Chapter Two

2473 Words
b******k! Tiffany benar-benar melakukan hal-hal di luar dugaan. Saat ia berjalan melewati koridor kelas musik, butiran-butiran kelereng berhamburan, membuatnya terpeleset dan menjadi bahan cemoohan. Semua orang tertawa di atas penderitaannya hingga telinganya berdenging, sakit. Axela menutup rapat-rapat pintu toilet dan menguncinya. Ia membasuhkan wajahnya di hadapan westafel, menatap bayangan dalam cermin. Nyaris saja ia tidak mengetahui siapa yang ada dalam bayangan itu, kalau sedetik kemudian Axela tidak mengingat bahwa tidak ada lagi orang di dalam toilet ini. “Siapa gue?” gumamnya terlebih pada pantulan bayangannya di cermin. Sudut bibirnya tertarik, namun tidak pada matanya yang terasa panas. Kembali di tangkupkannya air yang mengucur dari keran dan membasuhkan wajahnya kembali. Masa lalunya kembali berkelebat dalam benaknya seiring air itu menetes melewati dagunya. Axela sepenuhnya yakin… Seorang itulah yang dicarinya. “Lo akan menyesal, Rose.” *** Axela membuka pintu lokernya, menaruh sepatu di sana agar tidak ada yang bisa mengerjainya lagi. Begitu ia menutup pintu lokernya ia nyaris terlonjak. Terkejut dengan kehadiran seseorang di samping lokernya. Cowok bertubuh tinggi yang tengah menatap Axela dengan alis terangkat. “Axela Devaza, benar itu nama lo?” Axela mengangguk, gugup. Ada apa dengannya? Axela berani bersumpah, tatapan tajam cowok itu begitu mengintimidasi, mata hitamnya berkilat menatapnya. “Kenapa? Gugup?” tanya dengan santai. Sebelah bahunya bersandar pada dinding loker. Cowok itu menampakan seringai. “Axela, sekali lagi lo melawan. Bukan hanya Tiffany yang akan menghantui lo, tapi juga gue.” Cowok itu berlalu, sedangkan Axela hanya mampu menatap punggungnya. Kenapa dengannya? Oh ayolah, ia tidak pernah seperti ini! Ia menghela napas kasar. Tatapannya. Mata hitam itu mengingatkan Axela pada seseorang. Tapi itu tidak mungkin dia bukan? Tentu saja. Dia sangat baik. Dia mencintainya. Seseorang itu tidak tergantikan. Mengingat itu semua membuatnya mendongakan kepala berusaha menahan air mata yang nyaris terjatuh. Ia tidak akan terlihat lemah. Ia tidak akan meruntuhkan dengan sendirinya pertahanan yang selama ini telah dibangunnya. Ia tidak akan berbuat suatu tindakan yang t***l. Tidak akan. Sampai suatu saat semuanya terkuak. Dan tentunya tidak akan sudi ia menangis di gedung berisi para setan ini! *** Gladys melihat adegan itu. Ia tengah bersembunyi di balik dinding, memperhatikan cowok yang pernah singgah di hatinya. Ya, keduanya pernah memiliki hubungan dan kandas begitu saja saat Tiffany datang dan memberitahu “siapa” dirinya pada cowok itu. Entah apa yang di katakan cewek b******k itu, sampai cowok yang di sayanginya bertekuk lutut pada cewek b***t itu. Ia sempat menduga-duga, dan pada akhirnya menyerah karena tidak terpikir apa pun sama sekali. Yang pasti, apa pun yang dikatakan Tiffany tentang dirinya pada cowok itu adalah hal yang sangat penting bagi Orion sendiri. Orion Marvando Revian Nama yang bagus bukan? Namun kenapa harus bersanding dengan Tiffany Rose? Ah, atau Tiffany Maxwell? Jadi siapa sebenarnya nama cewek bengis itu? Dan kenapa Axela menyebutkan nama itu seakan mempunyai kebenaran dalam setiap ucapannya. Membuatnya makin penasaran dengan Axela… Hmm, teman barunya? Apa cewek itu mau berteman dengannya? Orion meninggalkan Axela dengan tatapan tajam yang menusuk. Gladys dapat merasakan betapa dinginnya atmosfer diantara mereka. Ia melihat Axela begitu gugup. Benarkah? Apa kelemahan cewek itu adalah sebuah tatapan maut atau kata-kata menusuk dari seorang cowok tampan terpopuler di sini? Ah, sepertinya bukan. Ia merasa Axela bukan seperti itu, walaupun baru mengenalnya beberapa jam yang lalu. Tunggu dulu. Kenapa dengan cewek itu? Gladys menyipitkan matanya, memperjelas apa yang dilihatnya. Axela tengah mengadahkan kepalanya. Sepasang mata hitam itu berkaca-kaca, menahan tangis. Mungkinkah Axela menyukai Orion? Ia menggeleng samar. Menepis pikiran itu. Tidak mungkin. Lalu, bila semua itu benar, ada apa dengan lo Gladys? Bukankah Orion sudah tidak lagi menempati hati lo? Batinnya bergelut. Mungkin. Gladys tidak tahu. Tapi yang jelas, hubungan “mantan” dan “teman” itu bikin penasaran setengah mampus. “Elo ngapain?” Gladys nyaris terlonjak, Axela telah berdiri di hadapannya. Tinggi mereka nyaris sama, hanya Axela terlihat lebih tinggi karena postur tubuhnya yang ramping. Nyaris dikatakan kurus. Pipinya yang tirus. Namun tidak mengurangi kecantikan yang sebenarnya jauh melebihi dirinya bila di poles sedikit lagi. Ia akui itu. Sedangkan dirinya, terlalu montok karena terlalu sering mengemil! “Ng, nungguin Molly.” “Kenapa di sini?” Axela menyelidiknya. Jantungnya berdebar seperti maling yang tertangkap basah. Axela memandanginya curiga. Gladys membuang pandangan berpura-pura mencari Molly. “Iiih! Gue cari kemana-mana di sini rupanya! Katanya mau nungguin gue di depan toilet sampai kelar, belum selesai ganti baju tau nggak tadi. Lo malah kabur! Gue jadi buru-buru nih, berantakan! Ngapain coba di sini?” gerutu Molly yang baru saja tiba panjang lebar diakhiri dengan dengusan kesal. Axela memandangi Gladys dengan sebelah alis terangkat. Gladys meringis kecil lalu memamerkan cengiran. “Gue balik ya. Yuk, Mol.” Dengan canggung, Gladys menarik Lily yang kebingungan. Axela memandanginya dengan senyuman geli. Ia tahu, Gladys mengintip dirinya dengan cowok itu. Dan sepertinya Gladys melihat adegan dirinya yang sedang menahan tangis. Memalukan. Axela mengeluarkan ponselnya, mengernyit begitu mendengar penjelasan seseorang di sebrang. Axela mengela napasnya. “Mulai hari ini.” *** “Axela!” Diana berlari kecil menghampiri Axela. “Lo mau pulang ya? Bareng gue aja, gimana? Kita tunggu bareng, supir gue bentar lagi dateng.” Rasanya ingin menolak. Namun apa alasannya? Ingin naik angkutan umum saja? Helah, itu sangat luar biasa t***l. Jelas ada mobil pribadi, masih mau berkeringat ria di dalam angkutan sumpek begitu? Dan tentunya itu sangat mencurigakan, walau Axela tahu, Diana adalah tipe cewek yang tidak akan memaksa walaupun rasa penasarannya sudah memuncak. Alih-alih Axela menanggapinya, “Masih pake supir? Kenapa nggak nyetir sendiri?” Diana menggeleng pelan. “Nggak boleh sama Papa. Katanya takut gue kenapa-napa.” Diana terkekeh geli. Mungkin mengingat wajah bokapnya saat melarang anaknya itu? Axela menghela napas. Betapa ia begitu merindukan sosok seorang ayah. “Lo nggak apa-apa, Xel?” Hah? Axela bahkan tidak menyadari mobil Alphard putih telah berdiri di hadapannya. Pikirannya begitu kalut dengan memori masa lalunya yang begitu… Kelam? “Kayaknya lo orang kaya, deh,” gurau Axela saat pantatnya menduduki kursi empuk mobil itu. “Kenapa lo mesti takut sama Tiffany?” Diana hanya bergumam, ragu untuk menjawabnya. “Kelihatan banget kali.” “Apanya?” Diana mengenyit bingung. “Lo sebegitu takut sama Tiffany.” Tebaknya tepat mengenai sasaran. Diana membuang napas kasar. “Sama halnya seperti Gladys.” Pernyataan itu sanggup membuat Axela menoleh penuh padanya. “Gladys bahkan mempunyai bokap dan nyokap yang lebih kaya dibanding gue. Tapi… Entahlah, gue juga bingung apa yang dilakukan Tiffany saat Gladys melawan dia. Bokapnya terserang stroke dan bangkrut.” Axela terperangah mendengar cerita yang meluncur halus dari bibir Diana. Sebegitu terobsesikah seorang Tiffany untuk mendapat semua apa yang diinginkannya? “Memangnya nggak ada yang ngebantu?” Axela kurang yakin. “Seharusnya… Mengingat Gladys dan Orion pernah punya hubungan. Tapi, ah entahlah. Tiffany bisa-bisanya ngebuat Orion mencampakan Gladys begitu aja, kemudian bertekuk lutut sama cewek itu.” Shit.  “Lo juga nggak bisa ngebantu?” Axela meyakinkan. Diana mengangkat bahu. “Satu-satunya orang yang ditakuti sama Tiffany, ya cuma Orion. Ketampanan dan kepopuleran cowok itu ngebuat Tiffany seakan pengin banget mendapatkan dia dengan cara apa pun, sekali pun itu membuat hancur orang itu sendiri.” “Maksud lo?” Axela mengerjapkan matanya yang mulai perih, sejak Diana berbicara tentang romeo-juliet itu, Axela menatapnya lekat sampai lupa berkedip. “Entahlah, gue rasa banyak banget kebohongan yang di buat Tiffany. Gue bisa baca gerak tubuhnya yang begitu kasat mata, sehingga orang lain mudah tertipu.” Sudut bibirnya terangkat. Ia menatap Diana yang kini tengah asyik menatap ponselnya. “Kita teman, kan?” Diana langsung menoleh padanya dengan mata berbinar juga senyuman yang tulus. Diana mengangguk antusias. Axela berdeham. “Kalau begitu, lo mau bantu gue?” *** “Nona, air hangatnya sudah saya siapkan.” “Ya, taruh aja.” “Baik, Nona. Saya permisi dulu.” Axela membalasnya dengan gumaman. Ia meletakan bingkai foto yang penuh dengan kenangan dengan hati-hati. Ia tidak pernah lupa untuk membersihkan gambar-gambar yang terlindungi oleh lapisan kaca itu. Axela tersenyum getir menatap foto itu. Foto dirinya dengan seseorang yang begitu berarti baginya tengah merangkulnya dan tersenyum begitu bahagia. Air matanya tak mampu terbendung lagi, meluncur begitu mulus, sehalus pipinya. Ponselnya berdering, ia mengangkatnya tanpa ragu. “Ya? Bagus. Ingat, tidak ada yang boleh tahu soal ini.” Ia memutuskan sambungan dan tersenyum. Axela menghubungi seseorang yang kini menjadi temannya tanpa embel-embel. Axela begitu kagum dengan kecerdasan cewek itu. Mungkin dia akan mempermudah semuanya. Ah tidak, Axela bukan memanfaatkan otak cewek itu. “Dee, besok kita berangkat bareng.” *** “Ya ampun! Parah banget sih. Gue disuruh jalan kaki dari ujung sampe ujung. Nanti betis gue terkena varises, gimana? Kenapa sih nggak mau di jemput aja pake mobil gue?” Axela terkekeh geli. Diana sudah berani mengumpat padanya. Itu artinya mereka semakin nyaman dengan pertemanan itu bukan? “Gue nggak mau ngerepotin—” “Astaga. Gue nggak repot!” Diana mendengus kesal. “Bukan lo, tapi supir lo. Dia, kan, butuh istirahat. Masa lo mau terus-menerus bergantung sama supir lo yang nyaris bau tanah dan kehabisan rambut begitu?” Diana mendelik. “Dia kan di bayar untuk kerja.” “Lo nggak tau ya, gimana susahnya nyari uang? Sekali-kali lo hargai mereka deh. Biar lo dihormati tanpa alasan apa pun.” Diana pasrah. Berdebat dengan Axela hanya meninggikan tekanan darahnya. Tapi di balik itu semua, Diana sangat antusias dengan keakraban mereka. Axela sejauh ini terlihat lebih santai dan sering mengeluarkan lelucon garing maupun ceramah kulit kacang, ya seperti tadi. Diana memang belum mengetahui “siapa” Axela. Tentunya ia tidak akan memberitahu jati diri sebenarnya itu kepada Dee. Ya, begitulah panggilan akrabnya sekarang. Maka saat ini, di sinilah mereka berada. Berdiri menahan gatal dari nyamuk-nyamuk kampung asal semak-semak yang menggerogoti kaki mulus mereka. Diana tidak pernah mengira Axela akan mengajaknya menunggu angkut persegi panjang yang bau dan bising itu di halte untuk pergi ke sekolah. Apa kata mereka nanti?! “Tapi kenapa harus naik Bus?!” Diana menggaruk betisnya yang gatal. Ia tidak berhenti-hentinya mendumel. Axela memutar matanya, “Lo tau Go Green? Daripada mobil lo termasuk salah satu perusak lapisan atmosfer, mending lo pajang di rumah. Lumayan, buat pamer.” Diana memukul pelan bahunya. “Gila lo!” Tak urung mereka tertawa juga. “Jadi apa rencana lo?” Diana memelankan nada suaranya. “Gue butuh seseorang lagi. Atau paling dua orang. Kita nggak akan mampu menyelidiki dengan dua sisi aja.” “Gimana kalau Gladys dan Molly?” Axela yang sejak tadi hanya menatap lurus ke jalan raya, kini menoleh pada Diana dan tersenyum. “Setuju.” Mereka hanya berdiam diri sampai angkutan umum itu pun muncul. *** “Well, gue mencium bau busuk di sini.” Tiffany menyandarkan punggungnya pada dinding koridor seraya menyilangkan kedua lengannya, “Susah sih ya, se-kaya apa pun orangnya, kalau jiwa-nya miskin tetap aja gaya hidupnya kebawa melarat.” Ia tertawa, matanya menyipit ke arah Axela dan Diana yang sedikit menyembunyikan dirinya di balik tubuh Axela yang kurus dan sedikit lebih pendek darinya. Itu artinya, sama saja tidak bersembunyi bukan? “Maklum lah, Fan. Orang-orang tertindas yang merasa harga dirinya sudah terinjak, lebih baik menghancurkan image-nya sekalian. Iya nggak?” Monica memelintir ujung rambutnya. “Iyalah, secara, seorang pemulung berpakaian lusuh begitu menantang Tiffany yang udah jelas menjadi Madonna di sekolah. Nggak akan bisalah! Nyari perkara aja deh.” Katty menambahkan seraya mengangkat tinggi dagunya. Tiffany tertawa puas. “See? Banyak yang berpihak pada gue.” Axela menatapnya datar. “Cuma dua.” “Oh, gitu? Perlu gue panggil semua pendukung gue, huh?” Tiffany mengibaskan tanganna keudara. “Lo mau pamer partai?” Axela mengangkat alisnya. Axela dapat mendengar tawa kecil di belakangnya. Oh, bukan hanya Diana saja yang tetawa geli, namun semua orang yang melihat adegan mereka terlihat menahan tawa, bahkan dari kejauhan ia mendengar beberapa terkikik geli seraya menjauh agar tidak tertangkap oleh Tiffany tentunya. Mau tidak mau Axela menampilkan seringai. “Lucu juga. Di mana semua yang lo bilang adalah pendukung lo malah tertawa seakan menjatuhkan diri lo sendiri.” “b******k. Seenggaknya, banyak yang berpihak sama gue. Sedangkan lo? Cuma Diana? Anak kutu buku yang tiap hari di anter-jemput supir layaknya Putri yang manja? Oh, please. Are you kidding me? You both like a BEAST-friend!” Tiffany dan kedua temannya tertawa meremehkan. “Setidaknya kami adalah kami. Nggak menjadi benalu dalam kehidupan orang lain. Kami bersenang-senang juga dengan kebersamaan, bukan pamer harta.” Bukan, itu bukan suara Axela. Diana bahkan tertegun sendiri setelah berucap. Kalimat itu sanggup menohok komplotan Tiffany. Axela tersenyum kecil melihat Diana yang kini sudah berdiri di sampingnya, seolah siap menyerang tiga monster mulus di hadapannya. “Ayo Xel. Gerah gue!” Diana menarik sikunya. Axela tersenyum seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Tiffany, Monica dan Katty yang menganga lebar sebelum akhirnya mengikuti langkah Diana. Melihat punggung kedua cewek itu yang mulai menjauh, tidak disadari oleh keduanya, keempat cowok itu tengah memandangi mereka dengan tatapan berbagai macam. “Itu Diana? Si cewek anak perpus itu, kan?” Daniel mengernyitkan dahi. Hugo mengelus dagunya menanggapi Daniel. “Punya nyali juga dia buat ngelawan Tiffany. Gue kira—” “Gue rasa karena pengaruh anak baru itu.” Potong Max seraya menambahkan. Tatapan cowok itu beralih pada Orion yang menatap lurus punggung Axela yang semakin mengecil. “Gue emang nggak kenal dia, secara kita aja baru liat kemarin. Tapi gue punya feeling kalo cewek itu, Axela, punya hubungan aneh sama Tiffany.” Orion menautkan alisnya. “Gue tahu itu. Dan apa pun yang dia lakukan sama Tiffany, jangan salahkan gue kalo apa pun juga akan gue lakukan buat menghancurkan dia.” “Masih aje ngebela Tiffany, buset! Bos, Tiffany tuh cuman manfaatin lo.” Daniel nyaris melotot memandangi Orion yang menatapnya datar. “Iya Ri, dari dulu gue juga sependapat sama nih bocah,” Hugo menelengkan kepala Daniel. “Gue ngerasa Tiffany bukan orang yang lo maksud. Secara, beda banget gitu. Cerita yang kita dengar sama kenyataannya.” “Seberapa tau kalian soal Tiffany, hm? Cukup tahu aja, kan? Lagipula, semua orang bisa berubah, apalagi semenjak kepergiannya.” Orion menyipit seraya menghembuskan napas berat. Max memutar matanya. “Iya gue tahu prinsip orang bisa berubah. Tapi kata hati tetap sama, kan? Kalau lo aja belum yakin kenapa harus membela dia terus menerus coba? Salah salah, lo bisa nyakitin pihak lain.” “Gue udah yakin sepenuhnya, Tiffany-lah orangnya. Dia punya kalung itu. Semua bukti ada di tangannya. Dia-lah cewek yang harus gue lindungi, sesuai janji gue sama Alex.” Orion menajamkan suaranya. “Jangan pernah ada yang ngebantah, atau lo semua gue patahin lengannya!” Orion berlalu meninggalkan ketiganya yang saling tatap seraya menggeleng dan mendengus kesal. “Kita ikutin aja, seberapa besar Tiffany bisa mengendalikan Orion dalam permainannya.” Max menatap ketiganya. “Itu berarti sama aja dengan kita berada di pihak Axela, kan?” Hugo mengernyit. Max tersenyum penuh arti. “Emang itu tujuan gue.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD