VISSA
"Oke semuanya, ini hasil quiz kalian tadi, dan laporan minggu kemarin. Yang belum saya acc bisa ditumpuk dulu di meja." Kataku.
Hari ini aku ada jam tambahan, jadi asisten dosen di lab kimia untuk nemenin mahasiswa semester satu praktikum, padahal aku sendiri baru semester tiga. Biasanya sih yang dijadiin asdos kan minimal semester lima. Eh gak tau kenapa Prof Banu malah pilih aku untuk handle 4 kelas.
Beberapa mahasiswa meletakkan laporan sementara mereka di mejaku, aku langsung memeriksanya, setelah kurasa cukup benar, aku mem-paraf laporan itu, lalu membagikan kembali kepada mereka, agar minggu depan mereka bisa membuat laporan asli.
"Kak boleh nanya bentar?" Tanya seorang mahasiswa.
"Ya?"
"Saya tadi gak ikut quiz, minggu kemarin juga engga, ada perbaikan gak?" Tanyanya.
"Coba tanya ke Prof Banu yaa, soalnya semua terserah beliau." Kataku.
"Udah, katanya minta sama Kakak aja." Jawabnya.
"Kok saya kaya familier ya sama kamu?" Katanya.
"Hehehe kita seangkatan." Jawabnya, mendadak santai.
"Kok? Kok malah ikut praktikum sama anak bawah?" Tanyaku.
"Kak boleh balik 'kan ini?" Tanya salah satu juniorku.
"Boleh kok." Kataku, mereka lalu bubar jalan, di lab hanya menyisakan aku dengan si.. siapa namanya? Aku gak tau.
"Nilai pas semester satu itu D, daripada remedial dapet C ya mending ngulang." Jelasnya saat aku kembali menatapnya.
Aku mengangguk mengerti.
"Jadi gimana?" Tanyanya.
"Emm okee, tapi soalnya saya banyakin yaa, biasa kan cuma 5, buat kamu 8, jadi 16 soal." Kataku.
"Oke gak apa, sekarang? Apa nanti?" Tanyanya.
Aku melirik jam tanganku, sudah pukul lima. Aku harus pulang, ke rumah Nini, Kak Gara pulang hari ini!
"Woy? Vissa?" Tanyanya.
"Mau hari ini? Udah belajar emang?" Tanyaku.
"Udah sekarang aja biar gue gak banyak tunggakan, jadi minggu depan gue praktikum biasa." Dia sudah berbicara santai.
"Yaudah, belajar aja dulu, gue bikin soal sebentar." Kataku lalu mengambil kertas kosong dari laci meja.
"Eh, kan udah gak praktikum, boleh ya gue lepas jas lab?" Tanyanya.
"Iya boleh." Kataku.
Aku langsung membuka buku modul praktikum minggu lalu dan hari ini, mencari bahan untuk membuat soal. Lima belas menit kemudian, 16 soal untuk si anak ngulang ini selesai.
"Nih, pisah yaa jawabannya, biar gampang masukin nilainya." Kataku. Dia menerima lalu mengerjakan.
Selama ia mengerjakan, aku membuka laptopku, memasukkan data nilai praktikum hari ini, biar nanti malem bisa langsung kirim email ke Prof Banu, jadi tugasku gak numpuk-numpuk.
Tugasku sudah selesai, aku melihat si anak ngulang ini. Buset!! Apa-apan dia? Pake kemeja kancingnya dibuka semua, gak pake daleman pula. Astaga, ini kan di kampus!
"Eh itu, bisa dikancing gak?" Tegurku.
"Gerah gue." Sahutnya tanpa melirik.
"Gak sopan tau!"
"Bilang aja lo gagal fokus ke d**a sama perut gue yakan?" Tanyanya.
"Hih, apaan banget! Perut lo aja gak keliatan."
Lalu dia tiba-tiba berdiri, sambil senyum, sedikit membuka kemejanya biar d**a dan perutnya semakin terekspose.
"Duduk! Kancingin!"
"Gerah!" Katanya lagi.
"Mendung kayak gini, lo bilang gerah?" Tanyaku.
"Iya."
