Chapter Three

2092 Words
“Jadi kita semua bersatu gitu?” Molly memamerkan cengiran lebar. “Bahasa lo, Mol. Jijik gue dengernya.” Gladys bergidik membuat bibir Molly mengerucut mendengar panggilannya saat sedang kesal padanya. Tatapannya beralih pada Axela yang tersenyum kecil. “Emang apa masalah lo sih, Xel? Gue sih mau aja, tapi gimana ntar kalo kita di sangka ikut campur?” “Kita bukan ikut campur kok, lagi pula bukankah kita teman?” Diana menatap beriringan. “Ya terserah sih kalian mau bantuin atau nggak, gue nggak maksa.” Axela mengangkat bahu acuh, namun hati kecilnya sedikit kecewa seandainya jawaban mereka adalah tidak. Entahlah, mungkin ia merasa kehadiran ‘teman’ tidak seburuk yang dibayangkannya. Untuk saat ini. “Hmm, apa bayarannya?” Gladys mengetuk dagunya. Axela tertawa kecil. “Sinting. Oke, gue bakal kasih tahu ke kalian bertiga,” Axela menarik napas dalam. “Sebuah rahasia. Gimana?” Ia bersidekap. “Boleh tuh! Dari awal gue udah duga lo bukan murid ‘biasa’, yang dalam artian elo itu punya rahasia besar. Apalagi semenjak lo bilang nama panjang Tiffany itu Maxwell,” ujar Molly antusias. “Astaga, bisa nggak lo bersikap biasa aja?” Gladys memutar kedua matanya, “Oke. Deal.” Ia tersenyum pada Axela. “Kita teman, kan?” Diana mencondongkan badannya menatap ketiganya. Axela sedikit terenyuh mendengar antusiasme ketiga temannya. Begitu besarkah keinginan mereka untuk saling memiliki? Rasanya ia ingin memutar waktu, sehingga ia tidak akan menyangkal bahwa pertemanan sesungguhnya tidak seburuk yang dialaminya, dulu. Ia memejamkan mata. Semoga tindakannya kali ini tidak salah. “Mulai detik ini. Ya.” *** Sial. Lagi-lagi Axela harus di hukum karena ketahuan membolos mata pelajaran. Bukan apa-apa, hanya saja ia tidak suka dengan ketidakadilan. Di saat ia membolos ia pasti akan di hukum seberat mungkin, seperti membersihkan toilet saat ini. Namun beberapa anak yang membayar SPP termahal akan di hukum ringan atau lebih parah lagi dimaafkan seperti halnya Tiffany… tunggu! Tiffany? Matanya terbelalak melihat cewek b***t itu sedang menautkan bibir dengan cowok paling terpopuler dan… hm, tampan seantero sekolah. Brengsek! Nggak ada tempat teristimewa untuk hal begituan selain toilet, huh? Batinnya menggerutu. “Hmm, Rion, kayaknya ada yang nggak suka kita pacaran di sini. Mungkin iri kali ya, yaudah yuk kita pindah aja. Pantesan aku merinding gini, ternyata ada penghuni-nya ya.” Tiffany menyipit ke arah Axela yang menatap kain pel tak berdosa di genggamannya. Cowok itu menoleh, tatapan keduanya lagi-lagi bertemu. Bukan hanya Axela yang merasakan keanehan dari mata hitam dan tajam milik cowok itu. Bagaikan déjà vu saat kedua mata Axela mengunci tatapannya. “Rion! Kamu kenapa sih?” Tiffany merengut saat Orion dan Axela saling bertatapan tanpa jeda, bahkan tanpa berkedip. Orion memejamkan matanya, berusaha menepis bayangan itu. Sosok yang kini telah menghilang dan tenang di alam barunya. Tatapannya beralih pada Tiffany yang masih terkunci oleh kedua lengan kokohnya. Ia mencium bibir itu sekilas, kemudian berlalu begitu saja. Axela tertawa geli melihat Tiffany yang kesal setengah mati pada Orion yang meninggalkannya begitu saja. Tiffany mendekat, “Lo akan tahu balasannya nanti Axela!” Ancamnya geram. Axela tersenyum tipis. “Di tunggu.” *** Orion mengusap wajahnya gusar. Ada apa dengan dirinya? Selama ini ia mencoba untuk meyakinkan perasaannya pada Tiffany, cewek yang di titipkan