Gladys mempercepat langkahnya, ia tahu dirinya sedang diikuti oleh seseorang. Sial. Seharusnya misi kedua ini berjalan dengan lancar. Sesuai rencana mereka untuk mengikuti Tiffany dari berbagai sisi –terkecuali Axela tentunya– untuk mengetahui seluk beluk cewek b***t itu.
Namun usahanya kandas begitu saja saat ia merasakan seseorang mencurigainya yang selalu mengikuti Tiffany secara mengendap-endap.
Ia terlonjak begitu sebuah tangan menepuk bahunya tiba-tiba.
“GLAD!”
“WAAAAKKKH!”
Nyaris saja dirinya terjungkal kalau saja sebuah lengan itu tidak menahannya.
“Pake treak-treak sih lo, jatoh pan! Eh, berat juga lo ya.”
Gladys hapal sekali suara itu. Ia langsung mendongak dan menemukan sebuah cengiran yang terukir di wajah cowok itu.
Sialan, Daniel!
“Iih, apaan sih lo, pegang-pegang!” Gladys bangkit dan segera menyapu seragamnya dengan jari-jarinya yang lentik. “Bau sampah deh gue.” Ia mendelik kesal ke arah Daniel yang mengerucutkan bibirnya sok imut.
Eh, tapi memang imut, bukan?
Duh, stop it Gladys!
“Sialan si Hugo, pasti tuh orang nge-gosip ke mana-mana dah! Eh, tapi buat lo apasih yang nggak, heh?” Ia menaik turunkan alisnya, menggoda Gladys yang menyipitkan mata ke arahnya. Namun hal itu justru membuat Daniel makin bersemangat menggodanya. “Glad, lo tadi nga—”
“Glad-gled-glad-gled! Jangan panggil gue Glad! Emang gue parfum ruangan!” Gladys menghentakan kakinya. Sungguh, ia sangat tidak menyukai panggilan itu.
“Itu mah Glade! Lagipula, emang bener kok,” Daniel memamerkan deretan giginya yang rapi.
“Eh?” Gladys menaikan sebelah alisnya.
Daniel tersenyum menggoda, “Di mana-pun dan kapan-pun kalau di sana ada Gladys, pasti atmosfernya jadi berasa harum dan wangiiii…” Lagi-lagi Daniel menyengir.
“Apaan sih lo! Menyingkir lo, musnah gih!” Gladys mendorong bahu Daniel, namun pergelangan cewek itu ditahan olehnya. “Lo belom jawab pertanyaan gue yang tadi, Glad.”
Gladys mengerutkan hidungnya. “Lo nggak nanya apa pun, bego!”
“Aih, gue suka panggilan sayang lo itu. Oh iya ya, gue nggak jadi nanya tadi karena keburu lo potong dengan teguran merdu lo itu. Okidi, gue bakal nanya sekali lagi…” Daniel mulai memasang wajah serius yang jarang sekali ia perlihatkan. Dan hal itu membuatnya sedikit terlihat tampan dimata Gladys. Ugh! Hentikan.
“Glad tadi ngapain sih, kok ngikutin Tiffany mulu sampe segitunya secara sembunyi-sembunyi lagi.” Kelopak matanya sedikit melebar, membuat dirinya terlihat semakin cute dimata beberapa cewek lain, namun tidak di depan Gladys!
“Bukan urusan lo, ya! Pergi lo jauh-jauh. Dan jangan pernah ikut campur urusan gue, karena lo bukan siapa-siapa gue, ngerti?!” Gladys menghentakan tangannya meninggalkan Daniel yang tidak mengejarnya.
Cowok itu bungkam tanpa berbalik untuk mengejar Gladys ataupun melihat tubuh cewek itu yang kini telah menjauh. Namun Gladys-lah yang justru malah melihat Daniel yang masih tetap pada posisinya dengan tatapan tidak dapat diartikan oleh dirinya sendiri.
Apakah ia sudah keterlaluan membentak Daniel seperti tadi? Ah, dasar bodoh! Mana mungkin ia dapat menyukai cowok seperti itu? Cowok yang mempunyai hati selembut kapas yang bila di usap dengan gerakan kasar sedikit saja langsung hancur.
Apa semua cowok berwajah cute memiliki hati yang serupa seperti halnya perempuan? Jika memang begitu, jangan harap ia akan jatuh dalam pesona cuties itu!
