan kabur dulu sebelum kami tahu alasannya. Dan jangan pernah sembunyi dari kami demi menjaga rahasia lo itu tetap utuh. Ngerti?”
“Kalian bisa pegang omongan gue.” Axela tersenyum miring.
“Okay. Apa lagi yang perlu kami lakukan untuk Tiffany itu, Xel?”
Senyumannya mengembang mendengar pertanyaan Gladys. Ia tahu, di balik sikap jutek cewek itu, terdapat sisi peduli yang mendominan. Ya, ia merasakan “pertemanan” sesungguhnya saat ini. Tidak peduli apa pun yang menghalanginya, teman akan tetap berjalan dan selalu melindungi satu dengan lainnya. Akan selalu mengerti, walaupun rasa penasaran membuncah tinggi. Akan selalu menenangkan, walau kondisi tengah berapi-api.
Ia bohong. Axela tidak mungkin tidak peduli pada mereka. Saat ini mereka yang terpenting.
Axela menggeleng seraya bangkit memandang jendela di hadapannya, “Nope. Hanya tinggal menunggu kapan kebenaran sanggup menghancurkan hidupnya.” Ia kembali menghadap ke arah ketiga temannya, “Dan kita akan menghilangkannya.”
“Ih! Bahasanya serem banget sih, hiyyy!” Molly bergidik.
“Jangan bilang lo mau bunuh dia?” Gladys terbelalak lebar.
Axela tersenyum geli. “Gue nggak se-t***l itu. Kita nggak benar-benar menghilangkannya. Hanya membuat dia merasa harus pergi dari kehidupan gue, kalian, juga…”
“Orion?”
Axela menatap Diana yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
“Gue benar, kan?” Diana terkekeh geli melihat Axela yang mengalihkan pandangan.
“HAH! Untung gue udah move on!” Gladys mengangkat dagunya.
“Ke Daniel, hm?” Axela menaik-turunkan alisnya.
“Ih-ih, kenapa lo jadi kayak dia sih? Ganjen!” Ia mengibaskan rambutnya. “Denger ya, gue nggak suka sama dia! Jelek gitu!”
“Daniel manis kok, Glad.” Molly tertawa puas, sampai poni pagarnya terayun-ayun.
“Ih, apaan lo muji-muji dia? Geez. Lo puji aja noh, Hug-Hug lo!”
“Hihihi, sewot. Cemburu yah?” Molly menunjuk puncak hidung Gladys, membuat semburat merah muda tercipta di pipi cewek itu.
“Ah, apaan sih!”
Gladys menutup wajahnya dengan bantal. Diana dan Molly sampai terbahak dibuatnya. Huh, ya. Setidaknya mereka sudah melupakan topik awal pembicaraannya.
Orion Marvando Revian. Apa lo tahu? Harusnya gue yang berada diposisinya. Cewek itu adalah Veniza Ravina. Masa lalu gue sebelum menjadi Axela Devaza.
Ya, kini dirinya adalah Axela Devaza. Masa depan Orion. Bukan Veniza lagi. Masa lalu Alex. Seharusnya.
***
Tiffany menggigit bibirnya. Ia gelisah mendapati kenyataan kalung dan amplop penting itu hilang! Bagaimana bisa?
Tidak mungkin Orion yang mencurinya, karena cowok itu tetap berada di posisinya. Tidak ada tanda-tanda cowok itu keluar dari kamarnya. Atau mungkin orang lain yang melakukannya? Ya, pasti orang lain. Dan orang itu juga yang menyuruh kawanannya untuk menghabisi para pengawal berbodi besar itu yang berjaga di rumahnya.
Tapi siapa yang berani menentangnya? Atau mungkin cewek itu? Axela mungkin mempunyai kaki-tangan untuk menghabisi semua yang menghalangi untuk menghancurkan dirinya?
Namun, kembali lagi pada kenyataan bahwa bukankah cewek itu hanya cewek biasa? Dari penampilannya, ia tidak terlihat seperti cewek yang mempunyai banyak uang sehingga dapat menghancurkannya secara perlahan seperti ini.
Atau ini hanya kebohongan yang tersembunyi di balik topeng cewek itu?
Tiffany menyipitkan matanya. Ia sudah menduga, cewek itu bukanlah cewek biasa. Dia berani menentang Tiffany di awal kedatangannya. Dia berani menatap dirinya tanpa jeda, dan menampilkan seringai.
Dan… Oh, kedua mata itu.
Tiffany ingat saat pertama kali cewek itu melawannya. Tatapan mata hitam itu begitu tajam dan membuat dirinya seakan terlempar pada masa lalu. Di mana dia sendiri merasa bersalah dengan semua kelicikan yang dibuatnya.
Seharusnya, seseorang itu yang kini sudah pergi dan meninggalkan kenangan menyedihkan! Bukan laki-laki yang pernah singgah dihatinya, namun hanya menganggapnya sebagai adik karena terlalu mencintai p*****r itu!