mendiang Kakaknya untuk ia lindungi. Ia mencoba melakukan segala cara apa pun agar membuat dirinya jatuh hati pada Tiffany, memperdalam tatapannya bahkan meninggikan hasrat dengan bertautan bibir satu sama lain. Namun apa yang dirasakannya? Tidak ada. Dan hal berbeda sekaligus membuat Orion merasa menjadi orang tertolol di muka bumi ini adalah saat dirinya tidak dapat berpikir jernih ketika mata itu menatapnya. Menguncinya untuk berpikir bahwa dia-lah orangnya. Bagaimana bisa? Sementara ia baru mengetahui cewek itu. Orang yang berani menantang Tiffany. Memang, Tiffany bukanlah apa-apa tanpanya, namun apakah cewek itu menyadari Orion berada di pihak Tiffany? Dan bisa dipastikan bahwa semua orang akan berpihak padanya sehingga tidak ada yang berani menantangnya. Kecuali cewek itu. Axela Devaza. Apakah benar yang dikatakan teman-temannya mengenai hal ini? Bahwa Tiffany bukanlah orangnya? Jangan menyudutkannya, karena dia-pun tidak tahu! Orion mengambil ponsel disakunya yang tiba-tiba saja menjerit, membuyarkan semua pikirannya yang berkelebat membuatnya pening. “Ha—” “Bos, lo dimane? Ebuset, ngabur nggak ngajak-ngajak kita. Jahat lo.” Daniel ini, logatnya itu lho. Tidak matching sekali dengan nama kerennya. Orion meringis geli. “Gue di kantin. Lo ke sini aja—” “Doh, pelajaran si Sugi nih! Heran gue, nggak ada bosen-bosennya dia ngajarin para murid akan masa lalu, ck. Nggak heran sih tuh muka udah kayak lahir di jaman Mesozoikum.” Orion terkekeh  pelan, “Udah, sini lo. Ajak Max sama Hugo juga,” ujarnya seraya memutuskan sambungan. Terkadang Orion merasa bersalah akan sikapnya pada Max, Hugo dan Daniel. Mereka selalu ada untuknya, bahkan di saat Orion mengacuhkannya mereka-pun tetap di sampingnya, bersikap seolah pertengkaran mereka hanyalah angin lalu. Karena itu, tidak pernah ada kata maaf diantara mereka. Lain halnya bila kenyataan yang masih diragukan oleh dirinya sendiri tidak sesuai dengan pemikirannya. Saat ada kemungkinan bahwa apa yang dikatakan para sahabatnya itu terdapat kebenaran yang sesungguhnya. Ia harus meminta maaf pada mereka, kalau dirinya memang salah. Ia harus mengakuinya. *** “Lho? Elo nggak di jemput, Dee?” Gladys menaikan alisnya. Diana menggeleng, “Nggak. Kata Axela sih, nyari uang itu susah. Terus kita juga harus menerapkan semboyan Go green.” Jelasnya menjeling pada Axela di sampingnya. Gladys dan Molly saling berpandangan. “Lha, apa hubungannya?” tanya meraka serempak. Axela memutar bola matanya, mendengus kesal. “Kasihan Supirnya. Kalian nggak tahu aja gimana aroma mobil mewah Nona di samping gue ini, baunya udah menyerupai tanah.” Mereka terkikik geli. Walaupun begitu, mereka mengetahui Axela tidaklah bersungguh-sungguh mengucapkannya. Ia hanya sedikit mencairkan sedikit suasana, walaupun terdengar begitu garing di telinga. “Ya terus kita naik apa? Taksi jarang lewat halte di sini.” Molly menggembungkan pipi merasakan rasa sakit di bokongnya setelah sekian jam mereka duduk di bangku halte yang keras. “Duh, p****t gue sakit nih, ugh!” Gladys mendengus seraya mengibas-ngibaskan tangannya pada leher jenjangnya, “Tau! Gila lo ya, berteman sama lo melarat gini.” Ia mencium ketiak di balik seragamnya, “Bau banget pula badan gue! Kurang ajar emang petugas sekolah yang nebang pohon di depan halte ini! Mana nggak adem!” Ia mengusap peluh yang mengucur di dahinya. “Nggak enak, kan? Apalagi kalau pagi-pagi, huh, nyamuk-nyamuk kampung pada ngegigit kaki gue.” Diana