Gladys tersenyum puas mengingat perkataan Axela bahwa ia akan menelan ludahnya sendiri. Kali ini lo salah, Xel. Gladys tertawa menanggapi batinnya.
Lain halnya dengan Daniel. Oh tentu bukan! Daniel bukan cowok berhati hello-kitty seperti yang di bayangkan sebelumnya. Hanya saja ia terpikirkan oleh kalimat terakhir cewek itu…
Dan jangan pernah ikut campur urusan gue, karena lo bukan siapa-siapa gue, ngerti?!
“Jadi gue mesti menjadi siapa lo dulu ya, baru bisa dengan mudah mengikuti lo ke mana-pun.” Daniel tersenyum miring seraya mangut-mangut. Beberapa cewek yang berlalu lalang melihat dirinya hanya terkikik geli dengan gemas.
Daniel berbalik badan, mengamati punggung cewek itu yang kini telah menghilang di balik pintu kelasnya.
“Kita lihat nanti ya, Glad. Gue akan membuat diri gue sendiri menjadi apa yang lo inginkan dengan cara gue, tapinya. Daniel dan Glad akan menjadi kita.”
Ia berlalu dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. Ia bahagia sekali dapat berdekatan dengan cewek itu walaupun respon yang ditanggapi Glad sangatlah buruk untuknya, namun hal itu justru membuatnya bersemangat.
Gladys adalah cewek yang tidak mudah di dapatkan tanpa usaha besar, Ladies and Gentleman!
Bahkan ia harus menunggu sekian lama untuk menyembunyikan perasaannya itu. Ia harus sanggup menahan api cemburu saat Orion-lah yang mendapatkan cewek itu. Ia harus menjauhi Glad dan itu membuat dirinya uring-uringan!
Glad. Entah mengapa ia senang sekali mendengar bahkan mengucapkan nama itu. Artinya yang turut menyenangkan itu membuat dirinya tanpa sadar mengartikan diri cewek itu sendiri untuknya.
Cewek yang menyenangkan. Siapa pun akan senang bila dekat dengannya. Termasuk dirinya.
I’m so ‘glad’ when we talk just two of us, Glad.
Tunggu saja. Akan ada waktunya. Daniel Mahattan akan mendapatkan Gladys Prismadonna.
***
“Gue gagal gue gagal gue gagaaaalll! Iih, ini semua gara-gara si i***t itu!” Gladys menghentakan kakinya gemas.
“Daniel maksudnya?” Axela tersenyum samar.
“Dari mana lo tahu? Ngintip lo, ya?!” Gladys menatapnya tajam seraya berkacak pinggang.
Axela berdecak, “Elo ribut sama si i***t itu di depan kelas gue, i***t!” Ia menyilangkan lengannya. “Setelah lo pergi, dia mengucapkan sesuatu—”
“APAAN?” Gladys mencondongkan badannya.
Axela mendorong bahunya, “Segitu penasarannya?” Ia tersenyum miring melihat Gladys yang mengibaskan rambutnya menghindari tatapan Axela yang begitu mengintimidasi.
“Saat lo menyadarinya, lo akan tahu dengan sendirinya, Glad.”
Axela tergelak tak tertahankan. Mendengar tawa Axela yang sepertinya mengundang semua orang untuk turut tertawa, Diana dan Molly ikut menertawai Gladys yang semakin cemberut akibat ulah mereka. Padahal Diana dan Molly sendiri tidak tahu apa yang mereka tertawakan. Bodoh!
“Sebenernya kenapa, sih?” tanya Molly polos, membuat tawa Axela yang sempat mereda lagi-lagi membahana mewarnai atmosfer dalam ruang kamar Diana.
“Tau tuh! Sinting!”
Gladys menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang yang di lapisi seprai berwarna ungu lembut, seperti karakter Diana yang dewasa dan lembut. Namun terkadang dapat menegur panjang lebar dan mendumel berlebihan.
“Jadi, misi kedua, gagal nih?” Diana menunjukan rasa kecewa dalam ucapannya.
“He-eh.” Gladys mengangguk lemas, “Kita nggak akan di kasih tahu rahasia Nona di sana itu lagi!” Ujarnya menunjuk Axela yang bersidekap.
