6. Kecewa

1180 Words
Nana Pov. "Gila aja lo Na, lo ninggalin si Anji gitu aja, pas udah makan sate?" Daffa bertanya, saat ini aku, Gio dan laki-laki itu kebetulan bertemu di parkiran. Dan kami bertiga terlibat obrolan tentang Kak Anji yang menawarkan diri untuk membayar sate yang aku makan lalu mengantarkan pulang. Sayangnya, aku malah pergi meninggalkan laki-laki itu di sana. "Gue enggak mau terlibat lebih jauh sama dia. Intinya, gue hanya nemenin dia makan sate." Aku membuka helm yang aku kenakan. Pagi ini aku enggak berangkat bersama Raka. Aku pergi sendiri, rasanya aku masih dongkol sama satu manusia itu. Lagian, Raka pasti akan menjemput pacar barunya. Jadi aku tidak perlu khawatir, Raka akan merutukiku karena berangkat lebih dulu meninggalkan dirinya. Gio mengusap puncak kepalaku. "Bagus, ini baru temen gue. Si Anji bukan cowok yang baik. Gue bakal cariin cowok yang lebih baik dari pada gue dan Raka." Aku mendelik dan menyikut perutnya. "Gak perlu! dicariin cowok sama orang modelan kaya lo. Palingan bakal dapat buaya!" Dia terkekeh dan mengacak gemas kepalaku. "Gak lah, Na. Masa gue tega banget sama lo!" Aku memutar kedua bola mataku jengah. Aku memang sering mendengar Raka dan Gio bicara. Meski mereka adalah kedua lelaki buaya yang tidak tahu malu. Tapi untuk lelaki yang akan menjadi pacarku. Mereka harus menginterogasinya sampai tuntas. Dari mulai bibit, bebet, dan bobotnya. "Lo itu udah gue anggep kaya Ade gue sendiri. Lo harus dapetin cowok yang jauh lebih baik dari pada gue dan Raka." Dia menggandeng ku ke arah koridor. Namun langkahnya terheti, kala ia melihat ada Selli keluar dari mobil. Selli adalah pacarnya Gio. Dan serta merta laki-laki itu melepaskan rangkulannya. "Duh, ada cewek gue. Bahaya! Lo duluan cepetan, gue mau nemuin Selli." Aku menggeleng geli, Ya Allah. Begini banget rasanya punya sahabat seorang play boy. "Ok, Duluan ya ... " aku berjalan sejajar dengan daffa. "Jalan sama gue, gak akan ada yang ganggu Na," ucap Daffa. Aku hanya memutar kedua bola mataku jengah sebagai respon. "Ya udah sih, lo juga cari pacar sana. Biar gak jomblo." Dia menggeleng "Harga bakso se-mangkok sepuluh ribu. Jus buah segelas lima ribu. Gue dikasih jajan sama Nyokap cuma dua puluh ribu. Kalau gue pacaran, gue gak kebagian jajan!" Aku menepak keningku sendiri. "Ya Allah punya temen gini banget." "Gue mah beneran Na. Kalau pacaran, berarti gue harus traktir cewek gue." "Gak semua cewek selalu maunya ditraktir lah," sanggahku. "Emang. Tapi semua cewek selalu butuh perhatian. Termasuk lo, iyakan?" Aku menatapnya dengan memicing. "Lo itu jenis cowok perhatian, tapi pelit." Dia tergelak. "Bukan pelit Na, gue cuma sayang aja buang-buang duit cuma buat cewek yang enggak gue yakinin." Dia melihat ke arah Gio yang menggandeng Selli, dan Raka ... aku melengos. Dia berjalan dengan Cantika. Pacar barunya! Dia ada niat buat minta maaf enggak sih! Aku hanya bisa menghela napas melihat kelakuan anehnya itu. Aku sengaja berjalan menarik Daffa lebih cepat. Aku sungguh tidak ingin berinteraksi dengan lelaki jelmaan iblisnya buaya itu. Setidaknya untuk hari ini. Aku takut kelepasan dan memukulnya sampai mampus. Namun Raka memanggilku. "Nana! Tungguin!" Dan mau tidak mau, aku pun menghentikan langkahku. Aku berbalik padanya. Raka menarik tangannya Cantika hingga sampai ke hadapanku. "Na, ini cantika. Pacar baru gue, cantikan?" Apa pula dia! Dia enggak tanya apakah aku nungguin apa enggak? malah dengan santainya memperkenalkan gadis itu. OK, sabar Nana ... Menarik napas dalam, aku tersenyum dan memeluk Cantika dengan semringah. "Hay ... kamu cantik banget. Semoga betah ya ... sama temen gue." Perlahan aku melerai pelukan kami, dan mendapati mimik wajah Raka yang terlihat ... entahlah, dia datar begitu. "Hay Kak Reina, Kakak lebih