bersidekap. Tidak, Axela tidak tersinggung, justru ia malah tergelak mendengar gerutuan teman-temannya. Tidak ada kecanggungan lagi diantara mereka. Terlihat lebih santai dan apa-adanya diri mereka. Bukankah itu namanya teman? “Kalian harus terbiasa. Seandainya derajat kalian turun tanpa terduga gimana? Hm?” Axela tertawa geli melihat Gladys yang melempar sapu tangan ke arahnya. “Keluarga gue udah melarat kali gara-gara Tiffany b***h itu!” Gladys merasakan terik matahari makin menyengat saat ia mengucapkan nama cewek terbejat yang pernah dikenalnya itu. “Udah ah bahas yang lain. Ini lagi, kenapa bus-nya nggak dateng-dateng coba?!” “Ini kita nunggu bus ke arah mana sih? Dari tadi banyak yang lewat perasaan! Mau nunggu kopaja?!” Molly berkacak pinggang. “Ke rumah Diana.” “Kenapa nggak ke rumah lo, Xel?” Gladys menaikan alisnya, “Apa itu termasuk salah-satu rahasia lo? Banyak juga ternyata. Kayaknya elo cewek penuh misteri banget deh.” Diana mendelik, “Ya ampun Dys, berlebihan tau nggak. Eh itu busnya dateng, ayo!” Molly dan Diana segera berlari menghampiri bis yang penuh sesak itu. Gladys berjalan gontai diikuti oleh Axela. “Hidup sederhana ya? Harus rela membuang oksigen bersih tergantikan dengan bau keringat yang menyebabkan pencemaran udara?” Gladys menghentikan langkahnya menatap Axela yang terlihat lebih pendek karena flat wedges yang di pakainya, “Lo hutang penjelasan.” “Akan gue kasih tau rahasianya kalau kalian melakukan misi itu dengan benar.” “Mulus pasti. Tiffany bego gitu…” Matanya menangkap sesosok tampan yang sedang berdiri menyandarkan pinggangnya pada mulut mobil yang terparkir di bahu jalan sebrang, “Eh, itu Orion, kan?” Axela menggedikan bahu, “Nggak kenal gue.” “Ah yang bener aja! Bukannya kemarin lo ngobrol sama dia, sampe nangis gitu, emang diapain?” Gladys yang menyadari sesuatu langsung menutup mulutnya. Axela menyipitkan matanya menatap Gladys. “Udah gue duga, lo menguping.” Ia bersidekap, “Masuk.” Ia menunjuk pintu bus yang terbuka dengan dagunya. “Iya iya, sori deh.” Seraya menunggu Gladys, Axela menangkap sosok Orion yang masih setia berdiri di depan mobilnya, sampai seorang cewek cantik dengan gaya eloknya menghampiri Orion dan menciumnya. Astaga! Di mana-mana seperti itu? Tunggu. Cewek cantik? Tentu. Tiffany memang cantik, tubuhnya yang molek sangat indah di pandang, tak heran Orion sampai begitu memuja dan membela Tiffany. Namun sayangnya kecantikan itu hanya diluarnya saja. Ia menyesal pernah mengenal cewek itu. Bahkan pernah berteman dengannya adalah sebuah awal dari bencana seperti sekarang ini. Axela tidak pernah menyangka, ia pernah mempercayai semua kata yang keluar dari mulut iblis. Ia menyesal. Benar-benar menyesal. Axela tidak menyadari dirinya menjadi alasan mengapa Bus di hadapannya tidak bergerak. Sampai kenek bus tersebut membuyarkan lamunanya. “Neng! Mau naek nggak? Kejar storan nih, duileh.” *** “Riooonn!” Bisikan seksi dari bibir Tiffany membuatnya menoleh, cewek itu langsung memeluk manja dirinya dan mencium bibirnya posesif. “Kamu udah lama, ya? I’m sorry, Babe. Tadi ada urusan sebentar.” Tiffany menggigit bibir bawahnya dan tersenyum menyentuh puncak hidung Orion dengan telunjuknya. “Nggak. Hari ini kita mau ke mana?” Orion merapikan helaian rambut Tiffany yang di beri high-light berwarna kemerahan. “Duh, I’m sorry Darl, tapi sekarang aku capek banget nih. Pengen istirahat, nggak apa-apa, kan?” Tiffany menampilkan senyuman termanisnya. Ya, kalau boleh dibilang, semua cowok pasti langsung melting dilemparkan senyum itu untuk mereka. Namun tidak untuk Orion. Tidak. Bukan karena menurutnya Tiffany tidak cantik. Cewek itu begitu cantik, bahkan make-up yang menghiasi wajahnya selalu menambah nilai tinggi untuk pesonanya. Namun inilah keburukannya. Di saat cewek itu ingin cowoknya menuruti semua keinginannya, pasti ia akan mengeluarkan senyuman termanis agar lawan bicaranya menyanggupi omongannya tanpa berpikir dua kali. Cowoknya? Tunggu, bukan itu maksudnya. Orion tidak pernah menerima Tiffany! Ia beberapa kali menolak, bahkan berusaha menghiraukan “pernyataan” dari bibir seksi di hadapannya. Namun keduanya justru terlihat semakin lengket tanpa celah saat Orion berusaha menepis pikiran orang-orang akan desas-desus hubungannya dengan Tiffany, membuat mereka terlihat mencolok dan menjadikan mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Bergandengan, berpelukan, bahkan berciuman. Oh tunggu, satu lagi. Dan Orion selalu berada di sampingnya, dalam artian, mereka selalu bersama. Dan memang itulah kenyataannya, walau sebesar apa pun Orion berusaha mengelak. Di saat ia meragukan perasaannya terhadap Tiffany, perkataan Alex selalu menghantui pikirannya. Membuat ia mau-tidak-mau harus meng”iya”kan semua hal tentang cewek itu yang membuatnya nyaris gila! Ia tahu benar bagaimana tingkah laku Tiffany, namun tak urung keraguannya itu justru menghapus jarak antar keduanya. Jangan tanya apa maksudnya, karena kalian akan mengerti nanti pada waktunya. Sampai dirinya tidak meragukan perasaannya sendiri. Mengingat perkataan cewek itu bahwa dirinya berubah dan sempat depresi saat Alex meninggalkannya, membuat Orion, lagi-lagi, mau tidak mau harus terus bersamanya, mengubah Tiffany menjadi seperti yang dahulu. Bahkan bertingkah seperti Alex di depan cewek itu. Begitu perhatian, penyayang, peka dan… Ah! Orion tidak seperti itu pada dasarnya! Oh tunggu dulu. Memang seperti apa Tiffany yang dulu? Bahkan Orion-pun tidak tahu. Ia tidak mau tahu urusan lawan jenis, jika bukan karena Alex. Alex Marvando Revian. Mendiang kakaknya, satu-satunya keluarga kandung yang ia miliki. Karena itulah ia tidak sanggup mengecewakan Alex. Ia harus menepati janjinya untuk menjaga dan melindungi cewek yang dicintai dan dititipkan Alex kepadanya. “Uuh, Rion! Kamu bengong lagi!” Tiffany menyilang lengannya di depan d**a, mendelik ke arah Orion yang tersadar dari lamunannya. “Ng, sori. Oke, gue antar lo ke rumah, ya.” Ia membasahi bibirnya yang masih terasa manis karena lip-balm Tiffany, mencoba tersenyum agar cewek itu tidak terus merajuk. Orion membukakan pintu sebelah kemudi, mempersilahkan Tiffany masuk dengan senyuman layaknya seorang Putri anggun yang tersenyum pada Pangeran tampannya. Orion membalas senyuman itu dengan tersenyum simpul. Saat dirinya akan menutup pintu mobilnya, bayangan itu muncul kembali. Suara itu. Suara Alex yang berkata seakan sesuatu akan terjadi padanya, sebelum cowok itu meninggalkan dirinya untuk selamanya. “Seandainya Tuhan lebih dulu menginginkan gue, lo harus menjaga dia Ri, apa pun yang terjadi. Gue mau elo yang mendampinginya, karena lo satu-satunya orang yang gue percaya selain dia. Gue sangat menyayanginya, lo tahu itu. Dia manis, baik dan cerdas. Gue harap lo bisa menggantikan gue, dan menjadi yang terbaik untuknya, supaya gue tenang di sana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD