4

1028 Words
Kafe berkonsep rooftop garden yang menjadi lokasi makan siang Dean dan Lucas sepi dari pengunjung. Lucas mencibir kesal pada makanan yang terhidang, sangat jauh dari ekspektasi. Harga selangit dan rasa selevel masakan pembantu rumah tangganya, bagaimana bisa orang-orang Jakarta menyukai tempat makan begini. Demam posting i********: telah mengangkat harga jual kafe ini, bukan karena aspek rasa makanan. Dean menusuk-nusuk crisscut french fries yang menjadi pendamping steak pesanannya. Belum segigit pun dia cicipi makanan itu tetapi rupa makanan di atas piring sudah berantakan. Lucas makin yakin ada yang salah mengenai Dean. Namun ada ganjalan untuk bertanya, apalagi jika dia sudah menebak jawabannya tak jauh dari nama Laura. Meski berkeras akan menjauhi segala topik Laura, Lucas tidak bisa membiarkan Dean menghadapi sekelumit masalah tanpa teman. Seminimalnya, Lucas bisa menjadi pendengar yang baik. “I've never heard anything about Laura for couple weeks. Are you both okay?” Lucas menatap wajah Dean, berusaha membaca gestur tidak nyaman yang terpatri pada wajah sahabatnya. “Entahlah. Laura, dia ... semakin jauh.” Dean mengulang ingatannya pada kejadian dua hari lalu. Laura mengambil langkah besar, mengepak seluruh barang pribadinya dan keluar dari apartemen mereka. Keputusan yang dilaksanakan tanpa diskusi dengan Dean dan sukses membuat Dean semakin merasa kecil. “Hubungan kalian nggak sehat sejak setahun lalu,” Lucas meletakkan pisau dan garpu pada sisi piring, “jika Laura memilih menjauh, maybe she needs the space. Personal space, without you.” Gila, Lucas merasa dia telah memaksimalkan fungsi otaknya untuk mengucapkan sederet kata―yang berpotensi membuat Clara terpingkal jika tahu. Man, he never talks about love nor relationship. Lucas payah soal itu. Tapi dia lihai urusan ranjang. Pria tahu kebutuhan biologis mereka di atas kebutuhan rohani. Dean meringis. Sejauh apa jarak yang hendak dibuat Laura, Dean bahkan menyangka sebentar lagi perempuan itu akan mengembalikan cincin pertunangan mereka. Kekacauan ini tidak akan timbul jika Dean penasaran. Sediki banyak, rasa penasarannya setahun yang lalu akibat tingkat kepo Lucas yang melewati batas dan merongrong kesabarannya. Mereka―Dean dan Lucas―sampai nekad mengikuti Laura sepanjang hari dan berakhir pada adegan ranjang Laura bersama seorang pria muda. Dean merapatkan mata, bayangan dimana Laura mendesah dan meneriakkan nama pria muda itu selalu menjadi momok yang berkembang dan menggerus kestabilan. Bukan hanya kepercayaan mereka yang berada di tepian jurang, keperkasaan Dean sebagai pria pun mengendur. Tiap b*********a, bayangan itu selalu hadir. Laura yang bahagia di bawah pria lain seolah meremehkan kepuasan yang selama ini mereka bagi. “Gue nggak pernah mencapai puncak bersama Laura,” cicit Dean, merasa sudah kehabisan akal menghadapi masalahnya. Lucas batal menyesap minuman dalam cangkir yang digenggam. Dia mengerjapkan mata beberapa kali lalu berdehem. Meletakkan cangkir pada tempatnya, sebelum menanggapi, “Ya, pergi saja ke Puncak. Ambil cuti. I'll handle your works in the office. Take your time with Laura.” Rahang Dean jatuh menerima tanggapan super b**o dari Lucas. Dia tadi menyebut puncak untuk puncak b******a, bukan Puncak Bogor. Dean menyesal salah memilih kata. Mestinya dia paham, bule satu ini bukan warga Indonesia. Lima tahun di sini tak menjamin kuping dan otak Lucas singkron dengan ocehan yang dilempar Dean. “Bukan Puncak itu,” desis Dean, agak dongkol. “Then what else?” Lucas bertanya dengan polos. Sampai satu pencerahan dalam tiga detik berikutnya. “Oh, I got it. c****x!” Dean spontan menendang kaki Lucas di kolong meja. Ajegile, kata tabu itu disebut demikian lantang di tempat umum. Meski pergaulan telah bergerak menjauhi norma masyarakat―hubungan Dean dan Laura contohnya―tetapi Dean masih punya malu mendengar speaker Lucas tanpa kontrol asal cetus. Lucas meringis sembari melirik sekitar. Dua orang pelayan dekat stool bar saling berbisik dan melirik mereka. Lalu seorang pria di awal lima puluh tahun berusaha tidak mengindahkan seorang bule bermulut tanpa saringan. Ok, situasinya cukup terkendali menurut Lucas. “Did you lose the most exciting part with Laura?” bisik Lucas. Badannya agak menunduk dengan tatapan intens kepada Dean. Dean menggeleng lalu mengangguk. Pria itu kehilangan jawaban. Dia merasa masih sangat terpikat pada Laura tetapi mereka selalu gagal mencapai the highest point of s****l pleasure. Hal itu menjadi beban dalam hubungan mereka. Seandainya mereka ada di kantor berdua saja, Lucas mau menggetok kepala Dean. Pria satu ini paling payah urusan mengatasi Laura. Ketika mengetahui Laura berselingkuh di depan mata, Dean tetap memaafkan Laura. Menyusul masalah baru ini hadir, Lucas makin merasa kasihan pada Dean, pria yang begitu baik harus menyiksa diri bersama perempuan semenjijikkan Laura. “Did you ask the expert?” Lucas tidak tahu profesi apa yang tepat menangani keluhan macam Dean. Seorang terapis seks, dokter spesialis, psikolog, atau seorang ahli agama. Man, Lucas berani taruhan keputusan Dean dan Laura move in sudah masuk dosa besar, something about yina or mina. Eum, berikan Lucas waktu mengingat apa nama populer untuk physical relationship before married. Ah, zina. How smart Lucas mengingat nama itu dan tidak mengacuhkan Dean yang termenung akibat dia menyebut expert. “Gue minta nomor Clara,” ucap Dean tiba-tiba. “Mau apa?” sahut Lucas cepat. Jangan bilang Dean mau mengadukan mulut comelnya pada psikolog level teri itu. Jika Dean berani mengadukannya, bisa diyakinkan perang sepupu antara dirinya dan Clara akan makin sengit. “Tentu mengikuti saran lo.” “Saran yang mana?” “Bertanya pada the expert.” Dean tersenyum lebar. Ekspresinya mantap, menegaskan dia bersungguh-sungguh soal bertemu Clara. Lucas dibuat heran. Baru sepuluh detik dia kebingungan mengingat kata 'zina' dan Dean sudah mendapat ide cemerlang. Semoga ide cemerlang itu adalah berpisah dari Laura. Yups, I hope, kata Lucas dalam hati. Dia mengeluarkan iPhone dari saku celana, mengutak-atik sebentar, lalu menyodorkannya pada Dean. “Gue minta dia datang ke sini sekarang. Does it sound better than you call her first? Be ready for her toxic,” kata Lucas. Dean terbahak. Sialan bule satu ini, susah diajak obrolan seputar cinta, sekarang menjelekkan sepupu sendiri. “Gue nggak akan berusaha nyium Clara, kalo itu yang mau lo dengar,” kata Dean. “Good.” Lucas mengetukkan jemarinya pada meja. Membunuh waktu menunggu Clara datang. Dean kembali melarikan fokusnya pada makanan. Dia tidak pernah sampai seterpuruk ini. Bahkan sewaktu melihat Laura berselingkuh, Dean masih bisa berpikir. Tetapi tidak kali ini, ada bagian dirinya yang merasa teramat salah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD