Kehamilan yang makin membesar membuat Gemintang memikirkan masa depan bayi dalam kandungannya. Trisemester pertama, berhasil dia lewati tanpa gejala morning sick dan muntah-muntah seperti kebanyakan ibu hamil―Gemintang kira kehamilannya akan serupa kisah novel, lemah dan sangat membutuhkan toilet. Memasuki trisemester kedua, Gemintang harus berpikir ulang mengenai pekerjaan dan kondisi kehamilannya. Intensitas lembur meningkat, jarak kos ke kantor yang menguras energi, dan mulut-mulut nyinyir.
Ya ampun, Gemintang yang hamil di luar nikah dan mereka yang heboh. Please!
Gemintang mengepak barang-barang pribadinya ke dalam kardus. Bekerja tidak lagi menyenangkan saat telinga disumbat gosip murahan. Jadi inilah keputusan terbaik Gemintang, resign dari kantor.
Terakhir kali dia mendengar gosip yang menyebut anaknya haram atau hasil jual badan, Gemintang sampai drop dan diminta bedrest oleh dokter. Tidak ingin mengulang kejadian itu lagi apalagi sampai membahayakan janinnya, Gemintang memilih menyerah. Pergi dari sini. HRD pun seolah bersyukur dengan keputusannya. Mempertahankan seorang karyawan yang hamil tanpa suami bak penyakit kutil yang mesti dimusnahkan.
Harusnya Gemintang bisa lenggang santai mengundurkan diri dari kantor andai Setyo tidak kelewat kepo pada kondisi badannya dan menyebabkan seluruh karyawan jadi ikut-ikutan ‘mempedulikan’ kondisinya. Yang mana mereka hanya ingin tahu kebenaran kehamilan si Gajah.
“Udah dikemas semuanya?” Peony bertanya sambil memanggul tas di bahu kiri.
“Iya,” jawab Gemintang. Dia akan berstatus pengangguran dalam tiga menit lagi dan dia merasa begitu lega. Sesuatu yang dulu begitu dia takuti. Tidak mudah mendapat kerja bagi perempuan bertubuh big size seperti dirinya. And see, dia akan membuat sebuah langkah berani. Kehamilan telah membawa banyak perubahan termasuk keberanian.
Gemintang tidak lagi takut sendiri. Dia merasa begitu aman bersama anaknya.
“Sini, gue yang bawain.” Peony mengambil alih kardus yang hendak dibawa Gemintang. Dia tidak mau terjadi sesuatu pada bayi dalam kandungan Gemintang jika membiarkan sahabatnya membopong kardus yang berat.
Mereka berjalan bersama, menyusuri kubikel, dan membiarkan mata setiap karyawan mengawasi mereka. Gemintang tidak peduli, begitu pun Peony.
“Apa menurut lo, gue pindah saja dari kos gue sekarang?” tanya Gemintang saat mereka menunggu lift yang akan membawa mereka turun ke lantai dasar.
“Ada pertimbangan tertentu sampai lo berpikir harus pindah?”
Gemintang tidak langsung menjawab. Mata dan tangannya menyusuri perut yang membesar. Orang-orang sebenarnya tidak akan sadar pada perubahan fisik Gemintang. Badannya yang dasarnya besar ditambah kebiasaan memakai baju longgar, memanipulasi kehamilan. Tetapi tidak dengan mata Setyo. Pria itu terlalu teliti dan begitu terobsesi membuat Gemintang buka mulut. Sampai beberapa hari lalu Gemintang berteriak di hadapan seluruh karyawan bahwa dia hamil di luar nikah.
Lupakan soal Setyo. Gemintang akan memulai langkah baru.
Peony mulai menerka alasan Gemintang ingin keluar dari kos. Namun dia menutup rapat mulut, membiarkan Gemintang menentukan. Dia tidak ingin menjadi sahabat yang melemahkan, sosok yang selalu hadir dan menolong kapanpun. Peony ingin Gemintang kuat. Caranya adalah memberikan Gemintang keleluasaan menentukan sikap dan menghadapi konsekuensi. Dia akan mengambil jarak, ketika Gemintang begitu terjepit, baru Peony akan turun tangan.
“Ibu kos bakal tahu dan...” pandangan Gemintang berpindah pada pintu lift yang terbuka. Setyo keluar dari lift dan langsung menghampiri Gemintang.
“Kamu mau pergi?” Wajah Setyo menunjukkan kekalutan.
Gemintang bersikap tidak acuh. Masa-masanya peduli pada Setyo telah usai. Jika Setyo mau bersikap peduli sekarang, Gemintang tidak menemukan manfaat. Malah lihat, Gemintang harus angkat kaki dari sini.
“Resign,” tegas Gemintang.
“Tapi-”
“Gue ada janji sama dokter kandungan. w******p aja kalo penting,” potong Gemintang datar.
Untung Peony berinisiatif menahan pintu lift tetap terbuka. Gemintang dan Peony jadi bisa kabur dari Setyo.
“Gue harus pindah dari kos,” ucap Gemintang saat lift yang mereka tumpangi bergerak turun. Peony diam, menunggu kelanjutan ucapan Gemintang. “Anak gue butuh lingkungan yang nggak akan menghujat keberadaannya. Dan gue harus pastikan bayi ini hidup tanpa nyinyiran orang.”
Peony mengangguk. Mereka berdua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Peony bersama kekhawatirannya terhadap masa depan Gemintang. Dan Gemintang yang semakin bersemangat menantikan hari esok, lusa, dan hari-hari berikutnya bersama si bayi. Her Twinkle.
・・・
Hamil, menganggur, dan pindah tempat tinggal. Gemintang mengurut pelipisnya membayangkan betapa besar persiapan dana yang dibutuhkan mendekati waktu lahiran dengan kondisinya yang tanpa pemasukan.
Galih akan menawarkan diri menjadi sponsor selama dia menganggur―bahkan sponsor seumur hidup. Namun Gemintang tidak mau jika bantuan Galih malah membuatnya malas-malasan. Lemak di seluruh badan berpotensi membuat malas orang. Gemintang tak ingin memiliki gelar si Gendut Pemalas. Cukup si Gajah, jangan menambah panjang ejekan orang.
Dia akan berusaha menghidupi dirinya dan Her Twinkle, sebutan bagi si janin.
Karena hamil, tidak mungkin Gemintang mencari kerja. Dia akan bertahan di rumah sampai bayinya berumur tiga bulan. Solusinya adalah bekerja di rumah. Sebisa mungkin tanpa modal. Tabungannya difokuskan untuk membayar sewa apartemen kelas rusunami yang dia tempati sekarang dan biaya kehidupan sehari-hari, serta biaya melahirkan.
Betapa berat hamil tanpa suami. Mengapa kisah dalam novel itu begitu mudah menceritakan wanita tegar yang menjadi single parent? Seolah segala kemudahan hadir, membuat mereka menjadi pribadi kuat dengan karir cemerlang dan orang-orang baik yang ikhlas menolong tanpa pamrih.
Lihat Gemintang kini. Dia sendirian di apartemen yang berantakan. Kardus-kardus bertumpuk pasca pindahan. Apartemennya nyaris kosong, hanya ada sebuah kasur dan kitchenette. Kehidupan begini jauh sekali dari yang tersaji dalam novel.
Galih tidak akan mengunjunginya sampai bulan depan. Adiknya sibuk ke Spanyol, syuting film komedi. Katanya mau mendepak Raditya Dika dan Panji Pragiwaksono dari bioskop. Gemintang gagal paham pada passion Galih. Dia memilih mengangguk. Yang penting Galih meninggalkan kartu kredit untuk situasi mendesak Gemintang.
Sementara Peony tengah menjalani training di Puncak selama seminggu. Yang artinya tidak ada teman tidur bareng selama enam malam. Gemintang mendesah. Nasib cewek gendut penakut dan calon ibu tunggal tidak ada manis manja. Pria baik nan pengertian tidak secara kebetulan menabraknya di pinggir jalan lalu menawarkan kehidupan lebih layak. Kemudian benih cinta tumbuh dalam diam di antara mereka.
Sudah berkali-kali Gemintang jalan kaki ke pusat belanja di seberang kawasan apartemen, belum pernah sekalipun ada kejadian bak putaran roda takdir. Dirinya dipertemukan pria ganteng baik hati yang wajahnya mirip Reza Rahardian. Yang ada dia terus ditawari ojek pangkalan.
“Cari kerja,” kata Gemintang, mengusir khayalan babu bersarang di otak. Waktunya kembali pada realita. Dia butuh kerja tanpa modal yang menghasilkan uang. Dirinya berselancar internet, mencari peluang usaha yang bisa dikerjakan di rumah.