Axela meniup permen karet di mulutnya. Gelembung tersebut pecah saat tak mampu menampung gas di dalamnya. Ia memejamkan mata, mengadahkan kepalanya agar sesuatu yang hangat tidak kembali mengalir turun dan mendarat mulus di pipinya.
Berulang kali ia mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Semenjak ia kembali mengunjungi tempat peristirahatan terakhir cowok yang dicintainya setelah sekian lama hanya untuk menyembunyikan identitasnya dan mengulang kehidupannya kembali dari awal, ia benar-benar tak pernah lagi mengunjunginya. Dan benar saja, ia sangat merindukannya.
Merindukan laki-laki yang dicintainya hingga kini. Bahkan mungkin saja hingga nanti?
Tak jarang ia mendengar kata cinta dalam hidupnya, namun hanya sekali ia merasa bahagia karena satu kata yang membuat setiap insan lupa diri. Hanya seseorang itu yang mampu mengubah cara pandangnya pada sebuah kata picisan itu. Tidak ada yang sanggup mencintainya lebih besar seperti seseorang itu. Tidak ada yang seperti dirinya. Karena dia hanya satu. Dia hanyalah dia.
Axela menatap langit yang terasa begitu dekat dari sini. Ya, dia berada di atas atap gedung sekolahnya. Entah mengapa ia bisa sampai di sini. Bahkan tidak ada satu orang-pun yang mau berkunjung ke sini, mengingat bagaimana kondisi atap gedung sekolah ini yang begitu sepi dan hanya terdengar suara angin yang berderu samar.
Ia ingin menangis. Namun ia tidak akan melakukannya. Sudah tidak diingatnya lagi kapan lebih tepatnya ia menangis. Air matanya seolah sudah habis dan mengering, terenggut oleh kenangan dari laki-laki itu yang begitu perih dan menyakitkan!
Axela menatap langit cerah diatasnya. Tersenyum getir melihat kecerahan yang di tunjukan langit olehnya, seolah ingin memamerkan bahwa dirinya masih bisa berwarna walaupun hanya membeku dan berdiam diri di sana.
“Alex, bukankah gue minta lo untuk mampir sedetik aja dalam mimpi gue? Gue mohon, jangan membiarkan gue terpuruk begini. Gue sakit Lex, sakit karena keadaan gue yang begitu hancur saat lo pergi. Gue tahu, berharap memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan lo ke sini adalah hal terbodoh! Tapi beri gue kesempatan untuk merasa seolah elo masih di sini, Lex. Gue mohon…”
Ia terisak. Bahunya berguncang samar. Ia tidak menyadari, ada seseorang yang tengah memperhatikannya dengan tangan mengepal.
Entah karena melihat cewek itu ternyata begitu rapuh di balik semua topeng yang ditutupinya secara rapat, atau justru karena dirinya merasa t***l karena mudah di bohongi oleh seorang ‘penipu’ bermulut manis dan berparas cantik itu, hingga dengan tanpa langsung telah melukai seseorang yang ‘seharusnya’ ia lindungi.
***
Orion menautkan jari-jarinya, kedua lengannya bertumbuk di atas meja. Ia menoleh saat dirasakannya seseorang menyenggol bahunya. Daniel menyengir saat mendapat tatapan tajam dari Orion.
“Ngelamun mulu Bos, ntar kesenggol setan lho, bahaya!” Daniel tersenyum jahil memperlihatkan lesung pipitnya.
“Barusan siapa yang nyenggol gue, hm?” Orion berdecak seraya memutar matanya melihat Daniel yang tengah berpikir keras seraya mengetuk dagunya dengan telunjuk cowok itu. Dasar t***l!
Orion memutar badannya yang langsung menghadap Max. “Lo mulai aja hari ini, begitu juga Daniel dan Hugo. Gue akan ngalihin perhatiannya.”
***
“Rion, kamu nggak turun?”
Tiffany mencoba membujuk Orion agar mampir ke dalam rumahnya. Bersenang-senang dengan cowok itu mungkin sedikit menghilangkan penatnya yang diusikan dengan bayangan Axela!
Tiffany mendengus samar. Ya, cewek itu! Mengapa datang tanpa diundang dan membawa pengaruh besar? Siapa sebenarnya dia? Belum lagi ayahnya yang mempunyai banyak bawahan, bekerja sangat lamban untuk mengetahui sekedar informasi seorang Axela!
Kalau memang Axela adalah cewek biasa, mengapa identitasnya begitu tersembunyi? Belum lagi setiap melihat cewek itu, Tiffany seakan merasa terlempar ke masa lalu. Di mana ia membenci semuanya yang berada di masa itu. Termasuk membenci dirinya sendiri dahulu. Dan begitu mencintai dirinya sendiri saat ini, akan kekuasaan yang dimilikinya.
Ayahnya yang kaya raya begitu menyayanginya. Orion yang populer dan tampan begitu menghargainya. Semua orang yang begitu tunduk padanya karena dua laki-laki yang mampu membuat dirinya semakin tinggi di mata orang. Membuatnya terlihat semakin menguasai dan berkuasa. Membuat dirinya dapat melakukan apa yang ia mau, sekaligus membuat perhitungan pada kehidupan masa lalunya yang begitu menyakitkan!
Menyakitkan karena seorang sahabat dan seorang yang pernah menyita perhatian juga hatinya, membuat dirinya hancur karena takdir yang tidak pernah berpihak padanya.
“Fan…”
Pikiran itu kembali terenyahkan begitu mendengar suara Orion. Tiffany tersenyum manis, siapa pun tidak akan sanggup menolak senyuman itu. Namun siapa yang mengira senyuman itu tidak mempunyai arti tersembunyi di baliknya?
“Gue pulang dulu.” Orion menancapkan gas dan berlalu perlahan.
See? Bahkan Orion yang begitu dingin, cuek dan dulu begitu arrogant pun tunduk padanya. Ah, betapa mudahnya memperalat orang-orang t***l di dunia ini.
Tapi tunggu… Apa tadi Orion tersenyum untuknya? Mengapa tidak?
Ini sanggup membuatnya gelisah.
***
“Maxy, kamu lihat itu?”
Seriously?
Sudut bibir cowok itu tertarik saat cewek di sampingnya memanggilnya “kamu” dan menyebutkan sebutan termanis yang diciptakan cewek itu sendiri untuknya. Kedua matanya tidak lepas dari wajah cantik Diana yang… Ah, jangan ditanya. Dee memang terlihat dewasa dan sungguh mempesona seperti seorang dewi yang begitu anggun.
“Halloooo, Max?”
Diana mengibaskan tangannya di depan wajahnya, namun Max yang merasakan tangan mulus itu menghalanginya malah menggenggam erat pergelangan tangan cewek itu. Tatapannya tidak teralihkan dari wajah Diana, membuat cewek itu tanpa disadarinya tersipu malu.
Mereka saling bertukar pandang. Sampai seseorang menepuk bahu cowok itu dengan pelan namun sanggup membuat Diana dan Max terlonjak.
“HOY! Bisaan aje nih, jadi mata-mata sekaligus pacaran ya, Sob?”
Daniel menepuk pundak Max yang lebih tinggi darinya.
Memang, Daniel mempunyai tinggi tubuh hanya mencapai sedikit lebih tinggi dari Gladys, atau bisa dikatakan nyaris menyerupai Diana. Dialah yang paling imut diantara keempat sahabatnya, apalagi bila dibandingkan dengan Orion yang sudah jelas mempunyai postur tegap dan tinggi menjulang, nyaris sempurna. Daniel bukanlah apa-apa.
Itu pula alasan mengapa Daniel memilih mundur mendekati Gladys saat sahabatnya –sekaligus orang yang dianggap Bosnya itu dalam segala sikap kepemimpinan Orion– mempunyai hubungan dengan cewek itu.
Ah, sudahlah. Mengapa jadi membahas kisah cinta murahan dirinya dengan Gladys?
“Ganggu aja lo,” tukas Max.
“Enak ya lo, Dee. Kerja sama dengan Max, sedangkan gue?” Gladys yang ternyata hadir di samping Daniel, mendelik ke arah cowok itu seakan meremehkan.
Daniel memperlihatkan cengiran. “Ratu ubur-ubur marah mulu sama Pangeran cumi-cumi, sih.”
Diana dan Max terbahak mendengarnya, terkecuali Gladys yang langsung melotot tajam ke arahnya, “APA LO BILANG?!”
“Tunggu dulu, Niel. Kalau Gladys adalah Ratu, seharusnya lo Raja-nya.” Diana meralat disela tawanya.
“Njir, Raja cumi-cumi maksud lo, Dee?” Daniel menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Bukan. Bayi Gurita!” Pekik Gladys seraya berlalu dengan menghentakan kakinya kesal. Mulutnya mengucapkan sumpah serapah untuk Daniel. Sampai langkahnya berhenti karena merasa bahwa tidak ada yang mengejarnya.
Dasar Daniel bego!
Seperti biasa. Daniel bukannya tidak mengejar Gladys, hanya saja ia sibuk memikirkan panggilan “Bayi Gurita” tersebut. Aih, g****k banget gue. Daniel menggaruk kepalanya, melambaikan tangannya pada Gladys seraya berteriak memanggil cewek tersebut.
“GLAD, wait me, Babe!”
Diana dan Max saling berpandangan melihat tingkah mereka sebelum akhirnya tertawa bersama.
“Sepertinya melakukan hal ini lebih seru kalau bersama mereka.”
“That’s right. C’mon, Dee.”
***
Molly menghentakan kaki mungilnya seraya berjalan mendahului Hugo di belakangnya.
“Doh, lo jangan ngambek mulu dong. Ck, mau balon?” Hugo berdecak seraya menunjuk tukang balon yang menangkring di bahu jalan tempat mereka menjalankan aksinya.
“Ih, Hugo mah! Jangan bercanda mulu sedari tadi. Kalau kita pulang dengan tangan hampa gimana? Bisa dicincang Orion!” Molly merengut sebal.
Hugo berdecak, “Bahasa lo. Mending kita ributin masalah ini ntaran aja. Gue yakin, Tiffany sekarang udah masuk ke dalam rumahnya, dan kita… KEHILANGAN JEJAKNYA, MOLL!!!” Pekik Hugo membuat Molly jatuh terjerembab karena terlonjak hebat.
“Doh, lo kenapa sih, duh… Sakit? Ha?”
Hugo mengapit kedua ketiak Molly, membantu cewek mungil itu berdiri. Walaupun kesal karena dirinya seperti seorang bapak yang tengah menjaga anaknya ketimbang bekerja sama untuk menjalankan misi layaknya seorang detektif gadungan, tapi tetap saja ia tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya itu.
“Hugo sih teriak-teriak!” Molly memekik.
“Sori deh. Lain kali gue bisik-bisik kalo gitu.” Hugo terkekeh geli saat Molly mengerucutkan bibirnya. Astaga, pengen di cipok! “Njir, ketularan Daniel gue!” gumamnya pelan.
“Eh? apaan Hug?” Molly tidak mendengar dengan jelas gumaman Hugo. Syukurlah!
“Lo minta gue peluk, huh? Sini,” Hugo merentangkan kedua tangannya.
“Ih, apaan sih Hugo!” Molly menundukan kepalanya, wajahnya pasti sudah matang saat ini!
“Pemalu. Makanya jangan panggil gue Hug! Pertama, gue nggak suka karena itu rada mirip guguk, dan kedua rasanya kayak lo minta gue peluk. Lagian, apa enak manggil 3 huruf depan nama gue?!”
Molly terkikik geli, “Yailah, Hug. Santai aja kok.” Molly tersenyum menampilkan lesung pipitnya. Duh, gemes!
Molly mencoba mengalihkan perhatiannya ke bangunan mewah dalam jangkauan pandangan mereka saat ini. Tidak. Hanya pandangan dirinya. Karena Hugo tengah memandangi Molly tanpa kedip. Astaga, mengapa hatinya begitu berbunga?
Pandangan cewek itu menangkap seorang cewek berambut kemerahan yang baru saja keluar dari istananya. Ya. Bahkan rumah Tiffany tidak layak di sebut rumah. It’s look like a Castle in the Kingdom of Disney!