cantik dari pada aku. Terima kasih ya ... udah kasih temennya buat aku. Aku pikir kalian pacaran, soalnya di ignya Kak Raka cuma ada photonya Kakak doang." Ya itu kesalahan terbesarku menjadi sahabatnya. Karena gara-gara hal itu, aku sering di bully oleh para mantannya Raka. Aku sungguh ingin sekali menghapus semua photoku di sana. Tapi tidak bisa, aku tidak bisa membuka ponselnya Raka. Dia punya password yang menurutku cukup rumit. Dia pernah memberi tahuku waktu itu. Tapi karena terlalu panjang. Aku pun melupakannya begitu saja. "Enggak lah, kamu suruh Arka hapusin photo aku. Pasti dia mau!" Aku menatap Arka, dan aku menemukan tatapannya yang tidak senang. Aneh sekali dia ini, bukankah aku tidak salah di sini? Cantika tersenyum menatap Arka seolah meminta persetujuan. Aku mengalihkan tatapanku, karena tiba-tiba saja kedua matanya jadi tajam. "Eh, aku duluan ya ..." Melambaikan tangan pada Selli, kemudian pergi. Cari aman saja. *** Selama di kelas, aku melihat wajah Arka yang muram. Dia juga sama sekali tidak menyapaku. Dasar setan buaya, dia yang salah, dia juga yang memusuhiku. Bukannya meminta maaf, dia malah bersikap ketus dan sungguh menguji kesabaranku. Aku dan Lani memang sebangku, tapi di depanku ini ada Raka yang sebangku dengan Gio. Nah biasanya laki-laki itu akan banyak bicara padaku, dia pasti cerita dari mana ia kemarin malam. Jalan sama siapa, dan apa yang mereka lakukan. Tapi hari ini, dia cuek dan sangat menyebalkan. Ikhhs! Aku sungguh merasa gemas padanya, hingga saking gemasnya aku melempar pensilku dan terkena kepalanya. Raka awalnya terdiam melihat pensil yang jatuh dari kepalanya. Biasanya dia akan marah dan menggerutu padaku. Tapi saat ini, dia hanya mengusap kepalanya, dan mengambil pensil itu, lalu ia meletakkan pensil itu di atas mejaku. Seolah apa yang aku lakukan tidak mengganggunya sama sekali. Dan aku hanya mendengus kecil saja, tadinya mau minta maaf. Tapi melihat dia baik-baik saja, aku rasa aku tidak perlu meminta maaf padanya. Mungkin karena dia sedang jatuh cinta, sehingga pensil itu tidak terasa sakit di kepalanya. Sampai pelajaran selesai, Raka tetap bersikap diam. Satu demi satu, anak-anak kelas penjualan keluar. Tinggal aku dan Raka, aku memang masih belum selesai mencatat. Sedangkan Raka entahlah kenapa dia masih terdiam. Aku selesai mencatat, dan segera merapikan barang-barangku. "Ka, lo enggak pulang?" tanyaku. Dia menoleh padaku dan berdiri. "Lo kenapa ngomong ke Cantika, kalau gue bakal hapus photo lo?" "Memangnya kenapa kan emang dia pacar lo! Lagian, gue risih di kira apaan coba. Lagian lo ngapain sih, nyimpen photo gue di ig lo?" Raka menghela napas. "Ya terserah gue! Itukan ig gue. Siapa aja yang mau gue up di sana. Itu urusan gue!" Eh, si bangke! Aku memang tidak pernah bisa menang kalau berdebat dengan setan yang satu ini. "Ya udah, terserah lo!" aku berjalan di depannya. Aku pikir dia akan membiarkan aku pergi. Tapi dia menahanku. "Ini!" Aku menoleh, dia memegang paper bag yang entah apa di dalamnya. Aku menautkan kedua alisku. "Apa itu?" Dia meletakan pengait paper bag itu di tanganku. "Yang lo mau!" Yang gue mau? Apa? Dia melengos berjalan melewatiku dengan wajah cemberutnya. Aku sungguh tidak mengerti dia itu kenapa? Apa maunya tuh bocah. Membiarkan Raka pergi, aku memilih melihat apa isi dari paper bagnya. Semua novel karya Etnilee yang aku pinta ada. Aku tidak bisa menahan kedua bibirku untuk tidak tersenyum. Aku harus mengucapkan terima kasih padanya. Aku pun berlari mengejarnya. Entah kenapa dadaku berdebar tidak karuan. Berhasil menemukannya di koridor, aku hampir memanggil namanya. Namun suara seseorang dan pelukan Raka pada gadis itu. Membuat suaraku hanya bisa tertahan di tenggorokan. Cantika dipeluk Raka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD