Usaha yang digeluti Gemintang selama berada di rumah adalah menjadi dropshipper. Market usahanya adalah teman semasa sekolah dan kuliah juga melalui situs belanja online. Galih sangat membantu, memasarkan barang jualannya pada artis ibukota. Peony membantu memasarkan tetapi lebih sering untuk membantu melalui ide marketing daripada menarik pembeli.
Singkronisasi kerja yang apik di antara mereka mengembangkan bisnis rumahan Gemintang. Perlahan Gemintang mulai berani mengeluarkan modal―modal dari Galih tepatnya. Setelah film Galih ditonton sekian juta orang, pendapatannya dibagi kepada Her Twinkle. Gemintang memanfaatkan uang Galih untuk usaha yang lebih besar. Menggunakan jaringan pertemanan Peony yang luas, Gemintang mendapat kenalan suplier barang jualan dengan harga miring dan kualitas oke.
Usaha Gemintang memang sangat tepat, menjual baju ukuran big size untuk ibu hamil berbadan jumbo. Kondisi Gemintang yang hamil dijadikan bahan marketing oleh Peony. Foto dan video Gemintang dalam busana yang dijual di-posting ke i********: dan situs jual beli online. Atas bantuan manajer Galih yang sekaligus MUA, Gemintang didandani sehingga hasil jepretan fotonya memikat lebih banyak pembeli.
“Yang hijau stoknya habis tapi banyak yang minta. Gimana dong?” Gemintang pusing menerima banyak permintaan pembeli terhadap baju yang minggu lalu dia posting. Masalahnya produk itu didapat dari suplier Hongkong dan kuantitasnya terbatas.
“Ya tawarkan baju yang lain,” balas Galih dengan mata tetap tertuju pada layar kaca. Dua hal yang membuat Galih mau datang ke apartemen super miskin Gemintang hanyalah keberadaan si kakak dan keponakan. Tv di ruang tengah satu-satunya pembunuh bosan. Mau bagaimana lagi, Gemintang menolak fasilitas Galih. Dia punya rencana sendiri dalam hidupnya dan Galih berusaha menghormati meski dia gatal mau mengubah total kondisi apartemen ini.
“Mereka telanjur suka dengan yang itu.” Gemintang memilih duduk di sisi Galih. Perutnya mulai sering kontraksi. Prediksi dokter, dalam tiga minggu dia akan melahirkan. Itu sebabnya Galih mau tinggal di apartemennya, bahkan―berusaha ikhlas―tidur di ruang tengah beralaskan kasur lipat. How sweet Galih is.
“Gue nggak paham kalo cewek sudah mentok mau sesuatu, kenapa bikin repot seandainya nggak ada. Kasih pilihan lain, kalo nggak suka ya sudah. Biarin mereka pilih toko yang lain. Belum tentu ada yang sama kayak yang lo jual,” cerocos Galih sembari satu tangan mengelus perut buncit Gemintang. Aneh sebenarnya mengelus perut kakaknya, tetapi Galih merasakan sebagai terapi relaksasi terbaru dan tercepat dalam siklus hidupnya selama ini. Tendangan kecil dari Her Twinkle membuatnya luar biasa. Satu-satunya yang disayangkan Galih adalah dia belum punya kesempatan menemani Gemintang memeriksakan kondisi janin ke dokter. Manajernya berkata reporter gosip bisa menjadikan Gemintang sasaran jika dia terlalu banyak muncul di publik bersama Gemintang. Untuk tinggal di apartemen ini saja Galih butuh debat panas tiga hari tiga malam agar diizinkan. Galih memenangkan perdebatan itu dengan serangkaian syarat. Whatever the terms, Galih mau menjaga Gemintang.
“Kamu tuh, pantas masih jomlo,” Gemintang mencubit lengan Galih saking gemasnya, “nggak mau paham perasaan cewek.”
Galih mencebik kesal dan melenggang ke dalam kamar tidur Gemintang. Sesekali dia mau tidur siang tenang di dalam kamar, bukannya mendengar keluhan Gemintang soal pembeli yang merepotkan.
Gemintang merengut dongkol. Galih bisa menjadi pria idaman sewaktu-waktu, tetapi lebih sering menjengkelkan. Hingga membuat Gemintang kesal.
“Your Twinkle, jangan tiru sifat Om Galih ya,” kata Gemintang pada perut besarnya. “Mama nggak suka Your Twinkle jadi nyebelin.” Kedua tangan Gemintang mendekap perutnya, menyalurkan perasaan sayang. Betapa menyenangkan menunggu detik-detik dia akan bertemu anaknya.
Gemintang mengerjapkan mata, merasa ada yang salah. Dia melongok ke bawah. Perut besarnya menghalangi pandangan. Tangannya meraba bagian bawah perut, turun hingga ke paha dalam.
Basah?
Senyum Gemintang mengembang. Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba. Dia berdiri, setengah melompat, lalu berlari menuju kamar.
“Galih, bangun! Antar kakak ke rumah sakit!”
“Apaan sih?”
“Keponakan lo mau lahir, t***l!”
“APA?”
“BANGUN!”
・・・
Clara, perempuan berambut lurus berwarna cokelat tua itu berhenti melangkah. Tatapannya jatuh pada sosok pria putih yang duduk sendirian sembari memainkan tab di ruang tunggu rumah sakit. Meski Clara adalah perempuan jelita dengan wajah mungil dan kulit mulus, tetapi pria itu tidak pernah menyadari kehadirannya. Apalagi menangkap pesan cintanya selama lima tahun. Tidak sama sekali.
Ada tembok yang membatasi mereka. Tembok bernama Laura.
Meskipun kini Clara tahu ada masalah dalam hubungan pria itu dan Laura, tetap saja tiada celah baginya hadir. Setelah empat bulan dekat dengan pria itu karena kasus yang dialami Dean dan pasangannya, Clara masih buntu akan dibawa ke mana perasaannya. Dia harus profesional. Namun dia perempuan, egonya mengharapkan pria itu menjadi pendampingnya. Bukan dimiliki Laura, perempuan yang menurut Lucas pernah berselingkuh.
Clara menarik napas dalam. Dia harus fokus pada pekerjaannya, menyembuhkan pria itu. Mengembalikan rona bahagia yang pernah Clara lihat. Walau itu sama saja seperti mengantar si pria pada Laura. Clara tidak masalah. Dia akan diam dalam mencinta, karena cinta sesungguhnya bukan memiliki, melainkan turut bahagia atas kebahagiaan orang yang dicinta.
“Bapak Adrean Suryono,” panggil Clara bak seorang suster memanggil calon pasien masuk ruang periksa dokter.
Dean tertawa. Clara senang sekali mengejutkannya dengan tingkah tak tertebak.
“Gue pikir ada suster magang lupa pakai seragam pas manggil,” kata Dean, menyorot penampilan Clara yang santai. Santai bagi Dean, beda bagi Clara. Dia membutuhkan waktu setengah jam bersiap, mengganti pakaian dan berdandan natural. Hanya agar Dean tidak malu bersamanya.
“Ngeledek ya.”
“Sensi banget.” Dean melirik bungkusan pada genggaman Clara. “Itu obat gue?”
Clara mengangkat kantong plastik putih berlogo rumah sakit. “Yup. Selamat tidur nyenyak nanti malam, Pak Dean yang bawel. Lo kenapa malas banget antri obat sih?”
Dean berdiri dan memilih tidak menjawab Clara. Posturnya yang tinggi tampak sepadan dengan Clara yang mencapai 170 cm. Orang-orang yang melintas beranggapan mereka pasangan serasi. Sama-sama tinggi, berwajah rupawan, berkulit putih, dan senyum memikat.
“Permisi, awas, awas, minggir dong!”
Kepala Dean dan Clara berputar pada sumber keributan. Seorang pria mengenakan masker dan topi berjalan memapah ibu hamil berbadan besar. Orang-orang yang berjalan di koridor rumah sakit diminta menepi oleh si pria agar ibu hamil itu bisa melintas.
“Gue masih bisa jalan sendiri, nggak usah lebay,” omel ibu hamil berusaha menepis tangan si pria.
“Lo mau lahiran. Jangan batu, deh. Permisi, ada ibu hamil mau melahirkan!”
“Berisik!” Ibu hamil menjambak rambut si pria. “Sono ke resepsionis. Nggak usah bawel melulu. Gue tunggu di sini.” Ibu hamil mendorong si pria lalu dia duduk di kursi tunggu pada barisan depan Dean.
Dean mengulum senyum. Ini pengalaman pertamanya melihat seorang ibu hamil yang santai menjelang kelahiran. Dalam film yang pernah ditonton―bersama Lucas―ibu hamil akan menjerit, seluruh staf rumah sakit panik, dan tangis bayi menutup adegan kelahiran. Bukan kerusuhan oleh seorang pria dan omelan si ibu hamil.
Lucu banget, pikir Dean.
Clara menatap Dean yang tengah memperhatikan punggung ibu hamil di depan mereka. Dia merasa Dean punya minat pada kehamilan, mungkin diam-diam pria itu menginginkan seorang anak. Sayangnya Dean akan susah mengharapkan anak jika dia masih punya masalah seksual. Clara ingin bahagia mengetahui Laura tidak akan bisa mengandung anak Dean tetapi dia merasa jahat sudah berpikiran begitu.
“Jadi pulang?” tanya Clara. Dia bertanya agak sengit. Kepalanya mendadak pening akibat memikirkan anak Dean.
“Oh, ya.” Dean menatap satu kali pada punggung gemuk si ibu hamil sebelum menyusul Clara yang lebih dulu berjalan keluar rumah sakit.
・・・
Gemintang bosan menunggu Galih yang lambat mendaftarkan dirinya ke resepsionis. Perutnya berkontraksi, jaraknya masih jauh dari kontraksi sebelumnya. Gemintang percaya butuh beberapa jam lagi sampai anaknya terlahir. Dia tidak akan menampilkan wajah kesakitan sebab Galih akan menyebabkan keributan yang lebih besar.
Dia memutar pandangan, mencari pengalihan fokus agar melupakan dampak kontraksi tadi. Matanya tertarik pada punggung pria berkemeja baby blue dengan lengan kemeja dilipat rapi sampai siku.
Badan pria tegap itu sukses mengurangi rasa sakit yang barusan dirasa Gemintang. Gue emang butuh banyak lihat cowok badan tegap, pikirnya.