“Andaikan bisa punya rumah seperti itu sama seorang Pangeran,” gumamnya pelan.
“Nanti, kalau gue udah punya duit.”
Molly menoleh, didapatinya Hugo yang ternyata sudah berada di sampingnya dengan senyuman manisnya. Dan, oh… betapa dekat wajah mereka.
Fokus!
Molly dan Hugo segera memalingkan wajahnya kepada cewek yang menjadi target mereka. Terlihat cewek itu tengah memberi tugas layaknya seorang penguasa kepada anak buahnya. Beberapa pria yang mengenakan baju serba hitam itu mengangguk patuh dan berlalu dari hadapannya.
Molly mempunyai firasat buruk, pikirannya langsung tertuju pada Axela.
“Moll?”
“Hugo, mungkin nggak sih mereka mau berbuat jahat sama Axela?” Molly mengalihkan pandangannya menatap Hugo, cowok itu membalas tatapannya dengan lembut. Ia tahu, cewek mungil di sampingnya tengah khawatir dengan Axela. Namun di sisi lain ia percaya, Axela akan baik-baik saja. Bukankah cewek itu begitu cerdas dan tangguh?
“Lo tenang aja. Kita ikutin dia.”
Hugo menarik Molly saat dilihatnya Tiffany sudah berlalu dengan mengendarai mobil sedan mewahnya.
Hugo berdecak. Harta bokap, segitunya dibanggain. Entahlah, dirinya semakin membenci monster cantik yang nyaris memporak-porandakan kehidupan sahabatnya sendiri!
Cewek iblis!
***
Axela melangkahkan kakinya lebih cepat. Ia merasa dibuntuti oleh beberapa orang. Ya, Axela bukanlah cewek t***l yang bisa dengan mudahnya untuk dilacak. Siapa lagi memangnya? Ia jelas tahu benar ini perbuatan Tiffany.
Ia berdecak. Tiffany terlalu bodoh untuk menganggapnya bodoh.
Langit semakin gelap, penerangan di trotoar tempatnya melangkah saat ini meremang redup.
Mendadak ia menghentikan langkahnya. Sebuah seringai muncul di bibirnya saat terdengar suara gaduh di belakangnya. Dasar t***l! Pasti para penguntit itu turut menghentikan langkah mereka saat melihatnya melakukan itu.
Axela bersyukur penerangan di jalan ini meredup. Setidaknya ia bisa merasakan orang-orang bawahan Tiffany benar-benar berada di belakangnya.
Ia mengeluarkan ponsel di balik jaket lusuhnya. Menyembunyikan wajahnya di balik tudung besar jaket yang dikenakannya.
Axela Devaza:
Lakukan dengan baik, dia mulai terpancing.
Ia tersenyum miring begitu menekan icon send pada ponselnya. Rasanya ingin tertawa begitu mendengar sekawanan penguntit berotak kosong itu mengaduh kesakitan sebelum akhirnya tak tersadarkan diri mengingat hanya keheningan yang tercipta setelah itu.
Samar-samar ia mendengar suara benda terseret-seret di jalan. Siapa lagi kalau bukan anak buahnya yang menyeret sekelompok penguntit berotak NOL tadi?
Tidak. Ia tidak menyuruh anak buahnya untuk menghanyutkan benda-benda busuk itu ke sungai terderas sekali pun. Ia hanya perlu menyekap mereka untuk beberapa saat.
Kerja bagus. Kalian dapat kenaikan 10% setelah ini.
Beberapa menit mengirim pesan tersebut, sebuah balasan-pun muncul pada layarnya.
Apa pun untuk Nona. Tidak perlu, ini memang tugas kami, Nona.
Axela menghela napas seraya menimang ponselnya. Bersyukur ia mempunyai orang-orang berotak brilian seperti mereka. Axela sangat menghargai kaki-tangannya tersebut. Setidaknya, yah, dirinya tidak seperti Tiffany! Cewek bermulut manis dan tajam. Cewek berwajah cantik namun keji. Cewek penyihir yang berpadu dengan monster.
Inikah yang lo maksud, Tiffany? Menghancurkan orang-orang yang menghalangi langkah lo? Nyatanya, bukan hanya gue yang menghancurkan semua harapan lo, tapi orang-orang nggak bersalah. Termasuk teman lama lo yang baru ini, Fan.
Lo pantes mendapatkan semuanya. Termasuk, semua yang lo lakukan!
***
Orion mengamati ruangan itu. Ini adalah pertama kalinya ia berada di kamar Tiffany. Persetan dengan dirinya yang akan menjadi buah bibir para ibu di kompleks ini. Ah, sepertinya tidak akan. Bukankah rumah cewek itu termasuk kawasan elit? Tidak akan mungkin ada jenis ibu-ibu seperti itu di daerah ini.
Daerah Tiffany? Ya. Tentu.
Ayahnya yang begitu berkuasa mampu saja membeli berpuluh-puluh rumah di daerah elit seperti ini. Dan tentunya, Thomas Maxwell-lah yang berkuasa dan begitu terhormat sampai-sampai Tiffany yang notabene adalah anak tunggal darinya, mampu berbuat sedemikian buruknya.
Maxwell?
Ah, benar. Orion baru mengingat nama panjang Om Thomas itu. Maxwell.
“Berandai-andailah untuk menjadi seorang ‘Ratu’ dalam dongeng, Tiffany Maxwell.”
Ah, bahkan Orion masih mengingat jelas akhir kalimat yang diucapkan cewek itu. Cewek penuh rahasia yang jujur saja membuat Orion sanggup meneguk ludahnya sendiri! Berniat melindungi Tiffany tapi merasa bahwa dirinya harus membantu Axela. Berniat membantu Tiffany tapi merasa Axela harus dilindungi.
Apa maksudnya? Persetan dengan semua ini!
Axela. Cewek itu bahkan seperti mengikat dirinya untuk selalu berada di sampingnya. Cewek yang membuatnya rela menjalani misi bodoh yang disarankan Daniel. Dan karena itu juga alasan mengapa dirinya sekarang berada di sini.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Hugo.
Hugo Fanendra:
Lo tau kan Daniel gobloknya segimana? Dan ternyata para penjaga ini lebih i***t dari yang gue bayangin. Ck, lo di mana?
Orion menahan senyum geli. Selalu saja Daniel yang menjadi sasaran ketiganya. Jari-jarinya bergerak. Ia membalas pesan Hugo.
Orion M. Revian:
Di kamar Tiffany.
Ya, memang. Saat ini ia tengah duduk pada sisi kasur berdominasi warna pink milik Tiffany. Entah apa yang dilakukan cewek itu sehingga meninggalkan Orion sendirian di kamar cewek itu yang begitu luas. Bukankah itu melancarkan misinya? Apa Tiffany tidak khawatir dengan semua itu? Begitu mudahnya-kah seorang Tiffany mempercayainya?
Sebuah pesan masuk kembali namun kali ini dari Daniel.
Daniel Mahattan:
Gile Bos! Lo dikamar Tiffany? Wi-wiwiiii, hati-hati ada kejadian tak senonoh!
Orion membalas dengan setengah hati.
Orion M. Revian:
Gue nggak se-t***l itu, t***l!
Dan kali ini sebuah pesan dari Max.
Maximilian Rahardi:
Gue tau mereka nggak bener. Mendingan sekarang lo geledah kamarnya. Temuin barang-barang itu.
Memang, hanya Max yang paling benar diantara Hugo dan Daniel.
Orion M. Revian:
Nggak ada apa pun. Gue udah mencoba, tapi nihil.
Tidak lama kemudian, muncul balasan dari Max yang membuatnya mengernyit dalam.
Maximilian Rahardi:
Atau lo tuker tempat sama Daniel? Liat ke jendela. Keluar lo sekarang, biar Daniel yang masuk.
Orion M. Revian:
Apa bedanya gue sama dia? Lo percaya otaknya yang udah jelas rusak gitu, hm?
Orion mengangkat sebelah alisnya begitu ia menekan tombol send pada layar ponselnya.
Maximilian Rahardi:
Bukan, Ri. Barusan Gladys ngasih instruksi sama Daniel, dan kami-pun Amazed sama dia yang langsung paham dengan serius. Buruan keluar, percaya sama Daniel kali ini.
Orion langsung tersenyum simpul mendengar nama cewek itu. Bukan hanya Tiffany alasannya memutuskan hubungan dengan Gladys. Namun ia tahu, betapa begitu memujinya Daniel terhadap Gladys. Ia tidak mau melihat sahabatnya itu harus terus-menerus berpura-pura bahagia melihat mereka berdua bersama.
Orion M. Revian:
Bilang sama Daniel. Kalau sampai dia berhasil, gue akan bantuin dia untuk deket sama Gladys. Ini janji gue.
***
Yang benar saja! Daniel nyaris terlonjak bahagia mendengar tuturan SMS dari Orion tersebut!
“Jangan teriak lo, Monyet!”
Daniel langsung mengatupkan bibirnya yang nyaris terbuka lebar begitu suara Hugo menyerukannya.
“Gimana kalau Orion tetap pada posisi, aja? Gue tetap jalan. Biar Tiffany nggak curiga aja.” Daniel menatap teman-temannya secara bergilir.
“Maksud lo? Ide gue nggak bagus, gitu?!” Gladys berkacak pinggang.
“Njir, bukan Glad! Justru gue nggak mau Tiffany curiga saat dia dateng ke kamarnya tapi nggak ada Orion. Nah, maksud gue, si Bos itu tetep aja duduk manis di sana-lah, dan gue mengendap-ngendap ke ruangan lain. Sesuai rencana lo, begitu.”
Mereka mangut-mangut mencerna rencana Daniel yang terbilang cukup masuk akal.
“Baguslah, otak lo hari ini mengalir lancar.” Max menepuk puncak kepala Daniel.
“Njir, gue bukan balita!” Daniel mendengus kesal.
“Emang bukan, lo kan Bayi Gurita.” Diana mendelik ke arah Gladys yang melotot penuh ke arahnya.
“Udah gih sana! Hati-hati lo, ya.” Gladys mendorong punggung Daniel agar bergerak maju melaksanakan misinya.
“Gue bakal baik-baik aja, asal lo tetap nunggu di sini, Ratu Ubur-ubur.”
Daniel dengan cengiran lebarnya berlari ke arah jendela besar kamar Tiffany. Dengan di bantu Hugo juga Max, Daniel begitu gesit melakukan aksinya. Jujur saja, ia merasa berada di film action Hollywood kalau begini. Tapi saat bersama Gladys, berdua saja, ia benar-benar merasakan berada di film Bollywood!
Kini mereka semua berada di halaman belakang rumah Tiffany. Dan betapa bodohnya cewek itu tidak menyadari kegaduhan yang mereka buat berasal dari halaman belakang, Tiffany malah mencari tahu bunyi mencurigakan itu dari halaman depan. Dan betapa idiotnya juga, kedua Bodyguard berbadan besar yang berjaga di halaman belakang rumahnya begitu takluk dengan senyuman lembut Diana, seksi tubuh Gladys, juga wajah imut dari Molly, membuat mereka dengan mudah memancing dan menghabisi badan besar berotak kosong itu dengan otot Hugo dan Max yang tak terkalahkan.
Kini semua Bodyguard itu tengah terkepung di gudang tak terpakai di halaman belakang, tentunya Tiffany tidak akan dapat menemukan makhluk-makhluk berotak udang itu.
“Kalau kita ketahuan, bisa abis nih sama penjaga depan!” Molly mengguman.
“Nggak akan!” Hugo memantapkan jawabannya.
“Makanya, kita tunggu Daniel. Duh, semoga tuh anak bergerak cepat deh, gue takut terjadi sesuatu!” Gladys menautkan jemari di bawah dagunya.
“Duh, ada yang khawatir.” Hugo mendelik ke arah Gladys yang membalasnya dengan tatapan tajam.
“Itu Daniel!”
Diana berseru, semua mata menoleh ke arahnya yang berjalan dengan bahu menurun dan begitu lesu. Membuat semua orang mengernyit, berharap-harap cemas, takut sesuatu terjadi padanya, Orion atau mungkin mereka tidak berhasil membawa sebuah berita penting!