Namun begitu kepergian-nya, Tiffany tidaklah lagi merasa bersalah karena seseorang itu ternyata lebih hancur. Seakan permata indah yang selama ini membuatnya hanya terlihat seperti batu usang, kini hancur berkeping-keping. Meninggalkan serpihan yang begitu kecil, rapuh, sehingga siapa pun dapat menyingkirkannya hanya dengan sebuah tiupan yang begitu ringan.
Berhasil. Kini orang itu telah pergi. Bahkan kini semua yang pernah menjadi milik orang itu, yang membuatnya selalu iri dengan semua milik orang itu kini sudah berada di tangannya. Walaupun laki-laki itu telah pergi, namun kini ia mendapatkan apa yang lebih indah dan lebih mudah untuk ditaklukan olehnya hanya dengan sebuah kebohongan besar.
Dan jangan pikir Tiffany bodoh. Walaupun ia gagal karena terlalu merasa tinggi dan tak terkalahkan saat itu. Kini ia akan merusak segalanya.
Membuat neraka kecil untuk cewek itu.
***
Axela menghentikan langkahnya begitu Tiffany dan kedua dayangnya bersidekap di hadapannya dengan tatapan menyalang ke arahnya. Axela menghela napas kecil. Sudah pasti mereka kini menjadi tontonan para siswa yang berlalu lalang di koridor sekolah.
Demi Tuhan. Pertunjukan ini bahkan masih terlalu pagi!
Tiffany tak melepaskan pandangannya dari cewek itu. Tatapan kedua mata cokelatnya begitu menusuk seakan dapat mencolok kedua mata hitam Axela.
Tercipta keheningan diantara mereka. Hanya dengan saling melempar tatapan bengis saja dapat membuat atmosfer diantaranya memanas dan membuat gerah siapa pun yang melihatnya. Gemas karena tidak ada satupun yang memulai pertengkaran atau sekedar adu mulut, namun tidak sedikit yang cemas dengan cewek malang yang selalu terlihat lusuh dan penuh perlawanan itu.
Tiffany menghapus jarak, ia sedikit menunduk menatap kedua mata hitam itu karena wedges yang menghiasi kaki jenjangnya. Axela sedikit mendongak, membalas tatapan tajam yang tidak kalah mengoyak lensa indah di hadapannya. Kedua tangannya tenggelam dibalik saku rok abu-abunya. Alisnya terangkat tinggi, seolah ia tidak takut dengan monster cantik yang ingin menirkamnya saat itu.
“Sebuah peringatan untuk lo,” Bisik Tiffany dengan penekanan yang begitu mengancam. “Jauhi Orion.”
Axela tersenyum miring, namun tidak pada kedua matanya.
“Bagaimana dengan pilihan kedua?”
“Apa maksud lo?” Tiffany menaikan sebelah alisnya.
“Di mana Orionlah yang menjauhi elo, Cifa.”
Axela menampilkan seringai, matanya berkilat seakan memberi peringatan yang tak kalah mengerikan. Tiffany diam membeku. Panggilan itu. Bibir ranum cewek itu terbuka, menatap Axela terkejut saat nama kecilnya terucap dari mulut cewek itu.
“Terkejut gue mengetahuinya, Maxwell?” Sebelah alisnya terangkat, seringainya tak luput dari wajahnya yang begitu asing dimata Tiffany.
Tidak. Axela bukan siapa-siapa! Dia hanya cewek urakan yang datang dan memporak-porandakan semua rencananya yang sudah tersusun rapi, nyaris mendapatkan semuanya. Cewek itu tidak tahu-menahu soal rencananya. Tentang dirinya.
Hanya dia. Hanya orang itu!
Lantas, bagaimana cewek berantakan di hadapannya bisa mengetahuinya? Orang itu tidak urakan sepertinya. Dia cewek manis, berpendidikan tinggi, cerdas, bermata cokelat terang lebih indah darinya, juga segala hal yang dimiliki cewek itu dapat membuatnya iri.
Sedangkan cewek di hadapannya? Hanya cewek urakan, lusuh, bodoh, dan tidak ada sedikit pun sikap manis yang dimilikinya, juga mata hitam itu. Sangatlah jauh berbeda darinya.
Shit. Apakah Axela mencari tahu tentang dirinya? Ya. Pasti seperti itu.
“Lo mencari tahu tentang gue, huh?” Tiffany menipiskan bibirnya.
Axela tertawa sarkasme. “Untuk apa? Waktu gue terlalu berharga kalau dibuang sia-sia.”
Tiffany menggeram pelan. Tangannya mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Axela benar-benar sebuah bencana untuk rencananya.
Tiffany mencengkram kedua pipi cewek itu dengan kuat, sampai kuku-kuku panjangnya yang dilapisi cat merah menancap, membuat cewek itu meringis.
Brengsek! Tindakannya yang begitu tiba-tiba, Axela tidak dapat mengelak cengkraman itu.