“Siapa bilang?!” Molly berdiri diatas ranjang, membuat Gladys yang sedang bersantai diatasnya merasa nyaris terjungkal. “Bego lo, Mol!” gerutunya.
“Isshh!” Molly mendesis memandangi Gladys. Tatapannya beralih pada Axela. “Gue tahu sesuatu yang berharga. Nggak sengaja gue ikutin dia sampai ruang bilas pas mau ke toilet bawah—”
“Sinting! Lo mau liat dia telanjang?!” Gladys memekik.
“Dengerin dulu kenapa sih, ih!” Molly mengambil ponsel di sakunya. “Hape gue emang nggak sebagus, Dee. Makanya gambarnya rada rabun begini, tapi semoga kelihatan deh.” Ia mengutak-atik ponselnya sebelum akhirnya diberikan pada Axela.
“Gue emang nggak pernah liat dia pakai kalung itu lagi. Tapi sebelum dia deket sama Orion, dia sering banget pakai itu kalung. Dan sekarang dia anggap kalung itu bukan barang berharga lagi kayaknya, karena dia selalu nyimpen itu di lokernya dan akan memakainya kalau Orion bertanya sama dia di mana kalung itu.
“Ya itu pengamatan gue aja sih, gue pernah sempat mendengar percakapan mereka soalnya, dulu. Walaupun samar-samar tapi gue yakin, kalung itu termasuk tujuan misi ini.” jelas Molly panjang lebar membuat Gladys yang lebih dekat dengannya mengaga lebar.
“Kalimat terpanjang lo tuh, Mol. Tumben lo, agak pinter menganalisis sesuatu.” Gladys terkikik geli saat sebuah bantal menghantam wajahnya.
Axela menerima benda mungil itu dengan perasaan yang berdebar. Pikirannya bertanya-tanya akan barang bukti tersebut. Apakah benda itu memang masih ada? Bukankah sudah hilang bak di telan bumi bersamaan dengan kematian seseorang yang dicintainya itu?
Ia menyipitkan matanya, memperbesar gambar di layar ponsel tersebut.
Benar. Dia Tiffany. Cewek dalam gambar itu terlihat sedang menguncir rambutnya keatas, membuatnya menunduk dan memperjelas liontin yang mengkilap seperti pantulan cahaya di sudutnya, keadaan cewek itu juga mempermudah Molly mengambil gambar, sepertinya. Kerja yang bagus.
Ia mengamati gambar itu kembali dengan benar-benar detil. Matanya terbelalak mendapati kenyataan itu. Ternyata benar. Semuanya tidak benar-benar hilang. Kenangan dirinya akan seseorang itu, Alex, harus di rengut kembali oleh mantan sahabatnya sendiri.
Semua kenangan itu berada dalam genggaman orang yang salah. Membuat ia semakin terpuruk mengingat tidak ada yang dapat di genggamnya saat dirinya merindukan Alex. Seluruhnya. Seluruhnya telah dikuasai oleh Tiffany, cewek b******k itu!
Tanpa sadar, genggaman pada ponsel mungil itu mengerat kuat seakan mencengkram tangan-tangan yang berani berurusan dengannya. Bibirnya menipis dan bergetar, antara marah, sedih, kesal semua bercampur menjadi satu. Pandangannya menajam mengamati gambar Tiffany di dalam sebuah layar, seakan dapat menembus cewek itu dan menyakitinya dalam satu hentakan saja.
Axela benar-benar merasa murka kali ini!
Diana, Gladys dan Molly menyadari perubahan itu. Axela terlihat begitu mengerikan. Seperti serigala yang seolah akan menirkam ponsel malang di genggamannya.
Apa arti kalung itu untuk Axela? Satu pertanyaan itu mampu membuat ketiganya bungkam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Axela mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah Molly yang memandangnya sedikit mengerikan. Cewek itu tersenyum miring, membuat Molly bingung karenanya.
“Thanks, Molly. Ini berharga untuk gue.” Ia tersenyum simpul seraya menimang-nimang ponsel Molly dalam genggamannya. Axela menarik napas dalam dan menghembuskannya. “Akan gue beritahu lagi rahasia gue yang lainnya. Asal kalian kasih tahu ke gue, siapa Orion.”
“Huh? Maksud lo, Xel?” Diana mengernyit heran.
“Gue sama Dee nggak tahu apa-apa soal Orion, tapi mungkin Gladys tahu.” Molly menunjuk Gladys yang menggaruk kepalanya dengan tersenyum samar.
Gladys memutar bola matanya. “Mantan, bukan berarti tahu semuanya! Orion nggak pernah ngasih tahu hal apa pun sama gue. Beda halnya sama Tiffany! Gue juga nggak ngerti.” Gladys mendengus kesal.
Axela mengangguk pasti. “Tiffany melakukan ini karena cowok itu.”
Gladys mengernyit, “Dari mana lo bisa menyimpulkan semua itu?”
Axela tersenyum miring. “Sudah jelas, bukan? Semua hal yang dia lakukan selalu bersangkut-pautkan dengan Orion. Nama itu lagi, ada apa sih sama cowok itu! Apa dia begitu penting untuk Tiffany?”
“Penting banget!” Diana menjentikan jarinya. Ia teringat saat percakapannya dengan Max, “Apa pun akan Tiffany lakukan untuk Orion.”
“Wait, WHAT? Bukannya terbalik, ya? Apa pun Orion bakal lakukan untuk Tiffany. Begitu kali maksud lo.” Gladys mengibaskan tangannya di udara.
Diana menggeleng kuat. “Bukan! Maxy bilang sama gue, Tiffany itu takutnya sama Orion. Beberapa kali Tiffany menyatakan perasaannya pada Orion tapi selalu di tolak. Nah, Maxy bilang, ada “sesuatu” hal yang dilakukan Tiffany dan itu mengubah segala perilaku Orion terhadapnya. Termasuk berada di samping Tiffany setiap saat, membuat Orion sendiri seolah-olah terlihat begitu melindungi Tiffany dan menghormati cewek itu.”
“Anjrit! Jadi selama ini mereka nggak pacaran?! Terus kenapa Orion mutusin gue?!” Gladys bersidekap.
Diana terlihat berpikir lantas berucap, “Hm, mungkin dia di paksa Tiffany, kan? Terus pas dia menolaknya, Tiffany marah dan ngebuat keluarga lo terlihat hancur dimata semua orang, Dys.” Diana menggigit bibir bawahnya seraya meringis kecil. “Maaf banget kalau omongan gue menyakiti lo ya, tapi gue rasa Tiffany melakukan kekejian itu terhadap keluarga lo semata-mata karena dia merasa harus mendapatkan apa yang dia inginkan. Belum lagi, bokapnya kaya raya.”
“Bukan bokapnya, tapi sahabat kita.” Molly menunjuk-nunjuk Axela.
Gladys terlihat begitu geram. Bukankah tindakan Tiffany seperti seorang psikopat?!
“Dia tega melakukan itu semua sama gue, hanya karena ORION?!” Gladys menutup mulutnya dengan punggung tangan. Matanya berkaca-kaca. Suaranya terdengar parau. Mereka tahu, Gladys menangis karena kenyataan perih yang begitu menohoknya.
Diana dan Molly menghambur ke arahnya untuk memeluknya seraya menenangkan Gladys yang mulai terisak.
“Bukan. Tapi karena ambisinya.” Axela menatap mereka bergiliran. “Ada perasaan cemburu dalam dirinya yang begitu besar. Membuat dia harus menahan sampai tidak mampu menampungnya kembali. Sampai perasaan hal kecil seperti itu justru membuatnya bertindak seperti monster.”
“Maksud lo?” Gladys mendongak ke arah Axela, tangisnya mulai mereda. Ia mencoba mengikhlaskan semuanya.
Axela tersenyum tipis, “Gue nggak tahu pasti. Ta—” Ia menghentikan ucapannya mengingat sesuatu yang mungkin akan sangat membantu baginya. “Siapa nama lengkap cowok itu?” Ia menatap Gladys penuh.
“Orion?”
Axela mengangguk cepat.
“Orion Marvando Revian.”
Axela tertegun. Nyeri pada dadanya kembali membuatnya sesak. Ia merasakan tubuhnya terhuyung kebelakang. Dan semuanya terasa gelap.
***
Apa yang baru saja di dengarnya? Tidak. Bukan baru saja. Mendengar nama itu saja sanggup membuatnya hilang akal sehat. Ia tidak mampu berpikir jernih.
Axela membuka mata perlahan, dilihatnya ketiga temannya tersenyum lega.
“Pukul berapa sekarang?” Axela mengernyit. Dari balik tirai kamar Diana sudah menampakan kegelapan yang hanya di terangi oleh cahaya bulan yang menyembul.
“Jam 9 malam. Gila ya, lo pingsan lama banget. Kita mau balik sampe nggak tega begini.” Gladys memutar mata. Ia membuka mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu sebelum akhirnya menutup mulutnya kembali. Lebih baik ia tidak bertanya dahulu, walaupun penasaran seperti itu namun ia masih punya perasaan melihat kondisi Axela yang tiba-tiba saja membuat mereka semua panik bukan main!
“Lo udah nggak apa-apa?” Diana mencegah Axela yang terlihat ingin bangkit dari posisinya yang lebih seperti orang penyakitan.
“Gue nggak apa-apa. Gue harus pulang.”
“Biar gue antar—”
“Nggak perlu!”
Axela menutup mulutnya, dengan tanpa sadar ia terkesan membentak Diana. Membuat ketiganya curiga karena sikapnya tersebut. Tanpa mengulur waktu, Axela menyampirkan ranselnya dan berlalu.
Jangan. Tidak ada yang boleh mengetahuinya dahulu, lebih dari ini. Dalam hatinya ia meminta maaf pada ketiganya untuk sikapnya yang satu ini. Semua ini demi rencananya. Ia tidak mau salah seorang dari mereka membuka mulut dan terbongkarlah semua identitasnya selama ini.
Tiffany, cewek berbahaya itu akan membunuhnya diam-diam sebelum semuanya terkuak.
Walaupun Axela tahu, ketiga sahabatnya tidak akan melakukan itu. Hal tertolol dengan berusaha mengutarakan semua rahasianya.
Ia merasa bersalah.
***
Orion mengemudikan mobilnya dengan gelisah. Sore ini, ia akan menjemput Tiffany untuk mengajaknya berbelanja. Ia memutar mata mengingat hal yang begitu dicintai Tiffany. Shoping, dan pastinya Orion yang membayar semuanya.
Namun untuk kali ini tidak masalah. Selagi berbincang nanti, ia akan menyelipkan berbagai pertanyaan upaya mencari tahu kebenaran tersebut. Tentu saja dengan mulus dan tidak terkesan terburu-buru jika tidak mau Tiffany langsung menyadari itu.
Tapi semua tujuan itu kandas begitu saja saat melihat cewek itu keluar dari rumah Tiffany.
Axela. Untuk apa cewek itu berada di rumah Tiffany? Dan, oh astaga! Cewek itu mengemudikan Ferrari putih yang terparkir indah di halaman rumah Tiffany. b******k. Bahkan mobil Range Rover-nya tidak semahal milik cewek itu.
Tunggu. Axela mengemudikan Ferrari?
Ia memijit pelipisnya. Sebenarnya siapa yang sedang bermain dan membuat permainan serumit ini? Mengapa harus Orion yang ikut serta dalam permainan bodoh ini? Demi Tuhan. Orion tidak pernah berniat sedikit pun mengikut campurkan dirinya pada masalah orang lain. Namun ia benar-benar penasaran dengan cewek itu.
Axela Devaza.
Bukankah cewek itu hanya cewek biasa, berpakaian lusuh setiap hari, mendapat kelas terpojok, berukuran d**a minim dan rambut hitamnya yang selalu dibiarkan tergerai berantakan. Bukanlah cewek yang indah di pandang, bukan?
Namun saat ini, cewek itu begitu berbeda. Kemeja putih yang di biarkan terbuka 3 kancing teratas, memperlihatkan tanktop yang berwarna senada dengan rambut juga kacamata hitamnya yang menutupi kedua mata itu. Celana jeans yang mulai memudar serta sneakers yang melekat di kakinya.
Ia menghentikan mobilnya dari kejauhan. Memberikan jarak antar mobil hitamnya dengan mobil putih yang tak lepas dari pandangannya.
Cewek itu keluar dari mobil dan berjalan membawa sebuket bunga. Hm, Orion baru menyadari, mobil Axela berada di depan tugu gerbang sebuah pemakaman.
Ia menyandarkan punggungnya, menyisir rambut dengan jarinya. Terlintas bayangan Alex begitu saja saat melihat pemakaman tersebut. Tempat yang paling ia benci karena harus melihat kedua orangtuanya serta Alex yang terbujur kaku di balik gundukan tanah basah.