Daniel mendongak, menatap teman-temannya dengan bergilir. Tatapannya berhenti pada Gladys, tersenyum lebar melihat raut wajah cewek tersebut yang terlihat begitu mengkhawatirkannya.
“TADAAAA!!!”
Sebuah amplop cokelat berisi informasi penting berada di tangannya sekarang.
Daniel mengipas lehernya yang berkeringat dengan amplop tersebut. Seraya memandangi mereka–yang menganga, tak mampu menyembunyikan keterkejutan mereka melihat Daniel dengan begitu mudahnya melancarkan aksi–dengan menaik-turunkan alisnya.
“Anjrit, semudah itu?!”
“Selain bau sampah, lo lebih gesit dari monyet ternyata.”
Daniel meringis mendengar Gladys dan Hugo yang tidak percaya dengan aksinya yang begitu memukau–seandainya sebuah kamera menangkap adegannya tadi–seperti Mr. Smith dalam filmnya.
“Nggak percaya? Gue juga dapet ini, NIH!”
Daniel mengeluarkan sebuah liontin yang begitu familiar dimata mereka, dan semakin mengejutkan saat para cewek itu tahu peran penting dari benda mengkilap itu.
Gladys, Diana dan Molly saling memandang satu dengan lainnya. Pikiran mereka bertumpu pada satu kemungkinan...
***
“Nona, kami sudah menghabisi para penjaga di halaman rumah cewek itu tanpa sepengetahuan mereka, tentunya,” lapor pemimpin dari kaki-tangannya.
Axela memijit pelipisnya. Ia sudah tahu apa yang dilakukan Molly begitu ia menanyakan di mana cewek itu, Molly dengan enteng menjawab sedang menjalankan misi. Ini adalah hari libur. Dan bukan tidak mungkin Molly turut menyertakan Diana dan Gladys untuk menguntit Tiffany dan menemukan tempat di mana cewek itu tinggal.
Dan benar saja. Tepat waktu. Bahkan Molly mengajak ketiga teman Orion, ah… Axela yakin sekali, Orion juga turut mengikutsertakan dirinya untuk mengelabui jangkauan Tiffany. Memang benar-benar bodoh, bahkan cewek itu tidak berpikir Orion begitu berbahaya mengingat para sahabat cowok itu lebih mendukung teman-temannya yang ceroboh!
Kalau saja seandainya ia tidak menyuruh beberapa anak buah dari pemimpin bawahannya tersebut, mungkin semuanya akan hancur! Mengingat betapa besarnya keributan yang mereka buat. Untung saja, rumah Tiffany begitu besar sehingga orang yang berada di dalamnya tidak akan menyadari itu. Mungkin itu sebabnya ia menyewa beberapa pengawal untuk mengawasi rumahnya.
“Hanya pengawal depan?” Axela mengerutkan hidungnya.
“Benar, Nona. Karena sepertinya para bocah itu benar-benar menghabisi kedua pengawal Tiffany begitu para bunganya mendapat sinyal berbahaya dari pengawal tersebut.”
Axela terkekeh geli mendengar ketua dari para pengawalnya menyebut teman-teman Orion sebagai bocah dan teman-temannya sebagai bunga. Sepertinya akan tumbuh beberapa pasangan setelah masalah ini selesai. Betapa indahnya hidup mereka.
Tidak seperti dirinya.
Axela mengusap wajahnya gusar. Kedua matanya begitu sayu, terlihat kuyu akibat kurang tertidur akhir-akhir ini, mengingat fakta dari Molly bahwa kalung itu masih ada di tangan cewek b***t seperti Tiffany!
Ponselnya berdering, ia menatap layar benda kuno tersebut. Terukir senyuman tipis di bibirnya saat nama Diana tertera pada layar. Pasti. Axela yakin, mereka berhasil melaksanakan misinya yang begitu terburu-buru dan nyaris membuatnya menahan napas!
“Kami berhasil! Dan lo akan terkejut besok, Xel. Sampai jumpa hari Senin!”
Ah, iya. Besok adalah hari di mana ia harus kembali menjadi anak SMA!
Lo adalah Axela. Axela Devaza. Saat ini dan untuk selamanya.
Perlu diakui. Terkadang ia lupa berprilaku sebagaimana menjadi seorang murid!