“Lo mau tau apa akibatnya menantang gue, Devaza?” Tiffany menggertakan giginya, “Gue akan membuat lo—”
“Apa?”
Tidak. Itu bukan suara Axela, melainkan seseorang yang berada di belakang Tiffany dan kedua temannya.
Orion berdiri tegap dengan tatapan tajam menusuk kedua mata Tiffany, membuat cewek itu terkesiap dan melepaskan cengkramannya. Axela bahkan sampai menunduk, menyembunyikan wajahnya yang tengah meringis hebat dibalik rambut hitamnya yang tergerai.
Max yang tatapannya bertumbuk pada Axela mengetahui suatu hal dari kejadian hari ini, satu hal bahwa sebenarnya cewek itu memang lemah. Limbung tanpa penopang tubuhnya yang ternyata begitu rapuh di balik semua topengnya.
Pantas, Alex begitu menyayanginya.
Ya, dirinya yakin. Bukan, bukan hanya Max. Mereka yang meyakini bahwa Axela-lah cewek itu. Seseorang yang dititipkan Alex pada janji yang telah di genggam begitu erat oleh Orion.
Orion menghampiri Tiffany yang masih tertegun. Entah, seharusnya ia tidak masalah. Orion sudah mengetahui bagaimana tingkah cewek itu, menjadi peran antagonis di depan semua orang juga tidak masalah bagi cowok itu, bahkan Orion akan selalu berpihak padanya. Tetapi mengapa dengan hal ini?
Tatapan itu seakan mengunci Tiffany. Ia menegak ludahnya. Mencoba tersenyum manis pada Orion, namun balasannya hanyalah tatapan datar dari cowok itu.
“Rion, kamu udah datang?” Tiffany menghapus jarak keduanya, mengelus rahang tegas yang terpahat sempurna di hadapannya.
Axela begitu mual mendengar nada manis dari Tiffany hanya untuk Orion. Oh, sungguh? Sepertinya memang hanya Orion yang dapat menghancurkannya! Ah tidak. Namun Axela sendiri. Ia mampu merebut cowok itu nantinya, membuat Tiffany benar-benar merasakan kehancuran yang begitu mengiris dan pahit seperti saat dirinya kehilangan Alex!
Orion tersenyum simpul, menggenggam tangan mulus itu dengan penuh kelembutan. Membuat Tiffany merasakan desiran kuat dalam dirinya, juga membuat Tiffany merasa tenang karena Orion ternyata masih dapat dikelabui olehnya.
Orion mengecup ringan punggung tangan itu. Membuat semua orang yang mengagumi pasangan itu mendekap d**a, menikmati romansa dari keduanya. Namun tidak dengan orang-orang yang membenci cewek itu. Murahan. Terutama Hugo dan Daniel yang memandangi adegan tersebut dengan rasa jijik yang membuncah. Lain halnya dengan Max, ia menampakan seringai, seolah tahu apa yang sedang di rencanakan oleh sahabatnya itu.
“Fan…” Tatapan lembut itu berubah menjadi tajam, senyumannya berubah menjadi seringai. Genggaman lembut pada tangan mulusnya, berubah menjadi cengkraman kuat. Seakan tak ingin cewek itu melepaskan diri. “Ingin mengetahui suatu hal?”
“A-apa itu?” Tiffany tersenyum, menyembunyikan raut kegugupan diwajahnya.
“Alex pernah mengatakan suatu hal tentang cewek itu. Dia tidak akan menyakiti orang lain seperti halnya yang lo lakukan tadi. Selama ini gue pikir lo hanya bersenang-senang, tapi…” Orion tersenyum miring, kedua matanya menusuk tajam lawan bicaranya. “Maaf soal ini, untuk kali ini gue meragukan elo, Fan.”
Orion menghentakan tangan mulus itu dengan kasar, membuat Tiffany meringis karenanya. Cewek itu tidak menyadari, beberapa raut keterkejutan dari orang-orang yang melihat adegan itu. Terkejut karena tindakan Orion. Terkejut karena Tiffany hanya dapat diam membatu.
“Mana yang sakit?”
Entah kapan Orion telah berdiri di hadapan Axela, mengangkat dagu cewek itu dengan lembut. Kedua matanya memandangi kedua pipi mulus yang kini memerah bahkan bekas kuku tajam yang menancap masih membekas, memperlihatkan luka kecil yang sanggup membuatnya meringis.
Axela menepis jari-jari yang nyaris menyentuh lukanya. Ia tidak sanggup bertatapan langsung dengan Orion. Bayangan Alex begitu saja melintas di benaknya.
“Bukan masalah,” ujarnya seraya berlalu dengan langkah panjang.
Orion menatap punggung cewek itu tanpa jeda. Seakan ingin menahan cewek itu untuk pergi. Entah, bersikap seolah melindunginya seperti tadi terasa jauh lebih tenang dan begitu ringan tanpa beban yang mengganjal dalam relung dadanya.
Ya. Dengan perlahan. Ia akan menyingkirkan apa pun yang membuat cewek itu terluka.