Demi Tuhan, ia menyadari sesuatu!
Orion segera turun dan memarkirkan mobilnya sembarang sebelum akhirnya ia mengendap-ngendap mengikuti Axela yang tengah bersimpuh di depan sebuah nisan.
“Hai, apa kabar? Maaf ya baru bisa ke sini, karena terlalu sibuk di sana. Kangen ya? Gue juga kangen banget sama lo.”
Samar-samar ia mendengarkan suara Axela yang berbicara sendiri di depan sebuah nisan. Ia tidak dapat melihat wajah Axela karena cewek itu memunggunginya. Namun ia bisa mendengar nada kerinduan yang begitu menyakitkan saat cewek itu berbicara.
Terdengar suara tawa kecil dari cewek itu, namun di saat yang bersamaan suara itu terdengar isakan tangis di sela tawanya. Terlihat bahunya berguncang. Cewek itu menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya di balik rambut hitamnya. Ia mengadahkan kepalanya, yang Orion yakin tengah menahan air mata cewek itu kembali terjatuh.
Ia kembali tertawa sumbang, “Mungkin terdengar aneh, tapi kalau lo bangun dan melihat gue saat ini, lo akan shock dengan perubahan ini. Demi Tuhan, gue melakukan ini untuk kita, agar gue bisa menjalankan rencana ini dengan mudah. Agar gue juga bisa bahagia melihat lo tenang di sana.”
Cewek itu bangkit tanpa memperdulikan lututnya kotor akibat tanah dan dedaunan kering yang menempel di celananya.
“Gue pulang, yah? Jangan mencoba mencegat gue dengan kebungkaman lo itu.” Axela terkekeh, “Inget nggak, di mana lo yang selalu diam membisu kalau nggak suka dengan apa yang gue lakukan? Hebat. Itu kelemahan gue. Lo bahkan mampu membuat gue berpikir ulang melakukan hal yang lo nggak suka atau membahayakan diri gue sendiri.
“Gue kangen elo. Demi Tuhan, gue mohon sama lo untuk mampir sejenak aja di mimpi gue, bisa? Gue hanya ingin tahu apa lo mengetahui kalau gue benar-benar merindukan lo, Lex.” Axela terkekeh nyeri. Hatinya bagai tertusuk ribuan belati saat hanya terdengar suara dahan pohon yang bergoyang tertiup angin.
Lex?
Orion menajamkan pendengarannya.
Ia menderap melangkah ke arah batu nisan tersebut saat dilihatnya Axela berlalu dan mulai menjauh. Pandangannya tidak lepas dari batu nisan tersebut. Langkahnya terhenti begitu saja. Ukiran nama tersebut benar-benar membuat indra perasanya tidak berfungsi. Lidahnya kelu untuk mengucapkan sebuah kata yang lebih hebat dari ketertegunannya saat ini.
Alex Marvando Revian.
***
“Jadi bener, Axela punya hubungan sama Alex?” Hugo mencondongkan tubuhnya menatap Orion yang langsung di dorong oleh cowok itu.
“Nggak perlu sedeket itu juga, Go!” Orion mengusap wajahnya gusar. “Gue juga nggak ngerti. Tapi gue nggak mungkin lupa sama tempat tinggal terakhir Kakak gue sendiri, walaupun udah lama nggak berkunjung kesana.”
“Bener tuh. Lagipula, masa iya nama Alex Marvando Revian ada dua di situ. Kalaupun ada, pasti beda tempatlah. Eh lagian juga, pasti beda-beda dikitlah namanya, masa mirip banget gitu.” Daniel mengusap keningnya, bingung sendiri.
“Ngomong nggak becus, bau sampah!” Hugo memiting leher Daniel kembali.
Max hanya menggeleng lemas melihat tingkah keduanya. Pandangannya beralih pada Orion yang tengah menatap kedua bocah tersebut dengan tatapan kosong.
“Ini memang semakin rumit, sementara bukti-bukti jatuh kepada Tiffany. Hanya satu yang bisa menjadi petunjuk buat diri lo sendiri, Ri.” Max menepuk punggung Orion sekilas, “Kata hati. Kalau perasaan lo nggak memiliki keraguan sama Axela, seperti saat lo bersama Tiffany, udah jelas siapa yang harus lo pilih.”