"Terserah! Udah belum! Udah hampir setengah jam nih! Biasanya kan cuma sepuluh menit."
"Coy atulah coy, lo cantik-cantik jangan jahat gitu, gue nulisnya lelet." Katanya.
"Ya cepetin."
"Nanti lo gak bisa baca."
"Yaudah cepet."
"Ya jangan diajak ngobrol mulu dong, Vissa." Katanya.
Aku diam, dia kembali fokus pada soal dan jawabannya. Tak lama ia mendongkak, berdiri dan menyerahkan hasil jawabannya.
Tulisan tangannya bagus, asli! Pantesan lama, diukir ini sih.
"Balik ya gue?"
"Enak aja, gue priksa dulu, baru lo bawa balik." Jelasku.
"Oke."
Aku memeriksa jawabannya, benar, benar, benar, dan benar semua. Kalo anak ini pinter, kenapa dia musti ngulang? Kimia dasar loh ini, rata-rata pelajaran SMA.
Aku memberi nilai seratus di kedua lembar jawaban tersebut, lalu memasukan nilainya ke laptopku, entar cari nama dulu.
Aku melirik kertas jawaban tersebut, Malik Nazalindra, lha namanya mirip sama kacungnya Elva.
"Nih, Malik!" Kataku ketika sudah selesai.
"Oke makasih ya." Ia menerima lembar jawabannya lalu, memasukan itu ke tas selempangnya.
Aku membereskan meja dan barang-barangku, lalu menggendong tasku.
"Gak balik?" Tanyaku saat melihat ia masih duduk di kursinya.
"Nungguin elo lah, jahat amat gue udah bikin lo balik telat, eh ditinggal." Jawabnya.
Aku mengangguk, lalu keluar dari lab. Aku gak sadar kalo dari tadi ternyata Bali sudah hujan. Lha, gimana ini ke parkirannya? Mana Mas Yusuf parkirin mobil akunya jauh banget.
Aku dan Malik masuk ke lift. Turun dari lantai 7 ke lantai dasar.
"Langsung balik lo?" Tanya Malik.
"Maunya, cuma ujan. Mobil gue keparkir jauh." Jawabku.
"Eh iya, Jani tuh adek lo apa Kakak lo sih?" Tanyanya.
"Lo kenal Jani?"
"Kenal, pas semester dua kemarin, gue naik ke Prau bareng sama dia, kenal biasa aja." Jelasnya.
"Ohh, Jani adik."
"Tapi kayanya pantesan dia ya yang jadi kakak."
"Gak ada yang nanya pendapat lo." Kataku.
"Gak apa, kan hak mengemukakan pendapat masuk ke dalam hak asasi, jadi bebas dong." Sahutnya.
Aku hanya mengangguk.
Pintu lift berdenting, aku keluar, begitu juga Malik, ia membuntutiku saat aku duduk di sofa yang ada di lobby beserta anak-anak yang menunggu hujan reda.
"Ngapain lo buntutin gue?" Tanyaku.
"Daripada lo sendiri, emang lo kenal orang-orang ini?" Tanya Malik sambil menunjuk kelima mahasiswa lain yang ada di sekitar kami.
Aku menggeleng.
"Yaudah, santai." Jawabnya.
"Itu kemeja lo masih kebuka aja, gak dingin?" Tanyaku.
"Hahaha gue mah terlahir di eskimo, tahan dingin." Jawabnya.
Aku hanya diam, males nyautin dia. Aku membuka ponselku, menanyakan posisi Elva.
Me: De, di mana?
Udah sampe rumah nini?
Sekian menit menunggu layar HP, eh gak dibales juga sama dia. Aku jadi membuka novel yang kubawa, lalu membaca lanjutan kisah roman picisan ini.
"Lo suka baca?" Terdengar suara Malik bertanya.
"Hemm."
"Daripada lo baca, mending kita main." Katanya.
"Main apa?"
"Main bingo, gue bete. Kan itu buku gak bisa dipake baca berdua, nah mending main bingo." Katanya.
"Lha? Kalo lo bete kenapa jadi urusan gue?"
"Kan kita temenan."
"Kata siapa?" Tanyaku.
"Lo emang gak mau temenan sama gue?"
"Emm biasa aja sih."
"Lo SMP di Mahatma Gandhi kan?" Tanyanya.
"So?"
"Gue kan di kelas samping lo dulu,"
"Ko gue gak tau? Padahal kan gak banyak muridnya?" Tanyaku.
"Gue cuma setahun, terus pindah ke Paris."
"Ohhh!"
"Lo mau ujan-ujanan gak?" Tanyanya.
"Jadi ujan-ujanan apa main bingo?"
"Asikan ujan-ujanan sih."
Aku diam, teringat seseorang yang amat sangat mengagumi hujan.
"Tapi nanti baju gue basah, jok mobil gue basah."
"Gue bawa jas ujan, lo ujan-ujanan pake jas ujan aja, temenin gue, terus entar pas lo mau masuk mobil, lo lepas." Katanya.
"Kok kayanya gila ya?"
"Being normal is too boring! Yuk!"
"Ini udah mau malem." Kataku, yaa sudah pukul 6 sore lewat, udah beneran malem.
"Nah karena malem, gak ada yang liat, ujan pula, pada udah balik."
"Boleh deh." Kataku, entah kenapa aku mendadak setuju sama ide gilanya.
Dia bangkit, menarik tanganku menuju loker, aku juga memasukan bukuku dan ke loker. Di tas hanya berisi HP, kunci mobil dan dompet.
Tiba-tiba notifikasi masuk. Dari Elva.
Dedek: Di rumah Nini
Fyi, Kak Gara belum sampe
Pesawat delay, ada Kak Evan sm Kak Varde lohhh
Itu jawaban dari Elva. Aku tersenyum, lalu memasukkan kembali HP ke dalam tas.
"Ayok!" Seru Malik sambil memberiku jas hujan.
"Mau main hujan di parkiran?" Tanyaku.
"Dihh apa banget, di tamannya anak Biologi aja." Katanya.
Aku setuju lalu Malik berlari ke pintu samping yang bersebelahan dengan gedung department Biologi.
"Sini gue bantuin, eh iya boleh titip HP sama dompet?" Tanyanya.
"Boleh, masukin aja ke tas gue." Kataku.
Malik langsung merogoh ponsel dan dompetnya dari saku lalu memasukkan ke dalam tasku.
"Ayok!" Ajaknya setelah ia selesai membantuku memakai jas hujan.
Malik menarik tanganku, kami berlari-larian di taman Biologi yang luas ini, biasanya ada suara burung-burung atau kupu-kupu lewat, tapi karena sudah malam dan hujan, jadi hanya kami berdua.
Entah kenapa aku tersenyum, berputar-putar bersama Malik di bawah hujan.
"Gue terakhir gini waktu SMP, seru banget yaa!" Kata Malik.
"Iya!" Aku mengusap wajahku.
"Lo gak dingin?" Tanyaku.
Kancing kemejanya masih terbuka, dia sudah basah total dan sumpah, basah bikin perutnya itu makin keliatan seksi.
Setelah berlarian, berputar dan saling mencipratkan air hujan, aku mulai merasa dingin, padahal aku pake jas hujan, satu-satunya yang basah yaa sepatuku.
"Malik, dingin." Kataku.
"Yaudah, udah yuk! Ayo gue anter ke parkiran." Katanya.
Aku mengangguk. Kami berjalan dibawah siraman air hujan yang masih betah bikin Bali basah malam ini.
Sesampainya di mobilku, aku bingung bagaimana masuk. Tetep aja mobilku bakal basah.
"Buka dulu bagasinya." Kata Malik seolah tahu kebingunganku.
Aku mengambil kunci mobil lalu memberikannya padanya. Tanganku gemetar, sumpah. Malik menerima kunci lalu menarikku ke belakang. Ia membuka pintu bagasi dan seketika pintunya menjadi naungan untuk kami.
Ia meletakkan kunciku di lantai bagasi, lalu ia membantuku melepas jas hujan ini.
"Sesuai janji, lo tetep kering." Katanya.
"Sepatu basah."
"Yaelah, nyetir sambil nyeker bisa kali, neng! Masuknya lewat sini aja lo loncat ke depan."
Aku mengangguk lalu duduk di dalam bagasi, melepas sepatuku, kemudian mengikuti arahannya untuk pindah ke depan, tak lupa ku ambil kunciku.
Saat aku sudah berada di jok kemudi, terdengar pintu bagasi ditutup, aku menyalakan mesin mobil lalu sedikit membuka kaca.
"Makasih yaa!" Seruku.
"Iyaa, udah sana tutup lagi, bye!" Malik berlari menuju parkiran motor sambil menjinjing jas hujannya. Aku langsung menutup kembali kaca mobilku.
Begitu ia tak terlihat, aku langsung menginjak gas, meninggalkan parkiran, menuju rumah Nini, buat ketemu Kakak Gara.
●○●○●
"Itu HP siapa sih? Berisik banget!" Seru Nini saat kami makan malam.
Kami semua menggeleng, termasuk aku, itu bukan ringtone suara ponselku.
"Mbak Mimi, coba tolong dicari itu bunyi dari mana." Titah Kakiyang.
Mbak Mimi yang baru saja meletakkan ikan bakar di meja langsung mengangguk dan pergi mencari suara bising tersebut.
"Jadi Gara mau urus Arûna-nya Papi apa mau urus Syltha-nya Papa dan Biyan?" Tanya Nini.
"Eh? Apa ya? Gara bingung, Ni." Jawab Kak Gara.
"Yaudah sih santai aja, urus dua-duanya juga boleh." Sahut Papi.
"Kamu maunya Gara di mana, Fir?" Tanya Kakiyang.
"Ya terserah Gara, Pa. Mana pernah Firi nyuruh anak harus ini, harus itu." Jawab Papa Firi, Papanya Kak Gara.
Kak Gara nih keren, dia tuh sukanya Sastra, tapi pas kelar S1 lanjutnya malah bisnis, di London. Dan sekarang baru pulang setelah satu tahun lebih belajar di negeri orang.
"Gara pengin nyoba urus Arûna boleh?" Kata Kak Gara.
"Jangan coba-coba lah, harus serius!" Seru Papi.
"Okei."
"Maaf ganggu, ini udah mati tapi, tadi suaranya dari sini." Mbak Mimi baru saja kembali sambil memegang tas milikku.
Eh? Seriusan??
"Punya Vissa kan itu?" Tanya Mami.
"Iya,"
"Kamu bilangnya engga." Kata Papi.
"Emang bukan suara HP Vissa kok."
"Udah cek dulu aja." Kata Papa Firi.
Aku mengangguk.
"Makasih, Mbak Mimi." Kataku sambil mengulurkan tangan menerima tas gendongku.
Aku membuka seleting tas dan, oh s**l, s**l, s**l, HP dan dompet punya Malik ketinggalan di tasku.
Aku meraih ponsel tersebut, menekan tomol home dan mengusap layar. Good deh dia gak dikunci pake password segala.
19 missed call
23 messages from 5 chat
99+ new message
Tertera di layar depannya, pantes berisik banget, aku langsung menelefon nomor terakhir yang ada di atas.
"Sebentar ya, ini HP temennya Vissa ketinggalan." Aku meminta izin lalu meninggalkan meja makan.
"Hallo, Vissa?" Terdengar suara asing di kejauhan sana.
"Malik?" Tanyaku.
"Yaa, HP sama dompet gue di lo, lupa gue."
"Sama gue juga lupa."
"Boleh gue ambil sekarang? Gue ada urusan soalnya dan butuh HP gue." Ujarnya.
"Eh boleh-boleh."
"Di mana rumah lo?" Tanyanya.
"Eh? Gue lagi di rumah Kakek."
"Iya di mana?" Tanyanya.
"Jimbaran." Kataku.
"Lengkapnya neng?" Tanyanya.
Aku langsung menyebutkan alamat rumah ini dengan lengkap.
"Lha boleh masuk gak gue? Itu perumahan gak bisa sembarang masuk kan?"
"Bilang aja mau ketemu gue, bisa kok, sekarang gue bilang satpam kalo ada yang mau dateng." Kataku.
"Oh gitu? Oke deh. Makasih ya!"
"Maaf yaa." Kataku.
"Udah santai, gue otw sekarang."
●○●○●